1. Mengapa Makhluk-Makhluk Hidup dalam Kebencian?Sakka, raja para dewa, bertanya kepada Sang Bhagavā: “Makhluk-makhluk ingin hidup tanpa kebencian, pertengkaran, atau permusuhan; mereka ingin hidup dalam kedamaian. Namun mereka hidup dalam kebencian, menyakiti satu sama lain, bermusuhan, dan sebagai musuh. Oleh belenggu-belenggu apakah mereka terikat, Tuan, sehingga mereka hidup dengan cara yang demikian?”
[Sang Bhagavā berkata:] “Raja para dewa, adalah belenggu kecemburuan dan kekikiran yang mengikat makhluk-makhluk sehingga, walaupun mereka berharap tanpa kebencian, pertengkaran, atau permusuhan, dan hidup dalam kedamaian, tetapi mereka hidup dalam kebencian, menyakiti satu sama lain, bermusuhan, dan sebagai musuh.”
Sakka, yang bergembira, menyatakan: “Demikianlah, Sang Bhagavā, demikianlah, Yang Berbahagia! Melalui jawaban Sang Bhagavā aku telah mengatasi keragu-raguanku dan bebas dari ketidakpastian.” Kemudian Sakka, setelah menyatakan penghargaannya, bertanya pertanyaan lain: “Tetapi, Tuan, apakah yang memunculkan kecemburuan dan kekikiran, apakah awal mulanya, bagaimanakah mereka lahir, bagaimanakah mereka muncul? Ketika apakah yang ada sehingga mereka muncul, dan ketika apakah yang tidak ada sehingga mereka tidak muncul?”
“Kecemburuan dan kekikiran muncul dari rasa suka dan tidak suka; ini adalah awal mulanya, ini adalah bagaimana mereka lahir, bagaimana mereka muncul. Dengan ini ada, mereka muncul, ketika ini tidak ada, mereka tidak muncul.”
“Tetapi, tuan, apakah yang memunculkan rasa suka dan tidak suka ... ? – “Mereka muncul dari keinginan ... “ – “Dan apakah yang memunculkan keinginan ... ?” – “Ia muncul dari pemikiran. Ketika pikiran berpikir tentang sesuatu, keinginan muncul; ketika pikiran tidak berpikir apa-apa, keinginan tidak muncul.” – “Tetapi, Tuan, apakah yang memunculkan pemikiran ... ?”
“Pemikiran, raja para dewa, muncul dari persepsi-persepsi dan gagasan-gagasan yang berkembang.[2] Ketika persepsi-persepsi dan gagasan-gagasan yang berkembang ada, pemikiran muncul. Ketika persepsi-persepsi dan gagasan-gagasan yang berkembang tidak ada, pemikiran tidak muncul.”
(dari DN 21, LDB 328–29)
2. Perselisihan di Antara Para Umat Awam, Perselisihan di Antara Para PertapaSeorang brahmana mendekati Yang Mulia Mahākaccāna dan bertanya kepadanya: “Mengapakah, Guru Kaccāna, para khattiya berselisih dengan para khattiya, para brahmana berselisih dengan para brahmana, dan para perumah tangga berselisih dengan para perumah tangga?”
“Adalah, brahmana, karena kemelekatan terhadap nafsu pada kenikmatan indria, belenggu pada nafsu pada kenikmatan indria, maka para khattiya berselisih dengan para khattiya, para brahmana berselisih dengan para brahmana, dan para perumah tangga berselisih dengan para perumah tangga.”
“Mengapakah, Guru Kaccāna, para pertapa berselisih dengan para pertapa?”
“Adalah, brahmana, karena kemelekatan terhadap nafsu pada pandangan-pandangan, belenggu pada pandangan-pandangan, maka para petapa berselisih dengan para petapa.”
“Kalau begitu adakah seseorang di dunia ini yang telah mengatasi kemelekatan terhadap nafsu pada kenikmatan indria ini dan kemelekatan terhadap nafsu pada pandangan-pandangan ini?”
“Ada”
“Dan siapakah itu?”
“Di sebuah kota di sebelah timur yang disebut Sāvatthī, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna sekarang sedang berdiam. Sang Bhagavā telah mengatasi kemelekatan terhadap nafsu pada kenikmatan indria ini dan kemelekatan terhadap nafsu pada pandangan-pandangan ini.”
