Pelimpahan jasa atau
pattidāna/pariṇāmanā adalah ritual yang melibatkan perbuatan baik dilakukan atas nama leluhur dan keluarga yang telah meninggal dengan tujuan agar mereka mendapatkan kondisi yang lebih baik. Ritual ini cukup umum dijumpai dalam masyarakat Buddhis dan dalam Tradisi Theravada prinsip dan sumber teks yang digunakan sebagai dasar adalah
Tirokudda Sutta (Kp7),
Petavatthu (kitab ke 7 di KN ini memberikan aneka kisah kelahiran sebagai
peta karena perbuatan yang tidak baik),
Janussoni Sutta (AN10.177), beserta komentar dari sutta bersangkutan. Semua kisah dari sumber-sumber tersebut menggambarkan ritual yang dilakukan oleh kerabat dari orang yang meninggal dan dalam Janussoni Sutta terdapat pernyataan bahwa ritual tersebut hanya bermanfaat bagi mereka yang terlahir di alam
peta, bukan lainnya. Komentar dari
Petavatthu memberikan 4 kategori
peta (
Paramatthajotikā memberikan daftar lebih panjang yang intinya jenis peta bersesuaian dengan kamma buruk yang dilakukan) dan hanya jenis
Paradattūpajīvīka (“hidup dari pemberian orang lain”) yang dapat menerima manfaat ritual
pattidāna ini. Sebagian dari sumber-sumber tersebut mengisahkan bagaimana setelah ritual dilakukan, maka para kerabat yang telah meninggal tersebut mendapatkan kondisi yang lebih baik.
Permasalahan timbul di sini berkenaan dengan prinsip utama dari Buddhisme di mana kamma tidak dapat ‘dipindah-tangan’, seperti dalam kutipan yang terkenal bahwa setiap makhluk memiliki, mewarisi, terlahir dari, berhubungan dengan, dan terlindung oleh kammanya sendiri (
AN 5.57;
MN 135).
Pattidāna terlihat seperti memindahkan kamma baik yang dilakukan oleh pelaku ritual kepada leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal, yang tidak melakukannya, sehingga terjadi kontradiksi.
Salah satu solusi yang dikemukakan adalah bahwa tidak ada transfer kamma di sini, namun sanak saudara yang telah meninggal tersebut diajak untuk ikut berbahagia atas kebaikan yang dilakukan atas nama mereka oleh kerabat yang masih hidup. Kebahagiaan simpatik atau
muditā adalah juga bentuk kamma baik melalui pikiran (
AN 5.36) dan buah dari perbuatan baik ini, yang dilakukan oleh kerabat yang telah meninggal itu sendiri, yang berbuah dan mengondisikan hal baik. Solusi ini menimbulkan permasalahan baru: mengapa
muditā tersebut hanya bisa dilakukan oleh mereka yang terlahir di alam
peta? Bukankah alam lebih tinggi, terutama Brahma yang utama dalam 4
Brahmavihārā justru (jauh sekali) lebih berpotensi dalam ber-
muditā? Selain itu, mengapa perbuatan baik itu hanya bermanfaat bagi seorang yang berhubungan keluarga? Bagaimana jika dilakukan oleh anak angkat atau mereka yang berbudi namun tidak berhubungan darah?
Solusi lainnya adalah bahwa ritual
Pattidāna ini bukan merupakan transfer kamma, juga bukan ajakan
muditā, namun sebuah ritual untuk mengondisikan kamma baik dari kerabat yang telah meninggal berbuah. Namun ini juga tidak menjawab permasalahan eksklusifitas alam
peta dan hubungan keluarga dalam melakukan ritual di samping menimbulkan pertanyaan lain: apakah ada ritual yang dapat memanipulasi kamma agar lebih cepat (atau mungkin menghambat) berbuah? Apakah Buddha ada mengajarkannya? Bukankah dalam
Devadaha Sutta (MN 101) Buddha mengkritik para Nigaṇṭha yang dikisahkan dalam sutta melakukan ritual penyiksaan-diri untuk mengondisikan kamma buruk mereka berbuah, sementara mereka sendiri tidak tahu apa perbuatan mereka di masa lampau, dan perbuatan apa mematangkan kamma yang mana?
