//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial  (Read 76901 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« on: 15 February 2018, 08:34:15 AM »
Berikut ada terjemahan buku Bhikkhu Bodhi berjudul "The Buddha's Teaching on Social and Communal Harmony"

=================================================

KOTBAH SANG BUDDHA TENTANG KERUKUNAN SOSIAL
Bhikkhu Bodhi

Kata Pengantar
Oleh Yang Mulia Dalai Lama

Buddha historis, Shakyamuni, hidup, mencapai pencerahan, dan mengajar di India lebih dari 2.500 tahun yang lalu. Namun, saya meyakini bahwa banyak dari apa yang beliau ajarkan begitu lama yang lampau masih relevan bagi kehidupan masyarakat saat ini. Sang Buddha melihat bahwa orang-orang dapat hidup bersama dengan bebas sebagai individu-individu, yang setara pada prinsipnya dan oleh sebab itu bertanggung jawab terhadap satu sama lain.

Beliau melihat bahwa tujuan kehidupan ini adalah untuk menjadi bahagia. Beliau menyatakan tentang penderitaan dalam konteks cara-cara untuk mengatasinya. Beliau mengetahui bahwa sementara ketidaktahuan mengikat makhluk-makhluk dalam keputusasaan dan penderitaa yang tiada akhir, pengembangan kebijaksanaan adalah bersifat membebaskan. Sang Buddha melihat bahwa setiap anggota keluarga manusia, apakah pria atau wanita, memiliki hak yang sama menuju pembebasan, tidak hanya dalam hal kebebasan politik atau bahkan spiritual, tetapi pada tingkat fundamental kebebasan dari ketakutan dan keinginan. Beliau mengetahui bahwa masing-masing dari kita hanyalah manusia biasa seperti halnya yang lain. Tidak hanya kita semua menginginkan kebahagiaan dan menghindari penderitaan, tetapi masing-masing dari kita memiliki hak yang sama untuk mengejar tujuan-tujuan ini.

Dalam komunitas monastik yang dibangun Sang Buddha, individu-individunya adalah setara, apa pun kelas sosial atau kasta asal mereka. Kebiasaan berkeliling mengumpulkan dana makanan dijalankan untuk memperkuat kesadaran para bhikkhu atas ketergantungan mereka terhadap orang lain. Dalam komunitas itu, keputusan-keputusan diambil dengan pemungutan suara dan perbedaan-perbedaan diselesaikan dengan kesepakatan bersama.

Sang Buddha mengambil pendekatan praktis dalam menciptakan suatu dunia yang lebih bahagia, yang lebih damai. Tentu saja beliau menetapkan jalan menuju pembebasan dan pencerahan yang terus diikuti oleh para umat Buddha di banyak bagian dunia saat ini, tetapi beliau juga secara konsisten memberikan nasehat bahwa siapa pun dapat memperhatikan untuk hidup dengan bahagia di sini dan saat ini.

Pilihan-pilihan dari nasehat dan pengajaran Sang Buddha yang dikumpulkan dalam buku ini – di bawah judul yang berhubungan untuk menjadi orang yang realistis, berdisiplin, bertutur kata lembut, bersabar alih-alih menjadi marah, memperhatikan kebaikan orang lain – semuanya memiliki hubungan dengan menjalin persahabatan dan mempertahankan perdamaian dalam komunitas.

Kita umat manusia adalah hewan sosial. Karena masa depan kita bergantung pada orang lain, kita membutuhkan teman-teman untuk memenuhi kepentingan kita. Kita tidak berteman dengan bertengkar, iri hati, dan marah, tetapi dengan bersungguh-sungguh dalam perhatian kita terhadap orang lain, dengan melindungi kehidupan mereka, dan menghormati hak-hak mereka. Berteman dan membangun kepercayaan adalah landasan di mana masyarakat bergantung padanya. Seperti para guru besar lainnya, Sang Buddha memuji toleransi dan sifat memaafkan dalam mengembalikan kepercayaan dan menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang muncul karena kecenderungan kita untuk melihat orang lain sehubungan dengan “kita” dan “mereka.”

Dalam buku yang mengagumkan ini Bhikkhu Bodhi, seorang bhikkhu Buddhis yang terpelajar dan berpengalaman, telah mengambil dari kitab-kitab dari tradisi Pāli, salah satu dari catatan ajaran Sang Buddha yang paling awal, untuk menggambarkan perhatian Sang Buddha terhadap kerukunan sosial dan komunal. Saya yakin para umat Buddha akan menemukan kumpulan ini berharga, tetapi saya berharap para pembaca umum akan menemukan ketertarikannya juga. Bahan-bahan yang dikumpulkan di sini jelas menunjukkan bahwa tujuan tertinggi Buddhisme adalah untuk melayani dan memberi manfaat dalam kemanusiaan. Karena apa yang menarik saya bukanlah mengubah keyakinan orang lain ke dalam Buddhisme, tetapi bagaimana kita umat Buddha dapat berkontribusi pada masyarakat menurut pemikiran kita sendiri, saya yakin bahwa para pembaca yang hanya tertarik dalam menciptakan suatu dunia yang lebih bahagia, yang lebih damai akan juga menemukan buku ini bersifat memperkaya [wawasan mereka].
 
Dalai Lama

Kata Pembuka
Oleh Hozan Alan Senauke

Buddha Gotama tumbuh dewasa di sebuah negeri dari kerajaan-kerajaan, suku-suku, dan varna, yang bermakna kelas sosial atau kasta. Itu adalah suatu masa dan tempat yang berbeda tetapi serupa dengan zaman kita, di mana kehidupan seseorang secara erat ditentukan oleh status sosial, pekerjaan keluarga, identitas budaya, dan jenis kelamin. Sebelum pencerahan Sang Buddha, identitas adalah bersifat definitif. Jika seseorang dilahirkan dalam kasta ksatria atau kasta pedagang atau kasta petani atau kasta buangan, ia menjalankan kehidupan itu sepenuhnya dan hampir selalu menikahi seseorang dari kelas atau kasta yang sama. Anak-anaknya melakukan hal yang sama. Tidak ada pemahaman hak individu atau nasib personal, tidak ada cara untuk mewujudkan kemampuan manusia selain dari peran sosial yang diberikan sejak lahir. Maka ajaran Sang Buddha dapat dilihat sebagai penegasan keras atas kemampuan individual. Hanya melalui usaha seseorang pencerahan dimungkinkan, melampaui batasan kasta, kedudukan sejak lahir, atau realitas konvensional. Dalam syair 396 dari Dhammapada, Sang Buddha mengatakan:

Aku tidak menyebut seseorang sebagai seorang brahmana hanya karena kelahiran, karena ia dilahirkan dari seorang ibu (brahmana). Jika ia memiliki kemelekatan, ia hanya disebut “sombong.” Seseorang yang tanpa kemelekatan, tanpa keterikatan – ia kusebut sebagai seorang brahmana.

Pada waktu yang sama, Sang Buddha dan para siswanya tinggal di tengah-tengah masyarakat. Mereka tidak mendirikan vihara-vihara mereka di puncak gunung yang terpencil tetapi di pinggiran kota-kota besar seperti Sāvatthī, Rājagaha, Vesālī, dan Kosambī. Mereka bergantung pada umat awam perempuan dan laki-laki, upāsikā and upāsaka, untuk kebutuhan kehidupan mereka. Bahkan saat ini para bhikkhu dan bhikkhuni dalam tradisi Theravāda di Burma (atau Myanmar), Thailand, Sri Lanka, Kamboja, dan Laos pergi pada pagi hari untuk berkeliling mengumpulkan dana makanan sebagai makanan mereka. Walaupun mereka menjalankan disiplin monastik yang ketat, adalah salah membayangkan bahwa vihara-vihara Asia Tenggara tertutup dan terpisah dari saudara-saudarinya di dunia sekuler. Vihara-vihara dan komunitas sekuler adalah saling bergantungan, dalam suatu tradisi yang manis dan sepenuhnya hidup.

Pada musim gugur tahun 2007 masyarakat dari sekeliling dunia terinspirasi oleh “Revolusi Saffron” Burma yang teguh tetapi damai – yang dibawakan oleh suatu protes tanpa kekerasan dari para bhikkhu Burma terhadap penindasan pemerintahan militer. Protes itu dipicu oleh naiknya harga bahan bakar secara tiba-tiba dan tajam yang secara drastis mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk bekerja atau mendapatkan bahan bakar untuk masak atau bahkan makanan pokok. Hubungan yang erat antara para bhikkhu, bhikkhuni, dan umat awam secara historis telah bermakna sehingga ketika satu bagian mengalami kesengsaraan, yang lainnya merespon. Para bhikkhu Burma telah memiliki sejarah panjang bersuara melawan ketidakadilan. Mereka telah berani menentang kolonialisme Inggris, pemerintahan diktator, dan dua dasawarsa junta militer.

Bagi Buddhis Burma para bhikkhu telah menjadi agen perubahan dalam masyarakat yang berdiri pada jurang perubahan nyata. Walaupun perubahan ini tidak terhindarkan, junta militer telah sebelumnya menentangnya dengan tekad yang kuat. Pertemuan dari keadaan-keadaan ini menciptakan suatu celah: terpilihnya suatu pemerintahan sipil yang baru (meskipun orang dapat mempertanyakan proses pemilihannya), dibebaskannya para tahanan politik (termasuk pemenang hadiah Nobel Daw Aung San Suu Kyi setelah bertahun-tahun ditahan sebagai tahanan rumah), gerakan tanpa kekerasan di sekeliling dunia yang didorong oleh “Musim Seni Arab” tahun 2011, dan dialog baru antara pemimpin Burma dan perwakilan dari Eropa, Amerika Serikat, dan kekuatan-kekuatan ekonomi lainnya. Terdapat suatu perasaan kemungkinan dan harapan di mana-mana.

Kumpulan teks ini menggarisbawahi kehidupan dalam Dhamma dalam suatu masyarakat yang bebas dan rukun, dengan menggunakan ucapan Sang Buddha yang telah teruji oleh waktu. Kembali dari Burma pada bulan November 2011, saya telah berpikir tentang perlunya di sana dan di tempat lain atas jenis kumpulan dari sutta-sutta Pāli ini. Pada tahun 2012 kekerasan komunal meletus di negara bagian Rakhine Burma dan di tempat lain di negeri itu. Perlunya untuk melihat secara mendalam ke dalam ajaran-ajaran Sang Buddha tentang kerukunan sosial telah menjadi mendesak. Karena bukan seorang cendikiawan atau seorang penerjemah, saya menghubungi beberapa teman yang terpelajar. Ternyata bahwa beberapa tahun belakangan Bhikkhu Bodhi, salah seorang penerjemah Buddhisme Awal kita yang paling dihormati dan produktif, telah mengumpulkan suatu kumpulan yang demikian sebagai tambahan dalam kurikulum pelatihan untuk kerukunan sosial di Sri Lanka, yang diorganisasikan oleh Institut untuk Studi Hak-Hak Asasi Manusia di Universitas Columbia.

Di sini terdapat nasehat Sang Buddha tentang bagaimana hidup secara rukun dalam masyarakat yang tidak menindas mereka yang berbeda agama atau latar belakang etnisnya, dengan tidak memperlakukan dengan kejam dan mengeksploitasi diri mereka sendiri atau orang lain. Walaupun situasi di Burma, Sri Lanka, Thailand, India, atau Amerika Serikat berbeda-beda, ajaran-ajaran sosial Sang Buddha memberikan sejenis kebijaksanaan yang melampaui kekhususan waktu dan tempat. Ajaran-ajaran beliau menyediakan suatu landasan kebebasan di mana masing-masing bangsa dan masyarakat dapat membangunnya menurut keperluannya sendiri.

Saya sangat berterima kasih kepada Bhikkhu Bodhi atas kebijaksanaan dan kemurahan hati beliau. Orang-orang dari semua keyakinan dan kepercayaan di seluruh negeri mendambakan kebahagiaan dan kebebasan. Saya memberikan penghormatan kepada mereka yang bergerak menuju kebebasan, dan berharap agar ucapan Sang Buddha tentang kerukunan sosial dapat membawa kita tanpa rasa takut sepanjang jalan kita.

Berkeley, CA

Ucapan Terima Kasih

Pada tahun 2011 Bhikkhu Khemaratana membagikan saya suatu ringkasan teks-teks dari Kanon Pāli yang telah beliau persiapkan tentang tema kerukunan monastik, suatu topik di mana beliau secara khusus tertarik padanya. Teks-teks yang telah saya pilih untuk beberapa bagian dari kumpulan teks ini disarankan oleh teks-teks yang dipilih oleh Ven. Khemaratana, walaupun perlakuan saya terhadap topik itu telah dipengaruhi oleh tujuan dari kumpulan teks ini dan dengan demikian berbeda dari ringkasan beliau. Saya juga berterima kasih kepada Alan Senauke untuk menuliskan suatu kata pembuka dan penutup pada buku ini, yang mengambil dari pengalamannya sendiri menggunakan versi lebih awal dari kumpulan teks ini dalam pekerjaannya memelihara kerukunan sosial dan rekonsiliasi di India dan Myanmar.
« Last Edit: 15 February 2018, 08:38:38 AM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #1 on: 15 February 2018, 08:51:20 AM »
Pendahuluan Umum

Asal Mula Ajaran Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial

Konflik dan kekerasan telah mengganggu umat manusia sejak zaman dahulu, meninggalkan catatan sejarah yang dinodai dengan darah. Walaupun hati manusia selalu membangkitkan kerinduan terhadap kedamaian, kerukunan, dan persahabatan yang penuh cinta kasih, cara-cara memuaskan kerinduan ini selalu terbukti sulit dicapai. Dalam hubungan internasional, perang silih berganti satu sama lain bagaikan adegan-adegan dalam sebuah film, dengan hanya sedikit waktu jeda di mana kekuatan yang berseteru mulai menghimpun sekutu-sekutu baru dan membuat perampasan wilayah secara diam-diam. Tatanan sosial terus-menerus diporak-porandakan oleh perjuangan kelas, di mana kelas elit berusaha mengumpulkan lebih banyak hak istimewa dan kelas bawah berusaha mencapai hak yang lebih tinggi dan lebih banyak keamanan. Apakah ini adalah konflik antara majikan dan budak, antara tuan tanah dan pekerja, antara bangsawan dan rakyat jelata, antara modal dan tenaga kerja, ini tampaknya bahwa hanya wajah-wajah yang berubah sedangkan dinamika perebutan kekuasaan yang mendasari tetaplah sama. Masyarakat juga terus-menerus terancam oleh perselisihan internal. Persaingan memperebutkan kekuasaan, perbedaan pendapat, dan kepentingan yang berseteru di antara para anggota masyarakat dapat memecah belah masyarakat, melahirkan siklus baru permusuhan. Ketika setiap perang, perpecahan, atau perselisihan baru telah memuncak, harapan muncul agar rekonsiliasi akan terjadi, bahwa kedamaian dan persatuan akan akhirnya menang. Namun, lagi-lagi, harapan-harapan ini dengan cepat menjadi sia-sia.

Sebuah kutipan yang menggerakkan hati dalam kitab-kitab Buddhisme Awal membuktikan perbedaan antara cita-cita kita atas kedamaian dan kenyataan kelam atas konflik yang berkelanjutan. Pada suatu ketika, dikatakan, Sakka, raja para dewa, mengunjungi Sang Buddha dan menanyakan pertanyaan yang menyedihkan: “Mengapa bahwa ketika orang-orang ingin hidup dalam kedamaian, tanpa kebencian atau permusuhan, mereka di mana-mana terlibat dalam kebencian dan permusuhan?” (lihat Teks VIII,1). Pertanyaan yang sama berkumandang selama berabad-abad, dan ini dapat dipertanyakan dengan urgensi yang sama atas banyaknya daerah konflik di dunia saat ini: Irak dan Suriah, Jalur Gaza, Republik Afrika Tengah dan Sudan Selatan, Myanmar dan Sri Lanka, Charleston dan Baltimore.

Masalah ini pasti juga berpengaruh pada hati Sang Buddha ketika beliau berkelana di dataran Sungai Gangga dalam perjalannya mengajar. Masyarakat pada masa beliau terbagi menjadi kasta-kasta terpisah yang dibedakan dengan hak khusus kaum elit dan status rendah dari mereka yang berada di bawah. Mereka yang berada di luar sistem kasta, kaum buangan, diperlakukan bahkan lebih buruk, mengalami penghinaan yang paling merendahkan. Pemandangan politik, juga, berubah-ubah, karena kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh para raja yang ambisius bangkit dari abu-abu negera kesukuan dan memulai serangan militer yang bermaksud untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka. Dalam istana persaingan pribadi antara meraka yang lapar akan kekuasaan sangat sengit. Bahkan komunitas spiritual pada masa itu tidak bebas dari konflik. Para filsuf dan para pertapa menyombongkan ajaran-ajaran mereka yang diperdebatkan satu sama lain dalam perdebatan yang panas, masing-masing berusaha mengalahkan musuh mereka dan meningkatkan jumlah para pengikut mereka.

Dalam sebuah syair yang sangat menggugah hati dalam Suttanipāta (vv. 935–37) Sang
Buddha menyuarakan perasaan kegamangan atas kekerasan yang dirasakan dalam dirinya, mungkin tak lama setelah beliau meninggalkan Kapilavatthu dan menyaksikan langsung dunia di luar negeri kelahirannya:

Ketakutan telah muncul dalam diri seseorang yang telah meninggalkan kekerasan:
lihatlah orang-orang yang terlibat dalam perselisihan.
Aku akan mengatakan kepada kalian perasaan kemendesakanku,
bagaimana aku tergerak oleh perasaan kemendesakan.

Setelah melihat orang-orang bergemetaran
bagaikan ikan dalam anak sungai dengan sedikit air,
ketika aku melihat mereka bermusuhan satu sama lain,
ketakutan muncul dalam diriku.

Dunia telah menjadi rapuh di mana-mana;
seluruh penjuru arah dalam kekacauan.
Menginginkan suatu kediaman bagi diriku sendiri,
aku tidak melihat tempat mana pun yang tidak didiami.

Ketika beliau mulai mengajar, misi utama Sang Buddha adalah memperkenalkan jalan yang berpuncak pada kedamaian internal, dalam keamanan tertinggi dari nibbāna, pembebasan dari siklus kelahiran, usia tua, dan kematian. Tetapi Sang Buddha tidak berbalik dari kondisi manusiawi demi tujuan pencarian pertapaan murni yang introspektif terhadap kebebasan. Dari posisi beliau sebagai seorang pertapa yang berdiri di luar tatanan sosial konvensional, beliau melihat dengan penuh keprihatinan terhadap umat manusia yang hidup dengan susah payah, terjerat dalam konflik namun mencita-citakan kedamaian, dan demi belas kasih beliau berusaha membawakan kerukunan ke dalam arena sulit dalam hubungan manusia, untuk mengembangkan suatu cara hidup yang berdasarkan toleransi, kerukunan, dan kebaikan.

Tetapi beliau bahkan melakukan lebih. Beliau mendirikan suatu komunitas intensional yang dicurahkan untuk memelihara kedamaian internal dan eksternal. Tugas ini dipercayakan beliau hampir dari awalnya; karena Sang Buddha bukanlah seorang pengembara penyendiri, yang mengajarkan mereka yang datang kepada beliau untuk bimbingan dan kemudian membiarkan mereka menjalankannya sendiri. Beliau adalah pendiri gerakan spiritual baru yang dari permulaannya tak diragukan lagi bersifat komunal. Segera setelah beliau mengakhiri kotbah pertamanya, lima orang pertapa yang mendengarnya memohon untuk menjadi siswanya. Seraya berjalannya waktu, ajaran beliau menarik semakin banyak laki-laki dan perempuan yang memilih mengikuti beliau dalam kehidupan tanpa rumah dan menanggung beban penuh pelatihannya. Demikianlah sebuah Sangha – sebuah komunitas para bhikkhu dan bhikkhuni yang tinggal bersama, berkelana bersama, dan berlatih bersama – perlahan-lahan berkembang di sekitar beliau.

Namun berganti dari pakaian biasa mereka menjadi jubah kuning tua bukanlah paspor langsung menuju kesucian. Walaupun cara hidup mereka telah berubah, para bhikkhu dan bhikkhuni yang memasuki tata tertib Sang Buddha masih membawa dalam diri mereka kecenderungan-kecenderungan manusiawi yang berurat akar atas kemarahan, kesombongan, ambisi, keirihatian, kemunafikan, dan sifat keras kepala. Ini demikian jelas bahwa ketegangan-ketegangan dalam komunitas monastik akan muncul, berkembang sewaktu-waktu menjadi permusuhan langsung, dan menimbulkan perpecahan, perselisihan, dan bahkan konflik yang hebat. Agar Sangha berkembang, Sang Buddha telah sesungguhnya menjadi seorang “manusia organisasi.” Walaupun beliau dapat menyatakan cita-cita spiritual yang tinggi di mana para siswanya dapat berlatih, ini tidak cukup untuk memastikan kerukunan dalam Sangha. Beliau juga harus mengembangkan suatu aturan yang terperinci untuk penyelenggaraan fungsi-fungsi komunal yang seragam dan membuat aturan yang akan mengendalikan jika tidak sepenuhnya melenyapkan kecenderungan-kecenderungan yang bersifat memecah belah. Ini menjadi Vinaya, kumpulan disiplin monastik.

