Buddhisme Awal, Sekte dan Tradisi > Sutta Vinaya

Kumarapanha/Samanerapanha Sutta: Sepuluh Pertanyaan Samanera

(1/3) > >>

seniya:
"Apakah yang satu itu? Semua makhluk bergantung pada makanan
 Apakah yang dua itu? Batin dan bentuk/jasmani
 Apakah yang tiga itu? Tiga jenis perasaan
 Apakah yang empat itu? Empat Kebenaran Mulia
 Apakah yang lima itu? Lima kelompok kehidupan yang dilekati
 Apakah yang enam itu? Enam landasan indera
 Apakah yang tujuh itu? Tujuh Faktor Pencerahan
 Apakah yang delapan itu? Jalan Mulia Berunsur Delapan
 Apakah yang sembilan itu? Sembilan tempat kediaman makhluk
 Apakah yang sepuluh itu? Ia yang diberkahi dengan sepuluh atribut disebut Arahant."
 
 Sepuluh pertanyaan di atas adalah isi bab 4 dari Khuddaka Patha, bagian dari Khuddaka Nikaya, yang berjudul Kumarapanha Sutta (Kotbah tentang Pertanyaan kepada Anak Kecil) atau dikenal juga sebagai Samanerapanha Sutta (Kotbah tentang Pertanyaan untuk Samanera).
 
 Sepuluh pertanyaan ini pertama kali diajukan Sang Buddha kepada Samanera Sopaka yang berusia 7 tahun, dengan maksud untuk menahbiskannya sebagai bhikkhu. Karena Sopaka walau masih berumur 7 tahun telah mencapai tingkat Arahant, ia dapat menjawab 10 pertanyaan ini dengan mudah dan tepat sehingga kemudian ditahbiskan sebagai bhikkhu. Sepuluh pertanyaan ini juga diajarkan Sang Buddha kepada Samanera Rahula, putra kandung Siddhattha Gotama, yang saat itu berusia 7 tahun.
 
 Dalam Dhammapada Atthakatha (komentar/penjelasan Dhammapada) dikisahkan seorang pertapa wanita bernama Bhadda Kundala-kesa (Kundalakesi) setelah mempelajari 1000 pokok perdebatan yang sulit berkeliling ke seluruh India untuk mencari lawan debat. Tiba di Savatthi, ia ditantang berdebat oleh Bhikkhu Sariputta yang dapat menjawab 1000 pertanyaannya. Ketika Sariputta berbalik bertanya kepada sang pertapa wanita: "Apakah yg satu itu?", ia tidak dapat menjawabnya. Oleh sebab itu, akhirnya Kundalakesi menjadi seorang bhikkhuni.
 
 Tampaknya 10 pertanyaan ini merupakan metode pengajaran umum yang digunakan Sang Buddha dan para siswa-Nya utk mengajar para anak kecil yang menjadi samanera tentang pokok dasar ajaran Buddha. Oleh sebab itu, adalah penting bagi kita umat Buddha walau bukan samanera/bhikkhu untuk mempelajari 10 pertanyaan ini. Maka tulisan ini akan membahas satu per satu makna 10 pertanyaan ini.

seniya:
1. Apakah yang satu itu? Semua makhluk bergantung pada makanan

Makanan adalah penunjang kehidupan bagi semua makhluk. Dalam ajaran Buddhis makanan yang dimaksud bukan hanya makanan fisik yang kita makan sehari-hari.

Dalam Sammaditthi Sutta (Majjhima Nikaya 9) dikatakan: "Ada 4 jenis makanan yang menunjang kehidupan (cattaro ahara) untuk memelihara dan menunjang kelangsungan hidup makhluk-makhluk. Apakah keempat hal itu? Keempat hal itu adalah makanan jasmani (kabalinkarahara), kontak/kesan (phassa), kehendak pikiran (manosancetana), dan kesadaran (vinnana)."

a. Makanan jasmani menunjang kehidupan jasmani atau fisik kita.

