Buddhisme Awal, Sekte dan Tradisi > Sutta Vinaya

Studi tentang Citta dan Viññaṇa

(1/9) > >>

seniya:
Dalam bahasa Pali, kata “citta” sering diterjemahkan sebagai “pikiran” dan “viññāṇa” diterjemahkan sebagai “kesadaran”. Kata “citta” juga bersinonim dengan “mano” atau “manas” (yang juga diterjemahkan sebagai “pikiran”). Namun tulisan ini hanya akan membatasi diri membahas tentang istilah “citta” dan “viññāṇa”.
 
 Sebelum kita meninjau penggunaan dua istilah ini dalam ajaran Buddha, terlebih dahulu kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk melihat pengertian keduanya dalam kehidupan sehari-hari:
 
 pi•kir•an n 1 hasil berpikir (memikirkan): ia pandai menangkap ~ dan perasaan orang lain; 2 akal; ingatan; 3 akal (dl arti daya upaya): mendapat ~; 4 angan-angan; gagasan: ~ baru; 5 niat; maksud: tidak ada ~ akan berhenti bersekolah;
 
 ke•sa•dar•an n 1 keinsafan; keadaan mengerti: - akan harga dirinya timbul krn ia diperlakukan secara tidak adil; 2 hal yg dirasakan atau dialami oleh seseorang;
 
 Dalam hal ini, pikiran dan kesadaran menunjuk pada dua aspek yang berbeda dari fungsi mental atau keadaan batin itu sendiri; pikiran merupakan fungsi intelektual dan rasional dari batin, sedangkan kesadaran merupakan fungsi kognitif dan emosionalnya.
 
 Sekarang kita akan mengkaji penggunaan kedua istilah ini dalam kotbah-kotbah Sang Buddha (sutta), penjelasan dalam komentar kuno dan Abhidhamma, serta pendapat para sarjana Buddhis masa kini.

A. Menurut Sutta-Sutta
 
 Dalam sutta-sutta, kata “viññāṇa” lebih sering digunakan, terutama untuk menunjuk pada salah satu unsur (khandha) yang membentuk sistem fisio-psikologis kehidupan (pañcakkhandha). Beberapa kutipan kotbah Sang Buddha di bawah ini memberikan definisi kesadaran ini:
 
 “Dan apakah, para bhikkhu, kesadaran (viññāṇa) itu? Ada enam kelompok kesadaran: kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran (manoviññāṇa). Ini disebut kesadaran. Dengan munculnya batin-dan-bentuk (nāma-rūpa), maka muncul pula kesadaran. Dengan lenyapnya batin-dan-bentuk, maka lenyap pula kesadaran. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya kesadaran, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.” (SN 22:56)
 
 “Kesadaran apapun juga, bhikkhu, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur kesadaran (viññāṇakkhandha).” (SN 22:82 / MN 109)
 
 “Dan mengapakah, para bhikkhu, engkau menyebutnya kesadaran? ‘Ia menyadari (vijānāti),’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut kesadaran. Dan apakah yang ia sadari? Ia menyadari rasa asam, ia menyadari rasa pahit, ia menyadari rasa pedas, ia menyadari rasa manis, ia menyadari rasa sangat pedas, ia menyadari rasa lembut, ia menyadari rasa asin, ia menyadari lunak. ‘Ia menyadari,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut kesadaran.” (SN 22:79)
 
 [Yang Mulia Mahā Koṭṭhita bertanya:] “’Kesadaran, kesadaran’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah ‘kesadaran’ dikatakan?”
 [Yang Mulia Sāriputta menjawab:] “’Kesadaran menyadari (vijānātī), kesadaran menyadari,’ teman; itulah mengapa ‘kesadaran’ dikatakan. Apakah yang disadari? Kesadaran menyadari ‘[Ini] menyenangkan’; kesadaran menyadari: ‘[Ini] menyakitkan’; kesadaran menyadari: ‘[Ini] bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’; ‘Kesadaran menyadari, kesadaran menyadari,’ teman; itulah mengapa ‘kesadaran’ dikatakan.” (MN 43)
 
 Sedangkan istilah “citta” walau banyak digunakan dalam sutta-sutta, namun Sang Buddha tidak memberikan definisinya seperti halnya terhadap istilah “viññāṇa”. Berikut beberapa kutipan sutta yang membahas tentang citta:
 