Sang Buddha juga mengajarkan dan membimbing orang-orang yang memilih untuk mengikuti ajarannya di rumah, sebagai para siswa awam, yang tinggal di tengah-tengah keluarga mereka dan bekerja dalam kesibukan sehari-hari. Beliau dengan demikian dihadapkan dengan tugas tambahan menetapkan pedoman bagi masyarakat secara keseluruhan. Selain aturan dasar pelatihan moral umat awam, beliau harus memberikan prinsip-prinsip untuk memastikan bahwa orang tua dan anak, suami dan istri, atasan dan bawahan, dan orang-orang dari latar belakang dan kelas sosial yang sangat berbeda dapat hidup bersama dengan damai. Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, ruang lingkup Dhamma meluas. Dari sifat aslinya sebagai suatu jalan menuju kebebasan spiritual, yang berpusat di sekitar pelatihan kontemplatif dan pandangan filosofis, ia menjadi suatu etika luas yang berlaku tidak hanya pada perilaku individual tetapi pada hubungan antara orang-orang yang hidup di bawah kondisi-kondisi yang berbeda, apakah di vihara-vihara atau di rumah, apakah mencari penghidupan di pasar atau bengkel atau dalam pelayanan negara. Di bawah semua keadaan ini, kebutuhan etis utama adalah penghindaran menyakiti: menyakiti dengan serangan, menyakiti dengan menginjak-injak hak orang lain, menyakiti melalui konflik dan kekerasan. Cita-citanya adalah untuk menyebarluaskan kehendak baik dan kerukunan dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran.

Struktur Buku Ini

Kumpulan teks ini dimaksudkan untuk menyoroti ajaran-ajaran Sang Buddha tentang kerukunan sosial dan komunal. Ini didasarkan pada teks-teks yang saya susun pada tahun 2011 atas permintaan Program tentang Pembangunan Perdamaian dan Hak-Hak dari Institut untuk Studi Hak-Hak Asasi Manusia di Universitas Columbia, yang dimaksudkan untuk digunakan di antara para bhikkhu Buddhis di Sri Lanka sebagai akibat dari konflik berkepanjangan di negeri itu yang berakhir pada tahun 2009. Versi yang diperluas ini memasukkan teks-teks baru dan perubahan dalam susunannya.

Teks-teks semuanya diambil dari Kanon Pāli, kumpulan kitab yang dianggap sebagai “Ucapan Sang Buddha” (buddha-vacana) yang sah oleh para pengikut Buddhisme Theravāda, aliran Buddhisme yang tersebar luas di negara-negara Asia bagian selatan – terutama Sri Lanka, Burma, Thailand, Kamboja, dan Laos. Kutipan-kutipan yang saya ambil secara khusus berasal dari Sutta Piṭaka, Kumpulan Kotbah, yang mengandung kotbah-kotbah Sang Buddha dan para siswa terkemuka beliau. Saya tidak memasukkan teks-teks dari dua kumpulan lainnya, Vinaya Piṭaka, Kumpulan Disiplin Monastik, dan Abhidhamma Piṭaka, Kumpulan Risalah Doktrinal. Walaupun bagian-bagian dari Vinaya Piṭaka mungkin relevan dalam proyek ini, sejumlah besar bahan bacaan dalam kumpulan itu berhubungan dengan aturan-aturan monastik dan dengan demikian akan lebih sesuai bagi para pembaca khusus. Lebih jauh, kutipan-kutipan dari Vinaya yang kebanyakan berhubungan dengan kerukunan komunal memiliki paralel dalam Sutta Piṭaka yang telah dimasukkan di sini.

Walaupun Kanon Pāli merupakan kumpulan kitab yang disahkan dari Buddhisme Theravāda, teks-teks dari kumpulan ini tidak dianggap hanya terkait dengan aliran Buddhisme tertentu mana pun, karena teks-teks ini berasal dari strata tertua literatur Buddhis, dari kumpulan kotbah yang berdiri pada sumber asli Buddhisme. Juga ajaran-ajaran ini tidak terikat dengan kepercayaan atau sistem keyakinan agama mana pun. Dalam kejelasan, daya yang meyakinkan, dan pemahaman mendalam atas sifat manusia, teks-teks ini dapat berkata kepada siapa pun tidak peduli apa pun agamanya. Teks-teks ini memiliki pesan universal yang membuat mereka dapat diterapkan pada semua upaya keras untuk menyebarluaskan hubungan yang damai antara orang-orang. Mereka menyediakan diagnosa atas akar-akar yang mendasari konflik, dengan sederhana dan dengan jelas diungkapkan, dan memberikan strategi praktis untuk menyelesaikan perselisihan, mengembangkan rekonsiliasi, dan membangun kerukunan masyarakat.

Saya telah menyusun pilihan-pilihan berdasarkan suatu struktur yang dengan sengaja mencerminkan, dalam beberapa hal, pola yang diadopsi Sang Buddha sendiri dalam menguraikan ajarannya. Pada bagian yang tersisa dari pendahuluan umum ini saya akan menjelaskan dasar pemikiran yang mendasari penyusunan saya. Masing-masing bagian diawali dengan pendahuluannya masing-masing, yang dimaksudkan untuk mengikat bersama teks-teks dalam bab itu dan mengungkapkan secara eksplisit hubungan mereka dengan tema bab itu.

Bagian I terdiri dari teks-teks tentang pandangan benar atau pemahaman benar. Sang Buddha membuat pandangan benar faktor pertama dari jalan mulia berunsur delapan dan di tempat lain menekankan peranan pandangan benar sebagai pemandu menuju kehidupan bermoral dan spiritual. Karena tujuan dari kumpulan teks ini adalah untuk menyediakan perspektif Buddhis tentang kerukunan komunal alih-alih menunjukkan jalan menuju kebebasan akhir, teks-teks yang saya masukkan di sini menyoroti jenis pemahaman benar yang menumbuhkan perilaku etis. Ini kadangkala disebut “pandangan benar duniawi” – berbeda dengan “pandangan benar yang melampaui-duniawi,” pandangan terang ke dalam sifat kosong dan tanpa inti dari semua hal berkondisi yang memotong akar-akar belenggu pada siklus kelahiran kembali.

Pemahaman benar terhadap prinsip kamma memiliki akibat yang menentukan pada perilaku seseorang. Ketika kita menyadari bahwa perbuatan kita sendiri pada akhirnya memantul kembali pada diri kita sendiri dan menentukan nasib kita pada kehidupan-kehidupan mendatang, kita akan termotivasi untuk meninggalkan kualitas-kualitas batin yang ternodai dan menghindari perilaku buruk. Alih-alih, kita akan terinspirasi untuk melakukan perilaku baik dan mengembangkan kualitas-kualitas bermanfaat. Pola ini dicerminkan dalam struktur jalan mulia berunsur delapan itu sendiri, di mana pandangan benar membawa pada kehendak benar, yang kemudian terwujud dalam ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar.

Dalam Bagian II, saya membahas akibat pemahaman benar pada individu di bawah judul “pelatihan personal.” Buddhisme Awal melihat perubahan personal sebagai kunci bagi perubahan masyarakat. Masyarakat yang damai dan rukun tidak dapat dipaksakan dari luar dengan titah seorang penguasa yang berkuasa tetapi hanya muncul ketika orang-orang memperbaiki pikiran mereka dan mengadopsi standar perilaku yang pantas. Dengan demikian tugas mengembangkan kerukunan komunal harus dimulai dari perubahan personal. Perubahan personal terjadi melalui suatu proses pelatihan yang melibatkan pertunjukan keluar perilaku yang baik dan pemurnian internal. Mengikuti skema Buddhis tradisional, saya memasukkan jalan perubahan personal di bawah tiga judul kedermawanan, disiplin-diri etis, dan pengembangan pikiran.

Halangan utama kerukunan sosial adalah kemarahan atau kebencian. Kemarahan adalah bibit di mana permusuhan tumbuh, dan dengan demikian, dalam proses pelatihan personal, Sang Buddha memberikan perhatian khusus pada pengendalian dan pelenyapan kemarahan. Saya oleh sebab itu mengkhusus Bagian III pada “Menghadapi Kemarahan.” Teks-teks yang dimasukkan mengungkapkan landasan di mana kemarahan muncul, kekecewaan dan bahaya tunduk pada kemarahan, dan penangkal praktis yang dapat digunakan untuk melenyapkan kemarahan. Obat utama untuk kemarahan adalah kesabaran, yang diajarkan Sang Buddha bahkan di bawah kondisi yang paling berat. Demikianlah dua bagian terakhir dalam bab itu terdiri dari teks-teks yang berhubungan dengan kesabaran, sebagai anjuran dan melalui kisah-kisah tentang mereka yang terbaik memberikan teladan kesabaran.

Bagian IV dikhususkan pada ucapan. Ucapan adalah aspek perilaku manusia yang peranannya berhubungan dengan kerukunan sosial adalah begitu penting sehingga Sang Buddha membuat ucapan benar sebagai faktor tersendiri dalam jalan mulia berunsur delapan. Saya telah mengikuti contoh Sang Buddha dengan mengkhususkan suatu pemilihan teks-teks dengan pokok bahasan tentang ucapan. Ini berhubungan tidak hanya dengan ucapan benar seperti yang biasanya dipahami tetapi juga dengan cara tepat untuk berpartisipasi dalam perdebatan, ketika akan memuji dan mengkritik orang lain, dan bagaimana mengoreksi seseorang yang berbuat kesalahan ketika dibutuhkan.

Dengan Bagian V, kita bergerak lebih lanjut secara eksplisit dari lingkup pengembangan personal ke hubungan interpersonal. Hubungan ini dimulai dengan persahabatan baik, suatu kualitas yang ditekankan Sang Buddha sebagai landasan untuk kehidupan yang baik. Dalam teks-teks yang saya pilih, kita melihat Sang Buddha menjelaskan kepada para siswa monastik dan para pengikut awamnya nilai dari pergaulan dengan sahabat-sahabat baik, menggambarkan kualitas-kualitas seorang sahabat baik, dan menjelaskan bagaimana sahabat seharusnya memperlakukan satu sama lain. Beliau menghubungkan persahabatan baik dengan keberhasilan dalam kehidupan berumah tangga dan pengembangan spiritual seorang bhikkhu.

Bagian VI memperluas lingkup penyelidikan dari persahabatan personal menuju lingkup pengaruh yang lebih luas. Dalam bab ini saya memasukan pemilihan teks-teks di mana Sang Buddha menyoroti akibat sosial dari perilaku personal. Bab itu dimulai dengan kutipan-kutipan yang membandingkan antara orang bodoh dan orang bijaksana, orang jahat dan orang baik. Bab itu kemudian berlanjut membandingkan para praktisi yang mencurahkan dirinya hanya pada kebaikannya sendiri dengan mereka yang juga mencurahkan dirinya pada kebaikan orang lain. Apa yang tampak adalah suatu penegasan yang jelas bahwa jalan pelatihan terbaik adalah ia yang mendedikasikan dirinya pada dua jenis kebaikan: kebaikan diri sendiri dan orang lain.

Bagian VII membawa kita pada pembangunan suatu komunitas intensional. Karena Sang Buddha adalah pendiri suatu tatanan monastik, bukan seorang pemimpin sekuler, pedoman-pedoman yang beliau usulkan untuk membangun komunitas yang secara alami berhubungan dengan kehidupan monastik. Tetapi pada kesempatan beliau diminta oleh para pemimpin pemerintahan untuk memberikan nasehat tentang memelihara kerukunan dalam masyarakat pada umumnya, dan prinsip-prinsip yang beliau tetapkan telah dipertahankan dalam kotbah-kotbah. Pemilihan lainnya dalam bab ini berhubungan dengan kerjasama antara dua cabang komunitas Buddhis, para monastik dan umat awam.

Namun demikian, bahkan ketika mereka berbuat dengan maksud yang terbaik, orang-orang membawa kecenderungan-kecenderungan yang menyebabkan perpecahan dan perselisihan. Perselisihan membentuk pokok bahasan Bagian VIII. Teks-teks yang dimasukkan di sini berhubungan dengan perselisihan internal di antara para monastik dan umat awam, yang dalam beberapa hal memiliki kesamaan asal mulanya tetapi dalam hal lain muncul dari sebab-sebab yang berbeda. Bagian ini membawa secara alami menuju Bagian IX, yang dikhususkan pada cara-cara menyelesaikan perselisihan. Di sini kita melihat Sang Buddha dalam peranannya sebagai seorang pembuat aturan monastik, yang menetapkan pedoman untuk menyelesaikan konflik dan memberikan jalan pelatihan untuk mencegah perselisihan muncul pada masa yang akan datang.

Bagian X, yang terakhir dalam kumpulan teks ini, bergerak dari komunitas intensional, seperti yang diwakilkan oleh tatanan monastik, menuju wilayah sosial yang lebih luas. Temanya adalah pembangunan suatu masyarakat yang adil. Saya di sini memasukkan kutipan-kutipan dari kotbah-kotbah yang menjelajahi hubungan yang terjalin dan saling berkaitan yang membentuk susunan masyarakat. Teks-teks itu memasukkan ajaran Sang Buddha tentang kehidupan keluarga, tentang hubungan antara orang tua dan anak serta suami dan istri, dan pemeliharaan suatu kehidupan rumah yang bermanfaat. Bagian terakhir dari bab ini berhubungan dengan cita-cita politik Sang Buddha, yang diwakilkan oleh tokoh “raja pemutar-roda,” rājā cakkavattī, penguasa adil yang mengatur kerajaannya sesuai dengan hukum moral. Walaupun prinsip-prinsip pemerintahan yang ditetapkan bagi seorang raja mungkin tampak usang pada masa kita saat ini dengan komitmennya yang diakui terhadap demokrasi, dalam penekanannya pada keadilan, kebajikan, dan kebenaran sebagai landasan untuk kekuasaan politik, teks-teks kuno Buddhis ini masih memiliki relevansi pada masa kini.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #2 on: 15 February 2018, 10:05:24 AM »
I. Pemahaman Benar

Pendahuluan

Sang Buddha mengajarkan bahwa pemahaman benar, atau “pandangan benar,” adalah pelopor pada jalan menuju kebebasan. Beliau menempatkan pandangan benar pada posisi faktor pertama dari jalan mulia berunsur delapan, jalan menuju akhir penderitaan, dan menyatakan bahwa semua faktor-faktor lainnya dari sang jalan harus dituntun oleh pandangan benar menuju tujuan ajarannya, lenyapnya penderitaan. Tetapi bagi Sang Buddha, pandangan benar memainkan suatu peranan penting tidak hanya dalam jalan menuju kebebasan tetapi juga dalam pencapaian kesejahteraan dan kebahagiaan dalam siklus kelahiran kembali. Ia melakukan hal ini dengan menekankan perlunya perilaku etis. Jenis pandangan benar yang melengkapi kehidupan bermoral kadangkala disebut “pandangan benar duniawi” (lokiya-sammādiṭṭhi) atau “pandangan benar atas tanggung jawab seseorang terhadap perbuatannya sendiri” (kammassakatā sammādiṭṭhi). Jenis pandangan benar ini didasarkan pada dasar pemikiran bahwa terdapat suatu landasan yang objektif dan transeden atas moralitas yang tidak bergantung pada penilaian dan pendapat manusia. Melalui pencerahannya, Sang Buddha menemukan hukum moral ini dan mengambil darinya suatu anjuran etis yang khusus dalam ajaran beliau.

Berdasarkan penemuan ini, Sang Buddha menyatakan bahwa keabsahan pembedaan moral dibangun ke dalam susunan alam semesta. Penilaian moral dapat dibedakan sebagai benar dan salah, perbuatan ditentukan sebagai baik dan buruk, dengan acuan pada suatu hukum moral yang sama efektifnya, sama universalnya dalam cara kerjanya seperti hukum-hukum fisika dan kimia. Oleh sebab itu, sebagai agen moral, kita tidak dapat membenarkan perbuatan kita hanya berdasarkan daya tarik dari preferensi personal, ataupun kita tidak dapat berharap mengikuti preferensi kita untuk mengamankan kesejahteraan kita sendiri. Alih-alih, untuk mencapai kesejahteraan sejati, kita harus bertindak sesuai dengan hukum moral, yang adalah Dhamma itu sendiri, prinsip utama kebenaran dan kebaikan yang selalu ada apakah para buddha menemukannya dan mengungkapkannya atau tidak.

Pandangan benar menegaskan bahwa perbuatan kita yang signifikan secara moral memiliki konsekuensi yang dapat membawa kita bahagia atau menderita. Perilaku kita membuat kamma, suatu kekuatan dengan kekuatan untuk menghasilkan akibat yang berhubungan dengan kualitas etis dari perbuatan asalnya. Kamma memberikan “buah,” akibat retributif yang mencerminkan perbuatan di mana ia muncul. Prinsip dasar yang mendasari bekerjanya kamma adalah bahwa perbuatan baik membawa buah yang menyenangkan, yang mendukung pada keberuntungan dan kebahagiaan, sedangkan perbuatan jahat membawa buah yang tidak menyenangkan, yang menyebabkan ketidakberuntungan dan penderitaan. Demikianlah akibat dari perbuatan kita yang disertai kehendak tidak terbatas pada pengaruh yang langsung terlihat, mereka muncul dari rantai sebab akibat yang sepenuhnya bersifat alami. Terdapat suatu prinsip yang tidak tampak dari sebab akibat moral yang bekerja di balik layar sedemikian sehingga, dengan berlalunya waktu, apakah panjang atau pendek, perbuatan-perbuatan kita akhirnya kembali kepada kita dan menentukan nasib kita pada kehidupan ini dan pada kehidupan-kehidupan mendatang.

Sang Buddha membedakan pandangan benar atas kemanjuran kamma dengan tiga jenis pandangan salah yang dikemukakan oleh para pemikir yang berlawanan pada masa beliau.[1] Satu jenis pandangan salah, yang disebut doktrin nihilisme moral (natthikavāda), menolak bertahannya personalitas setelah kematian dan mengatakan bahwa tidak ada buah dari perbuatan baik dan buruk kita. Saat kematian, orang bodoh dan orang bijaksana musnah sama sekali, hanya meninggalkan seonggokan mayat. Jenis kedua pandangan salah, disebut ajaran tidak-berbuat (akiriyavāda), menolak bahwa terdapat suatu landasan valid untuk membuat pembedaan moral. Mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan mengerikan seperti membantai dan menyiksa orang lain tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan salah; mereka yang memberi dengan penuh kedermawanan dan melindungi orang-orang yang tidak berdaya tidak dapat dikatakan berbuat dengan benar. Perbedaan antara perbuatan jahat dan perbuatan berjasa adalah suatu buatan manusia, sepenuhnya bersifat subjektif, dan dengan demikian penilaian moral hanyalah proyeksi dari pendapat pribadi. Jenis ketiga pandangan salah, disebut doktrin tanpa-sebab (ahetukavāda), menyatakan bahwa tidak ada sebab atau alasan bagi kekotoran makhluk-mahkluk dan tidak ada sebab atau alasan bagi pemurnian makhluk-makhluk. Makhluk-makhluk dikotori dan dimurnikan tanpa sebab apa pun. Mereka tidak memiliki agensi moral, kemampuan menentukan nasibnya sendiri, tetapi didorong untuk berbuat seperti yang mereka lakukan oleh takdir, keadaan, dan kodrat.

Sang Buddha menguraikan konsepsi beliau tentang pandangan benar sebagai respon pada tiga jenis pandangan salah ini. Beliau mengajarkan bahwa identitas personal bertahan melampaui kematian fisik, dan bentuk yang kita ambil pada masing-masing kehidupan ditentukan oleh kamma kita. Makhluk-makhluk hidup melalui suatu rangkaian kelahiran kembali yang tanpa awal di mana selama itu mereka menuai buah dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk mereka. Kenyataan bahwa perbuatan kita sendiri kembali kepada kita dengan demikian menyediakan suatu dorongan kuat untuk menghindari kejahatan dan berbuat kebaikan. Berlawanan dengan doktrin tidak-berbuat, Sang Buddha menyatakan bahwa penilaian moral tidaklah acak. Mereka memiliki suatu landasan yang objektif, sehingga perbuatan-perbuatan tertentu – seperti membunuh dan mencuri – dapat dengan tepat dijelaskan sebagai kejahatan, sedangkan jenis perilaku lainnya – seperti memberi dan pengendalian moral – dapat dengan tepat dijelaskan sebagai kebaikan. Dan Sang Buddha menyatakan bahwa sesungguhnya terdapat sebab-sebab untuk kekotoran dan pemurnian makhluk-makhluk. Orang-orang tidak digerakkan secara tidak berdaya oleh takdir tetapi memiliki kemampuan menentukan nasibnya sendiri. Melalui kelalaian kita mengotori diri kita sendiri dan dengan usaha keras kita dapat memurnikan diri kita sendiri. Penentu nasib kita berada dalam diri kita sendiri dan bergantung pada kendali kehendak kita.