Berdasarkan pengalaman pribadi, diskusi dan argumentasi topik ini biasanya buntu atau berkembang terlalu luas, dan akhirnya kembali pada
Acinteyya Sutta (AN 4.77). Dan selesailah diskusi. Namun menurut saya, sebenarnya permasalahan ini tidak terlalu rumit jika saja pemahaman teks menggunakan konteks yang sesuai: latar belakang budaya, tempat, waktu, kepada siapa teks ditujukan.
Janussoni Sutta biasa dikutip untuk menguatkan konsep pattidāna hanya berlaku untuk alam peta, namun apakah benar sutta tersebut membahas
pattidāna atau hal lain?
“Dānāni dema, saddhāni karoma – ‘idaṃ dānaṃ petānaṃ ñātisālohitānaṃ upakappatu, idaṃ dānaṃ petā ñātisālohitā paribhuñjantū’ti. Kacci taṃ, bho gotama, dānaṃ petānaṃ ñātisālohitānaṃ upakappati; kacci te petā ñātisālohitā taṃ dānaṃ paribhuñjantī”
“Memberikan dana, menjalankan saddhā – ‘semoga pemberian ini bermanfaat bagi kerabat yang telah pergi, semoga pemberian ini dinikmati oleh kerabat yang telah pergi.’ Seberapakah, Gotama yang baik, pemberian ini bermanfaat ... dinikmati oleh kerabat yang telah pergi?” Saddhā atau keyakinan adalah istilah familiar bagi umat Buddhis, namun di sini merujuk pada ritual yang dilakukan untuk orang meninggal. Istilah “
peta” dalam kosmologi Buddhis adalah makhluk penghuni
petaloka, sebuah alam sengsara akibat dari kamma buruk yang dilakukannya, namun bagi umat Hindu adalah hal yang berbeda.
Antyeshti – ritual kremasi dilaksanakan dalam sehari setelah kematian. Setelah jasad hancur, maka orang yang meninggal dianggap memiliki tubuh ‘halus’ tersusun atas unsur angin (
vayu) dan ruang (
akasha), dan kondisi ini yang disebut
peta/
preta (“yang telah pergi”). Kemudian prosesi
saddha/śrāddha dilakukan oleh sanak-saudara: anak lelaki sulung, atau jika memiliki lebih dari satu anak lelaki yang tinggal terpisah, semuanya wajib melakukannya. Jika tidak memiliki anak lelaki, maka kakak atau adik lelaki, menantu lelaki, atau cucu lelaki yang cukup umur dapat melakukannya, dan seterusnya sesuai aturan yang berlaku. Selama 10 hari pertama dibuat bola nasi
pinda yang adalah pembentuk tubuh bagi peta. Pada hari ke sebelas, dilakukan ritual dana makanan bagi para leluhur dan
peta, juga secara simbolis diwakili sebelas Brahmana khusus. Pada hari ke duabelas, dilakukan ritual
sapiṇḍikaraṇa yang melambangkan bersatunya
peta dengan para leluhur (
pitr) dan merupakan lengkapnya ritual. Kesalahan ritual ini dianggap menyebabkan gagalnya transformasi
peta menjadi
pitr dan sebagai akibatnya akan mengembara tak menentu sebagai hantu. (Ini adalah proses umum, namun jumlah hari dan tata cara pelaksanaan bervariasi tergantung banyak hal seperti waktu meninggal, siapa yang meninggal, penyebabnya, kastanya, dan lain-lain.) Ritual inilah yang dimaksud dengan
saddhā dalam Janussoni Sutta. (Salah satu kondisi untuk memperoleh kekayaan dalam
AN 5.41 adalah melakukan persembahan (
bali) menggunakan kekayaan yang diperoleh dengan benar kepada '
ñāti, atithi, pubbapeta, rāja, devatā', 'sanak saudara, tamu/orang asing,
yang telah meninggal, raja, dewa', yang juga mengindikasikan pemberian fisik, bukan bentuk 'transfer'.)