 1. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang begitu kaku seperti halnya pikiran yang tidak terkembang. Pikiran yang tidak terkembang adalah sungguh kaku.
 2. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang begitu lentur seperti halnya pikiran yang terkembang. Pikiran yang terkembang adalah sungguh lentur.
 3.  “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang mengarah menuju bahaya besar seperti halnya pikiran yang tidak terkembang. Pikiran yang tidak terkembang mengarah menuju bahaya besar.
 4. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang mengarah menuju manfaat besar seperti halnya pikiran yang terkembang. Pikiran yang  terkembang mengarah menuju manfaat besar.
 9. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang jika tidak dikembangkan dan tidak dilatih akan membawa penderitaan luar biasa seperti halnya pikiran. Pikiran jika tidak dikembangkan dan tidak dilatih akan membawa penderitaan luar biasa.
 10. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang jika dikembangkan dan dilatih akan membawa kebahagiaan luar biasa seperti halnya pikiran. Pikiran jika dikembangkan dan dilatih akan membawa kebahagiaan luar biasa.”
 (AN 1: iii, 1, 2, 3, 4, 9, 10; bandingkan juga dengan Dhammapada bab III Citta-vagga)
 
 “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran? Di sini seorang bhikkhu memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai pikiran yang terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai pikiran yang tidak terpengaruh nafsu. Ia memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai pikiran yang terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai pikiran yang tidak terpengaruh kebencian. Ia memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai pikiran yang terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan. Ia memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau. Ia memahami pikiran yang luhur sebagai luhur dan pikiran yang tidak luhur sebagai tidak luhur. Ia memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran yang tidak terbatas sebagai tidak terbatas. Ia memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi. Ia memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan.”
 “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran secara internal, atau ia berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya di dalam pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya di dalam pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya di dalam pikiran. Atau penuh perhatian bahwa ‘ada pikiran’ muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian berulang-ulang. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran.” (DN 22 / MN 10 Satipaṭṭhāna Sutta)
 
 “Para bhikkhu, Aku tidak melihat kelompok makhluk hidup lain yang begitu beragam seperti kelompok makhluk di alam binatang. Bahkan makhluk-makhluk di alam binatang itu telah diberagamkan oleh pikiran, namun pikiran bahkan lebih beragam daripada makhluk-makhluk di alam binatang itu.”
 “Oleh karena itu, para bhikkhu, seseorang harus sering merenungkan pikirannya sebagai: ‘Sejak lama pikiran ini telah dikotori oleh nafsu, kebencian, dan kebodohan.’ Melalui kekotoran pikiran makhluk-makhluk dikotori; dengan pemurnian pikiran makhluk-makhluk dimurnikan.” (SN 22:100)
 
 [Sang Buddha bertanya:] “Pikiran cenderung mengarah kepada pengetahuan dan penglihatan. Sekarang, bagi seseorang yang mengetahui dan melihat, apakah tepat mengatakan: ‘Jiwa adalah sama dengan badan’ atau ‘Jiwa berbeda dengan badan’?” [Pertapa Maṇḍisa dan Jāliya menjawab:] “Tidak, Teman.” (DN 6)
 
 “Tetapi, para bhikkhu, sehubungan dengan apa yang disebut dengan ‘batin’ (citta) atau ‘pikiran’ (mano) atau ‘kesadaran’(viññāṇa) [Cittaṃ iti pi mano iti pi viññāṇaṃ iti pi; di sini baik “citta” maupun “mano” bermakna sama/sinonim (pikiran), tetapi untuk membedakannya “citta” diterjemahkan sebagai “batin”] – kaum duniawi yang tidak terlatih tidak bisa mengalami kejijikan terhadapnya; tidak bisa menjadi bosan terhadapnya dan terbebaskan darinya. Karena alasan apakah? Karena telah sejak lama digenggam olehnya, pantas, dan dicengkeram sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Oleh karena itu, kaum duniawi yang tidak terlatih tidak bisa mengalami kejijikan terhadapnya; tidak bisa menjadi bosan terhadapnya dan terbebaskan darinya.”
 “Adalah lebih baik, para bhikkhu, bagi kaum duniawi yang tidak terlatih untuk menganggap jasmani yang terdiri dari empat unsur utama ini sebagai diri daripada batin. Karena alasan apakah? Karena jasmani yang terdiri dari empat unsur utama ini terlihat ada selama satu tahun, selama dua tahun, selama tiga, empat, lima atau sepuluh tahun, selama dua puluh, tiga puluh, empat puluh, atau lima puluh, selama seratus tahun, atau lebih. Tetapi apa yang disebut dengan ‘batin’ atau ‘pikiran’ atau ‘kesadaran’ muncul sebagai sesuatu dan lenyap sebagai yang lainnya siang dan malam. Bagaikan seekor monyet yang berkeliaran di hutan berpegangan pada satu dahan, melepaskan dan memegang dahan lainnya, kemudian melepaskannya lagi dan memegang yang lainnya lagi, demikian pula apa yang disebut ‘batin’ atau ‘pikiran’ atau ‘kesadaran’ muncul sebagai sesuatu dan lenyap sebagai yang lainnya siang dan malam.” (SN 12:61)
 
 Tampak bahwa dari beberapa kutipan sutta tentang citta di atas seakan-akan menyatakan bahwa citta berbeda dari viññāṇa, namun dari kutipan terakhir (SN 12:61) Sang Buddha menggunakan istilah “citta” dan “viññāṇa” (termasuk “mano”) untuk menunjuk pada hal yang sama.
 