Kerukunan dalam komunitas mana pun, apakah kelompok kecil atau keseluruhan masyarakat, bergantung pada komitmen bersama pada perilaku etis. Walaupun bisa jadi ada kerukunan di antara para pencuri, kerukunan demikian hanya dapat bertahan selama para pencuri itu jujur satu sama lainnya, dan karena alasan ini, persatuan kelompok yang demikian umumnya berumur pendek. Seperti yang telah lama diketahui para filsuf, komunitas sebenarnya bergantung pada komitmen bersama terhadap kebajikan. Karena Sang Buddha menyatakan bahwa perilaku etis bergantung pada landasan pandangan benar, maka pemahaman benar yang secukupnya adalah penting untuk memelihara suatu komunitas yang rukun. Namun pada masa sekarang, ketika metode kritis ilmu pengetahuan telah memunculkan skeptisisme tentang bertahannya kesadaran setelah kematian, akan lancang untuk memaksakan bahwa penerimaan penuh atas pandangan benar seperti yang diajarkan Sang Buddha diperlukan sebagai suatu landasan untuk kerukunan sosial. Tampaknya, meskipun, bahwa kerukunan sosial membutuhkan minimal agar para anggota kelompok mana pun berbagi keyakinan bahwa terdapat standar objektif untuk membedakan antara perilaku baik dan buruk dan bahwa terdapat manfaat-manfaat, bagi kelompok dan para anggota individualnya, dalam menghindari jenis-jenis perilaku yang umumnya dianggap buruk dan dalam hidup berdasarkan pada standar yang umumnya dianggap baik. Beberapa teks menunjukkan bahwa Sang Buddha sendiri tampaknya menyadari bahwa moralitas dapat dikembangkan berdasarkan refleksi-diri dan penalaran etis tanpa membutuhkan suatu kepercayaan pada bertahannya personalitas saat kematian.

Dalam Bagian I, saya telah mengumpulkan sejumlah sutta yang menjelaskan sifat pandangan benar. Teks-teks yang telah saya pilih menekankan pandangan atas tanggung jawab seseorang terhadap perbuatannya sendiri alih-alih pandangan benar yang membawa menuju kebebasan. Text I,1 mengambil sepasang pembedaan yang terdapat dalam seluruh ajaran Buddha. Kutipan ini dimulai dengan menyorot peranan pandangan benar sebagai pelopor sang jalan, yang tugas pertamanya adalah untuk membedakan antara pandangan salah dan pandangan benar. Dengan demikian pandangan benar tidak hanya memahami sifat sejati berbagai hal, tetapi ia juga membedakan antara pendapat yang salah dan benar tentang sifat berbagai hal. Dalam kutipan ini, Sang Buddha menjelaskan pandangan salah dengan rumusan umum untuk pandangan nihilisme moral. Dalam mendefinisikan pandangan benar, beliau mengambil pembedaan kedua, bahwa antara pandangan benar yang masih “tunduk pada noda-noda,” yang adalah pandangan atas kepemilikan seseorang terhadap perbuatannya sendiri, dan pandangan benar “yang melampaui-duniawi” yang berhubungan dengan jalan mulia berunsur delapan. Pandangan benar yang tunduk pada noda-noda, yang juga disebut sebagai pandangan benar duniawi, membedakan antara yang tidak bermanfaat dan yang bermanfaat. Ia mengungkapkan akar-akar perilaku baik dan buruk dan menyatakan prinsip-prinsip di balik bekerjanya kamma, hukum sebab akibat moral yang memastikan perbuatan-perbuatan baik dan buruk akhirnya menghasilkan buah yang sesuai. Walaupun jenis pandangan benar ini, dengan dirinya sendiri, tidak membawa pada kebebasan, ia penting untuk kemajuan dalam siklus kelahiran kembali dan berperan sebagai landasan untuk pandangan benar yang melampaui-duniawi, yang melenyapkan ketidaktahuan dan kekotoran-kekotoran yang berhubungan.

Pandangan benar duniawi adalah pemahaman terhadap kemanjuran kamma. Melalui pandangan benar duniawi, seseorang memahami bahwa kamma yang tidak bermanfaat, perbuatan-perbuatan yang muncul dari motif-motif yang tidak murni, akhirnya kembali pada diri sendiri dan membawa penderitaan, kelahiran kembali yang buruk, dan kemunduran spiritual. Sebaliknya, seseorang memahami bahwa kamma yang bermanfaat yang muncul dari motif-motif yang baik, membawa pada kebahagiaan, kelahiran kembali yang menguntungkan,  dan kemajuan spiritual. Dalam Teks I,2, Yang Mulia Sāriputta menyebutkan jalan kamma tidak bermanfaat dan akar-akar yang mendasarinya, dan juga jalan kamma bermanfaat dan akar-akarnya. Kamma tidak bermanfaat dijelaskan dengan cara “sepuluh jalan perbuatan tidak bermanfaat.” Akar-akar kamma tidak bermanfaat, motif-motif di mana ia berasal, adalah keserakahan, kebencian, dan delusi. Sebaliknya, kamma bermanfaat dijelaskan dengan cara sepuluh jalan perbuatan bermanfaat, yang memasukkan pandangan benar terhadap kamma dan buahnya. Akar-akar bermanfaat disebutkan sebagai tanpa-keserakahan, tanpa-kebencian, dan tanpa-delusi, yang dapat dinyatakan lebih positif sebagai kedermawanan, cinta-kasih, dan kebijaksanaan.

Teks I,3 memberikan analisis kamma yang lebih terperinci. Dalam kutipan ini, Sang Buddha menyatakan faktor penting dalam terbentuknya kamma adalah kehendak atau niat (cetanā), karena adalah kehendak yang memberikan perbuatan kualitas moralnya. Beliau juga menjelaskan keberagaman kamma dengan cara kemampuannya membawa pada kelahiran kembali pada alam-alam kehidupan yang berbeda; ini adalah lima alam tujuan menurut kosmologi Buddhisme Awal. Menurut sutta-sutta, kamma membawa buahnya tidak hanya di alam manusia tetapi di mana pun di antara lima alam tujuan itu. Kamma tidak bermanfaat membawa pada kelahiran dalam tiga alam yang lebih rendah – neraka, alam binatang, dan alam hantu yang menderita; kamma bermanfaat membawa kelahiran kembali dalam dua alam yang lebih tinggi – alam manusia dan alam deva atau surga. Kamma lebih lanjut dibedakan menurut jangka waktu di mana ia memunculkan buahnya: beberapa perbuatan menghasilkan buahnya dalam kehidupan ini juga; yang lain akan memberikan akibatnya pada kehidupan berikutnya; dan yang lain lagi dapat masak dalam kehidupan mana pun setelah kehidupan berikutnya.

Pengelompokan lebih lanjut tentang cara kerja kamma disediakan oleh Teks I,4, di mana Sang Buddha menjelaskan kepada seorang brahmana tiga pengetahuan jernih yang beliau capai pada malam pencerahannya. Yang kedua adalah pengetahuan mata dewa, di mana beliau dapat melihat secara langsung bagaimana makhluk-makhluk berlanjut dari kematian menuju kelahiran baru sesuai dengan kamma mereka. Mereka yang melakukan perbuatan salah berlanjut menuju keadaan-keadaan yang menderita; mereka yang melakukan perbuatan baik berlanjut menuju keadaan-keadaan yang bahagia. Prinsip umum yang muncul dari kejadian ini adalah hubungan erat antara perbuatan kita dan akibatnya. Melampaui jurang masa-masa kehidupan, kamma menghasilkan buah yang mencerminkan perbuatan asal di mana ia muncul. Demikianlah mereka yang membunuh menciptakan kamma yang membawa menuju masa kehidupan yang pendek, mereka yang melindungi kehidupan menciptakan yang membawa menuju masa kehidupan yang panjang; suatu prinsip yang sama berlaku pada jenis perbuatan lainnya.

Meskipun Sang Buddha mengembangkan etika berdasarkan pandangan kemanjuran perbuatan – prinsip bahwa perbuatan baik membawa akibat yang menyenangkan dan perbuatan buruk membawa akibat yang tidak menyenangkan – beliau juga memberikan landasan yang independen untuk kehidupan etis. Demikianlah, walaupun mengetahui hukum kamma sebagai suatu dorongan untuk perilaku bermoral, penerimaan sebab akibat kamma tidak diperlukan sebagai suatu pembenaran untuk etika. Perlunya perilaku etis dapat dikembangkan berdasarkan landasan lain yang tidak mengemukakan suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang bertahan setelah kematian. Landasan-landasan ini dapat dicapai melalui refleksi personal.

Dalam Kālāma Sutta, yang dikutip dalam bagian ini sebagai Teks I,5, Sang Buddha bertanya kepada orang-orang Kālāma dari Kesaputta, yang ragu-ragu apakah terdapat kehidupan setelah kematian, untuk menyingkirkan penilaian-penilaian tentang hal-hal demikian dan mengetahui secara langsung untuk diri mereka sendiri, dengan refleksi-diri, bahwa berbuat dengan landasan keserakahan, kebencian, dan delusi membawa pada bahaya dan penderitaan bagi diri sendiri dan orang lain; sedangkan, sebaliknya, membebaskan pikiran dari keserakahan, kebencian, dan delusi dan berbuat dengan cara yang bermanfaat membawa kesejahteraan dan kebahagiaan pada diri sendiri dan orang lain. Dalam sutta lainnya, yang juga dikutip sebagai di sini dalam Teks I,6, Sang Buddha meletakkan jenis-jenis utama perbuatan benar, seperti menghindari pembunuhan dan pencurian, berdasarkan refleksi moral di mana seseorang menempatkan dirinya sendiri pada posisi orang lain dan memutuskan bagaimana bertindak setelah mempertimbangkan bagaimana ia merasakannya jika orang lain memperlakukan dirinya dengan cara demikian. Walaupun Sang Buddha di sini menanggapi pertanyaan tentang cara-cara menuju kelahiran kembali surgawi, beliau tidak dengan tegas melandaskan anjuran moral pada hukum kamma atau keberadaan setelah kematian tetapi pada prinsip timbal-balik. Prinsip ini, yang dijelaskan secara terperinci di sini, secara ringkas diungkapkan oleh syair dalam Dhammapada: “Semua makhluk bergetar menghadapi kekerasan, semua takut akan kematian. Dengan menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain, seseorang seharusnya tidak membunuh atau menyebabkan orang lain membunuh” (v. 129).
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #3 on: 15 February 2018, 10:07:50 AM »
1. Pandangan Benar Muncul pada Urutan Pertama

“Para bhikkhu, pandangan benar muncul pada urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul pada urutan pertama? Seseorang memahami pandangan salah sebagai pandangan salah dan pandangan benar sebagai pandangan benar: ini adalah pandangan benar seseorang.

“Dan apakah pandangan salah? ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dikorbankan, tidak ada yang dipersembahkan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada di dunia ini para pertapa dan brahmana dengan perilaku baik dan praktek benar yang, setelah menembus dunia ini dan dunia lain bagi diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, menyatakannya kepada orang lain.’ Ini adalah pandangan salah.

“Dan apakah, para bhikkhu, pandangan benar? Pandangan benar, aku katakan, ada dua jenis: ada pandangan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan; dan ada pandangan benar yang mulia, bebas dari noda-noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan.[2]

“Dan apakah pandangan benar yang tunduk pada noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? ‘Ada yang diberikan, yang dikorbankan dan yang dipersembahkan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini dan dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada di dunia ini para pertapa dan brahmana dengan perilaku baik dan praktek benar yang, setelah menembus dunia ini dan dunia lain oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, menyatakannya kepada orang lain.’ Ini adalah pandangan benar yang tunduk pada noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan.

“Dan apakah pandangan benar yang mulia, bebas dari noda-noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan? Kebijaksanaan, indria kebijaksanaan, kekuatan kebijaksanaan, faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi, faktor sang jalan pandangan benar dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: ini adalah pandangan benar yang mulia, bebas dari noda-noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan.

“Seseorang berusaha untuk meninggalkan pandangan salah dan memasuki pandangan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Dengan penuh perhatian meninggalkan pandangan salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam pandangan benar: ini adalah perhatian benar seseorang. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling pandangan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.”

(dari MN 117, MLDB 934–35)

2. Memahami yang Tidak Bermanfaat dan yang Bermanfaat

[Yang Mulia Sāriputta berkata:] “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami yang tidak bermanfaat dan akar dari yang tidak bermanfaat, yang bermanfaat dan akar dari yang bermanfaat, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

“Dan apakah, teman-teman, yang tidak bermanfaat, apakah akar dari yang tidak bermanfaat, apakah yang bermanfaat, apakah akar dari yang bermanfaat? Membunuh makhluk hidup adalah tidak bermanfaat; mengambil apa yang tidak diberikan adalah tidak bermanfaat; perbuatan seksual yang salah adalah tidak bermanfaat; ucapan bohong adalah tidak bermanfaat; ucapan yang memecah belah adalah tidak bermanfaat; berkata kasar adalah tidak bermanfaat; omong kosong adalah tidak bermanfaat; ketamakan adalah tidak bermanfaat; permusuhan adalah tidak bermanfaat; pandangan salah adalah tidak bermanfaat. Ini disebut dengan yang tidak bermanfaat. Dan apakah akar dari yang tidak bermanfaat? Keserakahan adalah akar dari yang tidak bermanfaat; kebencian adalah akar dari yang tidak bermanfaat; delusi adalah akar dari yang tidak bermanfaat. Ini disebut dengan akar dari yang tidak bermanfaat.

“Dan apakah yang bermanfaat? Menghindari membunuh makhluk hidup adalah bermanfaat; menghindari mengambil apa yang tidak diberikan adalah bermanfaat; menghindari perbuatan seksual yang salah adalah bermanfaat; menghindari ucapan bohong adalah bermanfaat; menghindari ucapan yang memecah belah adalah bermanfaat; menghindari berkata kasar adalah bermanfaat; menghindari omong kosong adalah bermanfaat; tanpa-ketamakan adalah bermanfaat; berbelas kasih adalah bermanfaat; pandangan benar adalah bermanfaat. Ini disebut dengan yang bermanfaat. Dan apakah akar dari yang bermanfaat? Tanpa-keserakahan adalah akar dari yang bermanfaat; tanpa-kebencian adalah akar dari yang bermanfaat; tanpa-delusi adalah akar dari yang bermanfaat. Ini disebut dengan akar dari yang bermanfaat.”

(dari MN 9, MLDB 132–33)

3. Serba-Serbi tentang Kamma

[Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu:] “Ketika dikatakan: ‘Kamma seharusnya dipahami, sumber dan asal mula kamma seharusnya dipahami, keberagaman kamma seharusnya dipahami, akibat kamma seharusnya dipahami, lenyapnya kamma seharusnya dipahami, dan jalan menuju lenyapnya kamma harus dipahami,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Adalah kehendak, para bhikkhu, yang kusebut kamma. Karena setelah berkehendak, seseorang bertindak melalui jasmani, ucapan, atau pikiran.

“Dan apakah sumber dan asal-mula kamma? Kontak adalah sumber dan asal-mulanya.

“Dan apakah keberagaman kamma? Ada kamma yang harus dialami di neraka; ada kamma yang harus dialami di alam binatang; ada kamma yang harus dialami di alam hantu menderita; ada kamma yang harus dialami di alam manusia; ada kamma yang harus dialami di alam deva. Ini disebut keberagaman kamma.

“Dan apakah akibat kamma? Akibat kamma, Aku katakan, ada tiga: [yang dialami] pada kehidupan ini, atau pada kelahiran kembali [berikutnya], atau pada beberapa kelahiran berikutnya. Ini disebut akibat dari kamma.

“Dan apakah, para bhikkhu, lenyapnya kamma? Dengan lenyapnya kontak maka lenyap pula kamma.

“Jalan mulia berunsur delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya kamma, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami kamma, sumber dan asal-mula kamma, keberagaman kamma, akibat kamma, lenyapnya kamma, dan jalan menuju lenyapnya kamma, maka ia memahami kehidupan spiritual yang menembus ini sebagai lenyapnya kamma.”

(dari AN 6:63, NDB 963)

4. Makhluk-Makhluk Mengembara Sesuai Kamma Mereka

[Sang Buddha berkata kepada seorang brahmana:] “Ketika, brahmana, pikiranku terkonsentrasi, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lentur, lunak, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, aku mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk, hina dan mulia, cantik dan jelek, beruntung dan tidak beruntung, dan aku memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela orang-orang mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan perbuatan yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya tubuh, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam menderita, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan perbuatan yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan jelek, beruntung dan tidak beruntung, dan aku memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka. Ini adalah pengetahuan sejati kedua yang kucapai pada waktu jaga pertengahan malam itu. Ketidaktahuan dilenyapkan, pengetahuan sejati telah muncul; kegelapan dilenyapkan, cahaya telah muncul, seperti yang terjadi pada seorang yang berdiam penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh. Ini, brahmana, adalah penerobosanku yang kedua, bagaikan anak ayam yang menerobos keluar dari cangkangnya.”

(AN 8:11, NDB 1128–29)

5. Ketika Anda Mengetahuinya Sendiri

Orang-orang Kālāma dari Kesaputta mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada beliau: “Bhante, ada beberapa pertapa dan brahmana yang datang ke Kesaputta. Mereka menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin orang lain. Tetapi kemudian beberapa pertapa dan brahmana lainnya datang ke Kesaputta, dan mereka juga menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin orang lain. Kami menjadi bingung dan ragu-ragu, Bhante sehubungan dengan yang manakah dari para pertapa baik ini yang mengatakan kebenaran dan yang manakah yang mengatakan kebohongan.”

“Adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi bingung, orang-orang Kālāma, adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan telah muncul dalam diri kalian sehubungan dengan suatu persoalan yang membingungkan. Marilah, orang-orang Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan kitab, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Pertapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika, orang-orang Kālāma, kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika diterima dan dijalankan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,’ maka kalian harus meninggalkannya.

“Bagaimana menurut kalian, orang-orang Kālāma? Ketika keserakahan, kebencian, dan delusi muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?” – “Demi bahaya baginya, Bhante.” – “Orang-orang Kālāma, seseorang yang dikuasai keserakahan, kebencian, dan delusi, dengan pikiran yang dikuasai oleh hal-hal ini, melakukan pembunuhan makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan mengucapkan kebohongan; dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?” – “Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurut kalian, orang-orang Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?”—“Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?”—“Tercela, Bhante.”—“Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?”—“Dicela oleh para bijaksana, Bhante.”—“Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?”—“Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, orang-orang Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, orang-orang Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: “Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,” maka kalian harus meninggalkannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Marilah, orang-orang Kālāma. Jangan menuruti tradisi lisan, ... atau karena kalian berpikir: ‘Pertapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian harus hidup sesuai dengannya.

“Bagaimana menurut kalian, orang-orang Kālāma? Ketika seseorang adalah tanpa keserakahan, kebencian, dan delusi, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?” – “Demi kesejahteraan baginya, Bhante.” – “Orang-orang Kālāma, seseorang yang tidak dikuasai oleh keserakahan, kebencian, dan delusi, yang pikirannya tidak dikuasai oleh hal-hal ini, tidak melakukan pembunuhan makhluk hidup, tidak mengambil apa yang tidak diberikan, tidak melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan tidak mengucapkan kebohongan; dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?” – “Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurut kalian, orang-orang Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?”—“Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?”—“Tidak tercela, Bhante.”—“Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?”—“Dipuji oleh para bijaksana, Bhante.”—“Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?”—“Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, orang-orang Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, orang-orang Kālāma, janganlah menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: “Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,” maka kalian harus hidup sesuai dengannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

(dari AN 3:65, NDB 280–82)
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #4 on: 15 February 2018, 10:08:34 AM »
6. Sebuah Ajaran yang Dapat Diterapkan oleh Diri Sendiri

Para perumah tangga dari Gerbang Bambu berkata kepada Sang Bhagavā: “Sudilah mengajarkan kami Dhamma sedemikian sehingga kami dapat berdiam dengan bahagia di rumah dan setelah kematian terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.”

“Aku akan mengajarkan kalian, para perumah tangga, suatu pembabaran Dhamma yang dapat diterapkan oleh diri sendiri. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.” – “Baik, Yang Mulia,” para brahmana perumah tangga dari Gerbang Bambu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Apakah, para perumah tangga, pembabaran Dhamma yang dapat diterapkan oleh diri sendiri? Di sini, para perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Aku adalah seseorang yang ingin hidup, yang tidak ingin mati; aku menginginkan kebahagiaan dan menolak penderitaan. Karena aku adalah seorang yang ingin hidup … dan menolak penderitaan, maka jika seseorang membunuhku, itu tidak akan menyenangkan dan tidak disukai olehku. Sekarang jika aku membunuh orang lain — seseorang yang ingin hidup, yang tidak ingin mati, yang menginginkan kebahagiaan dan menolak penderitaan—itu tidak akan menyenangkan dan tidak disukai orang lain juga. Apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku adalah juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Bagaimana mungkin aku menimbulkan kepada orang lain apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku?’ Setelah merenungkan demikian, ia menghindari pembunuhan makhluk hidup, menasihati orang lain untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup, dan memuji tindakan menghindari pembunuhan makhluk hidup. Demikianlah perbuatan melalui jasmani ini dimurnikan dalam tiga aspek.

“Kemudian, para perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Jika seseorang mengambil dariku apa yang tidak kuberikan, yaitu, melakukan pencurian, itu tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Sekarang jika aku mengambil dari orang lain apa yang tidak ia berikan, yaitu, melakukan pencurian, itu juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Bagaimana mungkin aku menimbulkan kepada orang lain, apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku?’ Setelah merenungkan demikian, ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menasihati orang lain untuk menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan memuji tindakan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Demikianlah perbuatan melalui jasmani ini dimurnikan dalam tiga aspek.

