Pengembangan Buddhisme > DhammaCitta Press

Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)

(1/4) > >>

seniya:
Berikut adalah terjemahan Madhyama Agama bagian 9 yang terdiri dari kotbah 97-106.

seniya:
Bagian 9
Tentang Sebab Akibat
97. Kotbah Panjang tentang Sebab Akibat<197>
Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di antara orang-orang Kuru di sebuah kota Kuru bernama Kammāsadhamma.

Pada saat itu Yang Mulia Ānanda, ketika duduk bermeditasi sendirian dan dalam keterasingan, memiliki pemikiran ini, “Kemunculan bergantungan ini adalah mengagumkan. Ia sangat mendalam dan juga tampak mendalam; tetapi ketika merenungkannya, aku melihatnya sebagai sangat mudah, sangat mudah [untuk dipahami.”

Kemudian pada saat sore menjelang malam hari Yang Mulia Ānanda bangkit dari meditasinya dan mendekati Sang Buddha. Ia memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, mengundurkan diri pada satu sisi, dan berkata:

Sang Bhagavā, ketika duduk bermeditasi sendirian dan dalam keterasingan, aku berpikir: “Kemunculan bergantungan ini adalah mengagumkan. Ia sangat mendalam dan tampak mendalam; tetapi ketika merenungkannya, aku melihatnya sebagai sangat mudah, sangat mudah [untuk dipahami].”

Sang Bhagavā berkata:

Ānanda, janganlah berpikir demikian: “Kemunculan bergantungan ini sangat mudah, sangat mudah [untuk dipahami]”! Mengapakah demikian? Kemunculan bergantungan ini sangat mendalam dan tampak sangat mendalam.

Ānanda, karena tidak mengetahui kemunculan bergantungan sebagaimana adanya, tidak melihatnya sebagaimana adanya, tidak merealisasikannya, tidak menembusnya, makhluk-makhluk hidup, bagaikan alat tenun yang tersangkut,<198> [atau] bagaikan kumpulan tanaman menjalar yang sepenuhnya terlilitkan, dengan tergesa-gesa dan riuh datang dan pergi dari dunia ini menuju dunia itu dan dari dunia itu menuju dunia ini, tidak dapat melampaui kelahiran dan kematian. Oleh sebab itu, Ānanda, sadarilah bahwa kemunculan bergantungan ini sangat mendalam dan tampak sangat mendalam.

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi bagi usia tua dan kematian?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi usia tua dan kematian”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi usia tua dan kematian?” maka ia seharusnya menjawab “Kelahiran adalah kondisinya.”

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi bagi kelahiran?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi kelahiran”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi kelahiran?” maka ia seharusnya menjawab “Penjelmaan adalah kondisinya.”

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi bagi penjelmaan?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi penjelmaan”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi penjelmaan?” maka ia seharusnya menjawab “Kemelekatan adalah kondisinya.”

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi kemelekatan?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi kemelekatan”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi kemelekatan?” maka ia seharusnya menjawab “Ketagihan adalah kondisinya.”<199>

Demikialah, Ānanda, dikondisikan oleh ketagihan terdapat kemelekatan, dikondisikan oleh kemelekatan terdapat penjelmaan, dikondisikan oleh penjelmaan terdapat kelahiran, dikondisikan oleh kelahiran terdapat usia tua dan kematian, dikondisikan oleh usia tua dan kematian terdapat kekhawatiran dan kesedihan, ratapan dan tangisan, dukacita dan kesakitan, kesengsaraan dan kekesalan – semua ini muncul dikondisikan oleh usia tua dan kematian. Dengan cara ini keseluruhan kumpulan besar dukkha ini muncul.

Ānanda, dikondisikan oleh kelahiran terdapat usia tua dan kematian. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh kelahiran terdapat usia tua dan kematian,” seharusnya dipahami bahwa apa yang dimaksud dengan mengatakan, “dikondisikan oleh kelahiran terdapat usia tua dan kematian.”

Ānanda, jika tidak ada kelahiran ikan-ikan pada kelompok ikan, burung-burung pada kelompok burung, ular-ular pada kelompok ular,<200> nāga-nāga pada kelompok nāga, makhluk-makhluk halus pada kelompok makhluk halus, hantu-hantu pada kelompok hantu, dewa-dewa pada kelompok dewa, manusia-manusia pada kelompok manusia;<201> Ānanda, jika tidak ada kelahiran berbagai makhluk hidup dalam berbagai tempat [kehidupan] mereka, tidak ada satu pun kelahiran – seumpamanya bahwa kelahiran tidak ada, apakah akan ada usia tua dan kematian?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab usia tua dan kematian, sumber usia tua dan kematian, asal mula usia tua dan kematian, kondisi bagi usia tua dan kematian, yaitu kelahiran. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh kelahiran terdapat usia tua dan kematian.

Ānanda, dikondisikan oleh penjelmaan terdapat kelahiran. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh penjelmaan terdapat kelahiran,” seharusnya dipahami apa yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh penjelmaan terdapat kelahiran.”

Ānanda, jika tidak ada penjelmaan ikan-ikan pada kelompok ikan, burung-burung pada kelompok burung, ular-ular pada kelompok ular, nāga-nāga pada kelompok nāga, makhluk-makhluk halus pada kelompok makhluk halus, hantu-hantu pada kelompok hantu, dewa-dewa pada kelompok dewa, manusia-manusia pada kelompok manusia; <202> Ānanda, jika tidak ada penjelmaan berbagai makhluk hidup dalam berbagai tempat [kehidupan] mereka, tidak ada satu pun penjelmaan – seumpamanya bahwa penjelmaan tidak ada, apakah akan terdapat kelahiran?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab kelahiran, sumber kelahiran, asal mula kelahiran, kondisi bagi kelahiran, yaitu penjelmaan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh penjelmaan terdapat kelahiran.

Ānanda, dikondisikan oleh kemelekatan terdapat penjelmaan. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh kemelekatan terdapat penjelmaan,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh kemelekatan terdapat penjelmaan.”

Ānanda, jika tidak ada kemelekatan, tidak ada satu pun kemelekatan; seumpamanya bahwa kemelekatan tidak ada,<203> apakah akan terdapat penjelmaan atau konsep menjelma?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab penjelmaan, sumber penjelmaan, asal mula penjelmaan, kondisi bagi penjelmaan, yaitu kemelekatan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh kemelekatan terdapat penjelmaan.