 B. Menurut Komentar dan Abhidhamma
 
 Kitab komentar menganggap kedua istilah ini menunjuk pada hal yang sama:
 
 “Dikatakan di atas: ‘Apa pun yang memiliki karakteristik menyadari harus dipahami, semuanya bersama-sama, sebagai kelompok unsur kesadaran (viññāṇakkhandha)’. Dan apakah yang memiliki karakteristik menyadari itu? Kesadaran (viññāṇa); berdasarkan hal ini dikatakan: ‘Ia menyadari, teman, itulah mengapa ‘kesadaran’ dikatakan.’ (MN 43). Kata viññāṇa (kesadaran), citta (pikiran/batin), dan mano (pikiran) adalah satu dalam makna.” (Visuddhimagga XIV:82)
 
 “Citta, mano, dan viññāṇa adalah sinonim untuk pikiran (cittaṃ manoviññāṇaṃ ti cittassa etaṃ vevacanaṃ).” (Nettippakarana 54)
 
 Menurut Abhidhamma:
 
 “Apakah pikiran (citta) itu? Pemikiran di mana merupakan gagasan, pikiran, hati, yang jernih, gagasan sebagai landasan pikiran, kemampuan pikiran, kesadaran, kelompok unsur kesadaran, unsur yang sesuai mewakili kesadaran – inilah pikiran yang ada di sana.” (Dhammasangani I:6)
 
 Penjelasan Abhidhammattha Sangaha menyatakan: “Kelompok kesadaran (viññāṇakkhanda) di sini dimasukkan ke dalam kesadaran (citta), kata “citta” umumnya digunakan untuk menunjuk pada kelompok-kelompok kesadaran yang berbeda-beda yang dibedakan dengan yang menyertainya.”
 
 Beberapa kutipan kitab komentar dan Abhidhamma di atas menyatakan bahwa setidaknya dalam tradisi Theravada yang belakangan, citta dan viññāṇa menunjuk pada hal yang sama.
 
 C. Menurut Para Sarjana Buddhis Modern
 
 Mengikuti tradisi komentar dan Abhidhamma, Bhikkhu Nyanaponika memberikan definisi citta sama dengan viññāṇa dalam kamus istilah Pali-nya (Buddhist Dictionary: Manual of Buddhist Terms and Doctrines) sbb:
 
 Citta: “pikiran”, “kesadaran”, “keadaan kesadaran”, adalah suatu sinonim dari mano and viññāna.
 
 Mengomentari penggunaan ketiga istilah citta, mano, dan viññāṇa dalam SN 12:61 (lihat di atas), Bhikkhu Bodhi menulis:
 
 Sementara ketiga istilah menunjuk pada hal yang sama, dalam Nikāya sering kali digunakan dalam konteks yang berbeda. Sebagai generalisasi kasar, viññāṇa menyiratkan kesadaran pada bagian tertentu melalui organ indria (seperti dalam enam pembagian standar atas viññāṇa menjadi kesadaran-mata, dan seterusnya) serta arus kesadaran di bawahnya, yang mempertahankan kelangsungan personal melalui satu kehidupan dan merangkai kehidupan demi kehidupan (ditekankan pada 12:38-40). Mano berfungsi sebagai pintu perbuatan ke tiga (bersama dengan jasmani dan ucapan) dan sebagai landasan indria internal ke enam (bersama dengan lima landasan indria fisik); sebagai landasan pikiran yang mengkoordinasikan data dari lima indria lainnya dan juga mengenali fenomena batin (dhammā), kelompok objek khususnya sendiri. Citta menyiratkan pikiran sebagai pusat pengalaman pribadi, sebagai subjek pikiran, kehendak, dan emosi. Adalah citta yang harus dipahami, dilatih, dan dibebaskan. (catatan kaki no.154 dalam terjemahan Samyutta Nikaya buku 2 Nidana Vagga oleh Bhikkhu Bodhi)
 
 Sementara itu K. Nizamis menulis dalam terjemahannya atas sutta yang sama:
 