“Kemudian, para perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Jika seseorang melakukan hubungan seksual dengan istriku, itu tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Sekarang jika aku melakukan hubungan seksual dengan istri orang lain, itu juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku adalah juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Bagaimana mungkin aku menimbulkan kepada orang lain, apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku?’ Setelah merenungkan demikian, ia menghindari hubungan seksual yang salah, menasihati orang lain untuk menghindari hubungan seksual yang salah, dan memuji tindakan menghindari hubungan seksual yang salah. Demikianlah perbuatan melalui jasmani ini dimurnikan dalam tiga aspek.

“Kemudian, para perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Jika seseorang merusak kesejahteraanku dengan kebohongan, itu tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Sekarang jika aku merusak kesejahteraan orang lain dengan kebohongan, itu juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Bagaimana mungkin aku menimbulkan kepada orang lain, apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku?’ Setelah merenungkan demikian, ia menghindari kebohongan, menasihati orang lain untuk menghindari kebohongan, dan memuji tindakan menghindari kebohongan. Demikianlah perbuatan melalui ucapan ini dimurnikan dalam tiga aspek.

“Kemudian, para perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Jika seseorang memecah-belahku dari teman-temanku dengan ucapan yang memecah-belah, itu tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Sekarang jika aku memecah-belah orang lain dari teman-temannya dengan ucapan yang memecah-belah, itu juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain …’ Demikianlah perbuatan melalui ucapan ini dimurnikan dalam tiga aspek.

“Kemudian, para perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Jika seseorang berkata kepadaku dengan ucapan kasar, itu tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Sekarang jika aku berkata kepada orang lain dengan ucapan kasar, itu juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain …’ Demikianlah perbuatan melalui ucapan ini dimurnikan dalam tiga aspek.

“Kemudian, para perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Jika seseorang berkata kepadaku dengan ucapan yang tanpa tujuan dan omong kosong, itu tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Sekarang jika aku berkata kepada orang lain dengan ucapan tanpa tujuan dan omong kosong, itu juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Bagaimana mungkin aku menimbulkan kepada orang lain, apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku?’ Setelah merenungkan demikian, ia menghindari omong kosong, menasihati orang lain untuk menghindari omong kosong, dan memuji tindakan menghindari omong kosong. Demikianlah perbuatan melalui ucapan ini dimurnikan dalam tiga aspek.”

(dari SN 55:7, CDB 1797–99)

Catatan Kaki:

[1] Tiga jenis pandangan salah dan pasangan mereka ini diselidiki dan dianalisis dalam MN 60. Mereka juga ditemukan dalam DN 2, MN 76, dan di tempat-tempat lain dalam Nikāya-Nikāya. Dalam DN 2, nihilisme moral dihubungkan dengan seorang pemikir bernama Ajita Kesakambalī; doktrin tidak-berbuat dengan Pūraṇa Kassapa; dan doktrin tanpa-sebab dengan Makkhali Gosāla.

[2] Tiga noda (āsava) adalah keinginan indera, keinginan terhadap kelangsungan, dan ketidaktahuan. Perolehan (upadhi) adalah lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati yang membentuk identitas individual. Pandangan benar yang dipengaruhi oleh noda-noda adalah pembentuk jalan duniawi yang mendukung pada kelahiran kembali yang menguntungkan dalam saṃsāra, rangkaian kelahiran dan kematian yang berkelanjutan. Pandangan benar yang bebas dari noda-noda adalah kebijaksanaan yang melampaui-duniawi yang menghancurkan rangkaian kelahiran dan kematian yang berkelanjutan tersebut.

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #5 on: 15 February 2018, 10:16:34 AM »
II. Pelatihan Personal

Pendahuluan

Sang Buddha mengajarkan bahwa pandangan-pandangan kita mempengaruhi semua aspek lain kehidupan kita. Pengaruh itu dimulai dari dampak pandangan kita terhadap motivasi kita. Dalam struktur jalan berunsur delapan, pandangan salah adalah kondisi bagi motivasi yang salah, karena kehendak yang dikuasai oleh nafsu, permusuhan, dan kekerasan, sedangkan pandangan benar adalah kondisi bagi motivasi yang benar, karena kehendak yang dikuasai oleh ketidak-melekatan, kebaikan, dan belas kasih.[1] Sang Buddha membandingkan pandangan salah dengan sebutir benih yang pahit, di mana dari sana pasti menghasilkan tanaman yang pahit (AN 10:104, NDB 1485): “Bagaikan sebutir benih mimba, pare, atau labu pahit, yang ditanam di tanah yang lembab dan menerima air, semuanya akan mengarah pada buah-buah dengan rasa pahit, demikian pula bagi seorang dengan pandangan salah … apa pun perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran yang ia lakukan sesuai dengan pandangan itu, dan apa pun kehendaknya, kerinduannya, kecenderungannya, dan aktivitas-aktivitasnya, semuanya mengarah pada bahaya dan penderitaan. Karena alasan apakah? Karena pandangannya buruk.” Pandangan benar, sebaliknya, bagaikan benih tanaman yang manis: “Bagaikan sebutir benih tebu, beras gunung, atau anggur, yang ditanam di tanah yang lembab dan menerima air, semuanya akan mengarah pada buah dengan rasa yang manis dan lezat, demikian pula, bagi seorang dengan pandangan benar ... apa pun perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran yang ia lakukan sesuai dengan pandangan itu, dan apa pun kehendaknya, kerinduannya, kecenderungannya, dan aktivitas-aktivitas kehendaknya, semuanya mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan. Karena alasan apakah? Karena pandangannya baik.”

Demikianlah ketika kita menganut pandangan salah, pandangan itu membentuk kehendak-kehendak kita sedemikian sehingga bermanifestasi sebagai perilaku yang tidak bermanfaat dan perbuatan-perbuatan yang buruk. Bagi Sang Buddha, motivasi untuk berperilaku bermoral dilemahkan oleh kepercayaan bahwa tidak ada kelangsungan personal setelah kematian, tidak ada pembedaan yang sah antara perbuatan baik dan buruk, dan tidak ada kebebasan untuk memilih benar dan salah. Sebaliknya, motivasi untuk berperilaku bermoral diperkuat oleh oleh kepercayaan bahwa kematian tidak menandai akhir segalanya dari kelangsungan personal, bahwa terdapat pembedaan yang sah antara perbuatan baik dan buruk, dan bahwa nasib kita tidak sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Tetapi proses transformasi personal tidak terjadi secara otomatis. Agar pandangan benar dapat memberikan pengaruh yang positif, usaha personal dibutuhkan, suatu upaya yang disengaja untuk mengharmoniskan perilaku kita dengan pemahaman dan kehendak-kehendak kita.

Teks-teks yang dimasukkan dalam Bagian II menggambarkan pengaruh transformatif pandangan benar dan kehendak benar pada perilaku. Saya telah menyusun kutipan-kutipan itu sesuai dengan pengelompokan tradisional atas perbuatan-perbuatan berjasa menjadi tiga kelompok: memberi, perilaku bermoral, dan pengembangan batin (dāna, sīla, bhāvanā). Ini berhubungan dengan metode Sang Buddha sendiri dalam membabarkan Dhamma, di mana beliau memulai dengan kedermawanan, melanjutkan ke perilaku yang baik, dan kemudian, ketika pendengarnya siap, mengajarkan empat kebenaran mulia dan jalan mulia berunsur delapan.

Saya mulai dengan sutta-sutta yang menyorot aspek-aspek yang berbeda dari kedermawanan atau memberi. Kedermawanan (cāga) dapat dilihat sebagai suatu ungkapan kehendak baik dari pelepasan. Ini adalah penawar pada kekikiran, suatu hasil dari kemelekatan, yang, seperti ditunjukkan oleh Teks II,1(1), adalah keenganan membagikan kepemilikan seseorang, sahabat, bahkan pengetahuan kepada orang lain. Kebalikan dari kekikiran, kedermawanan, seperti yang disebutkan dalam II,1(2), berasal dari perbuatan memberi (dāna), di mana seseorang melepaskan kemelekatan pada berbagai hal dan bergembira dalam membagikannya kepada orang lain. Oleh sebab itu memberi menciptakan ikatan solidaritas dengan orang lain dan memelihara rasa dukungan bersama.

Memberi dapat dipraktekkan karena alasan-alasan yang berbeda, tetapi seperti yang dinyatakan Teks II,1(3), alasan terbaik dalam memberi adalah “untuk tujuan menghiasi pikiran.” Perbuatan memberi juga dapat dilakukan dengan cara-cara yang berbeda, tetapi menurut Text II,1(4), ia paling baik ketika didasarkan pada keyakinan, dilakukan dengan penuh penghormatan, pada waktu yang tepat, dengan hati yang dermawan, dan yang terpenting, tanpa merendahkan si penerima. Memberi secara khusus berarti mempersembahkan kepada mereka yang membutuhkan hal-hal yang dapat meringankan kesulitan mereka. Teks II,1(5) dan II,1(6) mengatakan bahwa yang terbaik di antara pemberian materi adalah pemberian makanan, tetapi yang terunggul dari semua pemberian materi, dikatakan dalam II,1(7), adalah pemberian Dhamma.

Kunci untuk perilaku bermoral (sīla), menurut Teks II,2(1), adalah intropeksi moral; yaitu, pemeriksaan-diri ke dalam atas akibat yang mungkin dari perbuatan yang dikehendaki seseorang. Di sini, Sang Buddha mengajarkan putra beliau, samanera Rāhula, bahwa sebelum berbuat seseorang seharusnya merenungkan tentang akibat perbuatannya yang mungkin terjadi bagi diri sendiri dan orang lain. Keputusan seseorang untuk menolak perbuatan itu atau melakukannya seharusnya sesuai dengan hasil perenungannya, tentang apakah ini mungkin membawa bahaya bagi diri sendiri dan orang lain atau membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Ini telah memperkenalkan suatu dimensi sosial dalam pertimbangan moral seseorang. Namun komponen pertimbagan-lain adalah diimbangi oleh suatu “tujuan mencerahkan diri” yang terletak pada mempertimbangkan akibat perbuatan yang disengaja seseorang pada diri sendiri. Seseorang tidak melakukan kebaikan untuk orang lain dengan cara yang menodai integritas moral diri sendiri.

Perilaku bermoral itu sendiri dikembangkan dengan mengambil pelatihan moral dan berbuat sesuai dengan sepuluh jalan perbuatan bermanfaat. Lima pelatihan moral (pañcasīla) menyusun aturan moral paling penting yang diajarkan Sang Buddha: menghindari pembunuhan, pencurian, perbuatan seksual yang salah, kebohongan, dan konsumsi minuman keras. Mengikuti pelatihan moral ini, menurut Teks II,2(2), disebut kesempurnaan dalam perilaku bermoral. Aturan moral yang lebih luas, yang memasukkan juga sikap batin dan pandangan benar, diletakkan dalam sepuluh jalan perbuatan bermanfaat, yang memperluas perlunya ucapan benar dan juga memasukkan orientasi mental. Pelatihan moral dan jalan perbuatan bermanfaat mengatur perilaku jasmani dan ucapan, memastikan bahwa kita tidak mengakibatkan bahaya terhadap orang lain. Mereka juga membentuk kehendak-kehendak kita sehingga kita mengenali jenis sikap apakah yang membawa pada konflik dan perselisihan dan menggantinya dengan kehendak-kehendak baik yang membawa kerukunan. Teks II,2(3) menunjukkan bahwa manfaat menjalankan pelatihan moral tidak hanya menguntungkan bagi diri sendiri tetapi juga banyak orang lain, memberikan “sejumlah tak terhingga makhluk kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan.” Dengan demikian perilaku bermoral menyatukan manfaat bagi diri sendiri dan manfaat bagi orang lain; ia menggabungkan tujuan penting mencerahkan diri dengan tujuan altruisme etis.

Berjalan beriringan dengan penerapan perilaku bermanfaat adalah upaya pengembangan batin. Pengembangan batin melibatkan proses ganda yang bertujuan menjauhkan pikiran dari emosi-emosi yang mengotori dan menghasilkan kualitas-kualitas mental yang mendukung pada keringanan, kemurnian, dan kedamaian internal. Karena banyak kotbah Sang Buddha berhubungan degan dua proses ini, saya telah membatasi pemilihan saya pada teks-teks yang tampak paling relevan untuk menyebarluaskan kerukunan sosial.

Teks II,3(1), sebuah kutipan dari Perumpamaan Kain, menginstruksikan pelenyapan enam belas kekotoran batin. Dalam pemeriksaannya akan terlihat bahwa hampir semua kekotoran ini – keadaan-keadaan seperti ketamakan dan permusuhan, kemarahan dan kebencian, keirihatian dan kekikiran – memiliki akibat sosial yang berskala luas. Dengan demikian proses pelatihan mental, sementara menyebabkan pemurnian batin, secara bersamaan memunculkan kerukunan sosial.

Dalam sebuah kotbah otobiografi yang sebagian dikutip sebagai Teks II,3(2), Sang Buddha menjelaskan bagaimana, ketika beliau sedang berjuang demi pencerahan, beliau membedakan pikiran-pikirannya menjadi dua kategori – yang baik dan yang buruk – dan kemudian menggunakan perenungan yang sesuai untuk melenyapkan pikiran-pikiran buruk dan mengembangkan pikiran-pikiran baik. Perenungan beliau mempertimbangkan tidak hanya akibat pikiran-pikirannya pada dirinya sendiri tetapi juga akibatnya pada orang lain. Pikiran-pikiran buruk adalah pikiran-pikiran yang membawa bahaya bagi orang lain, pikiran-pikiran baik adalah pikiran-pikiran yang tidak membahayakan orang lain. Teks II,3(3) menjelaskan proses dari apa yang disebut “penghapusan” (sallekha), pelenyapan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat, melalui pelepasan empat puluh empat kekotoran, suatu skema komprehensif yang memasukkan beberapa kelompok tambahan seperti lima rintangan, sepuluh jalan perbuatan salah, dan yang lainnya.

Bersama dengan pelenyapan kekotoran-kekotoran, pelatihan pikiran melibatkan pengembangan kualitas-kualitas baik. Di antara hal-hal baik itu yang paling penting pada pengembangan kerukunan sosial adalah kualitas-kualitas yang terdiri dari “empat hal yang tak terukur” (appamaññā) atau “empat kediaman luhur” (brahmavihāra): cinta kasih, belas kasih, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan.[2] Teks II,4(1) adalah rumusan kanonik standar untuk empat hal yang tak terukur. Seperti yang didefinisikan dalam komentar Pāli, cinta kasih adalah keinginan atas kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk; belas kasih adalah keinginan untuk melenyapkan penderitaan; kegembiraan altruistik adalah kegembiraan atas keberhasilan dan keberuntungan orang lain; dan keseimbangan adalah ketidakberpihakan dan kebebasan dari prasangka.[3]

Sebagai landasan untuk tiga lainnya, cinta kasih mendapatkan perhatian paling banyak dalam Nikāya-Nikāya. Saya mencerminkan penekanan ini dengan menyoroti cinta kasih dalam Teks II,4(2)-(5). Kita di sini melihat Sang Buddha memuji pengembangan cinta kasih sebagai perbuatan berjasa terpenting yang berhubungan dengan siklus kelahiran kembali. Ia menciptakan kasih sayang kepada orang lain dan menjamin perlindungan-diri. Ia membawa pada kelahiran yang lebih tinggi dan berperan sebagai kondisi bagi penghancuran kekotoran-kekotoran. Di antara semua kualitas-kualitas baik, kebijaksanaan dianggap yang tertinggi, karena kebijaksanaan sendiri dapat sepenuhnya mencabut akar ketidaktahuan dan ketagihan yang mengikat kita pada siklus kelahiran dan kematian. Namun demikian, seperti yang ditunjukkan Teks II,4(5), cinta kasih dan empat landasan perhatian, praktek yang membawa pada kebijaksanaan, tidak saling terpisah tetapi dapat dikembangkan serentak. Adalah dengan melatih landasan-landasan perhatian dan mengembangkan kebijaksanaan di mana seseorang melindungi dirinya sendiri; adalah dengan cinta kasih di mana seseorang melindungi orang lain. Akhirnya, Teks II,4(6) menunjukkan bagaimana penyerapan meditatif dalam cinta kasih dapat digunakan sebagai landasan untuk mengembangkan pandangan terang dan mencapai tujuan akhir, kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan yang muncul bersama dengan penghancuran kekotoran-kekotoran.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #6 on: 15 February 2018, 10:22:16 AM »
1. Kedermawanan

(1) Kekikiran

“Terdapat, para bhikkhu, lima jenis kekikiran ini. Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat tinggal, kekikiran sehubungan dengan keluarga, kekikiran sehubungan dengan perolehan, kekikiran sehubungan dengan pujian, dan kekikiran sehubungan dengan Dhamma. Ini adalah lima jenis kekikiran. Di antara lima jenis kekikiran ini, yang paling buruk adalah kekikiran sehubungan dengan Dhamma. Kehidupan spiritual dijalankan demi meninggalkan dan melenyapkan lima jenis kekikiran ini.”

(AN 5:254–55, NDB 839)

(2) Kesempurnaan dalam kedermawanan

“Apakah kesempurnaan dalam kedermawanan? Di sini, seorang siswa mulia berdiam di rumah dengan pikiran yang bebas dari noda kekikiran, bermurah hati dengan bebas, bertangan terbuka, bergembira dalam pelepasan, mencurahkan diri dalam derma, bergembira dalam memberi dan berbagi. Ini disebut kesempurnaan dalam kedermawanan.”

(dari AN 4:61, NDB 450)

(3) Alasan-Alasan untuk Memberi

“Terdapat, para bhikkhu, delapan landasan untuk memberi ini. Apakah delapan ini? (1) Seseorang memberikan suatu pemberian karena keinginan. (2) Seseorang memberikan suatu pemberian karena kebencian. (3) Seseorang memberikan pemberian karena delusi. (4) Seseorang memberikan pemberian karena takut. (5) Seseorang memberikan pemberian, dengan berpikir: ‘Memberi telah dipraktikkan sebelumnya oleh ayahku dan leluhurku; aku seharusnya tidak meninggalkan kebiasaan keluarga yang sudah berlangsung sejak lama ini.’ (6) Seseorang memberikan pemberian, dengan berpikir: ‘Setelah memberikan pemberian ini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan terlahir kembali di alam tujuan kelahiran yang baik, di alam surga.’ (7) Seseorang memberikan pemberian, dengan berpikir: ‘Ketika aku sedang memberikan pemberian ini pikiranku menjadi tenang, dan kegirangan dan kegembiraan muncul.’ (8 ) Seseorang memberikan pemberian dengan tujuan menghiasi pikiran, melengkapi pikiran. Ini adalah delapan landasan untuk memberi itu.”

(AN 8:33, NDB 1166)

(4) Pemberian Orang Unggul

“Para bhikkhu, ada lima pemberian dari orang unggul ini. Apakah lima ini? Ia memberikan pemberian dengan penuh keyakinan; ia memberikan pemberian dengan hormat; ia memberikan pemberian pada waktu yang tepat; ia memberikan pemberian dengan hati yang dermawan; ia memberikan pemberian tanpa merendahkan.

(1) “Karena ia memberikan pemberian dengan penuh keyakinan, di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan ia menjadi tampan, menarik, anggun, memiliki penampilan yang luar biasa baik.

(2) “Karena ia memberikan pemberian dengan hormat, di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan anak dan istrinya, para budak, para pelayan, dan para pekerjanya patuh, mendengarkannya, dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya.

(3) “Karena memberikan pemberian pada waktu yang tepat, di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan manfaat-manfaat datang kepadanya sesuai waktunya secara berlimpah.

(4) “Karena ia memberikan pemberian dengan hati yang dermawan, di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan pikirannya condong pada menikmati hal-hal yang terbaik di antara lima utas kenikmatan indria.

(5) “Karena memberikan pemberian tanpa merendahkan dirinya sendiri atau orang lain, di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan tidak ada kehilangan pada hartanya terjadi dari sumber mana pun, apakah dari api, banjir, raja, penjahat, atau pewaris yang tidak disukai.

“Ini, para bhikkhu, adalah lima pemberian dari orang unggul.”

(AN 5:148, NDB 763–64)

(5) Pemberian Makanan (1)

“Para bhikkhu, jika orang-orang mengetahui, seperti yang aku ketahui, akibat dari memberi dan berbagi, mereka tidak akan makan tanpa memberi, ataupun mereka tidak akan mengizinkan noda kekikiran menguasai mereka dan berakar dalam pikiran mereka. Bahkan jika itu adalah butiran terakhir mereka, suapan terakhir mereka, mereka tidak akan makan tanpa membagikannya, jika terdapat seseorang untuk berbagi dengannya. Tetapi, para bhikkhu, karena orang-orang tidak mengetahui, seperti yang aku ketahui, akibat dari memberi dan berbagi, mereka makan tanpa diberikan, dan noda kekikiran menguasai mereka dan berakar dalam pikiran mereka.”

(It §26)

(6) Pemberian Makanan (2)

“Seorang siswa mulia perempuan, dengan memberikan makanan, memberikan empat hal kepada penerimanya. Apakah empat ini? Ia memberikan kehidupan panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan. Dengan memberikan kehidupan panjang, ia memperoleh kehidupan panjang, apakah surgawi atau manusiawi. Dengan memberikan kecantikan, ia memperoleh kecantikan, apakah surgawi atau manusiawi. Dengan memberikan kebahagiaan, ia memperoleh kebahagiaan, apakah surgawi atau manusiawi. Dengan memberikan kekuatan, ia memperoleh kekuatan, apakah surgawi atau manusiawi. Seorang siswa mulia perempuan, dengan memberikan makanan, memberikan empat hal itu kepada penerimanya.”