Ānanda, dikondisikan oleh ketagihan terdapat kemelekatan. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh ketagihan terdapat kemelekatan,” seharusnya dipahami apa yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh ketagihan terdapat kemelekatan.”

Ānanda, jika tidak ada ketagihan, tidak ada satu pun ketagihan; seumpamanya bahwa ketagihan tidak ada,<204> apakah terdapat kemelekatan, apakah kemelekatan menjadi berkembang?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan.”


[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab kemelekatan, sumber kemelekatan, asal mula kemelekatan, kondisi bagi kemelekatan, yaitu ketagihan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh ketagihan terdapat kemelekatan.<205>

Ānanda, dikondisikan oleh ketagihan terdapat pencarian, dikondisikan oleh pencarian terdapat perolehan, dikondisikan oleh perolehan terdapat pembedaan, dikondisikan oleh pembedaan terdapat kekotoran melalui nafsu, dikondisikan oleh kekotoran melalui nafsu terdapat keterikatan, dikondisikan oleh keterikatan terdapat kekikiran, dikondisikan oleh kekikiran terdapat penimbunan, dikondisikan oleh penimbunan terdapat penjagaan [kepemilikan seseorang].

Ānanda, dikondisikan oleh penjagaan terdapat [pengambilan] pedang dan tongkat pemukul, terdapat pertengkaran, sanjungan, tipu daya, kebohongan, ucapan yang memecah belah, dan munculnya tak terhitung keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat. Dengan cara ini keseluruhan kumpulan besar dukkha ini muncul.

Ānanda, jika tidak terdapat penjagaan, tidak ada satu pun penjagaan; seumpamanya bahwa penjagaan tidak ada, apakah akan terdapat [pengambilan] pedang dan tongkat pemukul, apakah akan terdapat pertengkaran, sanjungan, tipu daya, kebohongan, ucapan yang memecah belah, dan munculnya tak terhitung keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab [pengambilan] pedang dan tongkat pemukul, pertengkaran, sanjungan, tipu daya, kebohongan, ucapan yang memecah belah, munculnya tak terhitung keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat; ini adalah sumbernya, ini adalah asal mulanya, ini adalah kondisinya, yaitu penjagaan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh penjagaan terdapat [pengambilan] pedang dan tongkat pemukul, pertengkaran, sanjungan, tipu daya, kebohongan, ucapan yang memecah belah, munculnya tak terhitung keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat. Dengan cara ini keseluruhan kumpulan besar dukkha ini muncul.

Ānanda, dikondisikan oleh penimbunan terdapat penjagaan. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh penimbunan terdapat penjagaan,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh penimpunan terdapat penjagaan.”

Ānanda, jika tidak ada penimbunan, tidak ada satu pun penimbunan; seumpamanya bahwa penimbunan tidak ada, apakah akan ada penjagaan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab penjagaan, sumber penjagaan, asal mula penjagaan, kondisi bagi penjagaan, yaitu penimbunan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh penimpunan terdapat penjagaan.

Ānanda, dikondisikan oleh kekikiran terdapat penimbunan. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh kekikiran terdapat penimbunan,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh kekikiran terdapat penimbunan.”

Ānanda, jika tidak ada kekikiran, tidak ada satu pun kekikiran; seumpamanya bahwa kekikiran tidak ada, apakah akan ada penimbunan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab penimbunan, sumber penimbunan, asal mula penimbunan, kondisi bagi penimbunan, yaitu kekikiran. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh kekikiran terdapat penimbunan.

Ānanda, dikondisikan oleh keterikatan terdapat kekikiran. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh keterikatan terdapat kekikiran,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh keterikatan terdapat kekikiran.”

Ānanda, jika tidak ada keterikatan, tidak ada satu pun keterikatan; seumpamanya bahwa keterikatan tidak ada, apakah akan ada kekikiran?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab kekikiran, sumber kekikiran, asal mula kekikiran, kondisi bagi kekikiran, yaitu keterikatan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh keterikatan terdapat kekikiran.

Ānanda, dikondisikan oleh nafsu terdapat keterikatan. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh nafsu terdapat keterikatan,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh nafsu terdapat keterikatan.”

Ānanda, jika tidak ada nafsu, tidak ada satu pun nafsu; seumpamanya bahwa nafsu tidak ada, apakah akan ada keterikatan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab keterikatan, sumber keterikatan, asal mula keterikatan, kondisi bagi keterikatan, yaitu nafsu. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh nafsu terdapat keterikatan.

Ānanda, dikondisikan oleh pembedaan terdapat kekotoran melalui nafsu. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh pembedaan terdapat kekotoran melalui nafsu,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh pembedaan terdapat kekotoran melalui nafsu.”

Ānanda, jika tidak ada pembedaan, tidak ada satu pun pembedaan; seumpamanya bahwa pembedaan tidak ada, apakah akan ada kekotoran melalui nafsu?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab kekotoran melalui nafsu, sumber kekotoran melalui nafsu, asal mula kekotoran melalui nafsu, kondisi bagi kekotoran melalui nafsu, yaitu pembedaan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh pembedaan terdapat kekotoran melalui nafsu.

Ānanda, dikondisikan oleh perolehan terdapat pembedaan. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh perolehan terdapat pembedaan,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh perolehan terdapat pembedaan.”

Ānanda, jika tidak ada perolehan, tidak ada satu pun perolehan; seumpamanya bahwa perolehan tidak ada, apakah akan ada pembedaan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab pembedaan, sumber pembedaan, asal mula pembedaan, kondisi bagi pembedaan, yaitu perolehan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh perolehan terdapat pembedaan.

Ānanda, dikondisikan oleh pencarian terdapat perolehan. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh pencarian terdapat perolehan,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh pencarian terdapat perolehan.”

Ānanda, jika tidak ada pencarian, tidak ada satu pun pencarian; seumpamanya bahwa pencarian tidak ada, apakah akan ada perolehan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab perolehan, sumber perolehan, asal mula perolehan, kondisi bagi perolehan, yaitu pencarian. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh pencarian terdapat perolehan.

Ānanda, dikondisikan oleh ketagihan terdapat pencarian. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh ketagihan terdapat pencarian,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh ketagihan terdapat pencarian.”