Ketika hal ini dikatakan, brahmana itu bangkit dari duduknya, merapikan jubah atasnya di satu bahunya, menurunkan lututnya menyentuh tanah, dengan penuh hormat menghormat ke arah di mana Sang Bhagavā berada, dan mengucapkan ucapan inspiratif ini tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Sesungguhnya, Sang Bhagavā telah mengatasi kemelekatan terhadap nafsu pada kenikmatan indria ini dan kemelekatan terhadap nafsu pada pandangan-pandangan ini.”
(AN 2:37, NDB 157–58)
3. Konflik-Konflik Karena Kenikmatan Indria“Kemudian, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria, raja berselisih dengan raja, para bangsawan berselisih dengan para bangsawan, brahmana berselisih dengan brahmana, perumah-tangga berselisih dengan perumah-tangga, ibu berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ibu, ayah berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ayah, saudara laki-laki berselisih dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki dengan saudara perempuan, saudara perempuan dengan saudara laki-laki, teman dengan teman. Dan di sini dalam perselisihan, percekcokan, pertengkaran, mereka saling menyerang satu sama lain dengan tinju, bongkahan tanah, tongkat kayu, atau pisau, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.
“Kemudian, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, dan dalam peperangan dalam barisan berlapis ganda mereka menyerang dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.
“Kemudian, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, mereka menyerang benteng, dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak dan tersiram cairan mendidih dan digilas benda berat, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.
(dari MN 13, MLDB 181–82)
4. Berakar pada Ketagihan“Aku akan mengajarkan kepada kalian, para bhikkhu, sembilan hal yang berakar pada ketagihan. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.” – “Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Dan apakah sembilan hal yang berakar pada ketagihan? (1) Dengan bergantung pada ketagihan terdapat pencarian. (2) Dengan bergantung pada pencarian terdapat perolehan. (3) Dengan bergantung pada perolehan terdapat pertimbangan. (4) Dengan bergantung pada pertimbangan terdapat keinginan dan nafsu. (5) Dengan bergantung pada keinginan dan nafsu terdapat kemelekatan. (6) Dengan bergantung pada kemelekatan terdapat kepemilikan. (7) Dengan bergantung pada kepemilikan terdapat kekikiran. (8) Dengan bergantung pada kekikiran terdapat penjagaan. (9) Dengan penjagaan sebagai landasan muncullah pengambilan tongkat pemukul dan senjata, pertengkaran, pertikaian, dan perselisihan, tuduhan, ucapan memecah-belah, dan ucapan bohong, dan banyak hal-hal buruk yang tidak bermanfaat lainnya. Ini adalah sembilan hal yang berakar pada ketagihan.”[3]
(AN 9:23, NDB 1280)
5. Orang-Orang Buta dan GajahPada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu sejumlah para pertapa dan brahmana, para pengembara dari sekte lain, sedang berdiam di sekitar Sāvatthī. Mereka menganut berbagai pandangan, kepercayaan, dan pendapat, dan menyebarluaskan berbagai pandangan. Dan mereka suka bertengkar, berdebat, berselisih, melukai satu sama lain dengan anak panah ucapan, dengan mengatakan, “Dhamma adalah seperti ini, Dhamma bukan seperti itu! Dhamma bukan seperti ini, Dhamma adalah seperti itu!”
Kemudian sejumlah bhikkhu memasuki Sāvatthī untuk berkeliling mengumpulkan dana makanan. Setelah kembali, setelah makan mereka mendekati Sang Bhagavā, memberikan penghormatan kepada beliau, duduk pada satu sisi, dan menceritakan kepada beliau apa yang telah mereka lihat. Sang Bhagavā berkata: “Para bhikkhu, para pengembara dari sekte lain adalah buta dan tidak berpenglihatan. Mereka tidak mengetahui apa yang bermanfaat dan berbahaya. Mereka tidak mengetahui apa yang merupakan Dhamma dan apa yang bukan Dhamma, dan dengan demikian mereka suka bertengkar dan berdebat demikian.
“Pada masa lampau, para bhikkhu, terdapat seorang raja di Sāvatthī yang memerintahkan pelayannya untuk mengumpulkan semua orang di kota yang buta sejak lahir. Ketika pelayan itu telah melakukan demikian, raja memerintahkan pelayan itu untuk menunjukkan seekor gajah kepada orang-orang buta itu. Kepada beberapa orang buta ia memberikan kepala gajah itu, kepada beberapa orang telinganya, kepada yang lain sebuah gading, belalai, badan, kaki, bagian belakang, ekor, atau jambul pada ujung ekornya. Dan kepada masing-masing orang ia berkata, ‘Ini adalah seekor gajah.’
