Lima objek kenikmatan indria itu bagaikan mimpi. Seseorang, selagi terlelap, dapat bermimpi jadi orang kaya, menjadi gubernur dari suatu provinsi (padesaràja) atau kaisar (ekaràja), menikmati sepuas hatinya kenikmatan apa pun yang diinginkannya, hidup dalam kemewahan di alam mimpi.
Dalam mimpinya, segala hal terlihat seperti nyata. Seolah-olah segala kemewahan itu tidak akan berakhir, tetapi begitu ia tiba-tiba terbangun sebelum puas menikmati kemewahan dalam mimpinya, ia mendapatkan bahwa semua itu tidak ada, tidak berbekas, dan tidak nyata.
Demikian pula, manusia dan dewa di alam indria menuruti kenikmatan duniawi dan surgawi, yang ditimbulkan oleh kemelekatan (tanhà), dan tertipu oleh kemelekatan (tanhà), kesombongan (mànà), pandangan salah (ditthi), dan menganggap bahwa nikmatnya kehidupan adalah sesuatu yang nyata, kekal, dan abadi. Mereka hanya bermimpi.
Selama jangka waktu kehidupan sekarang yang sangat pendek, selagi menikmati kenikmatan indria yang bagaikan mimpi, seseorang harus mengalami kehidupan selanjutnya, meninggalkan semua kenikmatan indria yang telah sangat dilekati.
Kemudian, seperti halnya semua kenikmatan yang dialami seseorang di dalam mimpi lenyap begitu saja tidak berbekas saat ia bangun, demikian pula semua objek-objek kenikmatan indria yang dilekati oleh seseorang dengan menganggapnya sebagai ‘milikku’, ‘punyaku’, ‘hartaku’ selama jangka waktu yang pendek dari kehidupan sekarang, semuanya tanpa terkecuali, menjadi tidak lagi berhubungan dengan dirinya.
Oleh karena itu, lima kenikmatan indria ini mirip sekali dengan mimpi; lebih merupakan penderitaan. Sebenarnya, kenikmatan indria disebut tidak dapat dipercaya dan penuh cacat!
~RAPB I, pp. 531-532~