 Cukuplah untuk mengatakan bahwa saya tidak menyatakan bahwa citta, mano, dan viññāṇa adalah “hal” yang berbeda dan terpisah, tetapi bahwa ketiganya menunjuk pada fungsi dan sifat yang agak berbeda dan tidak dapat diturunkan dari “pikiran” seperti demikian. Menyatakan bahwa ketiganya “hanyalah sinonim” adalah, kasarnya, agaknya seperti menyatakan bahwa kata-kata “uap”, “cairan”, dan “es” semuanya adalah “hanya sinonim”. Secara pastinya, ketiganya menunjuk pada bentuk-bentuk “air”; tetapi sangat salah untuk menyatakan bahwa ketiganya oleh sebab itu hanyalah “bersinonim”. (SN 12.61 Assutava Sutta: The Spiritually-Unlearned)
 
 Dalam bukunya Satipatthana: Jalan Langsung Menuju Tujuan, Bhikkhu Analayo menulis:
 
 Dalam sutta-sutta Pali, citta biasanya mengacu pada “pikiran” dalam konteks konatif dan afektif, yaitu suasana hati atau keadaan pikiran. (hal. 254)
 Meskipun dalam sutta, kata “kesadaran” (viññāṇa) digunakan untuk mewakili kata “citta” secara umum, namun dalam konteks klasifikasi khandha, kesadaran adalah menyadari sesuatu. Tindakan menyadari ini terutama menyebabkan rasa “keterpaduan diri” (subjective cohesiveness) yaitu adanya “aku” yang hakiki dalam pengalaman. (hal. 297)
 
 Berdasarkan kajian dari berbagai sumber ini, dapat disimpulkan bahwa citta dan viññāṇa adalah dua hal yang serupa tetapi tidak sama, walaupun dalam terminologi Pali kedua istilah ini bersinonim. Karena ini bersifat kajian atau studi teoritis terhadap berbagai literatur Buddhis yang ada, kesimpulan ini belum tentu benar dan patut diselidiki kembali, mengingat para cendikiawan Buddhis masa kini pun masih berbeda pendapat dalam hal ini.
 
 Seperti yang dikatakan Sang Buddha dalam AN 8:2, setelah seseorang mempelajari (pariyatti) Dhamma serta menembusnya dengan pikiran dan pandangannya, ia melakukan praktek (patipatti) dan realisasi (pativedha) Dhamma dengan mengembangkan perenungan terhadap muncul dan lenyapnya unsur-unsur kehidupan (pañcakkhandha). Demikian juga, mempelajari tentang citta dan viññāṇa ini hanyalah langkah awal untuk mengembangkan praktek yang sebenarnya guna memahami sesungguhnya kedua fenomena kehidupan ini. Setelah lengkap ketiga unsur Dhamma (pariyatti, patipatti, dan pativedha) ini, barulah pemahaman yang benar atas keduanya diperoleh.
 
 Semoga bermanfaat _/\_

seniya:
Tambahan: Pendapat Para Guru Meditasi Buddhis Masa Kini

Karena keterbatasan literatur dan keterbatasan waktu, di sini hanya diberikan pendapat dua guru meditasi Buddhis yang terkemuka:
 
 1. Ajahn Chah
 
 Dalam banyak ceramahnya (yang dituliskan dan beredar di kalangan Buddhis) Ajahn Chah lebih sering menggunakan istilah pikiran dan hati (citta?) daripada kesadaran (vinnana?). Beliau tidak memberikan perbedaan pikiran dan kesadaran, tetapi ada kutipan yang seakan-akan beliau menyamakan pikiran dan kesadaran:
 
   
--- Quote ---We truly have to look deeply into our own hearts if we want to experience the fruits of this practice. Attempting to describe the psychology of the mind in terms of the numerous separate moments of consciousness and their different characteristics is, in my opinion, not taking the practice far enough. There's still a lot more to it. If we are going to studya these things, then know them absolutely, with clarity and penetrative understanding. Without clarity of insight, how will we ever be finished with them? There's no end to it. We'll never complete our studies.
 
 Kita sebenarnya harus melihat ke dalam hati kita sendiri jika kita ingin mengalami buah praktek ini. Berusaha menjelaskan psikologi pikiran sehubungan dengan berbagai momen kesadaran dan karakteristik-karakteristiknya yang berbeda, menurut pendapat saya, tidak membawa praktek cukup jauh. Terdapat masih lebih banyak untuk [melaksanakan] ini. Jika kita akan mempelajari hal-hal ini, maka ketahuilah mereka secara mutla, dengan kejernihan dan pemahaman yang menembus. Tanpa kejernihan pandangan terang, bagaimana kita akan pernah menyelesaikannya? Tidak ada akhirnya. Kita tidak akan pernah menyelesaikan studi kita.
 