(AN 4:57, NDB 447)

(7) Pemberian Dhamma

“Para bhikkhu, ada dua jenis pemberian ini. Apakah dua ini? Pemberian benda-benda materi dan pemberian Dhamma. Di antara dua jenis pemberian ini, pemberian Dhamma adalah yang terunggul. Ini adalah dua jenis pemberian itu ... dua jenis kedermawanan ini ... dua objek pelepasan. Apakah dua ini? Pelepasan benda-benda materi dan pelepasan [dengan memberikan] Dhamma. Ini adalah dua jenis pelepasan. Dari dua jenis pelepasan ini, pelepasan [dengan memberikan] Dhamma adalah yang terunggul.”

(AN 2:141–44, NDB 182)

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #7 on: 15 February 2018, 10:28:17 AM »
2. Perilaku Bermoral

(1) Introspeksi Moral

“Bagaimana menurutmu, Rāhula? Apakah gunanya cermin?”

“Untuk merefleksikan, Bhante.”

“Demikian pula, Rāhula, suatu perbuatan melalui jasmani seharusnya dilakukan setelah direfleksikan berulang-ulang; suatu perbuatan melalui ucapan seharusnya dilakukan setelah direfleksikan berulang-ulang; suatu perbuatan melalui pikiran seharusnya dilakukan setelah direfleksikan berulang-ulang.

“Rāhula, ketika engkau ingin melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau seharusnya merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ Ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini akan mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan,’ maka engkau tidak boleh melakukan perbuatan melalui jasmani itu. Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini tidak akan mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil yang menyenangkan,’ maka engkau boleh melakukan perbuatan melalui jasmani itu.

“Juga, Rāhula, ketika engkau sedang melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau seharusnya merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang sedang kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ Ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang sedang kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan,’ maka engkau seharusnya menghentikan perbuatan melalui jasmani itu. Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang sedang kulakukan melalui jasmani ini tidak mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil yang menyenangkan,’ maka engkau boleh melanjutkan perbuatan melalui jasmani itu.

“Juga, Rāhula, setelah engkau melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau seharusnya merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang telah kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ Ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang telah kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan,’ maka engkau seharusnya mengakui perbuatan melalui jasmani itu, mengungkapkannya, dan menceritakannya kepada guru atau temanmu yang bijaksana dalam kehidupan suci. Setelah mengakuinya, mengungkapkannya, dan menceritakannya, engkau harus menjalani pengendalian di masa depan. Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang telah kulakukan melalui jasmani ini tidak mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil yang menyenangkan,’ maka engkau dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.”[4]

(MN 61, MLDB 524–26)

(2) Kesempurnaan dalam Perilaku Bermoral

“Apakah, para bhikkhu, kesempurnaan dalam perilaku bermoral? Di sini, seorang siswa mulia menghindari membunuh makhluk hidup, mengindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perbuatan seksual yang salah, menghindari ucapan bohong, menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut kesempurnaan dalam perilaku bermoral.”

(dari AN 4:61, NDB 449–50)

(3) Melindungi Tidak Terhitung Makhluk

“Di sini, seorang siswa mulia, setelah meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, menghindari pembunuhan makhluk hidup. Dengan menghindari pembunuhan, siswa mulia itu memberikan tidak terhitung makhluk kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan. Ia sendiri pada gilirannya menikmati kebebasan tidak terbatas dari ketakutan, dari permusuhan, dan kesengsaraan. Ini adalah pemberian pertama, pemberian besar, yang utama, yang telah berlangsung sejak lama, tradisional, kuno, yang tidak dapat dipalsukan, dan belum pernah dipalsukan, yang tidak dipalsukan dan tidak akan dipalsukan, yang tidak akan dibantah oleh para pertapa dan brahmana bijaksana.

“Kemudian, seorang siswa mulia, setelah meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Dengan menghindari dari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, siswa mulia itu memberikan tidak terhitung makhluk kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan. Ia sendiri pada gilirannya menikmati tidak terhitung kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan. Ini adalah pemberian kedua....

“Kemudian, seorang siswa mulia, setelah meninggalkan perbuatan seksual yang salah. Dengan menghindari dari perbuatan seksual yang salah, siswa mulia itu memberikan tidak terhitung makhluk kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan. Ia sendiri pada gilirannya menikmati tidak terhitung kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan. Ini adalah pemberian ketiga....

“Kemudian, seorang siswa mulia, setelah meninggalkan ucapan bohong, menghindari ucapan bohong, siswa mulia itu memberikan tidak terhitung makhluk kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan. Ia sendiri pada gilirannya menikmati tidak terhitung kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan. Ini adalah pemberian keempat....

“Kemudian, seorang siswa mulia, setelah meninggalkan minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Dengan menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, siswa mulia itu memberikan tidak terhitung makhluk kebebasan dari ketakutan, dari permusuhan, dan dari kesengsaraan. Ia sendiri pada gilirannya menikmati kebebasan tidak terbatas dari ketakutan, dari permusuhan, dan kesengsaraan. Ini adalah pemberian kelima, pemberian besar, yang utama, yang telah berlangsung sejak lama, tradisional, primitif, yang tidak dapat dipalsukan, dan belum pernah dipalsukan, yang tidak dipalsukan dan tidak akan dipalsukan, yang tidak akan dibantah oleh para pertapa dan brahmana bijaksana.”

(dari AN 8:39, NDB 1174)

(4) Baik dan Buruk

“Para bhikkhu, aku akan mengajarkan kalian apa yang baik dan apa yang buruk. Dan apakah yang buruk? Membunuh makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, perbuatan seksual yang salah, ucapan bohong, ucapan memecah belah, ucapan kasar, omong kosong, ketamakan, permusuhan, dan pandangan salah. Ini disebut buruk.

“Dan apakah yang baik? Menghindari membunuh makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perbuatan seksual yang salah, menghindari ucapan bohong, menghindari ucapan memecah-belah, menghindari ucapan kasar, menghindari omong kosong, tanpa-ketamakan, berbelas kasih, dan pandangan benar. Ini disebut baik.”

(AN 10:178, NDB 1526)

(5) Ketidakmurnian dan Kemurnian

“Ketidakmurnian melalui jasmani, Cunda, ada tiga. Ketidakmurnian melalui ucapan ada empat. Ketidakmurnian melalui pikiran ada tiga.

“Dan bagaimanakah, Cunda, ketidakmurnian melalui jasmani yang ada tiga itu? (1) Di sini, seseorang membunuh. Ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan kekerasan, tanpa belas kasih pada makhluk-makhluk hidup. (2) Ia mengambil apa yang tidak diberikan. Ia mencuri kekayaan dan harta milik orang lain di desa atau hutan. (3) Ia melakukan perbuatan seksual yang salah. Ia melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu, ayah, ibu dan ayah, saudara, saudari, atau kerabat mereka; yang dilindungi oleh Dhamma mereka; yang memiliki suami; yang pelanggarannya menuntut adanya hukuman; atau bahkan dengan seorang yang telah bertunangan. Dengan cara inilah ketidakmurnian jasmani itu ada tiga.

“Dan bagaimanakah, Cunda, ketidak-murnian ucapan yang ada empat itu? (1) Di sini, seseorang berbohong. Jika ia dipanggil untuk menghadap suatu dewan, menghadap suatu kumpulan, menghadap sanak saudaranya, menghadap serikat kerja, atau menghadap persidangan, dan ditanyai sebagai saksi sebagai berikut: ‘Jadi, tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ kemudian, tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat.’ Demikianlah ia dengan sengaja mengucapkan kebohongan demi dirinya sendiri, atau demi orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. (2) Ia mengucapkan kata-kata yang memecah-belah. Setelah mendengar sesuatu di sini, ia mengulanginya di tempat lain untuk memecah-belah orang-orang itu dari orang-orang ini; atau setelah mendengar sesuatu di tempat lain, ia mengulanginya kepada orang-orang ini untuk memecah-belah mereka dari orang-orang itu. Demikianlah ia adalah seorang yang memecah-belah mereka yang bersatu, seorang pembuat perpecahan, seorang yang menikmati kelompok-kelompok, bergembira dalam kelompok-kelompok, bersenang dalam kelompok-kelompok, seorang pengucap kata-kata yang menciptakan kelompok-kelompok. (3) Ia berkata-kata kasar. Ia mengucapkan kata-kata yang kasar, keras, menyakitkan bagi orang lain, menghina orang lain, berbatasan dengan kemarahan, tidak kondusif bagi konsentrasi. (4) Ia menikmati omong kosong. Ia berbicara pada saat yang tidak tepat, mengucapkan dusta, mengatakan apa yang tidak bermanfaat, mengucapkan apa yang bertentangan dengan Dhamma dan disiplin; dan pada saat yang tidak tepat ia mengucapkan kata-kata yang tidak bernilai, tidak logis, melantur, dan tidak bermanfaat. Dengan cara inilah ketidakmurnian ucapan itu ada empat.

“Dan bagaimanakah, Cunda, ketidakmurnian pikiran yang ada tiga itu? (1) Di sini, seseorang penuh ketamakan. Ia menginginkan kekayaan dan harta orang lain sebagai berikut: ‘Oh, semoga apa yang dimiliki orang lain menjadi milikku!’ (2) Ia memiliki pikiran permusuhan dan kehendak membenci sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini dibunuh, dibantai, dipotong, dihancurkan, atau dibinasakan!’ (3) Ia menganut pandangan salah, dan memiliki perspektif keliru sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dikorbankan, tidak ada yang dipersembahkan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada di dunia ini para pertapa dan brahmana yang dengan perilaku baik dan praktik benar yang, setelah merealisasikan dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, kemudian menyatakannya kepada orang lain.’ Dengan cara inilah ketidakmurnian pikiran itu ada tiga.

“Ini, Cunda, adalah sepuluh jalan kamma tidak bermanfaat .... Adalah karena orang-orang melibatkan diri dalam sepuluh kamma tidak bermanfaat ini maka neraka, alam binatang, alam hantu menderita, dan alam tujuan buruk lainnya menjadi terlihat.

“Kemurnian melalui jasmani, Cunda, ada tiga. Kemurnian melalui ucapan ada empat. Kemurnian melalui pikiran ada tiga.

“Dan bagaimanakah, Cunda, kemurnian melalui jasmani yang ada tiga itu? (1) Di sini, Cunda, setelah meninggalkan membunuh makhluk hidup, ia menghindari membunuh makhluk hidup. Dengan tongkat pemukul dan senjata dikesampingkan, berhati nurani dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas-kasih kepada semua makhluk hidup. (2) Setelah meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Ia tidak mencuri kekayaan dan harta orang lain di desa atau di dalam hutan. (3) Setelah meninggalkan perbuatan seksual yang salah, ia menghindari perbuatan seksual yang salah. Ia tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu mereka, oleh ayah, ibu dan ayah, saudara, saudari, atau kerabat mereka; yang dilindungi oleh Dhamma mereka; yang memiliki suami; yang pelanggarannya menuntut adanya hukuman; atau bahkan dengan seorang yang telah bertunangan. Dengan cara inilah kemurnian jasmani itu ada tiga.

“Dan bagaimanakah, Cunda, kemurnian ucapan yang ada empat itu? (1) Di sini, seseorang, setelah meninggalkan kebohongan, menghindari kebohongan. Jika ia dipanggil untuk menghadap suatu dewan, menghadap suatu kumpulan, menghadap sanak saudaranya, menghadap serikat kerja, atau menghadap persidangan, dan ditanyai sebagai saksi sebagai berikut: ‘Jadi, tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ kemudian, tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat.’ Demikianlah ia tidak dengan sengaja mengucapkan kebohongan demi dirinya sendiri, atau demi orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. (2) Setelah meninggalkan ucapan memecah-belah, ia menghindari ucapan memecah-belah. Setelah mendengar sesuatu di sini, ia tidak mengulanginya di tempat lain untuk memecah-belah orang-orang itu dari orang-orang ini; atau setelah mendengar sesuatu di tempat lain, ia tidak mengulanginya kepada orang-orang ini untuk memecah-belah mereka dari orang-orang itu. Demikianlah ia adalah seorang yang menyatukan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persatuan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, bersenang dalam kerukunan, seorang pengucap kata-kata yang memajukan kerukunan. (3) Setelah meninggalkan ucapan kasar; ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, memikat, kata-kata yang masuk ke dalam hati, kata-kata yang sopan yang disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang. (4) Setelah meninggalkan omong kosong, ia menghindari omong kosong; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sesuai fakta, mengatakan apa yang bermanfaat, berbicara tentang Dhamma dan disiplin; pada waktu yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, logis, singkat, dan bermanfaat. Dengan cara inilah kemurnian ucapan itu ada empat.

“Dan bagaimanakah, Cunda, kemurnian pikiran yang ada tiga itu? (1) Di sini, seseorang tanpa ketamakan. Ia tidak merindukan kekayaan dan harta orang lain sebagai berikut: ‘Oh, semoga apa yang dimiliki orang lain menjadi milikku!’ (2) Ia berbelas kasih dan kehendaknya bebas dari kebencian sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini hidup berbahagia, bebas dari permusuhan, kesengsaraan, dan kecemasan!’ (3) “Ia menganut pandangan benar dan memiliki perspektif benar sebagai berikut: ‘Ada yang diberikan, ada yang dikorbankan, ada yang dipersembahkan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini dan ada dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada di dunia ini para pertapa dan brahmana dengan perilaku baik dan praktik benar yang, setelah merealisasikan dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, kemudian menyatakannya kepada orang lain.’ Dengan cara inilah kemurnian pikiran itu ada tiga.

“Ini, Cunda, adalah sepuluh jalan kamma bermanfaat .... Adalah karena orang-orang melibatkan diri dalam sepuluh kamma bermanfaat ini maka para deva, manusia, dan alam tujuan baik lainnya menjadi terlihat.”

(dari AN 10:176, NDB 1519–22)
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #8 on: 15 February 2018, 10:32:26 AM »
3. Melenyapkan Kekotoran-Kekotoran Pikiran

(1) Enam Belas Kekotoran Pikiran

“Apakah, para bhikkhu, kekotoran-kekotoran yang mengotori pikiran? Ketamakan dan keserakahan yang tidak benar adalah kekotoran yang mengotori pikiran. Permusuhan … kemarahan … kebencian … sikap merendahkan … kecongkakan … iri hati … kekikiran … kecurangan … penipuan … sifat keras kepala … persaingan … keangkuhan … kesombongan … kepongahan … kelalaian adalah kekotoran yang mengotori pikiran. Mengetahui bahwa ketamakan dan keserakahan yang tidak baik adalah kekotoran yang mengotori pikiran, maka seorang bhikkhu meninggalkannya. Mengetahui bahwa permusuhan … kelalaian adalah kekotoran yang mengotori pikiran, maka seorang bhikkhu meninggalkannya.

(dari MN 7, MLDB 118)

(2) Dua Jenis Pikiran

“Para bhikkhu, sebelum pencerahanku, sewaktu aku masih seorang bodhisatta yang belum tercerahkan, aku berpikir: ‘Bagaimana jika aku membagi pikiran-pikiranku dalam dua kelompok.’ Kemudian aku mengelompokkan ke satu sisi pikiran-pikiran keinginan indria, pikiran-pikiran permusuhan, dan pikiran-pikiran kekejaman, dan aku mengelompokkan ke sisi yang lain pikiran-pikiran pelepasan keduniawian, pikiran-pikiran berbelas kasih, dan pikiran-pikiran tanpa-kekejaman.

“Sewaktu aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, suatu pikiran keinginan indria, pikiran permusuhan, atau pikiran kekejaman muncul dalam diriku. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran buruk ini telah muncul dalam diriku. Ini mengarah pada penderitaanku, pada penderitaan orang lain, dan pada penderitaan keduanya; pikiran ini menghalangi kebijaksanaan, menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menjauhkan dari nibbāna.’ Ketika aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaanku,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriku; ketika aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan orang lain,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriku; ketika aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan keduanya,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriku; ketika aku merenungkan: ‘pikiran ini menghalangi kebijaksanaan, menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menjauhkan dari nibbāna,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriku. Kapan pun pikiran keinginan indria, pikiran permusuhan, atau pikiran kekejaman muncul dalam diriku, aku meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya.

“Para bhikkhu, apapun yang sering dipikirkan dan direnungkan oleh seorang bhikkhu, itu akan menjadi kecenderungan pikirannya. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran-pikiran keinginan indria, ia telah meninggalkan pikiran pelepasan keduniawian untuk mengembangkan pikiran keinginan indria, dan kemudian pikirannya condong pada pikiran keinginan indria. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran permusuhan … pikiran kekejaman, ia telah meninggalkan pikiran tanpa-kekejaman untuk mengembangkan pikiran kekejaman, dan kemudian pikirannya condong pada kekejaman.

“Bagaikan pada bulan terakhir musim hujan, pada musim gugur, ketika panen berlimpah, seorang penggembala sapi menjaga sapi-sapinya dengan secara terus-menerus menepuk dan menyodok sapi-sapinya dan dengan tongkat untuk mengawasi dan mengekang sapi-sapi itu. Mengapakah? Karena ia melihat bahwa ia akan dicambuk, dikurung, dihukum, atau disalahkan [jika ia membiarkan sapi-sapi itu berkeliaran ke dalam wilayah panen]. Demikian pula aku melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, dan berkah pelepasan keduniawian, aspek pemurnian.

“Sewaktu aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, suatu pikiran pelepasan keduniawian, pikiran berbelas kasih, atau pikiran tanpa-kekejaman muncul dalam diriku. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran baik ini telah muncul dalam diriku. Ini tidak mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan orang lain, atau pada penderitaan keduanya; pikiran ini mendukung kebijaksanaan, tidak menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menuntun menuju nibbāna.’ Jika aku memikirkan dan merenungkan pikiran ini bahkan selama semalam, bahkan selama sehari, bahkan selama sehari semalam, aku tidak melihat apapun yang menakutkan di dalamnya. Tetapi dengan terlalu memikirkan dan merenungkan maka aku dapat melelahkan tubuhku, dan jika tubuhku lelah, pikiran menjadi terganggu, dan ketika pikiran terganggu, maka itu berarti jauh dari konsentrasi.’ Maka aku mengokohkan pikiranku secara internal, menenangkannya, membawanya menuju keterpusatan, dan mengonsentrasikannya. Mengapakah? Agar pikiranku tidak terganggu.

“Para bhikkhu, apapun yang sering dipikirkan dan direnungkan oleh seorang bhikkhu, maka itu akan menjadi kecenderungan pikirannya. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran-pikiran pelepasan keduniawian, ia telah meninggalkan pikiran keinginan indria untuk mengembangkan pikiran pelepasan keduniawian, dan kemudian pikirannya condong pada pikiran pelepasan keduniawian. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran berbelas kasih … pikiran tanpa-kekejaman, ia telah meninggalkan pikiran kekejaman untuk mengembangkan pikiran tanpa-kekejaman, dan kemudian pikirannya condong pada tanpa-kekejaman.

“Bagaikan pada bulan terakhir musim panas, ketika semua hasil panen telah dibawa ke dalam desa-desa, seorang penggembala sapi menjaga sapi-sapinya sambil duduk di bawah sebatang pohon atau di ruang terbuka, karena ia hanya perlu memperhatikan bahwa sapi-sapinya ada di sana; demikian pula, aku hanya perlu memperhatikan bahwa kondisi-kondisi itu ada di sana.

