[at] bro Riky
Metode penafsiran dalam mahayana berbeda dengan theravada. Lebih-lebih lagi mengambil perspektif Theravada dalam menafsirkan Mahayana adalah sangat kontraproduktif.
Tidak pernah ada guru besar agama Buddha yang membangun pemikiran Buddhis dengan mencampur adukkan dua tradisi yang berbeda, apalagi menafsirkannya. Ketika pemikiran seperti ini muncul, semua tetap dapat dipatahkan karena jelas-jelas kerangka pemikiran Theravada dan Mahayana sudah berbeda.
Jika seseorang ingin memahami Mahayana, maka harus dibangun dari asas pemikiran dan falsafah mahayana. Demikian juga dalam Theravada.
Nah,,..ini muncul dari
pernyataan anda sendiri ya..boleh tidak saya mengasumsikan bahwa Theravada dan Mahayana memiliki
pengajaran yang berbeda,bahkan bisa
bertolak belakang antara yang 1 dengan yang lainnya?
Kecuali membuat studi banding, itu tentu berbeda lagi. Tetapi patut diingat juga, bahwa dalam studi banding pun, tidak pernah ada metodologi yg mempertanyakan suatu tradisi dengan cara dilihat dari perspektif tradisi lain. Yang ada hanya membuat kajian tradisi a dan b lalu menarik kesimpulan tanpa memberi judgement tradisi mana yang benar dan salah.
benar,kita tidak mengatakan atau membuat judgement bahwa ini salah itu benar...kita disini hanya berdiskusi berdasarkan
pengetahuan masing2,dan menarik kesimpulan berdasarkan
pemikiran masing2 juga..tidak untuk menjudgement ..
dan setahu saya apa yang diajarkan oleh Buddha Gotama[anda juga percaya bukan bahwa Buddha Gotama adalah guru bagi semua aliran Buddhisme?] adalah
sama,bahkan didalam Kalama Sutta dikatakan bahwa apabila Bhagava sudah tidak ada maka yang menjadi pedoman adalah Dhamma Vinaya,dan oleh karena itu lah demi menjaga kemurniaan Ajaran Buddha dilakukannya Sidang Sangha Agung 1 oleh YM Mahakassapa[karena Beliau pernah menukar jubah dengan Buddha Gotama,sehingga mungkin beliau yang memiliki tanggung jawab melindungi Buddha Dhamma]..Jadi tidak ada namanya "kerangka" Theravada dan "kerangka" Mahayana,kalau kita mau bijaksana dalam menyikapinya karena rujukan mazhab tersebut dari "Dhamma" Bhagava..Jadi kalau menurut saya dilakukan perbandingan menggunakan sutta maupun sutra harusnya bisa selaras...kalau ada perbedaan maka marilah kita bersama2 mendiskusikan mengapa ada perbedaan tersebut,darimana sumbernya..
Jadi, bila ingin memahami tradisi Mahayana, maka silakan membangunnya dari kerangka falsafah Mahayana, maka apa yang terlihat tidak masuk akal, menjadi masuk akal, apa yang terlalu muluk menjadi wajar saja. Begitu juga dalam kerangka berpikir Theravada , bila saya membangun dari arus pemikiran mahayana, maka bagi saya Theravada pada sisi tertentu menjadi tidak masuk akal Tetapi metode berpikir demikian bagi saya hanyalah menghabiskan waktu dan sia-sia. Yang terpenting adalah bagaimana kita belajar memahami suatu tradisi tanpa mencari titik kelemahannya hanya karena kita melekat pada kebenaran sepihak, kebenaran yang masih bertautan dengan logika panca khanda, tidak kokoh.
boleh saya ketahui yang dibold diatas?
saya rasa ini hanya soal
persepsi karena tidak ada yang sedang mencari kelemahan atau apapun itu,yang dilakukan disini hanya lah Sharing Dhamma,berbagi ilmu dan pengetahuan,agar dilain waktu apabila ada yang bertanya maka saya bisa memberikan jawaban yang sesuai dengan sudut pandang Mahayana bukan hanya sudut pandang Theravada saja..sehingga saya memerlukan rujukan dari Sutra Mahayana dan kajian2 lebih lanjut dari para pakar disini,agar saya bisa memahaminya..
Maka dari itu adalah percuma menguasai kitab suci, bila tidak dipraktikkan. Ini menjadi tugu peringatan buat saya juga. Melihat kebenaran dari membaca segelintir teori tidak serta merta menandakan bahwa kita telah mencapai kebenaran itu lalu menilai tradisi lain sebagai jalan yang salah.
Ini bukan soal menguasai kitab suci,ini adalah proses pembelajaran,dari sanalah kita bisa memperoleh kebijaksanaan duniawi[lokiya]..
Kembali pada Ikrar Amitabha, itu diyakini sebagai ucapan langsung dari Buddha Sakyamuni. Terlepas dari itu masuk akal atau tidak, tentu apa yang diucapkan buddha, bagi siswa Mahayana merasa patut menaruh keyakinan pada ucapan Hyang Buddha. Karena secara asas, dia tidak bertentangan dengan falsafah yg dibangun dalam mahayana. Kecuali berbicara tentang anjuran perbuatan jahat yg tidak masuk akal, ini tentu wajar harus ditolak, walaupun dikatakan ucapan Buddha. Terus, ajaran tentang Buddha Amitabha tidaklah membuat praktisi Mahayana menjadi apatis. Anda bisa lihat sendiri sejarah pemikiran Mahayana di Tiongkok yang melahirkan banyak guru2 besar. Mereka sangat taat menjalani Sila, Samadhi dan Prajna. Lebih-lebih konsep pemikiran Zen dan Sukhavati yang pada sejarah perkembangannya akhirnya dapat saling terjembatani. Padahal keduanya secara sepintas (sepintas lho ya) terlihat sangat berbeda. Semua ini perlu dikaji secara komprehensif, bukan menilainya dari aspek yang sepotong-sepotong.
Demikian, bila ada penjelasan yg tidak dipahami, mohon dimaklumi. Terima kasih.
Nah permasalahan kemudian muncul,ketika dikatakan
sebagai ucapan langsung dari Buddha Sakyamuni,seharusnya ada
bukti otentik tentang hal tersebut,karena Sutra ini memiliki banyak celah dan kejanggalan didalamnya..
Semoga anda bersedia terus menerus berdiskusi agar semua pembaca di DC memahami apa sebenarnya yang terjadi diantara Theravada dan Mahayana,sudah saatnya bagi kita untuk meninggalkan "persepsi" lama bahwa Theravada sebagai yang benar,Mahayana sebagai yang salah...sudah saatnya kita melihat berdasarkan fakta ,pemikiran dan persepsi kita bukan berdasarkan "judgement" masa lalu..dan juga sudah saatnya kita berhenti
bermusuhan seperti yang terjadi di masa lampau,dan sampai saat ini juga dipercayai begitu..Lihat saja diskusi yang saya buka...seakan2 saya ingin
menyerang Mahayana[menurut beberapa rekan Mahayana]..
Semoga diskusi ini bermanfaat bagi kita semua..
Anumodana