 Unshakeable Peace
--- End quote ---

   Namun dalam salah satu ceramahnya tentang pikiran, Ajahn Chah menunjuk pikiran sebagai fungsi kesadaran:
 
   
--- Quote ---What is the mind? The mind isn't really any ''thing''. Conventionally speaking, it's that which feels or senses. That which senses, receives and experiences all mental impressions is called ''mind''. Right at this moment there is mind. As I am speaking to you, the mind acknowledges what I am saying. Sounds enter through the ear and you know what is being said. That which experiences this is called ''mind''.
 
 This mind doesn't have any self or substance. It doesn't have any form. It just experiences mental activities, that's all! If we teach this mind to have right view, this mind won't have any problems. It will be at ease.
 
 The mind is mind. Mental objects are mental objects. Mental objects are not the mind, the mind is not mental objects. In order to clearly understand our minds and the mental objects in our minds, we say that the mind is that which receives the mental objects which pop into it.
 
 When these two things, mind and its object, come into contact with each other, they give rise to feelings. Some are good, some bad, some cold, some hot, all kinds! Without wisdom to deal with these feelings, however, the mind will be troubled.
 
 Apakah pikiran? Pikiran bukanlah sesuatu "hal" yang sesungguhnya. Secara konvensional berbicara, ia adalah yang merasakan atau menyadari. Yang merasakan, menerima dan mengalamai semua kesan mental yang disebut "pikiran". Tepat pada saat ini terdapat pikiran. Ketika saya berbicara kepada anda, pikiran mengetahui apa yang saya katakan. Suara masuk melalui telinga dan anda mengetahui apa yang sedang dikatakan. Yang mengalami pengalaman inilah yang disebut "pikiran".
 
 Pikiran tidak memiliki diri atau inti apa pun. Ia tidak memiliki bentuk apa pun. Ia hanya mengalami aktivitas-aktivitas mental, itu saja! Jika kita mengajari pikiran ini untuk memiliki pandangan benar, pikiran tidak akan memiliki masalah apa pun. Ia akan tenang.
 
 Pikiran adalah pikiran. Objek-objek mental adalah objek-objek mental. Objek-objek mental bukanlah pikiran, pikiran bukanlah objek-objek mental. Agar dengan jelas memahami pikiran kita dan objek-objek mental dalam pikiran kita, kita katakan bahwa pikiran adalah apa yang menerima objek-objek mental yang bermunculan padanya.
 
 Ketika kedua hal ini, pikiran dan objeknya, muncul dalam kontak satu sama lain, mereka memunculkan perasaan. Beberapa menyenangkan, beberapa tidak menyenangkan, beberapa dingin, beberapa panas, berbagai jenis! Namun tanpa kebijaksanaan dalam menghadapi perasaan-perasaan ini, pikiran akan bermasalah
 
 A Gift of Dhamma.
--- End quote ---

2. Mahasi Sayadaw
 
 Mahasi Sayadaw menulis tentang pikiran dan kesadaran dalam buku beliau tentang Paticcasamuppada (A Discourse on Paticcasamuppada by Venerable Mahasi Sayadaw - Wisdom Library). Di sini saya belum membaca habis semua isi buku ini (yang terdiri dari 10 bagian yang maisng-masing terdiri dari lebih dari 10 bab), tetapi secara umum dalam buku ini dibahas tentang proses fungsi fisik dan mental dalam perspekti hukum sebab akibat yang saling bergantungan.
 
 Dalam banyak penjelasan tentang kesadaran, Mahasi Sayadaw menggunakan istilah citta dan vinnana secara bergantingan. Walaupun tidak memberikan definisi keduanya, namun karena beliau menulis berdasarkan Abhidhamma yang menyamakan keduanya, tampaknya beliau menganggap keduanya hal yang sama, misalnya dalam bab tentang batin-jasmani dan enam landasan indera (A Discourse on Paticcasamuppada: Chapter 1 - Nama-rupa And Salayatana - Wisdom Library)

seniya:
Kesimpulan

Setelah mengkaji berbagai sumber di atas, tampak bahwa kenapa terjadi banyak interpretasi tentang citta dan vinnana ini adalah karena dalam teks-teks Buddhisme awal (sutta-sutta) tidak memberikan definisi "apakah pikiran (citta) itu?" seperti halnya banyak sutta menjelaskan "apakah kesadaran (vinnana) itu?" (spt dlm SN 22:56 di atas). Ini menyebabkan para komentator kuno dan Abhidhammika dalam tradisi Theravada menganggap citta dan vinnana adalah sama.
 