b. Kontak/kesan timbul ketika pancaindera berhubungan dg objeknya (mata dengan objek bentuk, telinga dengan objek suara, hidung denga objek bebauan, lidah dengan objek rasa, tubuh atau kulit dengan objek sentuhan) dan indera pikiran berhubungan dengan objek pikiran (dhammayatana) [ini akan dibahas dalam bagian 6 tentang landasan indera]. Kesan ini adalah "makanan" yg menunjang timbulnya perasaan (vedana) apakah yang menyenangkan, tidak menyenangkan, maupun netral [akan dibahas dalam bagian 3 tentang perasaan]. Dalam Paticcasamuppada (sebab akibat yang saling bergantungan) dijelaskan bahwa phassa paccaya vedana (bergantung pada kontak, timbul perasaan).

c. Kehendak pikiran merupakan “makanan” yg menyebabkan kelahiran kembali semua makhluk sesuai dengan perbuatannya (kamma).

d. Kesadaran merupakan basis yang menimbulkan fungsi mental (nama) dan fisik/jasmani (rupa) dengan dikondisikan oleh kamma. Ia merupakan “makanan” bagi nama rupa yg baru terbentuk setelah kelahiran kembali.

Kempat jenis makanan ini bermula dari keinginan, keinginan bermula dari perasaan, perasaan bermula dari kontak, dst mengikuti rumusan Paticcasamuppada yang berawal mula dari ketidaktahuan/kebodohan batin. Hal ini disebutkan dalam Ahara Sutta (Samyutta Nikaya 12.11) sbb:

"Para bhikkhu, empat jenis makanan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari apakah? Empat jenis makanan ini memiliki keinginan sebagai sumbernya, keinginan sebagai asal-mulanya; muncul dan dihasilkan dari keinginan.

Dan keinginan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari apakah? Keinginan memiliki perasaan sebagai sumbernya; perasaan sebagai asal-mula; muncul dan dihasilkan dari perasaan.

Dan perasaan ini memiliki apakah sebagai sumbernya…? Perasaan memiliki kontak sebagai sumbernya…. Dan kontak ini memiliki apakah sebagai sumbernya…? Kontak memiliki enam landasan indria sebagai sumbernya …. Dan enam landasan indria ini memiliki apakah sebagai sumbernya…? Enam landasan indria memiliki batin dan jasmani sebagai sumbernya…. Dan batin dan jasmani ini memiliki apakah sebagai sumbernya…? batin dan jasmani memiliki kesadaran sebagai sumbernya…. Dan kesadaran ini memiliki apakah sebagai sumbernya…? Kesadaran memiliki bentukan-bentukan kehendak sebagai sumbernya…. Dan bentukan-bentukan kehendak ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari apakah? Bentukan-bentukan kehendak memiliki kebodohan sebagai sumbernya; kebodohan sebagai asal-mula; muncul dan dihasilkan dari kebodohan."

Dalam Samyutta Nikaya 12.64 Atthi Raga Sutta dikatakan:

"Jika, para bhikkhu, ada nafsu terhadap makanan, jika ada kesenangan, jika ada keinginan, maka kesadaran muncul di sana dan berkembang. Ketika kesadaran muncul dan berkembang, ada penurunan batin dan jasmani. Ketika ada penurunan batin dan jasmani, maka ada pertumbuhan bentukan-bentukan kehendak. Ketika ada pertumbuhan bentukan-bentukan kehendak, maka ada produksi penjelmaan kembali di masa depan. Ketika ada produksi penjelmaan kembali di masa depan, maka ada kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Ketika ada kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan, Aku mengatakan bahwa itu disertai dengan kesedihan, penderitaan mendalam, dan keputusasaan."

Demikianlah bagaimana keempat jenis makanan ini menunjang kelangsungan kehidupan semua makhluk dalam lingkaran kelahiran dan kematian yang berulang-ulang.

seniya:
2. Apakah yang dua itu? Batin dan bentuk

Batin (nama) dan bentuk/jasmani/fisik (rupa) merupakan hal yg saling saling bergantungan dan saling berkaitan tak terpisahkan satu sama lain, yang membentuk sistem kompleks kehidupan. Semua makhluk memiliki batin dan bentuk, kecuali makhluk Arupaloka tidak memiliki tubuh fisik dan makhluk Asannasatta di mana fungsi mentalnya (persepsi) terhenti sementara oleh kekuatan jhana.

Dalam Paticcasamuppada-vibhanga Sutta (Samyutta Nikaya 12.2) dikatakan: "Apakah, para bhikkhu, batin dan bentuk? Perasaan, persepsi, kehendak, kontak, perhatian: ini disebut batin. Empat unsur utama dan bentuk yang diturunkan dari empat unsur utama: ini disebut bentuk. Demikianlah batin ini dan bentuk ini bersama-sama disebut batin dan bentuk (namarupa)."

Tubuh tersusun atas 4 unsur utama/pokok (mahabhuta), yaitu unsur tanah/padat (pathavi), unsur air/cair (apo), unsur angin/gerak (vayo), dan unsur api/panas (tejo), serta unsur-unsur turunannya: warna (vanna), bau (gandha), rasa (rasa), zat gizi (oja), vitalitas (jivitindriya), dst.

Batin secara umum menunjuk pada 4 kelompok mental: perasaan (vedana), persepsi (sanna), bentukan mental (sankhara), kesadaran (vinnana). Namun dlm Paticcasamuppada (seperti pd kutipan sutta di atas), batin hanya meliputi perasaan, persepsi, dan beberapa bentukan mental yang tak terpisahkan dari kesadaran mana pun (kehendak, kontak, perhatian). Menurut komentar Samyutta Nikaya, 3 fungsi mental terakhir dipilih mewakili bentukan mental karena bekerja bahkan dalam tingkat kesadaran yang terendah.

Kesadaran sendiri tidak muncul dalam pengertian batin menurut Paticcasamuppada karena kesadaran mengkondisikan dan muncul bersamaan dengan batin dan bentuk (vinnana paccaya namarupa). Hubungan saling ketergantungan antara kesadaran dengan batin dan bentuk dijelaskan Sang Buddha dalam Mahanidana Sutta (Digha Nikaya 15) sbb:

"Aku mengatakan: 'Kesadaran mengkondisikan batin dan bentuk.' … jika kesadaran tidak masuk ke dlm rahim ibu, akankah batin dan bentuk berkembang di sana?" "Tidak, Bhagava."

"Atau jika kesadaran, setelah memasuki rahim ibu, kemudian dibelokkan, akankah batin dan bentuk itu dilahirkan dalam kehidupan ini?" "Tidak Bhagava."

"Dan jika kesadaran dari makhluk muda tersebut, laki-laki atau perempuan, dipotong, akankah batin dan bentuk tumbuh, berkembang dan dewasa?" "Tidak, Bhagava."

"Aku mengatakan: 'Batin-dan-bentuk mengondisikan kesadaran.' … jika kesadaran tdk menemukan tempat bersandar dalam batin dan jasmani, akankah selanjutnya ada kelahiran, kematian, dan penderitaan?" "Tidak, Bhagava."

"Oleh karena itu, Ananda, batin-dan-bentuk ini adalah akar, penyebab, asal-mula, kondisi bagi kesadaran. Sejauh itulah, Ananda, kita dapat melacak kelahiran dan kerusakan, kematian dan kejatuhan ke alam-alam lain dan terlahir kembali, sedemikian jauhlah jalan pembentukan, konsep, sedemikian jauhlah, bidang pemahaman, sedemikian jauhlah lingkaran berputar sejauh yang bisa dilihat dalam kehidupan ini, yaitu batin dan bentuk bersama dengan kesadaran."

Lebih lanjut tentang jasmani, batin dan kesadaran ini akan dibahas pada bagian 5 tentang lima kelompok kehidupan.

seniya:
3. Apakah yang tiga itu? Tiga jenis perasaan

Perasaan (vedana) merupakan faktor mental yg muncul ketika ada kontak indera dengan objeknya (seperti yang dijelaskan dalam bagian 1 tentang makanan bahwa kontak adalah "makanan" bagi perasaan).

Secara umum terdapat 3 jenis perasaan: perasaan menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral (bukan menyenangkan juga bukan tidak menyenangkan). Selain itu, terdapat 2 jenis perasaan menyenangkan, yaitu perasaan fisik yang menyenangkan dan perasaan batin yang menyenangkan. Demikian juga, ada 2 jenis perasaan tidak menyenangkan, yaitu perasaan fisik yang tidak menyenangkan dan perasaan batin yang tidak menyenangkan. Sedangkan perasaan netral hanya berasal dari perasaan yg bersifat batin. Dengan demikian, secara keseluruhan fisik dan mental ada 5 jenis perasaan.

Walaupun vedana (Pali/Sanskerta) diterjemahkan sebagai perasaan, tetapi vedana tidak menunjuk pada istilah perasaan seperti yang kita gunakan sehari-hari yang adalah emosi (yang termasuk bentukan mental/sankhara dlm Buddhis), misalnya ketika mengatakan "Engkau menyakiti perasaanku". Vedana merupakan sensasi menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral ketika indera kita berhubungan dengan suatu objek. Contohnya ketika mata melihat lawan jenis yang berpenampilan menawan, timbul perasaan senang, inilah vedana; tetapi kalau timbul perasaan tertarik/jatuh cinta, ini termasuk sankhara.

Umumnya kita orang biasa selalu menginginkan perasaan yang menyenangkan dan menolak perasaan yang tidak menyenangkan. Karena tidak memahami sebagaimana adanya tentang perasaan, kita melekat pada perasaan:

"Ia [kaum duniawi yg tidak terlatih] tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan tiga perasaan ini. Jika ia merasakan perasaan yang menyenangkan, ia merasakannya dengan melekat. Jika ia merasakan perasaan yang menyakitkan, ia merasakannya dengan melekat. Jika ia merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, ia merasakannya dengan melekat. Ini, para bhikkhu, disebut kaum duniawi yang tidak terlatih yang melekat pada kelahiran, penuaan, dan kematian; yang melekat pada kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan; yang melekat pada penderitaan, Aku katakan." (Salayatana Samyutta, Samyutta Nikaya)

Perasaan apa pun apakah menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral tidak kekal: ia muncul, bertahan sebentar, lalu lenyap bergantung pada sebab dan kondisi yang mendukung. Dengan sepenuhnya memahami ini, kemelekatan pada perasaan seharusnya dilenyapkan.

Dalam Paticcasamuppada, perasaan merupakan kondisi yang mendukung timbulnya keinginan (tanha): bergantung pada perasaan, timbul keinginan (vedana paccaya tanha). Keinginan merupakan sebab penderitaan (lebih lanjut lihat bagian 4). Oleh sebab itu, adalah penting untuk tidak melekat pada perasaan dan memahaminya sebagaimana adanya.

seniya:
4. Apakah yang empat itu? Empat Kebenaran Mulia

Empat Kebenaran Mulia merupakan salah satu dari ajaran pokok Sang Buddha yang diajarkan pertama kali dalam kotbah pertama-Nya Dhammacakkappavattana Sutta (Kotbah Pemutaran Roda Dhamma) kepada 5 pertapa yang kemudian menjadi 5 orang bhikkhu pertama. Ini adalah kebenaran yang ditemukan oleh Sang Buddha dalam upaya-Nya mencapai Penerangan Sempurna di bawah Pohon Bodhi.

Empat Kebenaran Mulia terdiri atas Kebenaran Mulia tentang Penderitaan, Sebab Penderitaan, Lenyapnya Penderitaan, dan Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan.

"Sekarang, O para bhikkhu, inilah Kebenaran Mulia tentang Penderitaan (dukkha ariyasacca): Kelahiran adalah penderitaan, kelapukan adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan, bertemu dengan yang tidak menyenangkan adalah penderitaan, berpisah dengan yang menyenangkan adalah penderitaan, tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan. Secara singkat, lima kelompok kehidupan yang dilekati (pancupadanakkhanda) adalah penderitaan.

Sekarang, O para bhikkhu, inilah Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan (dukkha samudaya ariyasacca): Ini adalah keinginan yang menyebabkan kelahiran, yang disertai dengan nafsu yang melekat, menyambut (kehidupan) ini dan itu. Ini adalah keinginan atas kesenangan indera (kāmatanhā), keinginan akan kelangsungan (bhavatanhā), dan keinginan atas pemusnahan (vibhavatanhā).

Sekarang, O para bhikkhu, inilah Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan (dukkha nirodha ariyasacca): Ini adalah pelepasan sepenuhnya dan pelenyapan atas keinginan, meninggalkannya, pelepasan, pembebasan darinya, dan tidak melekat padanya.

Sekarang, O para bhikkhu, inilah Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan (dukkha nirodha gāminipatipadā ariyasacca): Ini adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Upaya Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi Benar." (Dhammacakkappavattana Sutta)

Secara harfiah, kata "dukkha" diterjemahkan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, atau hal yang tidak menyenangkan. Namun bukan berarti ajaran Buddha pesimistik dan menganggap hidup ini adalah penderitaan semata. Terdapat banyak kesenangan dan kebahagiaan di dunia ini mulai dari kebahagiaan dari kesenangan indera, kebahagiaan dari perolehan duniawi seperti kekayaan, kedudukan, dan kehormatan, sampai dengan kebahagiaan dari pencapaian meditatif (jhana).

Namun demikian, kesenangan dan kebahagiaan yang ada di dunia ini hanyalah bersifat sementara dan hanya pemuasan keinginan. Bagi mereka yg telah menyadarinya dengan pandangan benar, kehidupan ini tidak memuaskan. Kebahagiaan sejati bukan kebahagiaan yang didasarkan pada pemuasan keinginan karena keinginan jika dipuaskan tidak akan habis-habisnya. Oleh sebab itu, para bijaksana menerima kebahagiaan dan penderitaan dunia dengan seimbang dan tidak melekat padanya. Jika kebahagiaan yang bersifat sementara ini dipandang dg penuh kemelekatan dan tidak dipergunakan sebaik-baiknya, ini akan menjadi sumber penderitaan. Kebahagiaan sejati bukan terletak pada hal-hal yang di luar diri kita, melainkan dapat ditemukan dalam diri kita.

Semua yg muncul atau lahir pasti akan tunduk pada kelapukan atau usia tua, penyakit, dan akhirnya kematian. Tidak ada yg dapat mengelak dari 4 jenis penderitaan fisik ini. Keinginan atau harapan yang tidak terpenuhi juga adalah penderitaan. Kita tidak berharap untuk bertemu dengan hal-hal yg tidak menyenangkan atau orang yang tidak disukai dan berharap untuk bertemu dengan hal-hal yang menyenangkan atau orang yg disukai. Namun, harapan atau keinginan tersebut tidak selalu terjadi. Seringkali apa yang tidak kita harapkan itulah yang terjadi pada kita. Ini menyebabkan penderitaan batin yang tidak terelakkan oleh siapa pun.

Secara singkat, penderitaan berasal dari kemelekatan pada batin dan bentuk, yang disebut lima kelompok kehidupan. Lima kelompok kehidupan merupakan lima unsur yang membentuk kehidupan semua makhluk, yang terdiri atas kelompok jasmani (rupa), perasaan (vedana), pencerapan atau persepsi (sañña), bentuk-bentuk pikiran (sankhara), dan kesadaran (viññana). Untuk lebih lanjut tentang 5 kelompok kehidupan ini akan dibahas pada bagian 5.

Melekat pd jasmani, seseorg menganggap jasmani sebagai aku, diriku, milikku; berharap jasmani tersebut kekal dan tidak berubah. Ketika jasmani ini berubah, melapuk karena usia tua, diliputi penyakit, dan dihantui kematian, seseorg yang melekat padanya tidak dapat menerima hal ini, maka timbul penderitaan. Demikian pula, melekat pada perasaan, seseorang menganggap perasaan sebagai aku, diriku, miliki; berharap perasaan yang menyenangkan selalu timbul dan tidak mengharapkan timbulnya perasaan yang tidak menyenangkan. Namun saat perasaan yang tdk menyenangkan timbul, perasaan yg menyenangkan lenyap, maka seseorg yang melekat pada perasaan merasakan penderitaan. Demikian juga hal yang sama berlaku untuk pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran. Inilah Kebenaran Mulia tentang Penderitaan yang seharusnya dipahami sebagaimana adanya.

Keinginan yang menyebabkan kelahiran kembali dan disertai nafsu dan kemelekatan adalah sumber penderitaan atau permasalahan kehidupan ini. Terdapat 3 jenis keinginan, yaitu keinginan terhadap kesenangan indera, keinginan terhadap kelangsungan, dan keinginan terhadap pemusnahan diri.

a. Keinginan terhadap kesenangan indera meliputi semua jenis keinginan terhadap objek-objek yang menyenangkan bagi indera kita, seperti bentuk yang indah, suara yang merdu, rasa yang enak, sentuhan yang menyenangkan, dan seterusnya, yang menimbulkan pemuasan nafsu-nafsu indera. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan atau kegelapan batin yang menganggap objek-objek tersebut adalah kekal dan menyenangkan dan oleh sebab itu dianggap sumber kebahagiaan.

b. Keinginan terhadap kelangsungan merupakan keinginan yang didasari oleh pandangan tentang adanya suatu diri yang kekal yang akan tetap ada setelah kematian (eternalisme). Dalam hal ini, seseorang memuaskan keinginannya agar dirinya tetap dapat menikmati kesenangan indera tersebut pada masa yang akan datang, bahkan setelah kematian. Keinginan untuk terus hidup nyawan dan mewah, terlahir kembali sebagai manusia, terlahir di alam surga termasuk keinginan jenis ini.

c. Keinginan terhadap pemusnahan diri berhubungan pandangan nihilisme bahwa segala sesuatu lenyap setelah kematian. Karena pandangan ini, seseorang menganggap kehidupan ini hanya sekali dan cenderung mencari kesenangan indera yang ada saat ini karena tidak mau kehilangan kesempatan memuaskan keinginannya tersebut di masa yang akan datang. Kasus orang-orang yang bunuh diri karena suatu masalah yang tidak terpecahkan juga termasuk keinginan jenis ini.

Inilah Kebenaran Mulia ttg Sebab Penderitaan yg seharusnya dilenyapkan.

Dengan meninggalkan dan melenyapkan sepenuhnya keinginan, maka sebab penderitaan dicabut dan dengan lenyapnya sebab penderitaan, maka penderitaan tidak akan timbul lagi. Dengan demikian tercapailah kebahagiaan sejati atau Nibbana. Karena ajaran Buddha mengajarkan adanya kebahagiaan dengan melepaskan sebab penderitaan beserta jalan menuju kebahagiaan tersebut, maka tidak tepat mengatakan ajaran Buddha sebagai pesimistik yang hanya mengajarkan tentang penderitaan kehidupan ini.

Membicarakan Kebenaran Mulia ketiga ini sama dengan membicarakan tentang Nibbana, yang di luar pemahaman akal dan logika kita karena Nibbana adalah yang tidak berkondisi dan di atas duniawi. Hal ini diibaratkan dalam perumpamaan seekor kura-kura yang berusaha menjelaskan daratan kering kepada seekor ikan yang hidup di perairan dan tidak pernah melihat daratan; kura-kura itu adalah mereka yang telah melepaskan diri dari kelahiran kembali dan mencapai Nibbana, sedangkan ikan adalah kita orang-orang biasa yang masih belum lepas dari lingkaran kelahiran kembali. Semua pembicaraan tentang Nibbana, realitas tertinggi yang menjadi tujuan akhir agama Buddha, pada akhirnya akan menjadi semacam spekulasi filosofis semata karena Nibbana bukan untuk dibicarakan atau didiskusikan, melainkan untuk direalisasi melalui praktek Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Untuk mencapai akhir penderitaan, diperlukan suatu jalan atau cara yang dapat membawa pada pelenyapan penderitaan tersebut. Inilah yang dijelaskan sebagai Kebenaran Mulia keempat dan terakhir, yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan yg terdiri dari:

1. Pandangan Benar (sammā ditthi)
2. Pikiran Benar (sammā samkappa)
3. Ucapan Benar (sammā vācā)
4. Perbuatan Benar (sammā kammanta)
5. Mata Pencaharian Benar (sammā ājiva)
6. Upaya Benar (sammā vāyāma)
7. Perhatian Benar (sammā sati)
8. Konsentrasi Benar (sammā samādhi)

Untuk kepentingan praktek, Jalan Mulia Berunsur Delapan dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu moralitas (sila) yang terdiri dari ucapan benar, perbuatan benar, dan mata pencaharian benar; konsentrasi (samadhi) yang terdiri dari upaya benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar; serta kebijaksanaan (pañña) yang terdiri dari pandangan benar dan pikiran benar. Dengan menjalankan ucapan, perbuatan dan mata pencaharian benar, moralitas dikembangkan. Kemudian dengan menjalankan upaya, perhatian dan konsentrasi benar, seseorang mengembangkan konsentrasi melalui meditasi. Setelah itu, pengembangan pandangan dan pikiran benar membawa seseorang pada kebijaksanaan pandangan terang (vipassana pañña), yaitu kebijaksanaan yang melebihi kebijaksanaan duniawi. Ini akan berbuah pd pencapaian 4 tingkat kesucian (Sotapanna, Sakadagami, Anagami, Arahant) dan Nibbana. Lebih lanjut ttg Jalan Mulia Berunsur Delapan ini akan dijelaskan pada bagian 8.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version