Konsep tumimbal lahir yang dikemukakan Buddha berbeda dan tidak mengalami fase
peta tersebut, melainkan terlahir kembali langsung sesuai alam tujuannya masing-masing. Namun demikian, dinyatakan bahwa ketika seseorang terlahir sebagai
peta, maka ia dapat menerima dan menikmati dana tersebut. Tidak ada apapun di sini yang mengindikasikan transfer kamma,
muditā, atau manipulasi kamma baik. Di sini makhluk
peta secara langsung menerima makanan yang diberikan, yang juga sesuai dengan Tirokudda Sutta di mana pemberian diberikan kepada
peta:
“Adāsi me akāsi me, ñātimittā sakhā ca me;Petānaṃ dakkhiṇaṃ dajjā, pubbe katamanussaraṃ.”[
Kv 7.6 mencatat perbedaan penafsiran pemberian kepada
peta ini. KvA dan
Paramatthajotikā merincikan sekte
Rājagiriya dan
Siddhatthika berpendapat bahwa pemberian diberikan kepada sangha dan manfaatnya adalah menyokong kehidupan
peta. Sekte (proto-)
Theravāda membantah dan menjelaskan pemberian kepada
peta adalah dengan menyajikan langsung untuk dimanfaatkan
peta, bukan untuk sangha, mirip dengan
śrāddha. Suatu hal yang menarik mengingat ritual yang dilaksanakan sekarang lebih condong pada pendapat non-
Theravāda.]
Kisah-kisah dalam
Petavatthu memiliki pola yang hampir sama: seorang yang berkelakuan buruk meninggal dan terlahir dalam kondisi buruk sebagai
peta. Kemudian ia muncul di hadapan kerabatnya dan menjelaskan secara spesifik bagaimana perbuatan buruknya di masa lampau mengakibatkannya terlahir dalam kondisi demikian. Sebagian dari kisah tersebut berlanjut dengan pola menasihati kerabatnya untuk melakukan perbuatan baik, khususnya ke sangha, yang kemudian dilaksanakan, mengakibatkan
peta tersebut terlahir kembali di alam baik, muncul kembali di hadapan kerabat yang sama dan menceritakan bagaimana perbuatan baik tersebut membebaskannya dari kondisi buruk sebelumnya dan mencapai kondisi baik.
Pola ritual di
Petavatthu memiliki kemiripan dengan
pattidāna yang kita kenal karena sama-sama melibatkan sangha sebagai penerima dana, bukan merupakan pemberian langsung ke
peta. Perbedaan utamanya adalah pencetus dana bukanlah oleh kerabat yang masih hidup, namun
peta itu sendiri. Karena niat baik itu memang muncul dari si
peta, maka ia sendiri melakukan kamma baik dan ketika perbuatan baik itu terpenuhi, maka kamma baiknya juga menjadi lengkap. Tidak terlihat pola transfer kamma di sini.
Buddhisme berkembang di masyarakat di mana pelaksanaan ritual untuk membantu keluarga yang meninggal adalah sebuah bakti, suatu keharusan. Tidaklah mengherankan jika Buddhisme juga mengadopsi ritual tersebut, yang tentu saja dengan penyesuaian doktrin, untuk menjadi substitusi bagi kebutuhan umat dalam budaya tersebut, sementara masih terlihat sifat-sifat warisan pendahulunya. Prasyarat hubungan keluarga pelaku ritual masuk akal jika dilihat sebagai warisan dari peraturan
Veda, sementara tidak relevan dalam konsep Buddhisme. Pelaksanaan ritual yang segera bagi kerabat yang meninggal juga merupakan kewajaran dibanding menunggu yang bersangkutan muncul sebagai
peta seperti dalam
Petavatthu. Konsekwensinya, inisiatif ritual dari kerabat yang masih hidup tanpa niat dari si
peta membuatnya terlihat seperti ritual transfer kamma.
Berdasarkan pertimbangan di atas, tampaknya ‘problem’ dalam konsep
pattidāna ini lebih condong pada alasan tradisi dan budaya praktis ketimbang ‘perubahan’ doktrin, yang sebenarnya menjadi tidak masalah ketika dilihat lewat perspektif berbeda.