(dari MN 19, MLDB 207–9)

(3) Mempraktekkan Penghapusan

Sang Bhagavā berkata: “Sekarang, Cunda, ini adalah penghapusan[5] yang seharusnya engkau praktikkan:

(1) ‘Orang lain akan bertindak kejam; di sini kita tidak akan bertindak kejam’: penghapusan seharusnya dipraktikkan demikian.
(2) ‘Orang lain akan membunuh makhluk-makhluk hidup; di sini kita akan menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup’; penghapusan seharusnya dipraktikkan demikian.
(3) ‘Orang lain akan mengambil apa yang tidak diberikan; di sini kita akan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan’: penghapusan seharusnya dipraktikkan demikian.
(4) ‘Orang lain tidak hidup selibat; di sini kita akan hidup selibat’:...
(5) ‘Orang lain akan mengatakan kebohongan; di sini kita akan menghindari ucapan bohong’:....
(6) ‘Orang lain akan mengucapkan ucapan yang memecah belah; di sini kita akan menghindari ucapan yang memecah belah’:....
(7) ‘Orang lain akan berkata-kata kasar; di sini kita akan menghindari ucapan kasar’:....
(8) ‘Orang lain akan menyenangi omong kosong; di sini kita akan menghindari omong kosong:....
(9) ‘Orang lain akan bersifat tamak; di sini kita tidak akan bersifat tamak’:....
(10) ‘Orang lain akan memiliki sifat permusuhan; di sini kita akan berbelas kasih’:....
(11) ‘Orang lain akan memiliki pandangan salah; di sini kita akan memiliki pandangan benar’:....
(12) ‘Orang lain akan memiliki kehendak salah; di sini kita akan memiliki kehendak benar’: ....
(13) ‘Orang lain akan memiliki ucapan salah; di sini kita akan memiliki ucapan benar’: ....
(14) ‘Orang lain akan memiliki perbuatan salah; di sini kita akan memiliki perbuatan benar’:....
(15) ‘Orang lain akan memiliki penghidupan salah di sini; di sini kita akan memiliki penghidupan benar’:....
(16) ‘Orang lain akan memiliki usaha salah; di sini kita akan memiliki usaha benar’:....
(17) ‘Orang lain akan memiliki perhatian salah; di sini kita akan memiliki perhatian benar’:....
(18) ‘Orang lain akan memiliki konsentrasi salah; di sini kita akan memiliki konsentrasi benar’:....
(19) ‘Orang lain akan memiliki pengetahuan salah; di sini kita akan memiliki pengetahuan benar’:....
(20) ‘Orang lain akan memiliki kebebasan salah; di sini kita akan memiliki kebebasan benar’: ....
(21) ‘Orang lain akan dikuasai oleh kelambanan dan ketumpulan; di sini kita akan terbebas dari kelambanan dan ketumpulan’:....
(22) ‘Orang lain akan gelisah; di sini kita tidak akan gelisah’:....
(23) ‘Orang lain akan merasa ragu-ragu; di sini kita akan melampaui keragu-raguan’:....
(24) ‘Orang lain akan marah; di sini kita tidak akan marah’:....
(25) ‘Orang lain akan kesal; di sini kita tidak akan kesal’:....
(26) ‘Orang lain akan bersikap merendahkan; di sini kita tidak akan bersikap merendahkan:....
(27) ‘Orang lain akan congkak; di sini kita tidak akan congkak’:....
(28) ‘Orang lain akan merasa iri; di sini kita tidak boleh iri’:....
(29) ‘Orang lain akan bersifat tamak; di sini kita tidak akan bersifat tamak’:....
(30) ‘Orang lain akan menipu; di sini kita tidak akan menipu’:...
(31) ‘Orang lain akan curang; di sini kita tidak akan curang’:...
(32) ‘Orang lain akan bersifat keras kepala; di sini kita tidak akan bersifat keras-kepala’:....
(33) ‘Orang lain akan bersikap angkuh; di sini kita tidak akan bersikap angkuh’:....
(34) ‘Orang lain akan sulit dinasihati; di sini kita akan mudah dinasihati’:....
(35) ‘Orang lain akan memiliki teman-teman jahat; di sini kita akan memiliki teman-teman baik’:....
(36) ‘Orang lain akan lalai; di sini kita akan waspada’:....
(37) ‘Orang lain akan tidak berkeyakinan; di sini kita akan berkeyakinan’:...
(38) ‘Orang lain akan tidak memiliki rasa malu; di sini kita akan memiliki rasa malu’:....
(39) ‘Orang lain akan tidak memiliki rasa takut melakukan perbuatan salah; di sini kita akan takut melakukan perbuatan salah’: ....
(40) ‘Orang lain akan sedikit belajar; di sini kita akan banyak belajar’:....
(41) ‘Orang lain akan malas; di sini kita akan bersemangat’:....
(42) ‘Orang lain akan tanpa perhatian; di sini kita akan penuh perhatian’:....
(43) ‘Orang lain akan tanpa kebijaksanaan; di sini kita harus memiliki kebijaksanaan’:....
(44) ‘Orang lain akan terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan sulit melepaskannya; kita tidak akan terikat pada pandangan-pandangan kita sendiri atau menggenggamnya erat-erat, melainkan akan melepaskannya dengan mudah’: penghapusan seharusnya dipraktikkan demikian.

(dari MN 8, MLDB 125–27)
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #9 on: 15 February 2018, 10:38:27 AM »
4. Cinta Kasih dan Belas Kasih

(1) Empat Kediaman Luhur

[Sang Buddha berkata kepada brahmana muda Subha:][6] Di sini seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula arah kedua, demikian pula arah ketiga, demikian pula arah keempat; seperti juga ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah dan dengan segala cara, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa permusuhan. Ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih dikembangkan dengan cara ini, tidak ada kamma yang membatasi yang tersisa di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Bagaikan seorang peniup trompet yang kuat dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan, demikian pula, ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih dikembangkan dengan cara ini, tidak ada kamma yang membatasi yang tersisa di sana[7], tidak ada yang bertahan di sana. Ini adalah jalan menuju perkumpulan Brahmā.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasih … dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik … dengan pikiran penuh keseimbangan, demikian pula arah kedua, demikian pula arah ketiga, demikian pula arah keempat; seperti juga ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah dan dengan segala cara, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh keseimbangan, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa permusuhan. Ketika kebebasan pikiran melalui keseimbangan dikembangkan dengan cara ini, tidak ada kamma yang membatasi yang tersisa di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Bagaikan seorang peniup trompet yang kuat dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan, demikian pula, ketika kebebasan pikiran melalui keseimbangan dikembangkan dengan cara ini, tidak ada kamma yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana.”

(dari MN 99, MLDB 816–17)

(2) Cinta Kasih Bersinar Bagaikan Rembulan

“Para bhikkhu, apa pun landasan yang ada untuk membuat jasa kebajikan produktif pada kelahiran mendatang, ini tidak menyamai seperenam belas bagian dari kebebasan pikiran melalui cinta kasih. Kebebasan pikiran melalui cinta kasih melampaui landasan-landasan itu dan memancarkan cahaya, cerah dan cemerlang.

“Bagaikan sinar semua bintang tidak menyamai seperenam belas bagian dari sinar rembulan, tetapi sinar rembulan melampaui sinar bintang-bintang itu dan memancarkan cahaya, cerah dan cemerlang, demikian juga, apa pun landasan yang ada untuk membuat jasa kebajikan produktif pada kelahiran mendatang, ini tidak menyamai seperenam belas bagian dari kebebasan pikiran melalui cinta kasih. Kebebasan pikiran melalui cinta kasih melampaui landasan-landasan itu dan memancarkan cahaya, cerah dan cemerlang.

“Bagaikan pada bulan terakhir dari musim hujan, pada musim gugur, ketika langit cerah dan bebas dari awan, matahari, ketika terbit, menghalau kegelapan angkasa dan memancarkan cahaya, yang cerah dan cemerlang, demikian juga, apa pun landasan yang ada untuk menghasilkan jasa kebajikan produktif pada kelahiran mendatang, ini tidak menyamai seperenam belas dari kebebasan pikiran melalui cinta kasih. Kebebasan pikiran melalui cinta kasih melampaui landasan-landasan itu dan memancarkan cahaya, cerah dan cemerlang.

“Dan bagaikan pada malam hari, pada saat fajar, bintang kejora memancarkan cahaya, cerah dan cemerlang, demikian juga, apa pun landasan yang ada untuk membuat jasa kebajikan produktif pada kelahiran mendatang, ini tidak menyamai seperenam belas dari kebebasan pikiran melalui cinta kasih. Kebebasan pikiran melalui cinta kasih melampaui landasan-landasan itu dan memancarkan cahaya, cerah dan cemerlang.

(It §27)

(3) Manfaat-Manfaat Cinta Kasih

“Para bhikkhu, ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih ditekuni, dikembangkan, dan dilatih, dijadikan kendaraan dan landasan, dijalankan, dikokohkan, dan dilaksanakan dengan benar, sebelas manfaat ini dapat diharapkan. Apakah sebelas ini? (1) Seseorang tidur dengan nyenyak; (2) ia terjaga dengan bahagia; (3) ia tidak bermimpi buruk; (4) ia disukai manusia; (5) ia disukai makhluk halus; (6) para dewa melindunginya; (7) api, racun, dan senjata tidak dapat melukainya; (8) pikirannya dengan cepat dapat terkonsentrasi; (9) raut wajahnya tenang; (10) ia meninggal dunia dengan tidak bingung; dan (11) jika ia tidak menembus lebih jauh, ia mengembara menuju alam brahmā. Ketika, para bhikkhu, kebebasan pikiran melalui cinta kasih terus-menerus ditekuni, dikembangkan, dan dilatih, dijadikan kendaraan dan landasan, dijalankan, dikokohkan, dan dilaksanakan dengan benar, sebelas manfaat ini dapat diharapkan.”

(AN 11:15, NDB 1573–74)

(4) Manfaat-Manfaat yang Lebih Jauh

“Para bhikkhu, jika seseorang memberikan seratus mangkuk makanan sebagai dana di pagi hari, seratus mangkuk makanan sebagai dana di siang hari, dan seratus mangkuk makanan sebagai dana di malam hari, dan jika seseorang mengembangkan pikiran cinta kasih bahkan selama waktu yang diperlukan untuk menarik ambing susu sapi, apakah di pagi, siang, atau malam hari, ini adalah lebih bermanfaat daripada yang pertama. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan kami, menjadikannya sebagai landasan kami, menstabilkannya, berlatih di dalamnya, dan sepenuhnya menyempurnakannya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

(SN 20:4, CDB 707)

(5) Cinta Kasih dan Perhatian Benar

“‘Aku akan melindungi diriku sendiri,’ para bhikkhu: demikianlah seharusnya penegakan-penegakan perhatian dilatih. ‘Aku akan melindungi orang lain’: demikianlah seharusnya penegakan-penegakan perhatian dilatih. Dengan melindungi diri sendiri, seseorang melindungi orang lain; dengan melindungi orang lain, ia melindungi diri sendiri.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan melindungi diri sendiri, ia melindungi orang lain? Dengan menekuni, mengembangkan, dan melatih [empat penegakan perhatian]. Dengan cara demikianlah bahwa dengan melindungi diri sendiri, ia melindungi orang lain.
“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan melindungi orang lain, ia melindungi diri sendiri? Dengan kesabaran, tanpa kekejaman, cinta kasih, dan simpati. Dengan cara demikianlah bahwa dengan melindungi orang lain, ia melindungi diri sendiri.

“‘Aku akan melindungi diri sendiri’: demikianlah seharusnya penegakan-penegakan perhatian dilatih. ‘Aku akan melindungi orang lain’: demikianlah seharusnya penegakan-penegakan perhatian dilatih. Dengan melindungi diri sendiri, seseorang melindungi orang lain; dengan melindungi orang lain, ia melindungi diri sendiri.”

(dari SN 47:19, CDB 1648–49)

(6) Penghancuran Noda-Noda

[Yang Mulia Ānanda berkata kepada seorang perumah tangga bernama Dasama:] “Kemudian, perumah tangga, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, demikian pula arah kedua, demikian pula arah ketiga, demikian pula arah keempat. Demikianlah ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah dan dengan segala cara, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa permusuhan. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Kebebasan pikiran melalui cinta kasih ini adalah dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apapun yang dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam hal ini, ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena kemelekatan pada Dhamma itu, karena kesenangan pada Dhamma itu, maka, dengan hancurnya sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang terlahir spontan, pasti akan mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.”[8]

(dari MN 52, MLDB 456; AN 11:16, NDB 1575)

Catatan Kaki:

[1] Lihat AN 10:103, NDB 1485.

[2] Dalam bahasa Pāli: mettā, karuṇā, muditā, and upekkhā

[3] Untuk rinciannya, lihat Vism 318, Ppn 9.93–96.

[4] Refleksi yang sama diterapkan untuk perbuatan ucapan dan perbuatan pikiran, kecuali bahwa perbuatan pikiran tidak bermanfaat tidak untuk diakui melainkan untuk disesali dan dihindari pada masa yang akan datang.

[5] Sallekha. Penghapusan kekotoran-kekotoran.

[6] Sang Buddha di sini berkata kepada seorang brahmana muda yang bertanya tentang jalan untuk bersatu dengan Brahmā, tuhan pencipta dalam keyakinan sang brahmana.

[7] “Tidak ada kamma yang membatasi yang tersisa di sana” (yaṃ pamāṇakataṃ kammaṃ na taṃ tatrāvasissati): Menurut komentar, ini berarti bahwa kamma yang berhubungan dengan alam indera tidak dapat mencegah kamma yang diciptakan oleh “kebebasan pikiran” ini dalam menghasilkan akibatnya, dalam menghasilkan kelahiran kembali di alam brahma, dunia surgawi dari alam bentuk: “Bagaikan banjir yang membanjiri genangan air, demikianlah kamma bermanfaat dari penyerapan meditatif dari cinta-kasih ini melampaui semua kamma alam indera dalam kekuatannya.”

[8] Menurut komentar, apa yang mencegah praktisi ini dari pencapaian kearahantan adalah kemelekatan pada “dhamma” dari konsentrasi dan pandangan terang. Lima belenggu yang lebih rendah (pañc’orambhāgiyāni saṃyojanāni) adalah: pandangan diri, keragu-raguan, kemelekatan pada aturan-aturan dan ritual, nafsu indera, dan permusuhan. Dengan pelenyapan belenggu-belenggu ini, seseorang menjadi seorang tidak-kembali (anāgāmī), yang terlahir kembali secara spontan di alam bentuk (rūpadhātu) dan mencapai pembebasan akhir di sana, tanpa pernah kembali ke alam indera.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #10 on: 15 February 2018, 10:48:04 AM »
III. Menghadapi Kemarahan

Pendahuluan

Di antara kekotoran-kekotoran batin yang mengacaukan kerukunan sosial, mungkin yang paling merugikan adalah kemarahan. Karena hampir semua komunitas, termasuk vihara-vihara Buddhis, terdiri atas orang-orang yang masih cenderung pada nafsu-nafsu egoistik, mereka terus-menerus dalam bahaya terpecah belah karena kemarahan, kekesalan, dan dendam di antara para anggotanya. Karena alasan ini, kontrol kemarahan adalah penting dalam kerukunan komunal. Sang Buddha menyadari bahwa walaupun melampiaskan kemarahan memberikan beberapa tingkatan kepuasan, beliau menunjukkan bahwa ledakan kemarahan pada akhirnya kembali pada diri sendiri, menyebabkan bahaya langsung bagi diri sendiri dan mengakibatkan seseorang terlibat konflik dengan orang lain. Oleh sebab itu dalam Text III,1 beliau menggambarkan kemarahan memiliki “akar yang beracun dan pucuk yang bermadu.”

Kemarahan muncul dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda, yang membedakan orang-orang menjadi jenis-jenis yang berbeda. Text III,2 mengelompokkan orang-orang ke dalam tiga jenis berdasarkan hubungan mereka pada kemarahan: mereka yang sering marah dan memelihara kemarahan mereka bagaikan garis yang digoreskan pada batu; mereka yang sering marah tetapi dengan cepat menghilangkan kemarahannya bagaikan garis yang digambarkan di atas tanah; mereka yang tetap bersabar bahkan ketika diserang oleh orang lain bagaikan garis yang digambarkan pada air. Teks III,3 lebih lanjut membedakan orang-orang sehubungan dengan kemarahan dengan membandingkannya dengan empat jenis ular berbisa.

Karena Sang Buddha mencari solusi pada permasalahan umat manusia dengan bantuan prinsip sebab akibat, untuk membantu kita memahami lebih jelas mengapa kemarahan muncul, beliau menjabarkan “sepuluh landasan bagi kekesalan,” yang beliau sebutkan dalam Teks III,4 dengan ketelitian dan ketepatan beliau yang biasanya. Sepuluh hal itu diperoleh dengan mempertimbangkan pertama tanggapan seseorang pada mereka yang berbuat demi bahaya diri sendiri; berikutnya, tanggapan seseorang pada mereka yang berbuat demi bahaya terhadap temannya; dan berikutnya, tanggapan seseorang pada mereka yang berbuat demi manfaat musuhnya. Masing-masing dari hal ini dibedakan berdasarkan tiga periode waktu – masa lampau, masa sekarang, dan masa depan – sembilan secara totalnya. Akhirnya, Sang Buddha menambahkan kemarahan irasional, hal yang menjengkelkan dari “seseorang yang menjadi marah tanpa alasan.”

Pengembangan kerukunan komunal menuntut agar para anggota komunitas berusaha untuk mengatasi kemarahan. Langkah pertama dalam melenyapkan kemarahan terletak pada perenungan terhadap bahaya dalam kemarahan. Saya telah menyusun sejumlah kotbah tentang kekecewaan dari kemarahan dalam Teks III,5(1)-(4). Karena kemarahan menyebabkan ancaman yang demikian menakutkan pada kesejahteraan seseorang, Sang Buddha mengemukakan berbagai metode untuk melenyapkan kemarahan. Dalam Teks III,6(1) beliau mengajarkan sepuluh kesempatan ketika kekesalan seharusnya dihilangkan, berpasangan dengan sepuluh landasan kekesalan. Kemudian, dalam III,6(2) beliau menganjurkan lima metode untuk menghilangkan kemarahan. Dalam Teks III,6(3), siswa utama Sāriputta menjelaskan lima metode lain untuk mengatasi kemarahan.

Mendasari beranekaragam teknik yang dilakukan dalam menghadapi kemarahan terdapat satu kebaikan utama, kesabaran (khanti), di mana Sang Buddha menyebutnya sebagai pertapaan tertinggi.[1] Kesabaran adalah metode untuk menyembuhkan pikiran dari kemarahan dan kualitas yang muncul ketika kemarahan telah sepenuhnya ditaklukkan. Dalam Teks III,7(1) Sang Buddha mengajarkan para siswanya untuk tetap bersabar ketika mereka diserang oleh kata-kata yang menusuk; bahkan lebih lanjut, beliau mengatakan, “jika para penjahat memotong-motong kalian dengan kejam bagian demi bagian tubuh kalian dengan gergaji bergagang dua,” kalian harus menahan kemarahan kalian dan melingkupi mereka dengan pikiran cinta kasih. Dalam Teks III,7(2) Sāriputta mengajarkan bagaimana seorang bhikkhu, ketika diserang dengan kata-kata kasar atau diserang dengan senjata, dapat mempertahankan kesabaran dengan menerapkan perenungan terhadap ketidakkekalan dan unsur-unsur materi. Sebuah kotbah yang dianggap berasal dari Sakka, raja para dewa – dimasukkan di sini sebagai Teks III,7(3) – membandingkan dua cara menghadapi celaan, cara seorang realis politis atau cara seorang idealis etis. Dalam kejadian ini, kusir surgawi Mātali mewakili realis politis, yang menganjurkan penghukuman terhadap musuh, sedangkan Sakka, sebagai raja yang baik, memuji kesabaran dan pengendalian diri.

Tantangan mempertahankan kesabaran juga ditemukan dengan meniru teladan-teladan yang patut diteladani. Oleh sebab itu, dalam bagian terakhir dari bab ini, saya memberikan kisah bagaimana tokoh-tokoh teladan menegakkan komitmen mereka dalam kesabaran di bawah keadaan-keadaan yang sulit. Teks III8(1)-(4) menunjukkan bagaimana Sang Buddha, bhikkhu misionaris Puṇṇa, siswa utama Sāriputta, dewa Sakka semuanya memunculkan kesabaran untuk bertahan terhadap para penentang mereka.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #11 on: 15 February 2018, 11:57:14 AM »
1. Membunuh Kemarahan

Sakka, raja para deva, mendekati Sang Bhagavā, memberikan penghormatan kepada beliau, berdiri pada satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

“Setelah membunuh apakah seseorang tidur dengan lelap?
Setelah membunuh apakah seseorang tidak bersedih?
Apakah satu hal ini, O Gotama,
yang pembunuhannya engkau setujui?”

[Sang Bhagavā:]

“Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidur dengan lelap;
setelah membunuh kemarahan, seseorang tidak bersedih;
Pembunuhan kemarahan, O Vāsava,
dengan akarnya yang beracun dan pucuknya yang bermadu:
inilah pembunuhan yang dipuji oleh para mulia,
Karena setelah membunuhnya, seseorang tidak bersedih.”

(SN 11:21, CDB 337)

2. Tiga Jenis Orang

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini yang terdapat di dunia. Apakah tiga ini? Orang yang seperti garis yang digoreskan di batu, orang yang seperti garis yang digoreskan di tanah, dan orang yang seperti garis yang digoreskan di air.

(1) “Dan apakah jenis orang yang seperti garis yang digoreskan di batu? Di sini, beberapa orang sering marah, dan kemarahannya bertahan untuk waktu yang lama. Seperti halnya garis yang digoreskan di batu tidak akan cepat terhapus oleh angin dan air melainkan bertahan untuk waktu yang lama, demikian pula, beberapa orang sering marah, dan kemarahannya itu bertahan untuk waktu yang lama. Ini disebut orang yang seperti garis yang digoreskan di batu.

(2) “Dan apakah jenis orang yang seperti garis yang digoreskan di tanah? Di sini, beberapa orang sering marah, tetapi kemarahannya tidak bertahan untuk waktu yang lama. Seperti halnya garis yang digoreskan di tanah dengan cepat terhapus oleh angin dan air dan tidak bertahan untuk waktu yang lama, demikian pula, beberapa orang sering menjadi marah, tetapi kemarahannya tidak bertahan untuk waktu yang lama. Ini disebut orang yang seperti garis yang digoreskan di tanah.

(3) “Dan apakah jenis orang yang seperti garis yang digoreskan di air? Di sini, beberapa orang, bahkan ketika orang lain berbicara kasar dan tajam, dengan cara yang tidak menyenangkan, ia akan tetap bersahabat terhadap lawannya, bergaul dengannya, dan menyapanya. Seperti halnya garis yang digoreskan di air yang dengan cepat lenyap dan tidak bertahan untuk waktu yang lama, demikian pula, beberapa orang, bahkan ketika orang lain berbicara kasar dan tajam, dengan cara yang tidak menyenangkan, ia akan tetap bersahabat terhadap lawannya, bergaul dengannya, dan menyapanya. Ini disebut orang yang seperti garis yang digoreskan di air.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga jenis orang yang terdapat di dunia.”