Ānanda, jika tidak ada ketagihan, tidak ada satu pun ketagihan; seumpamanya bahwa ketagihan tidak ada, apakah akan ada pencarian?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab pencarian, sumber pencarian, asal mula pencarian, kondisi bagi pencarian, yaitu ketagihan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh ketagihan terdapat pencarian.
Ānanda, ketagihan [terhadap] kenikmatan indria dan ketagihan terhadap penjelmaan, dua faktor ini memiliki perasaan sebagai sebabnya, dikondisikan oleh perasaan mereka muncul.

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi bagi perasaan?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi perasaan”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi perasaan?” maka ia seharusnya menjawab “Kontak adalah kondisinya.” Seharusnya dipahami apa yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh kontak terdapat perasaan.”

Ānanda, jika tidak ada kontak mata, tidak ada satu pun kontak mata; seumpamanya bahwa kontak mata tidak ada; apakah akan terdapat munculnya perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, atau perasaan netral yang dikondisikan oleh kontak mata?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, jika tidak ada kontak telinga, ... [kontak] hidung, ... [kontak] lidah, ... kontak [badan], ... kontak pikiran, tidak ada satu pun kontak pikiran; seumpamanya bahwa kontak pikiran tidak ada, apakah akan ada munculnya perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan netral yang dikondisikan oleh kontak pikiran?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab perasaan, sumber perasaan, asal mula perasaan, kondisi bagi perasaan, yaitu kontak. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh kontak terdapat perasaan.

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi bagi kontak?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi kontak”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi kontak?” maka ia seharusnya menjawab “Nama-dan-bentuk adalah kondisinya.” Seharusnya dipahami apa yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh nama-dan-bentuk terdapat kontak.”

Ānanda, [sehubungan dengan] bentukan-bentukan dan kondisi-kondisi untuk kelangsungan kelompok nama, jika bentukan-bentukan dan kondisi-kondisi itu tidak ada, apakah akan ada kontak [dengan cara] <penyebutan>?<206>

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] bentukan-bentukan dan kondisi-kondisi untuk kelangsungan kelompok bentuk, jika bentukan-bentukan dan kondisi-kondisi itu tidak ada, apakah akan ada kontak [dengan cara] <penolakan>?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:] “[Ānanda], seumpamanya kelompok nama dan kelompok bentuk tidak ada, apakah akan ada kontak atau konsep kontak?”

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab kontak, sumber kontak, asal mula kontak, kondisi bagi kontak, yaitu nama-dan-bentuk. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh nama-dan-bentuk terdapat kontak.

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi bagi nama-dan-bentuk?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi nama-dan-bentuk”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi nama-dan-bentuk?” maka ia seharusnya menjawab, “Kesadaran adalah kondisinya.” Seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh kesadaran terdapat nama-dan-bentuk.”

Ānanda, jika kesadaran tidak memasuki rahim ibu, apakah nama-dan-bentuk akan terwujud sebagai tubuh ini?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan.”

[Sang Buddha berkata:] “Ānanda, jika setelah memasuki rahim ibu, kesadaran akan pergi, apakah nama-dan-bentuk akan bergabung dengan air mani?”

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, jika kesadaran seorang anak laki-laki atau perempuan dipotong pada awalnya, dihancurkan dan dibuat tidak ada, apakah nama-dan-bentuk akan mengalami pertumbuhan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab nama-dan-bentuk, sumber nama-dan-bentuk, asal mula nama-dan-bentuk, kondisi bagi nama-dan-bentuk, yaitu kesadaran. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh kesadaran terdapat nama-dan-bentuk.

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi bagi kesadaran?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi kesadaran”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi kesadaran?” maka ia seharusnya menjawab, “Nama-dan-bentuk adalah kondisinya.” Seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh nama-dan-bentuk terdapat kesadaran.”

Ānanda, jika kesadaran tidak memperoleh nama-dan-bentuk, jika kesadaran tidak berkembang dalam nama-dan-bentuk dan bergantung padanya, maka apakah, bagi kesadaran, akan ada kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, dan dukkha?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

seniya:
[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab kesadaran, sumber kesadaran, asal mula kesadaran, kondisi bagi kesadaran, yaitu nama-dan-bentuk. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh nama-dan-bentuk terdapat kesadaran.

Maka, Ānanda, dikondisikan oleh nama-dan-bentuk terdapat kesadaran, dan dikondisikan oleh kesadaran terdapat nama-dan-bentuk. Dari hal ini muncul penyebutan, suatu pernyataan tentang penyebutan yang diteruskan, suatu pernyataan yang diteruskan yang dapat dikonseptualisasikan, yaitu kesadaran bersama-sama dengan nama-dan-bentuk.<207>

Ānanda, mengapakah [seseorang] menganut pandangan bahwa suatu diri ada?

Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma; Sang Bhagavā adalah guru Dharma; Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini! Mendengarkannya sekarang, aku akan memperoleh pemahaman penuh atas maknanya.

Kemudian Sang Buddha berkata, “Ānanda, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikanlah dengan baik. Aku akan menganalisis maknanya untukmu.” Yang Mulia Ānanda mendengarkan untuk menerima pengajaran.

Sang Buddha berkata:<208>

Ānanda, mungkin terdapat [seseorang yang menganut] pandangan bahwa perasaan adalah diri. Atau selanjutnya, mungkin terdapat [seseorang yang] tidak [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah diri, tetapi [menganut] pandangan bahwa diri dapat merasakan, karena adalah sifat alami diri dapat merasakan. Atau selanjutnya, mungkin terdapat [seseorang yang menganut] bukan pandangan bahwa perasaan adalah diri maupun pandangan bahwa diri dapat merasakan, karena adalah sifat alami diri dapat merasakan, tetapi [sebaliknya menganut] pandangan bahwa diri adalah tanpa perasaan.

Ānanda, jika terdapat [seseorang yang menganut] pandangan bahwa perasaan adalah diri, maka seseorang seharusnya bertanya kepadanya: “Engkau memiliki tiga [jenis] perasaan: perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan netral. Dari tiga [jenis] perasaanmu ini, perasaan manakah yang engkau anggap sebagai diri?”

Ānanda, seseorang seharusnya lebih jauh mengatakan kepadanya bahwa ketika ia merasakan perasaan menyenangkan, pada waktu itu dua perasaan telah lenyap, perasaan menyakitkan dan perasaan netral, dan pada waktu itu ia hanya mengalami perasaan menyenangkan. Perasaan menyenangkan adalah bersifat tidak kekal, bersifat tidak memuaskan, bersifat mengalami kelenyapan. [Tetapi] ketika perasaan menyenangkan lenyap, ia tidak berpikir, “Apakah ini bukan lenyapnya diri?”<209>

Selanjutnya, Ānanda, ketika seseorang mengalami perasaan menyakitkan, pada waktu itu dua perasaan telah lenyap, perasaan menyenangkan dan perasaan netral, dan pada waktu itu ia hanya mengalami perasaan menyakitkan. Perasaan menyakitkan adalah bersifat tidak kekal, bersifat tidak memuaskan, bersifat mengalami kelenyapan. [Tetapi] ketika perasaan menyakitkan telah lenyap, ia tidak berpikir, “Apakah ini bukan lenyapnya diri?”

Selanjutnya, Ānanda, ketika seseorang mengalami perasaan netral, pada waktu itu dua perasaan telah lenyap, perasaan menyenangkan dan perasaan menyakitkan, dan pada waktu itu ia hanya mengalami perasaan netral. Perasaan netral adalah bersifat tidak kekal, bersifat tidak memuaskan, bersifat mengalami kelenyapan. [Tetapi] ketika perasaan netral telah lenyap, ia tidak berpikir, “Apakah ini bukan lenyapnya diri?”

Ānanda, [karena] hal-hal ini adalah fenomena yang tidak kekal dengan cara ini, semata-mata suatu percampuran kenikmatan dan kesakitan,<210> apakah tepat baginya untuk berlanjut [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah diri?

[Ānanda] menjawab, “Tidak.”

[Sang Buddha berkata:]

Oleh sebab itu, Ānanda, [karena] hal-hal ini adalah fenomena yang tidak kekal dengan cara ini, semata-mata suatu percampuran kenikmatan dan kesakitan, ia tidak seharusnya berlanjut [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah diri.
Selanjutnya, Ānanda, jika terdapat [seseorang] yang tidak [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah diri tetapi sebaliknya [menganut] bahwa diri dapat merasakan, pandangan bahwa adalah sifat alami diri dapat merasakan, maka seseorang seharusnya berkata kepadanya, “Jika engkau tidak memiliki perasaan dan tidak dapat mengalami perasaan, tidak tepat [bagimu] untuk mengatakannya: ‘Ini adalah milikku’.”

Ānanda, apakah tepat baginya untuk berlanjut seperti ini [menganut] pandangan bahwa [walaupun] perasaan adalah bukan diri, tetapi diri dapat merasakan, pandangan bahwa adalah sifat alami diri dapat merasakan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak.”

[Sang Buddha berkata:]

Oleh sebab itu, Ānanda, ia tidak seharusnya [menganut] pandangan bahwa [walaupun] perasaan adalah bukan diri, [tetapi] diri dapat merasakan, pandangan bahwa adalah sifat alami diri dapat merasakan.

Selanjutnya, Ānanda, jika terdapat [seseorang yang menganut] bukan pandangan bahwa perasaan adalah diri, maupun pandangan bahwa diri dapat merasakan, yang adalah sifat alami diri dapat merasakan, tetapi sebaliknya [menganut] pandangan bahwa diri adalah tanpa perasaan, maka seseorang seharusnya berkata kepadanya, “Jika engkau tidak memiliki perasaan dan sepenuhnya tidak dapat mengalami [perasaan], diri yang terpisah dari perasaan, maka tidak akan ada [latihan yang demikian seperti] pemurnian diri.”<211>

Ānanda, apakah tepat baginya [sementara] berlanjut [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah bukan diri, dan [sementara] tidak [menganut] pandangan bahwa diri dapat merasakan, yang adalah sifat alami diri dapat merasakan, untuk alih-alih [menganut] pandangan bahwa diri adalah tanpa perasaan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak.”

[Sang Buddha berkata:]

Oleh sebab itu, Ānanda, adalah tidak tepat baginya, [walaupun] dengan demikian berlanjut [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah bukan diri, dan [walaupun] tidak [menganut] pandangan bahwa diri dapat merasakan, yang adalah sifat alami diri dapat merasakan, untuk alih-alih [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah tanpa diri. Ini adalah apa yang dimaksud dengan mengatakan bahwa [seseorang] menganut pandangan bahwa suatu diri ada.

Ānanda, bagaimanakah [seseorang] tidak menganut pandangan bahwa suatu diri ada?

Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini! Mendengarkannya sekarang, aku akan memperoleh pemahaman penuh atas maknanya.
Kemudian Sang Buddha berkata, “Ānanda, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik. Aku akan menganalisis maknanya untukmu.” Yang Mulia Ānanda mendengarkan untuk menerima pengajaran.

Sang Buddha berkata:

Ānanda, mungkin terdapat [seseorang yang] tidak [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah diri, atau pandangan bahwa diri dapat merasakan, yang adalah sifat alami diri dapat merasakan, atau pandangan bahwa diri adalah tanpa perasaan. Tidak menganut pandangan-pandangan demikian, ia tidak melekat pada [apa pun] di dunia ini; tidak melekat, ia tidak gelisah; tidak gelisah, ia [mencapai] nirvana, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri bagiku; kehidupan suci telah dikembangkan; apa yang harus dilakukan telah dilakukan; tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Ānanda, ini disebut [sebagai semata-mata] penyebutan, pernyataan tentang penyebutan yang untuk diteruskan, pernyataan yang diteruskan yang dapat dikonseptualisasikan, di mana seseorang yang mengetahui tidak melekatinya.

Ānanda, jika seorang bhikkhu telah sepenuhnya terbebaskan dengan cara ini, ia tidak lagi [menganut] pandangan bahwa Sang Tathāgata ada setelah kematian, [atau] pandangan bahwa Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian, [atau] pandangan bahwa Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian, [atau] pandangan bahwa Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian. Ini adalah apa yang dimaksud dengan mengatakan bahwa [seseorang] tidak menganut pandangan bahwa suatu diri ada.<212>

Ānanda, bagaimanakah [seseorang] membayangkan konsep suatu diri?<213>

Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini! Mendengarkannya sekarang, aku akan memperoleh pemahaman penuh atas maknanya.

Kemudian Sang Buddha berkata, “Ānanda, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik. Aku akan menganalisis maknanya untukmu.” Yang Mulia Ānanda mendengarkan untuk menerima pengajaran.

Sang Buddha berkata:

Ānanda, mungkin terdapat [seseorang yang] membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas. Atau selanjutnya, mungkin terdapat [seseorang yang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas [tetapi] membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas.

Atau selanjutnya, mungkin terdapat [seseorang yang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas maupun membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas, [tetapi] membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas. Atau selanjutnya, mungkin terdapat [seseorang yang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas, maupun membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas, maupun membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas [tetapi] membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas.

Ānanda, jika terdapat [seseorang yang] membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas, maka ia membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia akan membuat pernyataan dan [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu muncul terpisah dari materialitas yang terbatas.”<214> Ia mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya adalah seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas; dengan cara ini seseorang tetap melekat pada pandangan suatu diri yang bermateri terbatas.

Selanjutnya, Ānanda, jika [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermaterial terbatas [tetapi] membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas, maka ia membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia akan membuat pernyataan dan [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu akan muncul terpisah dari materialitas yang tanpa batas.” Ia mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya adalah seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas; dengan cara ini seseorang tetap melekat pada pandangan suatu diri yang bermateri tanpa batas.

Selanjutnya, Ānanda, jika terdapat [seseorang yang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas maupun membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas, [tetapi] membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas, maka ia membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia akan membuat pernyataan dan [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu akan muncul terpisah dari tanpa materialitas yang terbatas.” Ia mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya adalah seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas; dengan cara ini seseorang tetap melekat pada pandangan suatu diri yang tidak bermateri terbatas.

Selanjutnya, Ānanda, jika terdapat [seseorang yang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas, tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas, dan tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas [tetapi] membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas, maka ia membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia akan membuat pernyataan dan [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu akan muncul terpisah dari tanpa materialitas yang tanpa batas.” Ia mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya adalah seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas; dengan cara ini seseorang tetap melekat pada pandangan suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas. Ini adalah apa yang dimaksud dengan mengatakan bahwa seseorang membayangkan konsep suatu diri.

Ānanda, bagaimanakah [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri?

Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini! Mendengarkannya sekarang, aku akan memperoleh pemahaman penuh atas maknanya.
Kemudian Sang Buddha berkata, “Ānanda, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik. Aku akan menganalisis maknanya untukmu.” Yang Mulia Ānanda mendengarkan untuk menerima pengajaran.

Sang Buddha berkata:

Ānanda, mungkin terdapat [seseorang yang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas, tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas, tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas, dan tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas.

Ānanda, jika [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas, ia tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia tidak akan membuat pernyataan atau [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu akan muncul terpisah dari materialitas yang terbatas.” Ia tidak mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya tidak seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas; dengan cara ini seseorang tidak melekat pada pandangan suatu diri yang bermateri terbatas.

Selanjutnya, Ānanda, jika [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas, maka ia tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia tidak akan membuat pernyataan atau [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu akan muncul terpisah dari materialitas yang tanpa batas.” Ia tidak mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya tidak seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas; dengan cara ini seseorang tidak melekat pada pandangan suatu diri yang bermateri tanpa batas.

Selanjutnya, Ānanda, jika [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas, maka ia tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia tidak akan membuat pernyataan atau [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu akan muncul terpisah dari tanpa materialitas yang terbatas.” Ia tidak mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya tidak seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas; dengan cara ini seseorang tidak melekat pada pandangan suatu diri yang tidak bermateri terbatas.

Selanjutnya, Ānanda, jika [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas, maka ia tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia tidak akan membuat pernyataan atau [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu akan muncul terpisah dari tanpa materialitas yang tanpa batas.” Ia tidak mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya tidak seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas; dengan cara ini seseorang tidak melekat pada pandangan suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas.

Ānanda, ini adalah apa yang dimaksud dengan mengatakan bahwa [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri.

Ānanda, terdapat tujuh stasiun kesadaran dan dua landasan. Apakah tujuh stasiun kesadaran? Terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan berbagai jasmani dan persepsi yang beranekaragam, yaitu manusia dan para dewa dari [alam] nafsu. Ini disebut sebagai stasiun kesadaran pertama.

Selanjutnya, Ānanda, terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan berbagai jasmani dan persepsi yang seragam, yaitu para dewa Brahmā yang lahir dari [jhāna] pertama, yang berumur panjang. Ini disebut sebagai stasiun kesadaran kedua.

Selanjutnya, Ānanda, terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan jasmani yang seragam dan persepsi yang beranekaragam, yaitu para dewa bercahaya yang memancar (ābhassara). Ini disebut sebagai stasiun kesadaran ketiga.

Selanjutnya, Ānanda, terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan jasmani yang seragam dan persepsi yang seragam, yaitu para dewa dengan kemuliaan yang berkilauan (subhakiṇṇa). ini disebut sebagai stasiun kesadaran keempat.

Selanjutnya, Ānanda, terdapat makhluk-makhluk tanpa materi yang dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi penolakan, tidak memperhatikan persepsi keanekaragaman, [menyadari] landasan ruang tanpa batas, berdiam setelah mencapai landasan ruang tanpa batas, yaitu para dewa landasan ruang tanpa batas. Ini disebut sebagai stasiun kesadaran kelima.

Selanjutnya, Ānanda, terdapat makhluk-makhluk tanpa materi yang dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [menyadari] landasan kesadaran tanpa batas, berdiam setelah mencapai landasan kesadaran tanpa batas, yaitu para dewa landasan kesadaran tanpa batas. Ini disebut sebagai stasiun kesadaran keenam.

Selanjutnya, Ānanda, terdapat makhluk-makhluk tanpa materi yang dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [menyadari] landasan kekosongan, berdiam setelah mencapai landasan kekosongan, yaitu para dewa landasan kekosongan. Ini disebut sebagai stasiun kesadaran ketujuh.

Ānanda, apakah dua landasan? Terdapat makhluk-makhluk bermateri tanpa persepsi dan tanpa perasaan, yaitu para dewa yang tidak memiliki persepsi. Ini disebut sebagai landasan pertama.

Selanjutnya, Ānanda, terdapat makhluk-makhluk tanpa materi yang dengan melampaui landasan kekosongan, [menyadari] landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, berdiam setelah mencapai landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, yaitu para dewa landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi. Ini disebut sebagai landasan kedua.

Ānanda, [sehubungan dengan] stasiun kesadaran pertama, [di mana] terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan berbagai jasmani dan persepsi yang beranekaragam, yaitu manusia dan para dewa dari [alam] nafsu; jika seorang bhikkhu mengetahui stasiun kesadaran itu, mengetahui munculnya stasiun kesadaran itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam stasiun kesadaran itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam stasiun kesadaran itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

seniya:
[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] stasiun kesadaran kedua, [di mana] terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan berbagai jasmani dan persepsi yang seragam, yaitu para dewa Brahmā yang lahir dari [jhāna] pertama, yang berumur panjang; jika seorang bhikkhu mengetahui stasiun kesadaran itu, mengetahui munculnya stasiun kesadaran itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam stasiun kesadaran itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam stasiun kesadaran itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] stasiun kesadaran ketiga, [di mana] terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan jasmani yang seragam dan persepsi yang beranekaragam, yaitu para dewa bercahaya yang memancar; jika seorang bhikkhu mengetahui stasiun kesadaran itu, mengetahui munculnya stasiun kesadaran itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam stasiun kesadaran itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam stasiun kesadaran itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] stasiun kesadaran keempat, [di mana] terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan jasmani yang seragam dan persepsi yang seragam, yaitu para dewa dengan kemuliaan yang berkilauan; jika seorang bhikkhu mengetahui stasiun kesadaran itu, mengetahui munculnya stasiun kesadaran itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam stasiun kesadaran itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam stasiun kesadaran itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] stasiun kesadaran kelima, [di mana] terdapat makhluk-makhluk tanpa materi yang dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi penolakan, tidak memperhatikan persepsi keanekaragaman, [menyadari] landasan ruang tanpa batas, berdiam setelah mencapai landasan ruang tanpa batas, yaitu para dewa landasan ruang tanpa batas; jika seorang bhikkhu mengetahui stasiun kesadaran itu, mengetahui munculnya stasiun kesadaran itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam stasiun kesadaran itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam stasiun kesadaran itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] stasiun kesadaran keenam, [di mana] terdapat makhluk-makhluk tanpa materi yang dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [menyadari] landasan kesadaran tanpa batas, berdiam setelah mencapai landasan kesadaran tanpa batas, yaitu para dewa landasan kesadaran tanpa batas; jika seorang bhikkhu mengetahui stasiun kesadaran itu, mengetahui munculnya stasiun kesadaran itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam stasiun kesadaran itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam stasiun kesadaran itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] stasiun kesadaran ketujuh, [di mana] terdapat makhluk-makhluk tanpa materi yang, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [menyadari] landasan kekosongan, berdiam setelah mencapai landasan kekosongan, yaitu para dewa alam kekosongan; jika seorang bhikkhu mengetahui stasiun kesadaran itu, mengetahui munculnya stasiun kesadaran itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam stasiun kesadaran itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam stasiun kesadaran itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] landasan pertama, [di mana] makhluk-makhluk bermateri tanpa persepsi dan tanpa perasaan, yaitu para dewa yang tidak memiliki persepsi; jika seorang bhikkhu mengetahui landasan itu, mengetahui munculnya landasan itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam landasan itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam landasan itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] landasan kedua, [di mana] terdapat para makhluk tanpa materi yang, dengan sepenuhnya melampaui landasan ketiadaan, [menyadari] landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, berdiam setelah mencapai landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi; jika seorang bhikkhu mengetahui landasan itu, mengetahui munculnya landasan itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam landasan itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam landasan itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, jika seorang bhikkhu mengetahui tujuh stasiun kesadaran dan dua landasan ini sebagaimana adanya, jika pikirannya tidak terkotori oleh kemelekatan dan ia telah mencapai pembebasan, maka ia disebut sebagai seorang bhikkhu arahant yang “terbebaskan melalui kebijaksanaan.”

Ānanda, terdapat delapan pembebasan. Apakah delapan hal itu? [Bersifat] materi, ia melihat bentuk. Ini disebut sebagai pembebasan pertama.

Selanjutnya, tidak mempersepsikan bentuk secara internal, ia melihat bentuk secara eksternal. Ini disebut sebagai pembebasan kedua.

Selanjutnya, ia berdiam setelah secara langsung merealisasikan dan menyempurnakan pembebasan melalui kemurnian. Ini disebut sebagai pembebasan ketiga.

Selanjutnya, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi penolakan, tidak memperhatikan persepsi keanekaragaman, [menyadari] landasan ruang tanpa batas, ia berdiam setelah mencapai landasan ruang tanpa batas. Ini disebut sebagai pembebasan keempat.

Selanjutnya, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [menyadari] landasan kesadaran tanpa batas, ia berdiam setelah mencapai landasan kesadaran tanpa batas. Ini disebut sebagai pembebasan kelima.

Selanjutnya, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [menyadari] landasan kekosongan, ia berdiam setelah mencapai landasan kekosongan. Ini disebut sebagai pembebasan keenam.

Selanjutnya, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, [menyadari] landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, ia berdiam setelah mencapai landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi. Ini disebut sebagai pembebasan ketujuh.

Selanjutnya, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, ia berdiam setelah secara langsung dan menyempurnakan pembebasan lenyapnya persepsi dan perasaan, dan melihat dengan kebijaksanaan ia berdiam setelah mengetahui bahwa semua noda-noda telah dihancurkan. Ini disebut sebagai pembebasan kedelapan.

Ānanda, jika seorang bhikkhu mengetahui tujuh stasiun kesadaran dan dua landasan ini sebagaimana adanya, jika pikirannya tidak terkotori oleh kemelekatan dan ia telah mencapai pembebasan, serta jika ia berdiam setelah secara langsung merealisasikan dan menyempurnakan delapan pembebasan ini dalam urutan maju dan mundur, dan melihat dengan kebijaksanaan mengetahui bahwa semua noda-noda telah dihancurkan, maka ia disebut sebagai seorang bhikkhu arahant yang “terbebaskan melalui kedua cara.”

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda dan para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

seniya:
98. Kotbah tentang Penegakan Perhatian<215>
Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di antara orang-orang Kuru di sebuah kota Kuru bernama Kammāsadhamma.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Terdapat satu jalan untuk pemurnian makhluk-makhluk, untuk melampaui dukacita dan ketakutan,  untuk melenyapkan penderitaan dan kesedihan, untuk meninggalkan ratapan dan tangisan, untuk mencapai Dharma sejati, yaitu empat penegakan perhatian.

Jika terdapat para Tathāgata dari masa lampau, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mereka semua telah mencapai realisasi pencerahan sempurna dan tiada bandingnya dengan meninggalkan lima rintangan yang mengotori pikiran dan melemahkan kebijaksanaan, dengan berdiam dengan pikiran yang ditenangkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian, dan dengan mengembangkan tujuh faktor pencerahan.<216>

Jika akan ada para Tathāgata dari masa yang akan datang, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mereka semua akan mencapai realisasi pencerahan sempurna dan tiada bandingnya dengan meninggalkan lima rintangan yang mengotori pikiran dan melemahkan kebijaksanaan, dengan berdiam dengan pikiran yang ditenangkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian, dan dengan mengembangkan tujuh faktor pencerahan.

Aku sekarang, yang merupakan Sang Tathāgata dari masa sekarang, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, telah mencapai realisasi pencerahan sempurna dan tiada bandingnya dengan meninggalkan lima rintangan yang mengotori pikiran dan melemahkan kebijaksanaan, dengan berdiam dengan pikiran yang ditenangkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian, dan dengan mengembangkan tujuh faktor pencerahan.

Apakah empat [penegakan perhatian]? [Mereka adalah] penegakan perhatian dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani; dan hal yang sama penegakan perhatian dengan merenungkan perasaan, ... [keadaan] pikiran, ... dan dharma-dharma sebagai dharma-dharma.<217>

Apakah penegakan perhatian dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani?<218> Ketika berjalan, seorang bhikkhu mengetahui ia sedang berjalan; ketika berdiri, ia mengetahui ia sedang berdiri; ketika duduk, ia mengetahui ia sedang duduk; ketika berbaring, ia mengetahui ia sedang berbaring; ketika tidur, ia mengetahui ia sedang tidur; ketika terjaga, ia mengetahui ia sedang terjaga; ketika tidur atau terjaga, ia mengetahui ia sedang tidur atau terjaga.<219>

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal.<220> Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani. Ketika pergi dan datang, seorang bhikkhu dengan jernih mengetahui, merenungkan, dan memahami [tindakan ini] dengan baik; ketika membengkokkan atau merentangkan [lengannya], ketika menundukkan atau mengangkat [kepalanya], ia melakukannya dengan sikap yang seharusnya; ketika mengenakan jubah luar dan jubah lainnya serta [membawa] mangkuk[nya], ia melakukannya dengan tepat; ketika berjalan, berdiri, duduk, berbaring, tidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri – semua [aktivitas ini] ia ketahui dengan jernih.<221>

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani. [Ketika] pemikiran-pemikiran yang jahat dan tidak bermanfaat muncul, seorang bhikkhu mengendalikan, meninggalkan, melenyapkan, dan menghentikannya dengan mengingat dharma-dharma bermanfaat.<222>

Seperti halnya seorang tukang kayu atau murid tukang kayu dapat menerapkan seutas benang bertinta pada sepotong kayu [untuk menandai garis lurus] dan kemudian memotong kayu itu dengan sebuah kapak yang tajam untuk membuatnya lurus.<223> Dengan cara yang sama, [ketika] pemikiran-pemikiran jahat yang tidak bermanfaat muncul, seorang bhikkhu mengendalikan, meninggalkan, melenyapkan, dan menghentikannya dengan mengingat dharma-dharma yang bermanfaat.

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani. Dengan gigi yang digertakkan dan lidah yang ditekan terhadap langit-langit mulutnya, seorang bhikkhu menggunakan [kekuatan kemauan dari] pikiran[nya sendiri] untuk mengendalikan pikirannya, untuk mengendalikan, meninggalkan, melenyapkan, dan menghentikan [pemikiran-pemikiran jahat].

Seperti halnya dua orang yang kuat dapat mencengkeram seorang yang lemah dan mendorongnya ke sana kemari, mereka memukulinya sesuai keinginan mereka. Dengan cara yang sama, dengan gigi yang digertakkan dan lidah yang ditekan terhadap langit-langit mulutnya, seorang bhikkhu menggunakan [kekuatan kemauan dari] pikiran[nya sendiri] untuk mengendalikan pikirannya, untuk mengendalikan, meninggalkan, melenyapkan, dan menghentikan [pemikiran-pemikiran jahat].

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu memperhatikan napas masuk dan mengetahui ia sedang menarik napas dengan penuh perhatian; ia memperhatikan napas keluar dan mengetahui ia sedang menghembuskan napas dengan penuh perhatian. [Ketika] menarik napas panjang, ia mengetahui ia menarik napas panjang; [ketika] menghembuskan napas panjang, ia mengetahui ia sedang menghembuskan napas panjang. [Ketika] menarik napas pendek, ia mengetahui ia sedang menarik napas pendek; [ketika] menghembuskan napas pendek, ia mengetahui ia sedang menghembuskan napas pendek.

Ia berlatih [dalam mengalami] keseluruhan tubuh ketika menarik napas; ia berlatih [dalam mengalami] keseluruhan tubuh ketika menghembuskan napas. Ia berlatih dalam menenangkan aktivitas-aktivitas jasmani ketika menarik napas; ia berlatih dalam menenangkan aktivitas-aktivitas <jasmani> ketika menghembuskan napas.<224>

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dari dalam dengan sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan [yang dialami dalam jhāna pertama], sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan.<225>

Seperti halnya seorang petugas pemandian, setelah memenuhi wadah dengan bubuk mandi, dapat mencampurnya dengan air dan meremas-remasnya sehingga tidak ada bagian [bubuk itu] yang tidak sepenuhnya dibasahi dan diliputi dengan air. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dari dalam dengan sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan, sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan.

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dengan sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi [yang dialami dalam jhāna kedua], sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi.

Seperti halnya sebuah mata air gunung yang penuh dan meluap dengan air yang jernih dan bersih sehingga air yang datang dari empat arah mana pun tidak dapat memasukinya, dengan air mata air memancar ke atas dari bawah dengan sendirinya, mengalir keluar dan membanjiri sekelilingnya, sepenuhnya membasahi dan meliputi setiap bagian gunung itu. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dengan sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi.

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dari dalam dengan kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita [yang dialami dalam jhāna ketiga], sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita.

Seperti halnya ketika seroja biru, merah, atau putih yang lahir di dalam air dan telah tumbuh besar dalam air, tetap terendam dalam air dengan setiap bagian dari akar, batang, bunga, dan daunnya sepenuhnya dibasahi dan diliputi [olehnya], dengan tidak ada bagian yang tidak diliputi oleh [air]. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dari dalam dengan kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita.

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu bertekad dalam batin untuk berdiam setelah meliputi dengan sempurna tubuhnya dengan kemurnian batin [yang dialami dalam jhāna keempat], sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh kemurnian batin.

Seperti halnya seseorang dapat menutupi dirinya sendiri dari kepala sampai kaki dengan sehelai kain yang berukuran tujuh atau delapan hasta, sehingga setiap bagian tubuhnya tertutupi. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu sepenuhnya meliputi tubuhnya dari dalam dengan kemurnian batin [yang dialami dalam jhāna keempat], sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh kemurnian batin.

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu memperhatikan persepsi cahaya (ālokasannā), dengan baik menggenggamnya, dengan baik mempertahankannya, dan mengingatnya dengan baik dengan perhatian penuh, [sehingga] apa yang di belakang adalah seperti apa yang di depan, apa yang di depan adalah seperti apa yang di belakang, malam seperti siang, siang seperti malam, apa yang di atas seperti apa yang di bawah, dan apa yang di bawah seperti apa yang di atas. Dengan cara ini, ia mengembangkan keadaan pikiran yang tidak menyimpang dan tidak terkotori yang cemerlang dan jernih, keadaan pikiran yang sepenuhnya tidak terhalangi oleh halangan-halangan.<226>

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu dengan baik menggenggam tanda peninjauan kembali.<227> mengingatnya dengan baik dengan perhatian penuh. Seperti halnya seseorang yang duduk dapat merenungkan orang lain yang berbaring, atau seseorang yang berbaring dapat merenungkan orang lain yang duduk. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu dengan baik menggenggam tanda peninjauan kembali, mengingatnya dengan baik dengan perhatian penuh.

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini dari kepala sampai kaki, berdasarkan posisinya dan berdasarkan [sifat]nya yang menarik dan menjijikkan, sebagai penuh dengan berbagai jenis ketidakmurnian, [dengan merenungkan]: “Di dalam jasmaniku ini terdapat rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi, kulit ari kasar dan halus, kulit, daging, urat, tulang, jantung, ginjal, hati, paru-paru, usus besar, usus kecil, limpa, perut, kotoran, otak dan batang otak, air mata, keringat, lendir, air liur, nanah, darah, lemak, sumsum, dahak, empedu, dan air seni.”

Seperti halnya seseorang yang memiliki penglihatan, ketika melihat sebuah wadah yang penuh dengan berbagai biji-bijian, dapat dengan jelas membedakannya semua, dengan mengenalinya sebagai biji padi, biji jawawut, biji lobak, atau biji moster.<228> Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini dari kepala sampai kaki, berdasarkan posisinya dan berdasarkan [sifat]nya yang menarik dan menjijikkan, sebagai penuh dengan berbagai jenis ketidakmurnian, [dengan merenungkan:] “Dalam jasmani[ku] ini terdapat rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi, kulit ari kasar dan halus, kulit, daging, urat, tulang, jantung, ginjal, hati, paru-paru, usus besar, usus kecil, limpa, perut, kotoran, otak dan batang otak, air mata, keringat, lendir, air liur, nanah, darah, lemak, sumsum, dahak, empedu, dan air seni.”

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu merenungkan jasmani [sebagai terbentuk dari] unsur-unsur: “Dalam jasmaniku ini terdapat unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran.”<229>

Seperti halnya seorang tukang daging, setelah menyembelih dan menguliti seekor sapi, dapat membaginya menjadi enam bagian dan menghamparkannya di atas tanah [untuk diperlihatkan guna dijual]. Dengan cara yang sama seorang bhikkhu merenungkan jasmani [sebagai terbentuk dari] unsur-unsur: “Dalam jasmaniku ini terdapat unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran.”

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu merenungkan sesosok mayat yang telah meninggal selama satu, dua, atau sampai dengan enam atau tujuh hari, yang dipatuk oleh burung gagak, dimangsa oleh anjing hutan dan serigala, terbakar oleh api, atau dikuburkan dalam tanah,<230> atau yang sepenuhnya membusuk dan terurai. Melihat hal ini, ia membandingkan dirinya sendiri dengan mayat itu: “Jasmaniku sekarang ini juga seperti ini. Ia memiliki sifat yang sama dan pada akhirnya tidak dapat lolos [dari takdir ini].”

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seperti halnya ia sebelumnya telah melihat [sesosok mayat] di tanah pekuburan, [demikianlah] bhikkhu itu [mengingat] bangkai berwarna kebiruan, yang terurai dan setengah dimakan [oleh hewan], tulang-tulang yang tergeletak di atas tanah masih tersambung bersama. Melihat hal ini, ia membandingkan dirinya sendiri dengan [mayat itu]: “Jasmaniku sekarang ini juga seperti ini. Ia memiliki sifat yang sama dan pada akhirnya tidak dapat lolos [dari takdir ini].”

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seperti halnya ia sebelumnya telah melihat [sesosok kerangka] di tanah pekuburan, [demikianlah] seorang bhikkhu [mengingatnya] tanpa kulit, daging, atau darah, yang dipertahankan bersama hanya oleh urat. Melihat hal ini, ia membandingkan dirinya sendiri dengan kerangka itu: “Jasmaniku sekarang ini juga seperti ini. Ia memiliki sifat yang sama dan pada akhirnya tidak dapat lolos [dari takdir ini].”

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seperti halnya ia sebelumnya telah melihat [tulang-tulang] di tanah pekuburan, [demikianlah] seorang bhikkhu [mengingat] tulang-tulang yang tidak tersambung yang telah berserakan ke segala arah: tulang kaki, tulang kering, tulang paha, tulang panggul, tulang belakang, tulang bahu, tulang leher, dan tulang tengkorak, semuanya di tempat-tempat yang berbeda. Melihat hal ini, ia membandingkan dirinya sendiri dengan tulang-tulang itu: “Jasmaniku sekarang ini juga seperti ini. Ia memiliki sifat yang sama dan pada akhirnya tidak dapat lolos [dari takdir ini].”

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version