“Ketika ia melaporkan kepada raja apa yang telah ia lakukan, raja pergi menemui orang-orang buta itu dan bertanya kepada mereka: ‘Seperti apakah seekor gajah itu?’
“Mereka yang telah ditunjukkan kepalanya menjawab, ‘Seekor gajah, Baginda, adalah seperti sebuah kendi air.’ Mereka yang telah ditunjukkan telinganya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti sebuah tampi.’ Mereka yang telah ditunjukkan gadingnya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti sebuah mata bajak.’ Mereka yang telah ditunjukkan belalainya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti sebuah tiang bajak.’ Mereka yang telah ditunjukkan badannya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti gudang penyimpanan.’ Dan masing-masing yang lain dengan cara yang sama menggambarkan gajah sesuai dengan bagian yang telah ditunjukkan kepada mereka.
“Kemudian dengan mengatakan, ‘Seekor gajah adalah seperti ini, seekor gajah bukan seperti itu! Seekor gajah bukan seperti ini, seekor gajah adalah seperti itu!’ mereka berkelahi satu sama lain dengan kepalan tangan mereka. Dan raja menjadi gembira. Demikian juga, para bhikkhu, dengan para pengembara dari sekte lain yang buta dan tidak berpenglihatan, dan demikianlah mereka suka bertengkar, berdebat, dan berselisih, dengan melukai satu sama lain dengan anak panah ucapan.”
(Ud 6.4)
6. Percekcokan di Antara Para Bhikkhu“Para bhikkhu, di mana pun para bhikkhu berargumen dan bertengkar dan jatuh dalam perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan kata-kata tajam, aku merasa tidak nyaman untuk mengarahkan perhatianku ke sana, apalagi pergi ke sana. Aku menyimpulkan tentang mereka: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal dan telah melatih tiga hal lainnya.’
“Apakah tiga hal yang telah ditinggalkan? Pikiran pelepasan keduniawian, pikiran berbelas kasih, dan pikiran tanpa kekejaman. Ini adalah tiga hal yang telah ditinggalkan. Apakah tiga hal yang telah mereka latih? Pikiran keinginan indria, pikiran permusuhan, dan pikiran kekejaman. Ini adalah tiga hal yang telah mereka latih. Di mana pun para bhikkhu berargumen dan bertengkar dan jatuh dalam perselisihan. Aku menyimpulkan: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal ini dan telah melatih tiga hal lainnya.’
“Para bhikkhu, di mana pun para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling melihat satu sama lain dengan tatapan kasih sayang, aku merasa nyaman untuk pergi ke sana, apalagi untuk mengarahkan perhatianku ke sana. Aku menyimpulkan: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal dan telah melatih tiga hal lainnya.’
“Apakah tiga hal yang telah mereka tinggalkan? Pikiran keinginan indria, pikiran permusuhan, dan pikiran kekejaman. Ini adalah tiga hal yang telah mereka tinggalkan. Apakah tiga hal yang telah mereka latih? Pikiran pelepasan keduniawian, pikiran berbelas kasih, dan pikiran tanpa permusuhan. Ini adalah tiga hal yang telah mereka latih. Di mana pun para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, aku menyimpulkan: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal ini dan telah melatih tiga hal lainnya.’”
(AN 3:124, NDB 354–55)
7. Pertengkaran di KosambīPada suatu ketika para bhikkhu di Kosambī bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Kemudian seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada beliau, ia berdiri di satu sisi dan berkata: “Bhante, para bhikkhu di sini di Kosambi sedang bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Baik sekali, Bhante, jika Sang Bhagavā sudi mendatangi para bhikkhu itu demi belas kasih.” Sang Bhagavā menyetujui dengan berdiam diri.
Kemudian Sang Bhagavā mendatangi para bhikkhu itu dan berkata kepada mereka: “Cukup, para bhikkhu, jangan ada lagi pertengkaran, percekcokan, atau perselisihan.” Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tunggu, Bhante, mohon Sang Bhagavā, Raja Dhamma, hidup dengan tenang menekuni kediaman yang nyaman di sini dan saat ini. Kamilah yang bertanggung-jawab atas pertengkaran, percekcokan, dan perselisihan ini.”
Untuk ke dua kalinya … untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata: “Cukup, para bhikkhu, jangan ada lagi pertengkaran, percekcokan, atau perselisihan.” Untuk ke tiga kalinya bhikkhu itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tunggu, Bhante … Kamilah yang bertanggung jawab atas pertengkaran, percekcokan, dan perselisihan ini.”
Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Kosambi untuk menerima dana makanan. Ketika beliau telah menerima dana makanan di Kosambi dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau merapikan tempat peristirahatannya, dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, dan sambil berdiri mengucapkan syair-syair ini:
“Ketika banyak suara berteriak sekaligus
tidak ada yang menganggap dirinya sendiri sebagai seorang bodoh;
walaupun Sangha sedang terpecah
tidak ada yang merasa dirinya bersalah.
Mereka telah melupakan ucapan bijaksana,
mereka berbicara dengan hanya dikuasai oleh kata-kata.
Dengan mulut tidak terkekang, mereka berteriak sesukanya;
tidak ada yang mengetahui apa yang membuat mereka bertindak demikian.
‘Ia menghinaku, ia memukulku,
ia mengalahkanku, ia merampasku’ –
pada mereka yang memendam pikiran-pikiran seperti ini
kebencian tidak akan pernah lenyap.
Karena di dunia ini kebencian tidak akan pernah
dilenyapkan melalui tindakan kebencian lebih lanjut.
Kebencian dilenyapkan oleh tanpa kebencian:
Ini adalah hukum yang tetap dan abadi.
Mereka tidak mengetahui
bahwa di sini kita harus mengendalikan diri sendiri.
Tetapi mereka yang bijaksana yang menyadari ini
seketika mengakhiri segala permusuhan mereka.
Para penghancur tulang-belulang dan para pembunuh,
mereka yang mencuri ternak, kuda, dan harta kekayaan,
mereka yang menjarah seluruh negeri —
bahkan orang-orang ini dapat bertindak bersama
mengapa kalian tidak dapat melakukan demikian juga?
Jika seseorang dapat menemukan teman yang layak,
seorang teman yang bermoral dan setia,
maka dengan mengatasi segala ancaman bahaya
dan berjalan bersamanya dengan puas dan penuh perhatian.
Tetapi jika seseorang tidak menemukan teman yang layak,
tidak ada teman yang bermoral dan setia,
maka bagaikan seorang raja meninggalkan kerajaan yang ditaklukkannya
berjalanlah sendirian bagaikan gajah di hutan.
Lebih baik berjalan sendirian,
tidak berteman dengan orang-orang bodoh.
Berjalan sendirian dan tidak melakukan kejahatan,
santai bagaikan gajah di hutan.
(dari MN 128, MLDB 1008–10)
8. Akar-Akar Perselisihan“Para bhikkhu, ada enam akar perselisihan ini. Apakah enam ini?
(1) “Di sini, seorang bhikkhu marah dan bersikap bermusuhan. Ketika seorang bhikkhu marah dan bersikap bermusuhan, ia berdiam tanpa hormat dan tidak sopan terhadap Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu demikian menciptakan perselisihan dalam Saṅgha yang mengarah pada bahaya bagi banyak orang, pada ketidakbahagiaan banyak orang, pada kehancuran, bahaya, dan penderitaan para deva dan manusia. Jika, para bhikkhu, kalian melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, kalian seharusnya berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang jahat ini. Dan jika kalian tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, kalian seharusnya berlatih agar akar perselisihan yang jahat ini tidak muncul di masa depan. Dengan cara inilah akar perselisihan yang jahat itu ditinggalkan dan tidak muncul di masa depan.
(2) “Kemudian, seorang bhikkhu adalah seorang yang merendahkan dan kurang ajar … (3) … bersikap iri dan kikir … (4) … licik dan munafik … (5) … seorang yang memiliki keinginan jahat dan pandangan salah … (6) … seorang yang melekat pada pandangannya sendiri, menggenggamnya dengan erat, dan melepaskannya dengan susah-payah. Ketika seorang bhikkhu melekat pada pandangannya sendiri, menggenggamnya dengan erat, dan melepaskannya dengan susah-payah, ia berdiam tanpa hormat dan tidak sopan terhadap Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu demikian menciptakan perselisihan dalam Saṅgha yang mengarah pada bahaya bagi banyak orang, pada ketidakbahagiaan banyak orang, pada kehancuran, bahaya, dan penderitaan para deva dan manusia. Jika, para bhikkhu, kalian melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, kalian seharusnya berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang jahat ini. Dan jika kalian tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, kalian seharusnya berlatih agar akar perselisihan yang jahat ini tidak muncul di masa depan. Dengan cara inilah akar perselisihan yang jahat itu ditinggalkan dan tidak muncul di masa depan.
“Ini, para bhikkhu, adalah keenam akar perselisihan itu.”
(AN 6:36, NDB 898–99; MN 104, MLDB 854–55)