(AN 3:132, NDB 361–62)

3. Orang-Orang yang Bagaikan Ular Berbisa

“Para bhikkhu, ada empat jenis ular berbisa ini. Apakah empat ini? Ular yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan; ular yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi; ular yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan; dan ular yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan. Ini adalah keempat jenis ular berbisa itu. Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan ular-ular berbisa itu yang terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan; orang yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi; orang yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan; dan orang yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan? Di sini, seseorang sering menjadi marah, tetapi kemarahannya tidak berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan.

(2) “Dan bagaimanakah seorang yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi? Di sini, seseorang tidak sering menjadi marah, tetapi kemarahannya berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan? Di sini, seseorang sering menjadi marah, dan juga kemarahannya berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan? Di sini, seseorang tidak sering menjadi marah, dan juga kemarahannya tidak berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang yang serupa dengan ular-ular berbisa itu yang terdapat di dunia.”

(AN 4:110, NDB 491–92)

4. Landasan-Landasan bagi Kekesalan

“Para bhikkhu, ada sepuluh landasan bagi kekesalan ini. Apakah sepuluh ini? (1) Dengan berpikir: ‘Mereka telah bertindak demi bahaya bagiku,’ seseorang memendam kekesalan. (2) Dengan berpikir: ‘Mereka sedang bertindak demi bahaya bagiku,’ seseorang memendam kekesalan. (3) Dengan berpikir: ‘Mereka akan bertindak demi bahaya bagiku,’ seseorang memendam kekesalan. (4) Dengan berpikir: ‘Mereka telah bertindak demi bahaya bagi orang yang menyenangkan dan kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (5) Dengan berpikir: ‘Mereka sedang bertindak demi bahaya bagi orang yang menyenangkan dan kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (6) Dengan berpikir: ‘Mereka akan bertindak demi bahaya bagi orang yang menyenangkan dan kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (7) Dengan berpikir: ‘Mereka telah bertindak demi keuntungan bagi orang yang tidak menyenangkan dan tidak kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (8 ) Dengan berpikir: ‘Mereka sedang bertindak demi keuntungan bagi orang yang tidak menyenangkan dan tidak kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (9) Dengan berpikir: ‘Mereka akan bertindak demi keuntungan bagi orang yang tidak menyenangkan dan tidak kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (10) Dan seseorang menjadi marah tanpa alasan. Ini, para bhikkhu, adalah sepuluh landasan bagi kekesalan itu.”

(AN 10:79, NDB 1439)

5. Bahaya-Bahaya dalam Kemarahan dan Manfaat-Manfaat dalam Kesabaran

(1) Lima Bahaya

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam ketidaksabaran. Apakah lima ini? Seseorang tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh banyak orang; ia menimbun permusuhan; ia memiliki banyak kesalahan; ia meninggal dunia dalam kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah lima bahaya dalam ketidaksabaran.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam kesabaran. Apakah lima ini? Seseorang menyenangkan dan disukai oleh banyak orang; ia tidak menimbun permusuhan; ia tidak memiliki banyak kesalahan; ia meninggal dunia tanpa kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ini adalah lima manfaat dalam kesabaran.”

(AN 5:215, NDB 825)

(2) Lima Bahaya Lainnya

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam ketidaksabaran. Apakah lima ini? Seseorang tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh banyak orang; ia kasar; ia penuh penyesalan; ia meninggal dunia dalam kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah kelima bahaya dalam ketidaksabaran.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam kesabaran. Apakah lima ini? Seseorang menyenangkan dan disukai oleh banyak orang; ia tidak kasar; ia tanpa penyesalan; ia meninggal dunia tanpa kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat dalam kesabaran.”

(AN 5:216, NDB 825)

(3) Tujuh Bahaya

“Para bhikkhu, ada tujuh hal ini yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah. Apakah tujuh ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia menjadi berpenampilan buruk!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada penampilan baik musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, walaupun ia mungkin mandi dengan baik, diminyaki dengan baik, dengan rambut dan janggutnya dicukur rapi, berpakaian putih, tetap saja ia berpenampilan buruk. Ini adalah hal pertama yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(2) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidur tidak lelap!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang ketika musuhnya tidur lelap. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, walaupun ia mungkin tidur di atas dipan beralaskan permadani, selimut, dan alas, dengan penutup dari kulit rusa, dengan kanopi dan guling di kedua sisinya, tetap saja ia tidak tidur lelap. Ini adalah hal kedua yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(3) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidak berhasil!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada keberhasilan musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, jika ia memperoleh apa yang berbahaya, ia berpikir: ‘Aku telah memperoleh apa yang bermanfaat,’ dan jika ia memperoleh apa yang bermanfaat, ia berpikir: ‘Aku telah memperoleh apa yang berbahaya.’ Ketika, dengan dikuasai kemarahan, ia memperoleh hal-hal yang bertentangan ini, hal-hal itu akan mengarah pada bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama. Ini adalah hal ketiga yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(4) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidak menjadi kaya!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada kekayaan musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, raja-raja akan menyerahkan kepada bendahara kerajaan segala kekayaan yang telah ia peroleh melalui usaha bersemangat, yang dikumpulkan dengan kekuatan tangannya, yang didapatkan dengan keringat di keningnya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik. Ini adalah hal keempat yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(5) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidak menjadi termasyhur!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada kemasyhuran musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, ia kehilangan segala kemasyhuran yang telah ia peroleh melalui kewaspadaan. Ini adalah hal kelima yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(6) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidak memiliki teman!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang jika musuhnya memiliki teman. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, maka teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan anggota keluarganya, menghindarinya dari jauh. Ini adalah hal keenam yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(7) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, semoga ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang jika musuhnya pergi ke alam tujuan yang baik. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, ia melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan masih dikuasai oleh kemarahan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah hal ketujuh yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

“Ini adalah tujuh hal yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.”

(AN 7:64, NDB 1066–67)

(4) Dijauhi oleh Orang Lain

“Orang jenis apakah yang harus dilihat dengan keseimbangan, tidak boleh dijadikan teman, tidak boleh diikuti, dan tidak boleh dilayani? Di sini, seseorang mudah marah dan mudah gusar. Bahkan jika ia dikritik sedikit maka ia akan kehilangan kesabarannya dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Seperti halnya luka bernanah, jika ditusuk dengan tongkat atau pecahan tembikar, akan mengeluarkan lebih banyak cairan lagi, demikian pula … Seperti halnya sebatang kayu pohon tinduka yang terbakar menyala, jika ditusuk dengan tongkat atau pecahan tembikar, akan mendesis dan bergemercik bahkan lebih besar, demikian pula... Seperti halnya sebuah lubang kotoran, jika ditusuk dengan tongkat atau pecahan tembikar, akan menjadi berbau lebih busuk, demikian pula, seseorang di sini mudah marah dan … memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Orang seperti itu harus dilihat dengan keseimbangan, tidak boleh dijadikan teman, tidak boleh diikuti, dan tidak boleh dilayani. Karena alasan apakah? [Dengan pikiran:] ‘Ia dapat menghinaku, memakiku, dan membahayakan aku.’ Oleh karena itu orang seperti itu harus dilihat dengan keseimbangan, tidak boleh dijadikan teman, tidak boleh diikuti, dan tidak boleh dilayani.

(dari AN 3:27, NDB 222)

6. Melenyapkan Kemarahan

(1) Sepuluh Cara Menghilangkan Kekesalan

“Para bhikkhu, ada sepuluh cara ini untuk melenyapkan kekesalan. Apakah sepuluh ini? (1) Dengan berpikir: ‘Mereka telah bertindak demi bahaya bagiku, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (2) Dengan berpikir: ‘Mereka sedang bertindak demi bahaya bagiku, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (3) Dengan berpikir: ‘Mereka akan bertindak demi bahaya bagiku, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (4) Dengan berpikir: ‘Mereka telah bertindak …’ (5) … ‘Mereka sedang bertindak …’ (6) … ‘Mereka akan bertindak demi bahaya bagi orang yang menyenangkan dan kusukai, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (7) Dengan berpikir: ‘Mereka telah bertindak …’ (8 ) … ‘Mereka sedang bertindak …’ (9) … ‘Mereka akan bertindak demi keuntungan bagi orang yang tidak menyenangkan dan tidak kusukai, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (10) Dan seseorang tidak menjadi marah tanpa alasan. Ini, para bhikkhu, adalah kesepuluh cara itu untuk melenyapkan kekesalan.”

(AN 10: 80, NDB 1440)

(2) Sang Buddha Mengajarkan Lima Cara

“Para bhikkhu, ada lima cara ini untuk melenyapkan kekesalan di mana seorang bhikkhu seharusnya sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun. Apakah lima ini? (1) Ia seharusnya mengembangkan cinta kasih terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. (2) Ia seharusnya mengembangkan belas kasih terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. (3) Ia harus mengembangkan keseimbangan terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. (4) Ia harus mengabaikan orang yang kepadanya ia merasa kesal dan tidak memperhatikannya; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. (5) Ia harus menerapkan gagasan kepemilikan kamma pada orang yang kepadanya ia merasa kesal, sebagai berikut: ‘Yang Mulia ini adalah pemilik kammanya, pewaris kammanya; ia memiliki kamma sebagai asal-mulanya, kamma sebagai sanak-saudaranya, kamma sebagai pelindungnya; ia akan menjadi pewaris kamma apa pun yang ia lakukan, baik atau buruk.’ Dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. Ini adalah kelima cara untuk melenyapkan kekesalan di mana seorang bhikkhu seharusnya sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun.”

(AN 5:161, NDB 773–74)
« Last Edit: 15 February 2018, 11:58:59 AM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #12 on: 15 February 2018, 12:19:10 PM »
(3) Sāriputta Mengajarkan Lima Cara

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, ada lima cara ini untuk melenyapkan kekesalan di mana seorang bhikkhu seharusnya sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun. Apakah lima ini? (1) Di sini, perilaku jasmani seseorang tidak murni, tetapi perilaku ucapannya murni; seseorang seharusnya melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (2) Perilaku ucapannya tidak murni, tetapi perilaku jasmaninya murni; seseorang juga seharusnya melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (3) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, tetapi dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran; seseorang juga seharusnya melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (4) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, dan ia tidak mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran dari waktu ke waktu; seseorang juga harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (5) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya murni, dan dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran; seseorang juga harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian.

(1) “Bagaimanakah, teman-teman, seharusnya kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmaninya tidak murni tetapi perilaku ucapannya murni? Misalkan seorang bhikkhu pemakai jubah kain potongan melihat sepotong kain di tepi jalan. Ia akan menginjaknya dengan kaki kirinya, menghamparkannya dengan kaki kanannya, merobek bagian yang utuh, dan mengambilnya; demikian pula, ketika perilaku jasmani orang lain tidak murni tetapi perilaku ucapannya murni, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidakmurnian perilaku jasmaninya melainkan harus memperhatikan kemurnian perilaku ucapannya. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu seharusnya dilenyapkan.

(2) “Bagaimanakah, teman-teman, seharusnya kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku ucapannya tidak murni, tetapi perilaku jasmaninya murni? Misalkan terdapat sebuah kolam yang tertutup oleh ganggang dan tanaman air. Seseorang datang, dirundung dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Ia akan terjun ke dalam kolam, menyingkirkan ganggang dan tanaman air dengan tangannya, meminum air dengan menangkupkan tangannya, dan kemudian pergi; demikian pula, ketika perilaku ucapan orang lain tidak murni tetapi perilaku jasmaninya murni, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidakmurnian perilaku ucapannya melainkan seharusnya memperhatikan kemurnian perilaku jasmaninya. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu seharusnya dilenyapkan.

(3) “Bagaimanakah, teman-teman, kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni tetapi yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran? Misalkan ada sedikit air dalam sebuah genangan. Kemudian seseorang datang, dirundung dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Ia akan berpikir: ‘Ada sedikit air dalam genangan ini. Jika aku mencoba untuk meminumnya dengan menangkupkan tanganku atau menggunakan wadah, maka aku akan mengacaukannya, mengganggunya, dan membuatnya tidak dapat diminum. Biarlah aku merangkak dengan keempat tangan dan kaki, menghirupnya bagaikan seekor sapi, dan pergi.’ Kemudian ia merangkak pada keempat tangan dan kakinya, menghirupnya bagaikan seekor sapi, dan pergi. Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain tidak murni tetapi dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidakmurnian perilaku jasmani dan ucapannya, melainkan harus memperhatikan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, yang ia dapatkan dari waktu ke waktu. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu seharusnya dilenyapkan.

(4) “Bagaimanakah, teman-teman, seharusnya kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, dan yang tidak mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran dari waktu ke waktu? Misalkan seorang yang sakit, menderita, sakit keras sedang melakukan perjalan di sepanjang jalan raya, dan desa terakhir di belakangnya dan desa berikutnya di depannya keduanya berjauhan. Ia tidak akan memperoleh makanan dan obat-obatan yang sesuai atau perawat yang kompeten; ia tidak akan dapat bertemu kepala desa. Seorang lainnya yang melakukan perjalanan di sepanjang jalan raya itu mungkin bertemu dengannya dan membangkitkan belas kasihan, simpati, dan keprihatinan lembut padanya, dengan berpikir: ‘Oh, semoga orang ini memperoleh makanan yang sesuai, obat-obatan yang sesuai, dan seorang perawat yang kompeten! Semoga ia dapat bertemu dengan kepala desa! Karena alasan apakah? Agar orang ini tidak menemui kemalangan dan bencana di sini.’ Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain tidak murni, dan ia dari waktu ke waktu tidak mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, pada saat itu seseorang harus membangkitkan belas kasihan, simpati, dan keprihatinan lembut padanya, dengan berpikir, ‘Oh, semoga Yang Mulia ini meninggalkan perilaku buruk melalui jasmani dan mengembangkan perilaku baik melalui jasmani; semoga ia meninggalkan perilaku buruk melalui ucapan dan mengembangkan perilaku baik melalui ucapan; semoga ia meninggalkan perilaku buruk melalui pikiran dan mengembangkan perilaku baik melalui pikiran! Karena alasan apakah? Agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak akan terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.’ Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan.

(5) “Bagaimanakah, teman-teman, seharusnya kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya murni dan yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran? Misalkan terdapat sebuah kolam dengan air yang jernih, manis, dan sejuk, bersih, dengan tepian yang landai, sebuah tempat yang menyenangkan di bawah keteduhan berbagai pepohonan. Kemudian seseorang datang, dirundung dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Setelah terjun ke dalam kolam itu, ia akan mandi dan minum, dan kemudian, setelah keluar dari sana, ia akan duduk atau berbaring di bawah keteduhan sebatang pohon di sana. Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain murni dan yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, pada saat itu seseorang harus memperhatikan kemurnian perilaku jasmaninya, memperhatikan kemurnian perilaku ucapannya, dan memperhatikan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, yang ia dapatkan dari waktu ke waktu. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu seharusnya dilenyapkan. Teman-teman, melalui seseorang yang menginspirasi keyakinan dalam berbagai cara, maka pikiran memperoleh keyakinan.

“Ini, teman-teman, adalah lima cara itu untuk melenyapkan kekesalan di mana seorang bhikkhu harus sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun.”

(AN 5:162, NDB 774–77)

7. Kesabaran di Bawah Provokasi

(1) Bersabar Ketika Dikritik

“Para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini yang digunakan oleh orang lain ketika berbicara dengan kalian: ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya, benar atau tidak benar, halus atau kasar, berhubungan dengan kebaikan atau dengan keburukan, diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin benar atau tidak benar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin halus atau kasar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin berhubungan dengan kebaikan atau dengan keburukan; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Di sini, para bhikkhu, kalian seharusnya berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasih demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran. Kami akan berdiam dengan melingkupi orang itu dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa permusuhan.’ Demikianlah kalian seharusnya berlatih, para bhikkhu.

“Para bhikkhu, misalkan seseorang datang dengan membawa cangkul dan keranjang dan berkata: ‘Aku akan mengosongkan bumi ini dari tanah.’ Ia akan menggali di sana-sini, menebarkan tanah di sana-sini, meludah di sana-sini, buang air di sana-sini, sambil berkata: ‘Jadilah tanpa tanah, jadilah tanpa tanah!’ Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Dapatkah orang itu mengosongkan bumi ini dari tanah?”—“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena bumi ini sungguh dalam dan besar; tidak mungkin dapat dikosongkan dari tanah. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

“Demikian pula, para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini yang digunakan oleh orang lain ketika berbicara dengan kalian: ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya … Di sini, para bhikkhu, kalian seharusnya berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasih demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran. Kami akan berdiam dengan melingkupi orang itu dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa permusuhan.’ Demikianlah kalian seharusnya berlatih, para bhikkhu.

(dari MN 21, MLDB 221)

(2) Tanpa Balas Dendam

[Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:] “Maka dari itu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang seorang bhikkhu, ia memahami: ‘Perasaan menyakitkan ini yang muncul dari kontak-telinga telah muncul padaku. Yang bergantung, bukan tidak bergantung. Bergantung pada apakah? Bergantung pada kontak.’ Kemudian ia melihat bahwa kontak adalah tidak kekal, bahwa perasaan adalah tidak kekal, bahwa persepsi adalah tidak kekal, bahwa aktivitas-aktivitas kehendak adalah tidak kekal, dan bahwa kesadaran adalah tidak kekal. Dan pikirannya, setelah menjadikan suatu unsur sebagai objek pendukungnya, masuk ke dalam [objek pendukung yang baru itu] dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan keteguhan.

“Sekarang, jika orang lain menyerang bhikkhu itu dalam cara yang tidak diinginkan, tidak disukai, dan tidak menyenangkan, melalui kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau, ia memahami: ‘Jasmani ini memiliki sifat sedemikian sehingga kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau dapat menyerangnya. Tetapi telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam “nasihat tentang perumpamaan gergaji”: “Para bhikkhu, bahkan jika para penjahat memotong kalian dengan kejam bagian demi bagian tubuh dengan gergaji bergagang dua, ia yang memendam pikiran benci terhadap mereka berarti tidak melaksanakan ajaranku.” Maka kegigihan tanpa lelah akan dibangkitkan dalam diriku dan perhatian tanpa kendur terbentuk, tubuhku tenang dan tidak terganggu, pikiranku terkonsentrasi dan terpusat. Dan sekarang biarlah kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau akan menyerang jasmani ini; karena ini adalah bagaimana persisnya ajaran para Buddha ini sedang dipraktikkan.’”

(dari MN 28, MLDB 279–80)

(3) Kesabaran Atas Hukuman

Sang Bhagavā berkata demikian: “Suatu ketika pada masa lampau, para bhikkhu, para deva dan para asura sedang bersiap-siap untuk suatu pertempuran. Kemudian Vepacitti, raja para asura, berkata kepada para asura sebagai berikut: ‘Teman-teman, dalam perang yang akan segera terjadi antara para deva dan para asura, jika para asura menang dan para deva kalah, ikat Sakka, raja para deva, pada empat anggota tubuhnya dan lehernya dan bawa kepadaku di kota para asura.’ Dan Sakka, raja para deva, berkata kepada para deva Tāvatiṃsa sebagai berikut: ‘Teman-teman, dalam perang yang akan segera terjadi antara para deva dan para asura, jika para deva menang dan para asura kalah, ikat Vepacitti, raja para asura, pada empat anggota tubuhnya dan lehernya dan bawa kepadaku di aula pertemuan Suddhamma.’

“Dalam perang itu, para bhikkhu, para deva menang dan para asura kalah. Maka para deva Tāvatiṃsa mengikat Vepacitti pada empat anggota tubuhnya dan lehernya dan membawanya ke hadapan Sakka di aula pertemuan Suddhamma. Ketika Sakka sedang memasuki dan meninggalkan aula pertemuan Suddhamma, Vepacitti, yang terikat keempat anggota tubuh dan lehernya, menghina dan mencercanya dengan kata-kata kasar. Kemudian, para bhikkhu, Mātali, si kusir berkata kepada Sakka, raja para deva, dalam syair:

“‘Ketika berhadapan secara langsung dengan Vepacitti
apakah, Maghavā, karena takut atau lemah
sehingga engkau menahankannya dengan begitu sabar,
mendengarkan kata-kata kasarnya?’

[Sakka:]

“‘Bukan karena takut atau lemah
sehingga aku bersabar terhadap Vepacitti.
Bagaimana mungkin seorang bijaksana sepertiku
terlibat pertempuran dengan orang bodoh?’

Mātali:

“‘Orang bodoh akan lebih banyak lagi melampiaskan kemarahannya
jika tidak ada seorang pun yang mengalahkannya.
Karena itu dengan hukuman yang keras
Sang bijaksana seharusnya mengendalikan orang bodoh.’

Sakka:

“‘Aku sendiri menganggap ini satu-satunya
cara untuk mengalahkan orang bodoh:
Ketika seseorang mengetahui bahwa musuhnya marah
ia harus dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaian.’