 Setelah mengkaji berbagai kutipan sutta tentang citta di atas, saya cenderung menganggap citta tak lain adalah nama (batin), istilah lain yang banyak digunakan Sang Buddha dalam sutta-sutta dan telah diberikan definisinya dengan sangat jelas, salah satunya dalam Paticcasamuppada-vibhanga Sutta (SN 12.2):
 
 “Dan apakah, para bhikkhu, batin-dan-bentuk (nāmarūpa)? Perasaan (vedanā), persepsi (saññā), kehendak (cetanā), kontak (phassa), perhatian (manasikāra): ini disebut batin (nāma). Empat unsur utama dan bentuk yang diturunkan dari empat unsur utama: ini disebut bentuk. Demikianlah nama ini dan bentuk ini bersama-sama disebut nama-dan-bentuk."
 
 Perhatikan bahwa batin merupakan fungsi mental yg terdiri dari:
 1. Perasaan: yang merasakan sensasi menyenangkan, tidak menyenangkan dan netral.
 2. Persepsi: yang mengenali objek yang ditanggapi indera.
 3. Kehendak: yang mengarahkan tindakan (ucapan dan perbuatan) terhadap objek.
 4. Kontak: ketika indera menanggapi objeknya menimbulkan kesadaran indera, pertemuan indera, objeknya, dan kesadran indera disebut kontak.
 5. Perhatian: yang mengarahkan faktor-faktor mental lainnya ke objek yang ditanggapi indera.
 
 Di sini kelima faktor mental yang disebutkan di atas itulah yang membentuk pikiran (citta), bahkan dalam tingkat kesadaran yang terendah. Namun secara umum kita mengetahui bahwa batin/pikiran terdiri atas perasaan, persepsi, bentukan mental (yang di dalamnya termasuk faktor mental kehendak, kontak, dan perhatian) dan kesadaran. Tetapi sutta-sutta tidak memasukkan kesadaran karena kesadaran adalah kondisi bagi batin dan jasmani. Ini dijelaskan dalam Paticcasamuppada-vibhanga Sutta (spt juga dlm SN 22:56 di atas):
 
 "Dengan kesadaran sebagai kondisi, muncul batin-dan-bentuk (viññāṇapaccayā nāmarūpaṃ)."
 
 Kesadaran hanya dapat beroperasi dengan bergantung pada tubuh fisik (rūpa) dan bersama-sama dengan sekumpulan pendampingnya (nāma). Sebaliknya tanpa tubuh fisik dan faktor mental lainnya, kesadaran juga tidak dapat bekerja:
 
 "Aku mengatakan: 'Kesadaran mengkondisikan batin dan jasmani.' … jika kesadaran tidak masuk ke dlm rahim ibu, akankah batin dan jasmani berkembang di sana?" "Tidak, Bhagava."
 
 "Atau jika kesadaran, stlh memasuki rahim ibu, kemudian dibelokkan, akankah batin dan jasmani itu dilahirkan dlm kehidupan ini?" "Tidak Bhagava."
 
 "Dan jika kesadaran dari makhluk muda tersebut, laki-laki atau perempuan, dipotong, akankah batin dan jasmani tumbuh, berkembang dan dewasa?" "Tidak, Bhagava."
 
 "Aku mengatakan: 'Batin-dan-jasmani mengondisikan kesadaran.' … jika kesadaran tdk menemukan tempat bersandar dlm batin dan jasmani, akankah selanjutnya ada kelahiran, kematian, dan penderitaan?" "Tidak, Bhagava."
 
 "Oleh karena itu, Ananda, batin-dan-jasmani ini adalah akar, penyebab, asal-mula, kondisi bagi kesadaran. Sejauh itulah, Ananda, kita dapat melacak kelahiran dan kerusakan, kematian dan kejatuhan ke alam-alam lain dan terlahir kembali, sedemikian jauhlah jalan pembentukan, konsep, sedemikian jauhlah, bidang pemahaman, sedemikian jauhlah lingkaran berputar sejauh yang bisa dilihat dalam kehidupan ini, yaitu batin dan jasmani bersama dengan kesadaran." (DN 15 Mahanidana Sutta)
 
 Dengan demikian, kesadaran dan batin/pikiran adalah saling bergantung, bagaikan dua ikat buluh yang saling bersandar satu sama lain. Hal ini lebih diperjelas lagi karena dikatakan bahwa perasaan dan persepsi (dua komponen utama batin/pikiran) adalah tidak terpisahkan dari kesadaran dalam MN 43 Mahavedalla Sutta:
 
 “Perasaan, persepsi, dan kesadaran, teman - kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya. Karena apa yang seseorang rasakan, itulah yang ia persepsikan; dan apa yang ia persepsikan, itulah yang ia sadari. Itulah mengapa kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya.”
 
 Karena ketidakterpisahan keduanya seperti yang dijelaskan di atas, dalam Abhidhamma dikatakan citta = vinnana, misalnya dalam penjelasan Abhidhammattha Sangaha tentang citta:
 
   
--- Quote ---Kata Pali “citta” berasal dari akar kata kerja, “citi”, menyadari, mengetahui. Para komentator [pengulas teks Buddhis] mendefinisikan citta dalam tiga cara: sebagai agen [pelaku], sebagai alat, dan sebagai aktivitas. Sebagai agen, citta adalah yang menyadari suatu objek. Sebagai alat, citta adalah alat di mana faktor-faktor mental yang menyertainnya menyadari objek tersebut. Sebagai aktivitas, citta itu sendiri tak lain merupakan proses menyadari objek tersebut.
 
 Definisi ketiga, dalam pengertian aktivitas semata, dianggap sebagai yang paling cocok di antara ketiganya: yaitu, citta pada dasarnya suatu aktivitas atau proses menyadari atau mengetahui suatu objek. Ia bukan agen atau alat yang memiliki keberadaan yang sebenarnya di dalam dirinya sendiri terpisah dari aktivitas menyadari. Definisi dalam pengertian agen dan alat diberikan untuk menyangkal pandangan salah dari mereka yang menyatakan bahwa suatu diri atau ego yang kekal adalah agen dan alat kesadaran. Para pemikir Buddhis menunjukkan, dengan cara definisi ini, bahwa bukanlah suatu diri yang melakukan tindakan menyadari, tetapi citta atau kesadaran. Citta ini tak lain adalah tindakan menyadari, dan tindakan itu sesungguhnya tidak kekal, dicirikan dengan muncul dan lenyapnya.
 
 Untuk menjelaskan sifat dari semua realitas tertinggi, para komentator Pali memberikan empat alat pendefinisian dengan cara di mana ia dapat dibatasi. Keempat alat itu adalah: (1) karakteristiknya (lakkhana), yaitu sifat fenomena yang menonjol; (2) fungsinya (rasa), pelaksanaan dari suatu tugas yang konkret (kicca) atau pencapaian dari suatu tujuan (sampatti); (3) perwujudannya (paccupatthana), cara ia menghadirkan dirinya di dalam pengalaman; dan (4) sebab terdekatnya (padatthana), kondisi utama di mana ia bergantung.
 
 Dalam hal citta, karakteristiknya adalah mengetahui suatu objek (vijanana). Fungsinya adalah menjadi “pelopor” (pubbangama) dari faktor-faktor mental di mana ia memimpin faktor-faktor mental dan selalu disertai oleh faktor-faktor mental ini. Perwujudannya – cara ia muncul dalam pengalaman meditator – adalah suatu kelanjutan dari proses-proses (sandhana). Sebab terdekatnya adalah pikiran-dan-materi (namarupa), karena kesadaran tidak dapat muncul sendiri, tanpa kehadiran faktor-faktor mental dan fenomena materi.
--- End quote ---

   Tentu saja baik berdasarkan penjelasan sutta maupun Abhidhamma di atas, tidak tepat mengatakan citta persis sama dengan vinnana, juga tidak tepat mengatakan citta berbeda sepenuhnya dari vinnana. Kesimpulan yang tepat adalah pikiran (citta) atau batin (nama) dan kesadaran (vinnana) adalah hal yang serupa tetapi tidak sama.

seniya:
Catatan Akhir: Mengapa Orang-Orang Menganggap Pikiran Berbeda dari Kesadaran?

Kenapa orang-orang cenderung membedakan pikiran dan kesadaran, menurut saya, karena definisi pikiran dalam pengertian sehari-hari adalah faktor mental yang berpikir. Dalam bahasa Pali, faktor mental yang berperan penting dalam proses berpikir disebut vitakka dan vicāra. Dalam sutta-sutta, istilah "vitakka" diterjemahan sebagai "pemikiran" secara umum, yaitu ketika seseorang memikirkan tentang sesuatu. Dalam pengertian yang lebih sempit, vitakka (sering diterjemahkan sebagai "awal pikiran") merupakan faktor mental yang mengarahkan pikiran (citta) ke objeknya. Sedangkan vicāra (sering diterjemahkan sebagai "kelangsungan pikiran") merupakan faktor mental yang melanjutkan fungsi vitakka, yaitu menyelidiki objek pikiran tadi.
 
 Keduanya hanyalah sebagian fungsi dari citta yang juga kita alami dalam kehidupan sehari-hari, tetapi menjadi penting jika dikembangkan dalam konsentrasi hingga mencapai jhana:
 
 “Di sini, teman, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran (vitakka) dan kelangsungan pikiran (vicāra), dengan kegembiraan (sukha) dan kenikmatan (piti) yang muncul dari keterasingan. Ini disebut jhāna pertama.”
 [...]
 “Teman, jhāna pertama memiliki lima faktor. Di sini, ketika seorang bhikkhu telah masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, di sana muncul awal pikiran, kelangsungan pikiran, kegembiraan, kenikmatan, dan keterpusatan pikiran (ekagatta). Ini adalah bagaimana jhāna pertama memiliki lima faktor.” (MN 43)
 
 Tentu saja, pemikiran vitakka dan vicara ini harus ditinggalkan/dilenyapkan untuk mencapai jhana II (yang sering disebut "noble silence (keheningan luhur" dalam sutta-sutta) :
 
 ‘Kemudian, seorang bhikkhu, dengan melenyapkan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, dengan memperoleh ketenangan di dalam dan keterpusatan pikiran, memasuki dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang tanpa awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, muncul dari konsentrasi, dipenuhi dengan kegirangan/kenikmatan dan kegembiraan. (DN 2 Samannaphala Sutta)
 
 Meninggalkan kenikmatan/kegirangan, seorang meditator memasuki jhana III yg dibentuk oleh faktor mental yg tersisa, yaitu kegembiraan dan keterpusatan pikiran. Ketika kegembiraan ditinggalkan dan digantikan dg keseimbangan batin (upekkha), maka hanya terdpt keseimbangan batin dan keterpusatan pikiran, yg membawa sang meditator memasuki jhana IV:
 
 ‘Kemudian, seorang bhikkhu, setelah meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat yang melampaui kenikmatan dan kesakitan, dan dimurnikan oleh keseimbangan dan perhatian murni. (DN 2)
 
 Dari sinilah dengan pikiran yang seimbang sepenuhnya, seseorang mengembangkan konsentrasi yang lebih tinggi untuk mengetahui bagaimanakah kesadaran itu:
 
 ‘Dan demikianlah, dengan pikiran terkonsentrasi, dimurnikan dan dibersihkan, tidak ternoda, bebas dari kekotoran,[34] lentur, mudah dibentuk, kokoh, dan setelah mendapatkan kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya ke arah mengetahui dan melihat, dan ia mengetahui: “Jasmaniku ini adalah materi, tersusun dari empat unsur utama, lahir dari ibu dan ayah, mendapatkan makanan berupa nasi dan bubur, tidak kekal, dapat mengalami luka dan usang, rusak dan hancur, dan ini adalah kesadaranku yang melekat padanya dan bergantung padanya. (DN 2)
 
 Dan seterusnya hingga tercapainya Pencerahan melalui pandangan terang (vipassana) terhadap segala sesuatu sebagaimana adanya:
 
 Dan ia dengan pikiran terkonsentrasi, murni dan bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lentur, mudah dibentuk, kokoh, dan setelah mendapatkan kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkan pikirannya kepada pengetahuan hancurnya kekotoran. Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah penderitaan”, ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah asal-mula penderitaan”, ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah lenyapnya penderitaan”, ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan”. Dan ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah kekotoran”, “Ini adalah asal-mula kekotoran”, “Ini adalah lenyapnya kekotoran”, “Ini adalah jalan menuju lenyapnya kekotoran.” Dan melalui pengetahuannya dan penglihatannya, pikirannya bebas dari kekotoran kenikmatan-indria, dari kekotoran penjelmaan, dari kekotoran kebodohan, dan pengetahuan muncul dalam dirinya: “Ini adalah pembebasan!”, dan ia mengetahui: “Kelahiran telah berakhir, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi yang lebih jauh di sini.”’ (DN 2)
 
 Jadi, pemikiran vitakka-vicara memang benar tidak sama dengan kesadaran, karena hanya sebagian fungsi dari citta itu sendiri, dan harus ditinggalkan untuk mencapai tingkat konsentrasi yang lebih tinggi dan pandangan terang.

Shasika:
 :jempol: :jempol:
+1 nya kecantol maaf ya bro, blom 720 jam soalnya.... ^:)^

Selama ini oma hny ngertinya juga Citta, Mano dan Vinnana sama, tanpa pernah melakukan penelusuran berbagai info, pokoknya dosen ngajarin itu, trus sesuai sutta2 referensinya, ya udah...gitu aja. Ternyata anda melakukan penelusuran sampe jauh, hebat bro... ^:)^

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version