Mātali:

“‘Aku melihat cacat ini, O Vāsava,
dalam melatih menahan kesabaran:
Jika orang bodoh berpikir engkau demikian,
“Ia menahan sabar karena takut,”
si tolol akan lebih jauh lagi mengejarmu
Seperti yang dilakukan seekor banteng terhadap seseorang yang melarikan diri.’

Sakka:

“‘Biarlah apakah ia berpikir atau tidak berpikir,
“Ia menahan sabar karena takut,”
di antara tujuan yang berpuncak dalam kebaikan seseorang
tidak ditemukan yang lebih baik daripada kesabaran.

“‘Ketika seseorang memiliki kekuatan
dengan sabar menghadapi yang lemah,
mereka menyebutnya kesabaran tertinggi;
yang lemah harus selalu sabar.

“‘Mereka menyebut kekuatan itu sebagai tidak ada kekuatan sama sekali –
kekuatan yang merupakan kekuatan orang bodoh –
tetapi tidak ada seorang pun yang dapat mencela seseorang
yang kuat karena dijaga oleh Dhamma.

“‘Seseorang yang membalas seorang pemarah dengan kemarahan
dengan cara demikian membuat segala sesuatu lebih buruk bagi dirinya sendiri.
Tanpa membalas seorang pemarah dengan kemarahan,
ia memenangkan pertempuran yang sulit dimenangkan.

“‘Ia berlatih demi kesejahteraan kedua belah pihak –
kesejahteraan dirinya sendiri dan orang lain –
ketika, mengetahui bahwa musuhnya marah,
ia dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaiannya.

“‘Ketika ia mencapai kesembuhan bagi kedua belah pihak —
kesembuhan dirinya sendiri dan orang lain –
orang-orang yang menganggapnya bodoh
adalah tidak terampil dalam Dhamma.’”

“Demikianlah, para bhikkhu, jika Sakka, raja para deva, dapat memuji kesabaran dan kelembutan, maka seberapa layaknya hal ini bagi kalian, yang telah meninggalkan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin yang telah dibabarkan sedemikian baik, untuk menjadi sabar dan lembut.”

(SN 11:4, CDB 321–23)

8. Teladan-Teladan Kesabaran

(1) Sang Buddha Menolak Umpatan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Brahmana Akkosaka Bhāradvāja, Bhāradvāja si pemaki, mendengar: “Dikatakan bahwa brahmana dari suku Bhāradvāja telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Pertapa Gotama.” Dengan marah dan tidak senang, ia mendatangi Sang Bhagavā dan mencaci dan mencerca beliau dengan kata-kata kasar.

Ketika ia telah selesai berbicara, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Bagaimana menurutmu, brahmana? Apakah teman-teman dan sahabat-sahabat, sanak keluarga dan saudara, juga para tamu datang mengunjungimu?” – “Mereka datang berkunjung, Guru Gotama.” – “Apakah engkau mempersembahkan makanan atau kudapan kepada mereka?” – “Aku melakukannya, Guru Gotama.” – “Tetapi jika mereka tidak menerimanya darimu, maka milik siapakah makanan-makanan itu?” – “Jika mereka tidak menerimanya dariku, maka makanan-makanan itu tetap menjadi milik kami.”

“Demikian pula, brahmana, aku tidak mencaci siapa pun, tidak memarahi siapa pun, tidak mencerca siapa pun. Aku menolak menerima darimu cacian dan kemarahan dan makian yang engkau tujukan kepadaku. Itu masih tetap milikmu, brahmana! Itu masih tetap milikmu, brahmana!

“Brahmana, seseorang yang mencaci orang yang mencacinya, yang memarahi orang yang memarahinya, yang mencerca orang yang mencercanya — ia dikatakan memakan makanan, memasuki pertukaran. Tetapi aku tidak memakan makananmu; aku tidak memasuki pertukaran. Itu masih tetap milikmu, brahmana! Itu masih tetap milikmu, brahmana!”

(SN 7:2, CDB 255–56)
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #13 on: 15 February 2018, 12:20:21 PM »

(2) Semangat Berani Puṇṇa

[Sang Buddha berkata kepada bhikkhu Puṇṇa:] “Sekarang aku telah memberikan nasihat singkat kepadamu, Puṇṇa, di negeri manakah engkau akan menetap?”

“Bhante, aku akan menetap di negeri Sunāparanta.”

“Puṇṇa, orang-orang Sunāparanta ganas dan kasar. Jika mereka mencaci dan mengancam engkau, apakah yang akan engkau pikirkan?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta mencaci dan mengancam aku, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak menyerangku dengan tinju.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menyerangmu dengan tinju, apakah yang akan engkau pikirkan?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta menyerangku dengan tinju, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak menyerangku dengan bongkahan tanah.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menyerangmu dengan bongkahan tanah, apakah yang akan engkau pikirkan?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta menyerangku dengan bongkahan tanah, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak menyerangku dengan tongkat.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menyerangmu dengan tongkat, apakah yang akan engkau pikirkan?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta menyerangku dengan tongkat, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak menyerangku dengan pisau.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menyerangmu dengan pisau, apakah yang akan engkau pikirkan?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta menusukku dengan pisau, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak membunuhku dengan pisau tajam.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta membunuhmu dengan pisau tajam, apakah yang akan engkau pikirkan?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta membunuhku dengan pisau tajam, maka aku akan berpikir: ‘Ada para siswa Sang Bhagavā yang, karena merasa malu dan jijik dengan jasmani ini dan dengan kehidupan, telah mencari bagaimana agar kehidupan mereka dirampas dengan pisau. Tetapi aku telah menyebabkan kehidupanku dirampas dengan pisau bahkan tanpa mencari.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Bagus, bagus, Puṇṇa! Dengan memiliki pengendalian diri dan kedamaian demikian, engkau akan mampu berdiam di negeri Sunāparanta. Sekarang, Puṇṇa, adalah waktunya engkau melakukan apa yang perlu engkau lakukan.”

Kemudian, setelah dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, Yang Mulia Puṇṇa bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, pergi dengan menjaga beliau tetap di sisi kanannya. Kemudian ia merapikan tempat tinggalnya, dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia melakukan perjalanan menuju negeri Sunāparanta. Dengan berjalan secara bertahap, ia akhirnya tiba di negeri Sunāparanta dan menetap di sana. Kemudian, selama masa pengasingan musim hujan, Yang Mulia Puṇṇa menegakkan lima ratus umat awam laki-laki dan lima ratus umat awam perempuan dalam praktik, dan ia sendiri mencapai tiga pengetahuan sejati.[2] Beberapa waktu kemudian, Yang Mulia Puṇṇa mencapai Nibbāna akhir.

(dari MN 145, MLDB 1118–19)

(3) Auman Singa Sāriputta

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada beliau: “Bhante, aku telah menyelesaikan masa berdiam musim hujan di Sāvatthī. Aku ingin pergi dalam suatu perjalanan menuju daerah pedalaman.”

“Engkau boleh pergi, Sāriputta, sesukamu.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi beliau dengan sisi kanannya menghadap beliau, dan pergi. Kemudian, tidak lama setelah Yang Mulia Sāriputta pergi, seorang bhikkhu tertentu berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, Yang Mulia Sāriputta memukulku dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada seorang bhikkhu tertentu: “Pergilah, bhikkhu, panggil Sāriputta.”

“Baik, Bhante,” bhikkhu itu menjawab. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan berkata: “Sang Guru memanggilmu, teman Sāriputta.”

“Baik, teman,” Yang Mulia Sāriputta menjawab.

Pada saat itu Yang Mulia Mahāmoggallāna dan Yang Mulia Ānanda membawa kunci dan mendatangi tempat tinggal demi tempat tinggal, [sambil menyerukan]: “Datanglah, para mulia! Datanglah, para mulia! Sekarang Yang Mulia Sāriputta akan mengaumkan auman singanya di hadapan Sang Bhagavā!”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Sāriputta, salah satu dari para bhikkhu temanmu telah mengajukan keluhan terhadapmu bahwa memukulnya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”

(1) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya mereka membuang benda-benda yang murni maupun tidak murni ke atas bumi – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah — namun bumi ini tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti bumi, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(2) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya mereka mencuci benda-benda yang murni maupun tidak murni di air—kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah—namun air itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti air, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(3) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya api membakar benda-benda yang murni maupun tidak murni—kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah—namun api itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti api, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(4) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya udara meniup benda-benda yang murni maupun tidak murni—kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah—namun udara itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti udara, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(5) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya sebuah kain lap yang menghapuskan benda-benda yang murni maupun tidak murni—kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah—namun kain lap itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti sehelai kain lap, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(6) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seorang anak laki-laki atau anak perempuan dari kasta buangan, yang berpakaian dari kain bertambalan dan memegang kendi, memasuki sebuah desa atau pemukiman dengan pikiran rendah hati; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti anak laki-laki dari kasta buangan itu, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(7) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seekor banteng dengan tanduk terpotong, yang lembut, yang dijinakkan dengan baik dan dilatih dengan baik, berkeliaran dari jalan ke jalan dan dari lapangan ke lapangan tanpa melukai siapa pun dengan kaki atau tanduknya; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran bagaikan pikiran banteng yang tanduknya terpotong itu, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(8 ) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seorang perempuan atau laki-laki - muda, berpenampilan muda, dan menyukai perhiasan, dengan kepala dicuci—akan terusir, malu, dan jijik jika bangkai ular, anjing, atau manusia, dikalungkan di lehernya; demikian pula, Bhante, aku terusir, malu, dan jijik oleh tubuh busuk ini.

(9) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seseorang yang membawa mangkuk retak dan berlubang berisi cairan lemak yang tumpah dan menetes; demikian pula, Bhante, aku membawa tubuh yang retak dan berlubang ini yang tumpah dan menetes.

“Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”

Kemudian bhikkhu penuduh itu bangkit dari duduknya, merapikan jubahnya di satu bahunya, bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku telah melakukan pelanggaran karena aku begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil telah memfitnah Yang Mulia Sāriputta atas alasan yang tanpa dasar. Bhante, sudilah Sang Bhagavā menerima pelanggaranku yang dilihat sebagai pelanggaran demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, bhikkhu, engkau telah melakukan pelanggaran karena engkau begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil telah memfitnah Yang Mulia Sāriputta atas alasan yang tanpa dasar. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu sebagai pelanggaran dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, kami menerimanya. Karena adalah kemajuan dalam disiplin Yang Mulia bahwa seseorang melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, melakukan perbaikan sesuai Dhamma, dan melakukan pengendalian di masa depan.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sāriputta maafkanlah manusia kosong ini sebelum kepalanya pecah menjadi tujuh keping tepat di sana.”

“Aku akan memaafkannya, Bhante, jika ia meminta maaf kepadaku.”

(AN 9:11, NDB 1261–64)

(4) Sakka dan Yakkha Pemakan Kemarahan

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau sesosok yakkha cacat yang buruk rupa duduk di atas tempat duduk Sakka, raja para deva. Kemudian, para deva Tāvatiṃsa mengetahui hal ini, menggerutu, dan mengeluhkan, dengan berkata: ‘Sungguh mengagumkan, tuan! Sungguh menakjubkan, tuan! Yakkha cacat yang buruk rupa ini duduk di atas tempat duduk Sakka, raja para deva!’ Tetapi semakin para deva Tāvatiṃsa itu menggerutu dan mengeluhkan hal ini, yakkha itu menjadi semakin tampan, semakin menarik, semakin terlihat agung.

“Kemudian, para bhikkhu, para deva Tāvatiṃsa itu mendatangi Sakka dan berkata kepadanya: ‘Di sini, Baginda, yakkha cacat yang buruk rupa telah menduduki tempat dudukmu … Tetapi semakin para deva menggerutu … yakkha itu menjadi semakin tampan, semakin menarik, semakin terlihat agung.’ — Dia pasti yakkha pemakan kemarahan.’

“Kemudian, para bhikkhu, Sakka, raja para deva, mendekati yakkha pemakan kemarahan itu. Setelah mendekat, ia merapikan jubah atasnya di satu bahu, berlutut dengan lutut kanan menyentuh tanah, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada yakkha itu, ia menyebutkan namanya tiga kali: ‘Aku, Tuan, adalah Sakka, raja para deva! Aku, Tuan, adalah Sakka, raja para deva!’ Semakin Sakka menyebutkan namanya, yakkha itu menjadi semakin buruk dan buruk dan menjadi lebih cacat hingga ia lenyap dari sana.

“Kemudian, para bhikkhu, setelah duduk di tempat duduknya sendiri, dengan memberikan instruksi kepada para deva Tāvatiṃsa, Sakka, raja para deva, pada kesempatan itu mengucapkan syair-syair ini:

“‘Aku tidak terganggu dalam pikiran,
ataupun tidak mudah terpengaruh oleh pusaran kemarahan.
Aku tidak pernah marah dalam waktu yang lama,
ataupun kemarahan tidak bertahan lama dalam diriku.

“‘Ketika aku marah, aku tidak mengucapkan kata-kata kasar
dan aku tidak memuji kebajikanku.
Aku menjaga diriku senantiasa terkendali baik
demi kebaikanku sendiri.’”

(SN 11:22, CDB 338–39)

Catatan Kaki:

[1] Dhp 184: Khantī paramaṃ tapo titikkhā.

[2] Pengetahuan tentang kehidupan lampau seseorang, pengetahuan tentang bagaimana orang lain meninggal dan terlahir kembali menurut kamma mereka, dan pengetahuan atas penghancuran noda-noda, yaitu, kearahantan.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #14 on: 15 February 2018, 12:52:52 PM »
IV. Ucapan yang Tepat

Pendahuluan

Salah satu ciri khusus manusia, yang membedakannya dari binatang, adalah kemampuannya untuk berbicara. Kata-kata dapat menciptakan permusuhan atau persahabatan, dapat memenangkan atau mengeraskan hati, dapat menipu orang lain atau membuka mereka pada jalur pemahaman yang baru. Perubahan sosial dalam sejarah telah difasilitasi oleh ucapan, apakah lisan atau tertulis: pikirkan saja pengaruh Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, Manifesto Komunis, Gettysburg Address oleh Lincoln, and pidato “I Have a Dream” oleh Martin Luther King. Dengan ucapan, gagasan-gagasan baru disebarluaskan, pengetahuan-pengetahuan baru dibagikan, dan cakrawala baru terbuka bagi penyelidikan umat manusia. Ucapan telah menyulut perang dan memelihara perdamaian. Semua harapan dan kerinduan hati manusia, dalam setiap lingkup kehidupan kolektif kita, telah menemukan ungkapannya melalui media ucapan.

Sehubungan dengan Dhamma, peranan ucapan adalah begitu penting sehingga Sang Buddha mengatakan salah satu dari dua kondisi untuk munculnya pandangan benar adalah “ucapan orang lain.”[1] Mengetahui peranan yang sangat penting dari ucapan, dalam jalan mulia berunsur delapan dan di antara sepuluh jalan perbuatan bermanfaat beliau menempatkan empat posisi pada ucapan: menghindari ucapan bohong, ucapan yang memecah belah, perkataan kasar, dan omong kosong – yang didefinisikan dalam Teks II,2(5) di atas.

Dalam Bagian IV, saya memperluas pembahasan sebelumnya dengan mengambil ucapan tepat sebagai topik yang terpisah secara tersendiri. Bab ini dimulai dengan dua sutta pendek tentang unsur pembentuk “ucapan yang diucapkan dengan baik” – Teks IV,1(1)-(2) – satu menyebutkan empat faktor, yang lain lima faktor. Karena keduanya tidak sepenuhnya berhubungan, faktor-faktor ucapan yang diucapkan dengan baik dapat ditambah melalui kelompok empat yang biasanya. Sang Buddha juga memberikan nasehat bagi mereka yang bermaksud mengadakan diskusi dan ikut serta dalam debat, yang merupakan hal yang umum di antara para pertapa dan komunitas monastik sezaman yang berkembang di India bagian utara. Ini biasanya berpusat di sekeliling seorang guru yang kharismatik. Para pengikut sekte-sekte lawan akan sering bertemu untuk berdiskusi dan memperdebatkan ajaran masing-masing. Seluruh taman dipersiapkan bagi para pertapa kelana untuk tinggal di sana dan berdiskusi pandangan-pandangan mereka, dan kota-kota yang lebih besar menyediakan sebuah aula debat di mana para pertapa akan berkumpul untuk berdebat.

Meskipun Sang Buddha berusaha menghindari perdebatan yang tidak bermanfaat yang dilakukan dengan tujuan mempermalukan orang lain dan memperkuat kebanggaan terhadap ajaran diri sendiri, tidak dapat dihindarkan bahwa ketika para bhikkhu berkelana di antara kota-kota di India bagian utara, mereka akan dilibatkan ke dalam diskusi dengan para brahmana, para filsuf, dan para pertapa dari pandangan yang berbeda. Untuk mempertahankan nama baik Dhamma, mereka harus mengetahui bagaimana melibatkan diri dalam debat. Salah satu kualifikasi siswa yang terlatih dengan baik adalah kemampuan “menjelaskan ajaran gurunya sendiri, mengajarkannya, menyatakannya, mengembangkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menjelaskannya, dan untuk menyanggah dengan seksama dengan penalaran ajaran-ajaran lain yang umum dan mengajarkan Dhamma yang bermanfaat.”[2] Dalam Teks IV,2 Sang Buddha menetapkan standar untuk digunakan para siswanya ketika terlibat dalam debat. Beliau membedakan di antara jenis-jenis pertanyaan yang berbeda yang dapat ditanyakan, menunjukkan bagaimana seseorang seharusnya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, dan menentukan sikap yang seharusnya dibawakan seseorang dalam debat. Ini diringkas dalam syair-syair penutup dari kutipan ini: orang bijaksana berkata tanpa pertengkaran atau kesombongan, mengucapkan ucapan yang dipraktekkan orang-orang mulia, dan berkata dengan cara yang berhubungan dengan Dhamma dan maknanya.

Salah satu tugas seorang bhikkhu atau bhikkhuni adalah mengajarkan dan membabarkan Dhamma. Untuk menjalankan tugas ini secara efektif diperlukan untuk mengetahui bagaimana berkata kepada orang lain dengan cara yang akan membangunkan minat dan mempertahankan perhatian mereka. Keahlian dalam mengajar orang lain dapat dilihat sebagai suatu aspek dari “terampil dalam cara” (upāyakosalla). Dalam Teks IV,3, Sang Buddha menjelaskan lima contoh di mana suatu pembicaraan “disampaikan dengan salah” – semua kasus ketika subjek pembicaraan tidak sesuai dengan watak dan minat pendengarnya. Pembicaraan yang “disampaikan dengan benar” adalah pembicaraan yang pokok pembahasannya sesuai dengan watak dan minat pendengarnya. Namun pedoman ini seharusnya dilihat sebagai strategi sementara alih-alih yang mutlak; karena pasti terdapat kasus-kasus ketika, sebagai contoh, pembicaraan tentang moralitas mungkin apa yang perlu didengar oleh orang yang tidak bermoral, sedangkan pembicaraan tentang kedermawanan mungkin cara yang paling efektif untuk memotivasi orang yang pelit agar berubah hatinya dan mulai mempraktekkan kedermawanan.

Beberapa teks yang dimasukkan dalam bab ini mungkin memberi kejutan. Walaupun Sang Buddha menyoroti bahaya-bahaya dalam membuat perdebatan yang tidak perlu dan dalam memberikan pujian dan celaan dengan acak, tanpa penyelidikan – seperti yang dilakukan masing-masing dalam Teks IV,4 dan IV, 5 – beliau tidak memaksakan bahwa ucapan harus selalu manis dan menyenangkan bagi pendengarnya. Sebaliknya, beliau menyatakan seseorang seharusnya tanpa ragu mengkritik mereka yang pantas dikritik. Demikianlah dalam Teks IV,6 beliau menyatakan bahwa seseorang seharusnya mengucapkan pujian dan celaan ketika hal itu sesuai dengan situasinya, dan dalam Teks IV,7 beliau bahkan mengatakan bahwa “ketika seseorang mengetahui ucapan tajam yang terbuka adalah benar, tepat, dan bermanfaat, seseorang dapat mengucapkannya, dengan mengetahui waktu melakukannya.”

Menegur orang lain adalah suatu masalah yang mengganggu karena potensinya menyulut kebencian dan menabur benih-benih konflik. Namun demikian, ketahanan moral komunitas mana pun bergantung pada perilaku lurus para anggotanya, dan dengan demikian ketika para anggota menyimpang dari batasan-batasan kesopanan, menjadi kewajiban untuk mengendalikan mereka. Dalam tatanan monastik Buddhis, untuk melindungi integritas kelompok, sering diperlukan bagi seorang bhikkhu untuk menegur bhikkhu lainnya. Untuk mempertahankan kerukunan dan rasa hormat bersama selama proses teguran, dalam Teks IV,8, Sāriputta menjelaskan prosedur yang harus diikuti oleh orang yang bermaksud untuk menegur orang lain dan cara yang sesuai bagi subjek teguran untuk menanggapi kritik. Demikianlah meskipun kotbah-kotbah menekankan pentingnya mengembangkan sikap yang lembut dan berbelas kasih sebelum mengkritik orang lain, mereka tidak menganjurkan berkata kepada orang lain hanya dengan cara yang menyenangkan. Sebaliknya, mereka menasehati seseorang untuk mengkritik orang lain ketika kritik itu diperlukan.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa