//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Logika aneh umat Buddha  (Read 86818 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #30 on: 12 September 2008, 06:30:50 PM »
Aneh, saya kok ngerti yah apa yang Fabian katakan :)

Tumben ngerti, Ryu =))

« Last Edit: 12 September 2008, 06:32:48 PM by Indra »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #31 on: 12 September 2008, 07:04:59 PM »
Perlu diketahui maksud dari Ehipassiko dalam Dhammanussati, yaitu Ehipassiko adalah salah satu sifat Dhamma bukan salah satu cara berpikir, dan saya rasa tak ada satu khotbahpun dari Sang Buddha yang mengatakan kita harus meyakini sesuatu, walaupun Sang Buddha juga mengajarkan kita mengenai Saddha.
Ya, memang betul.


Quote
Coba dibaca lagi Kalama sutta, apakah dikatakan kita hanya boleh menerima bila hal itu sesuai dengan logika kita? berikut cuplikannya:

When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.

Jika kita tahu bahwa hal-hal ini (qualities) baik, hal-hal ini tak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana, hal-hal ini jika diterima dan dijalankan atau dengan kata lain bila dipraktekkan, akan membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan, maka......
 
Memang begitu, yang berarti bukan juga dianggap benar ataupun tidak benar berdasarkan logika, sampai itu dibuktikan salah atau benar, yang juga berdasarkan logika.


Offline ilalang

  • Teman
  • **
  • Posts: 50
  • Reputasi: 1
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #32 on: 12 September 2008, 07:17:16 PM »

When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.

Jika kita tahu bahwa hal-hal ini (qualities) baik, hal-hal ini tak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana, hal-hal ini jika diterima dan dijalankanatau dengan kata lain bila dipraktekkan akan membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan, maka......


Bro terjemahannya ada yang ketinggalan dikit... yg warna merah belum diterjemahin lho... Menurut nubie itu justru poin penting dari cuplikan Anda...
« Last Edit: 12 September 2008, 07:19:03 PM by ilalang »

Offline kullatiro

  • Sebelumnya: Daimond
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.153
  • Reputasi: 97
  • Gender: Male
  • Ehmm, Selamat mencapai Nibbana
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #33 on: 12 September 2008, 07:18:17 PM »
sebenarnya kita praktek tiap hari loh, aku menyebutnya perspektif (pandangan) daripada logika. karena sebagai manusia pandangan kita terbatas (contoh pandangan mata ada jaraknya demikian juga dengan pikiran dalam hal ini logika) tetapi kita bisa toh meluaskan jarak pandang kita dengan alat bantu misal nya kacamata, teropong, priskroskop, microskop, sampai hubble dan microskop electron.

nah alat bantu nya apa kalo dalam hal logika (nah temukan sendiri yahh) akan lebih berharga bila menemukan sendiri

Offline ilalang

  • Teman
  • **
  • Posts: 50
  • Reputasi: 1
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #34 on: 12 September 2008, 07:52:28 PM »
sebenarnya kita praktek tiap hari loh, aku menyebutnya perspektif (pandangan) daripada logika. karena sebagai manusia pandangan kita terbatas (contoh pandangan mata ada jaraknya demikian juga dengan pikiran dalam hal ini logika) tetapi kita bisa toh meluaskan jarak pandang kita dengan alat bantu misal nya kacamata, teropong, priskroskop, microskop, sampai hubble dan microskop electron.

nah alat bantu nya apa kalo dalam hal logika (nah temukan sendiri yahh) akan lebih berharga bila menemukan sendiri

Pinjam kata-kata bro Diamond ah buat nerjemahin:

When you know for yourselves...
Bila kamu menemukan sendiri...

(lagi latihan menterjemah dan mewarnai tulisan  :-[)

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #35 on: 12 September 2008, 08:26:17 PM »
Sering orang berpikir untuk menolak lebih dahulu sebelum membuktikan, seharusnya membuktikan lebih dahulu.......baru..... bersikap.
setuju sekali...
sering kali kita sudah memiliki asumsi awal sebelum membuktikan.
bisa berasumsi "menolak (ini salah)"
bisa jg berasumsi "menerima (ini benar)"
sebaiknya asumsi demikian diabaikan saja jika muncul dalam pikiran kita ;D

Quote
Oleh karena itu bagi orang yang belum merealisasi Dhamma (belum mempraktekkan Dhamma), maka ia sebaiknya menerima dengan "presume innocence", jangan langsung ditolak mentah-mentah begitu saja hanya karena ia belum mengalaminya. Pemikiran ini dilakukan oleh bhikkhu maupun umat awam (saya tidak mengatakan sebagian atau seluruhnya)
saya belum merealisasikan dhamma, saya prefer "not to presume"...

mengenai kalimat terakhir dalam quote tsb:
Pemikiran ini dilakukan oleh bhikkhu maupun umat awam (saya tidak mengatakan sebagian atau seluruhnya)
terus terang saya tidak mengerti maksud rekan Fabian dg "tidak mengatakan sebagian atau seluruhnya..."


Quote
Quote
sebaiknya rekan Fabian jg memulai dg tidak menerima ataupun menolak (yg fifty-fifty tsb).

saya tidak hanya belajar teori, dan menurut saya setelah berlatih meditasi lalu membandingkan kembali dengan sutta, saya tidak melihat bahwa hal itu bertentangan. Sepanjang meditasi yang kita lakukan adalah meditasi yang sejalan dengan kitab suci Tipitaka, bukan meditasi non Buddhis.
tentunya informasi dari rekan Fabian akan menjadi salah satu input bagi saya.
tetapi utk saya sendiri, apakah itu menerima atau menolak, harus saya sendiri yg ber-Ehipassiko.

Quote
Saudara Tesla mungkin belum memahami maksud saya. Maksud tulisan saya adalah ajaran Sang Buddha seringkali memerlukan praktek untuk bisa membuktikannya, jadi jangan kita menolak ajaran Sang Buddha hanya bila tidak sesuai dengan logika kita (karena Dhamma harus dialami, bukan di logika-kan), kita boleh tolak bila ternyata setelah dipraktekkan ternyata tidak sesuai, atau tidak membawa manfaat.
yah... saya sih belum bisa praktek sampai bisa membuktikan Benar atau Salahnya salah satu sutta, tapi saya juga menghapus asumsi awal saya yg berupa Bhikkhu (& umat) yg menolak beberapa sutta belum ber-praktek, namun hanya berasumsi awal. Kemungkinan mereka telah berpraktek melebihi yg menerima sutta tsb jg ada.

Quote
Quote
tampaknya rekan Fabian belum membaca mengenai kejanggalan dalam Mahaparinnibana sutta dalam thread ini:
Membaca Sutta secara Kritis

Saudara Tesla, saya sudah membaca thread tersebut, entah karena saya kurang kritis atau gimana, saya tidak mempermasalahkan Dhamma dan Sutta berbeda, karena Sutta adalah khotbah Sang Buddha dan para Arahat, dan Dhamma yang dimaksud adalah ajaran Sang Buddha (bukan ajaran orang lain), jadi Dhamma dan sutta saya anggap sama, Dhamma yang diajarkan oleh para Arahat saya anggap sama saja dengan yang diajarkan oleh Sang Buddha, karena Mereka semua adalah "penembus dhamma" Dhamma yang mereka realisasikan sama. Ini Senada dengan kata-kata Sang Buddha "who sees the Dhamma, see me"
mengenai hal ini dilanjutkan di topik bersangkutan saja :)

Quote
Harus saya ulangi seperti yang ada dalam postingan saya, bukan berarti kita percaya membuta, maksudnya kita melihat Tipitaka secara positif, yaitu: ini pandangan umat Buddha, ini referensi tertinggi.
Tipitaka mungkin salah (ini yang dimaksud fifty-fifty), tetapi saya menganggap benar sebelum terbukti salah.
yah itu terserah preferensi masing-masing lah...
rekan Fabian mau pakai azas praduga tak bersalah,
saya lebih suka utk tidak berpraduga (baik bersalah ataupun tidak).

Quote
Quote
persis seperti kata rekan Fabian... bahwa Buddha menganjurkan utk membandingkan suatu ajaran apakah sesuai dg sutta & vinaya.
pertanyaan saya adalah: "Bagaimana bisa timbul anjuran yg merujuk ke sutta apabila sutta baru disusun setelah Sang Buddha parinibbana?"

Nah ini adalah perbedaan pandangan. Setahu saya sutta tidak disusun, tetapi sutta disampaikan secara oral oleh Siswa-siswa Sang Buddha langsung, kemudian disampaikan secara oral dari guru ke murid (dari Bhikkhu senior ke bhikkhu junior) dan itu berlangsung hingga beberapa ratus tahun.
dihapal memang benar...
jadi kotbah sang Buddha itu ada sangat banyak mengingat masa karir yg puluhan tahun.
kotbah itu dihapal & disusun dalam bentuk sutta pitaka.
btw, saya tidak sedang mencoba memaksakan pemikiran saya ke rekan Fabian, ini diskusi terbuka.
semoga bermanfaat!

Quote
Mengapa Tipitaka bertahan sekian lama? Karena Tipitaka dihafal mati... !!! (sebelum akhirnya ditulis di daun lontar) oleh para siswa-siswa penghafal (bhanaka) Jumlah Bhikkhu di masa lampau jumlahnya mencapai ratusan ribu sehingga menghafal Tipitaka tidak terlalu sulit jika penghafalannya dibagi-bagi oleh ribuan Bhikkhu (Kita lihat saja jumlah bhikkhu di Thai dan Myanmar) hafal mati inipun masih kadang dilakukan. Bahkan oleh umat, pada lomba baca Dhammapada misalnya (a,i,u harus dibaca pendek dsbnya).
menurut saya bisa bertahan lebih lama karena dituliskan. bukan sekedar dihafal.
terlebih Tipitaka mengandung dhamma yg merupakan salah satu permata.

Quote
pada periode-periode tertentu para siswa penghafal ini berkumpul dan mengulang kembali (konsili pertama dan kedua semua Arahat), mereka lalu menyaring mana sutta yang otentik dan yang tidak otentik (kriterianya adalah: yang pengertiannya tidak bertentangan dengan ajaran Sang Buddha / tidak bertentangan dengan sutta-sutta lainnya. Sutta tidak selalu khotbah Sang Buddha, tetapi bisa juga khotbah Arahat), kalau ingin lebih jelas mengenai hal ini boleh baca Dipavamsa, Mahavamsa, Kathavatthu dll)
konsili pertama pesertanya adalah arahat, jadi kata siapa yg perlu disaring kalau mereka adalah arahat?
kalau konsili berikutnya okelah...
btw akhirnya kita jadi maen logika, bukan ehipassiko :P
ntar jgn lupa kita ehipassiko dalam pengalaman bathin kita sendiri :)

Quote
Quote
jangan pula dianggap benar dulu yah... Smiley
sebaiknya kita mulai dari netral...
tidak tahu apakah benar atau salah

pandangan saudara Tesla saya rasa cukup fair... dan baik....

Tetapi pandangan saya agak berbeda, saya sudah mengatakan banyak sekali sutta yang saya bandingkan dengan pengalaman meditasi (maksudnya membaca kembali sutta-sutta lalu bandingkan dengan pengalaman meditasi yang lalu), ternyata sejalan. Demikian banyak guru meditasi Buddhis yang mempraktekkan meditasi lalu mereka setuju bahwa ajaran Sang Buddha yang termaktub dalam kitab suci Tipitaka ternyata benar setelah mereka praktekkan.
yah... preferensi kembali kepada masing2.
metoda kita, tidak ada yg lebih baik atau lebih buruk.
yg buruk adalah kalau kita memaksakannya kepada orang lain.

Quote
sejauh ini saya melihat bahwa memang tidak semua ajaran Sang Buddha yang masuk logika atau sudah saya praktekkan, contohnya mengenai surga dan neraka umpamanya, tetapi bukan berarti saya harus menolak kan? nah inilah contoh jelas sikap saya terhadap Tipitaka.
saat ini saya sudah mengabaikan hal2 demikian...
tidak menolak & menerima... dan jg tidak berniat utk membuktikannya lagi...
pertanyaan pikiran tentang alam "surga & neraka" sudah saya abaikan (walau kadang2 masih muncul).

Quote
Quote
Quote
Semoga kita semua berbahagia
Semoga semua terbebas dari penderitaan

Iya deh tambahin biar lebih afdol....  :) _/\_

sukhi hotu...

_/\_
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #36 on: 12 September 2008, 08:53:48 PM »
Saudara fabian yang baik,
Saya akan sedikit mengeluarkan pertanyaan dengan ilmu pengetahuan saya yang sangat terbatas ini.. :)
Ehipassiko… betapa lantang dan sering terdengar kata-kata ini… gaung sepotong kata ehipassiko seakan akan bagai kata sakti yang merupakan seluruh inti ajaran Sang Buddha.
Justru sebaliknya,saya mengganggap ehipassiko adalah jalan menuju dhamma dan merupakan inti ajaran SB,di sutta manakah pernah saudara fabian lihat SB tidak menganjurkan ehipassiko sebagaimana mestinya?:)

Quote
Logika kata sakti ini menyebabkan ada sebagian orang yang merasa apabila ada ajaran dalam Tipitaka yang tidak bisa di “ehipassiko”kan seolah-olah bukan berasal dari Sang Buddha.
Anda terlalu cepat menilai saudara fabian...Sebelum "aku" kita padam tidak seharusnya kalimat itu terlontarkan...
Apakah anda hendak berkata bahwa,"Seluruh isi tipitaka dapat diehipassiko oleh seluruh umat manusia?"(sedangkan kita tidak tahu apa itu "dhamma",mana "dhamma yang benar2 dhamma,bukan sekedar kacang goreng belaka..)
Berasal dari SB atau tidak itu tidak lah begitu penting menurut saya dan seperti pernyataan anda yang berikut,"kata-kata Sang Buddha "who sees the Dhamma, see me" "
Yang paling penting sudahkah anda berehipassiko tentang "Dhamma" itu sendiri?
Sudahkah anda "melihatnya" bukan sekedar "merasakannya"?

Quote
Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara “salah” oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya “pintar, cerdas, intelektual” untuk menolak sutta dalam Tipitaka yang tidak sesuai dengan logika mereka.
Logika atau bukan siapa yang tahu?Apakah anda mengetahuinya?
Siapa yang praktek?Siapa yang menyelami?:)


Quote
Kelompok ini berusaha memperkuat dalih mereka dengan mengutip Kalama Sutta yang berbunyi sebagai berikut,

   "So, as I said, Kalamas: 'Don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, "This contemplative is our teacher." When you know for yourselves that, "These qualities are unskillful; these qualities are blameworthy; these qualities are criticized by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to harm & to suffering" — then you should abandon them.' Thus was it said. And in reference to this was it said.
"Now, Kalamas, don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, 'This contemplative is our teacher.' When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.
(Kalama sutta AN 3.65)[/i]
Sutta lain yang kerap dijadikan sebagai alat pembenaran adalah dari Maha parinibbana Sutta berikut:

"Discipline. If they are neither traceable in the Discourses nor verifiable by the Discipline, one must conclude thus: 'Certainly, this is not the Blessed One's utterance; this has been misunderstood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' In that way, bhikkhus, you should reject it. But if the sentences concerned are traceable in the Discourses and verifiable by the Discipline, then one must conclude thus: 'Certainly, this is the Blessed One's utterance; this has been well understood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' And in that way, bhikkhus, you may accept it on the first, second, third, or fourth reference. These, bhikkhus, are the four great references for you to preserve."

Kalau anda berkenan,tolong ditranslate kan ke dalam bahasa indonesia,berhubung talenta dan inteligensi saya sangat rendah...:))

Quote
4.8. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagava sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru”, maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya.
Saya setuju sampai pada bagian ini...

Quote
Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin.
Sutta mana yang anda maksudkan?Sutta sangat banyak dan bertumpukan di dunia ini,mana yang benar mana yang salah?Mana yang mulut SB,mana yang bukan mulut SB?
Apa yang mesti dibanding2kan kecuali kepuasan intelek belaka?
Mencari?Apa yang anda cari?
Setahu saya SB berkata,"Saya sudah berhenti,kamulah yang masih berlari...Berhentilah..."


Quote
Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.”
Saya meragukan sutta ini.....Sutta yang mana yang SB maksudkan disini?
Apakah "Dhamma" sudah terpaku terhadap suatu "dogma"?
Sejak kapan bahwa sutta memiliki otoritas akan "kebenaran tertinggi"?

Quote
Satu sutta ini sering digunakan oleh orang yang menganggap dirinya kritis, untuk menolak suttta-sutta yang lain, seolah-olah sutta yang lain salah bila tidak sesuai dengan pendapatnya, karena dia berpegangan pada Sutta ini yang berbunyi,

 “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak.”
Lho,bukankah sebelumnya dianjurkan "kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya."
Lantas,kenapa saya harus terpaku terhadap "tipitaka/sutta?"
Apakah "Sutta/Tipitaka" memiliki "otoritas tertinggi" akan suatu "kebenaran"?

Quote
Padahal cendekiawan Buddhis ini melupakan bagian-bagian lain dari sutta yang sama, yaitu

para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin.
Sekarang saya tanyakan kembali,"Sutta yang mana yang dimaksudkan oleh SB?"

Quote
Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?
Ya...Semoga anda mengingat kalimat ini... :)

Quote
Selanjutnya sutta ini juga mengatakan bahwa kita harus mencatat dan membandingkan dengan sutta-sutta dan vinaya, atau boleh juga dikatakan dibandingkan dengan Dhamma dan Vinaya. Karena Dhamma dan vinaya disini merujuk pada sutta dan Vinaya
Lagi2,"Sutta yang mana bro fabian?"

Quote
Tetapi banyak juga orang-orang yang mengartikan bahwa apabila satu sutta tidak sesuai dengan kerangka berpikir mereka (atau batas pengetahuan mereka) dianggap sutta tersebut harus ditolak.
Darimana anda tahu bahwa sutta tersebut ditolak karena tidak sesuai dengan kerangka pikiran mereka?Apakah anda sudah "mantap" sampai berani melontarkan pernyataan seperti diatas?
Apakah anda sudah memperoleh kekuatan2 abhina hingga bisa membaca kerangka pikiran orang lain?
Bisa saja mereka sudah menyelami bahkan sudah arahat,lantas kenapa mereka tidak boleh menolak hal yang bukan keluar dari mulut Sang Buddha/dianggap sebagai "kebodohan"?

Quote
Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat sutta tersebut yaitu: membandingkannya dengan Dhamma dan Vinaya, yang dalam hal ini berarti harus kita bandingkan dengan kitab suci Tipitaka itu secara keseluruhan (apakah sejalan atau tidak).
:o
Wow...Amazing...
Tipitaka itu apa ya?
Dia kah pemegang otoritas tertinggi akan "kebenaran"?

Quote
BUKAN DIBANDINGKAN DENGAN LOGIKA KITA…!!!
Sekali lagi saya tanyakan,"Darimana anda tahu mereka membandingkan dengan logika atau bukan?" Itu hanya spekulasi anda belaka... :)

Quote
Kembali pada Ehipassiko, sering kita mendengar kata ehipassiko di artikan dengan kurang tepat. Mereka mengatakan bahwa ehipassiko adalah datang dan buktikan, padahal seharusnya diartikan datang dan lihat atau datang dan alami, karena passiko berasal. Dari kata PASSATI (tolong dikoreksi bila salah) yang berdasarkan Pali-English dictionary yang disusun oleh YM. Buddhadatta Mahathera berarti melihat (sees), menemukan (finds) dan mengerti (understands). Jadi maksudnya disini (menurut pendapat saya) adalah melihat dan mengalami sehingga timbul pengertian.
Saya sih tidak peduli ehipassiko itu diartikan sebagai apa dan oleh siapa..
Yang pasti bagi saya "menyelami" kebijaksanaan tertinggi...

Quote
Kesimpulan:

Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Saya juga mau memberi kesimpulan :
Sudah sepantasnya apabila kita sebagai manusia tidak serta merta menerima suatu sutta bahkan ajaran apapun hanya karena kita merasa nyaman dengan sutta atau ajaran tersebut atau menurut anggapan kita masuk diakal.. :)

Quote
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka,  tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).
Hehehe,aneh aneh dan aneh...
Itu sih menurut saya kedua2nya kefanatikan dan kebodohan semata...
Quote
tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).
Saya tidak menerima kedua saran diatas...
Saya jadi heran dengan anda,anda tadi diatas berkata sebagai berikut :
Quote
Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?
Dan anda sudah menyarankan secara "sepihak" untuk mengambil salah 1 prinsip yang anda lontarkan diatas dan menghindari prinsip lainnya.. :)

Quote
Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.
Sekali saya tanyakan,"Darimana anda tahu itu berdasarkan logika atau bukan?"

Quote
Jangan berpandangan sebaliknya, yaitu beranggapan semua poin dalam Tipitaka tidak benar, kecuali kemudian kita buktikan sendiri bahwa itu memang benar, karena pandangan seperti ini sangat kontra produktif bagi pengembangan batin, karena kita menjadi skeptis terhadap kebenaran Tipitaka. Dan akhirnya akan menjauhkan kita dari Dhamma, sehingga Samvega (perasaan mendesak untuk mencari keselamatan atau melaksanakan Dhamma) tidak muncul, dengan tidak munculnya samvega maka, keinginan untuk mempraktekkan Dhamma agar terbebas juga tidak muncul.
Ini adalah pandangan anda,saya menghargainya tapi saya mau berkata sedikit bahwa,"kebenaran ada dimana2,tidak perlu dicari,dan kebenaran itu tepat berada didalam hati kita sendiri,bukan diluar hati kita bahkan dihati seorang SammaSambuddha sekalipun..."

Salam,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #37 on: 12 September 2008, 09:04:56 PM »
Quote
Quote from: fabian c on Today at 05:43:34 PM
Sering orang berpikir untuk menolak lebih dahulu sebelum membuktikan, seharusnya membuktikan lebih dahulu.......baru..... bersikap.
setuju sekali...
sering kali kita sudah memiliki asumsi awal sebelum membuktikan.
bisa berasumsi "menolak (ini salah)"
bisa jg berasumsi "menerima (ini benar)"
sebaiknya asumsi demikian diabaikan saja jika muncul dalam pikiran kita Grin
Kalo aye lihat sikon dulu ah ;D

Quote
Quote
Oleh karena itu bagi orang yang belum merealisasi Dhamma (belum mempraktekkan Dhamma), maka ia sebaiknya menerima dengan "presume innocence", jangan langsung ditolak mentah-mentah begitu saja hanya karena ia belum mengalaminya. Pemikiran ini dilakukan oleh bhikkhu maupun umat awam (saya tidak mengatakan sebagian atau seluruhnya)
saya belum merealisasikan dhamma, saya prefer "not to presume"...

mengenai kalimat terakhir dalam quote tsb:
Pemikiran ini dilakukan oleh bhikkhu maupun umat awam (saya tidak mengatakan sebagian atau seluruhnya)
terus terang saya tidak mengerti maksud rekan Fabian dg "tidak mengatakan sebagian atau seluruhnya..."
Kalo saya mau menjalani sesuatu harus yakin dulu aman atau tidak, baik atau buruk ;D

Quote
Quote
Quote
sebaiknya rekan Fabian jg memulai dg tidak menerima ataupun menolak (yg fifty-fifty tsb).

saya tidak hanya belajar teori, dan menurut saya setelah berlatih meditasi lalu membandingkan kembali dengan sutta, saya tidak melihat bahwa hal itu bertentangan. Sepanjang meditasi yang kita lakukan adalah meditasi yang sejalan dengan kitab suci Tipitaka, bukan meditasi non Buddhis.
tentunya informasi dari rekan Fabian akan menjadi salah satu input bagi saya.
tetapi utk saya sendiri, apakah itu menerima atau menolak, harus saya sendiri yg ber-Ehipassiko.
aye juga blom ehipasiko nih ;D

Quote
Quote
Saudara Tesla mungkin belum memahami maksud saya. Maksud tulisan saya adalah ajaran Sang Buddha seringkali memerlukan praktek untuk bisa membuktikannya, jadi jangan kita menolak ajaran Sang Buddha hanya bila tidak sesuai dengan logika kita (karena Dhamma harus dialami, bukan di logika-kan), kita boleh tolak bila ternyata setelah dipraktekkan ternyata tidak sesuai, atau tidak membawa manfaat.
yah... saya sih belum bisa praktek sampai bisa membuktikan Benar atau Salahnya salah satu sutta, tapi saya juga menghapus asumsi awal saya yg berupa Bhikkhu (& umat) yg menolak beberapa sutta belum ber-praktek, namun hanya berasumsi awal. Kemungkinan mereka telah berpraktek melebihi yg menerima sutta tsb jg ada.
Bagi saya sutta itu hanyalah rakit, jadi mau apapun kita yang menentukan  ;D

Quote
Quote
Quote
tampaknya rekan Fabian belum membaca mengenai kejanggalan dalam Mahaparinnibana sutta dalam thread ini:
Membaca Sutta secara Kritis

Saudara Tesla, saya sudah membaca thread tersebut, entah karena saya kurang kritis atau gimana, saya tidak mempermasalahkan Dhamma dan Sutta berbeda, karena Sutta adalah khotbah Sang Buddha dan para Arahat, dan Dhamma yang dimaksud adalah ajaran Sang Buddha (bukan ajaran orang lain), jadi Dhamma dan sutta saya anggap sama, Dhamma yang diajarkan oleh para Arahat saya anggap sama saja dengan yang diajarkan oleh Sang Buddha, karena Mereka semua adalah "penembus dhamma" Dhamma yang mereka realisasikan sama. Ini Senada dengan kata-kata Sang Buddha "who sees the Dhamma, see me"
mengenai hal ini dilanjutkan di topik bersangkutan saja Smiley

Saya melihat hanya yang dilihat, membaca apa yang dibaca ;D

Quote
Quote
Harus saya ulangi seperti yang ada dalam postingan saya, bukan berarti kita percaya membuta, maksudnya kita melihat Tipitaka secara positif, yaitu: ini pandangan umat Buddha, ini referensi tertinggi.
Tipitaka mungkin salah (ini yang dimaksud fifty-fifty), tetapi saya menganggap benar sebelum terbukti salah.
yah itu terserah preferensi masing-masing lah...
rekan Fabian mau pakai azas praduga tak bersalah,
saya lebih suka utk tidak berpraduga (baik bersalah ataupun tidak).
ikut yang mana yah?  ;D

Quote
Quote
Quote
persis seperti kata rekan Fabian... bahwa Buddha menganjurkan utk membandingkan suatu ajaran apakah sesuai dg sutta & vinaya.
pertanyaan saya adalah: "Bagaimana bisa timbul anjuran yg merujuk ke sutta apabila sutta baru disusun setelah Sang Buddha parinibbana?"

Nah ini adalah perbedaan pandangan. Setahu saya sutta tidak disusun, tetapi sutta disampaikan secara oral oleh Siswa-siswa Sang Buddha langsung, kemudian disampaikan secara oral dari guru ke murid (dari Bhikkhu senior ke bhikkhu junior) dan itu berlangsung hingga beberapa ratus tahun.
dihapal memang benar...
jadi kotbah sang Buddha itu ada sangat banyak mengingat masa karir yg puluhan tahun.
kotbah itu dihapal & disusun dalam bentuk sutta pitaka.
btw, saya tidak sedang mencoba memaksakan pemikiran saya ke rekan Fabian, ini diskusi terbuka.
semoga bermanfaat!

Quote
Mengapa Tipitaka bertahan sekian lama? Karena Tipitaka dihafal mati... !!! (sebelum akhirnya ditulis di daun lontar) oleh para siswa-siswa penghafal (bhanaka) Jumlah Bhikkhu di masa lampau jumlahnya mencapai ratusan ribu sehingga menghafal Tipitaka tidak terlalu sulit jika penghafalannya dibagi-bagi oleh ribuan Bhikkhu (Kita lihat saja jumlah bhikkhu di Thai dan Myanmar) hafal mati inipun masih kadang dilakukan. Bahkan oleh umat, pada lomba baca Dhammapada misalnya (a,i,u harus dibaca pendek dsbnya).
menurut saya bisa bertahan lebih lama karena dituliskan. bukan sekedar dihafal.
terlebih Tipitaka mengandung dhamma yg merupakan salah satu permata.

Quote
pada periode-periode tertentu para siswa penghafal ini berkumpul dan mengulang kembali (konsili pertama dan kedua semua Arahat), mereka lalu menyaring mana sutta yang otentik dan yang tidak otentik (kriterianya adalah: yang pengertiannya tidak bertentangan dengan ajaran Sang Buddha / tidak bertentangan dengan sutta-sutta lainnya. Sutta tidak selalu khotbah Sang Buddha, tetapi bisa juga khotbah Arahat), kalau ingin lebih jelas mengenai hal ini boleh baca Dipavamsa, Mahavamsa, Kathavatthu dll)
konsili pertama pesertanya adalah arahat, jadi kata siapa yg perlu disaring kalau mereka adalah arahat?
kalau konsili berikutnya okelah...
btw akhirnya kita jadi maen logika, bukan ehipassiko Tongue
ntar jgn lupa kita ehipassiko dalam pengalaman bathin kita sendiri Smiley
yang lalu biarlah berlalu ;D

Quote
Quote
Quote
jangan pula dianggap benar dulu yah... Smiley
sebaiknya kita mulai dari netral...
tidak tahu apakah benar atau salah

pandangan saudara Tesla saya rasa cukup fair... dan baik....

Tetapi pandangan saya agak berbeda, saya sudah mengatakan banyak sekali sutta yang saya bandingkan dengan pengalaman meditasi (maksudnya membaca kembali sutta-sutta lalu bandingkan dengan pengalaman meditasi yang lalu), ternyata sejalan. Demikian banyak guru meditasi Buddhis yang mempraktekkan meditasi lalu mereka setuju bahwa ajaran Sang Buddha yang termaktub dalam kitab suci Tipitaka ternyata benar setelah mereka praktekkan.
yah... preferensi kembali kepada masing2.
metoda kita, tidak ada yg lebih baik atau lebih buruk.
yg buruk adalah kalau kita memaksakannya kepada orang lain.
apalagi kalau yang udah ehipasiko ga taunya malah tersesat ;D

Quote
Quote
sejauh ini saya melihat bahwa memang tidak semua ajaran Sang Buddha yang masuk logika atau sudah saya praktekkan, contohnya mengenai surga dan neraka umpamanya, tetapi bukan berarti saya harus menolak kan? nah inilah contoh jelas sikap saya terhadap Tipitaka.
saat ini saya sudah mengabaikan hal2 demikian...
tidak menolak & menerima... dan jg tidak berniat utk membuktikannya lagi...
pertanyaan pikiran tentang alam "surga & neraka" sudah saya abaikan (walau kadang2 masih muncul).
sudah banyak kok yang membuktikannya ;D

Quote
Quote
Quote
Quote
Semoga kita semua berbahagia
Semoga semua terbebas dari penderitaan

Iya deh tambahin biar lebih afdol....  Smiley Namaste

sukhi hotu...

Namaste

GBU
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #38 on: 13 September 2008, 03:56:41 AM »
Quote
Quote
Semoga kita semua berbahagia
Semoga semua terbebas dari penderitaan
Iya deh tambahin biar lebih afdol....  :) _/\_

tambahan:
btw saya bukan bermaksud menambahin rekan Fabian yah... :P
dalam hal ehipassiko, saya sependapat sekali dg kalimat Ajahn Chah yg ini:

“Joy at last to know there's no happiness in the world.“

saya tidak mengharapkan orang/mahkluk lain berbahagia lagi, sebaliknya saya berharap orang/mahkluk lain mengetahui tidak ada kebahagiaan di dunia (to know there's no happiness in the world).
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #39 on: 13 September 2008, 02:28:27 PM »


Quote
Quote
Semoga kita semua berbahagia
Semoga semua terbebas dari penderitaan
Iya deh tambahin biar lebih afdol....  :) _/\_

tambahan:
btw saya bukan bermaksud menambahin rekan Fabian yah... :P
dalam hal ehipassiko, saya sependapat sekali dg kalimat Ajahn Chah yg ini:

“Joy at last to know there's no happiness in the world.“

saya tidak mengharapkan orang/mahkluk lain berbahagia lagi, sebaliknya saya berharap orang/mahkluk lain mengetahui tidak ada kebahagiaan di dunia (to know there's no happiness in the world).

Wah saudara Tesla bagus sekali mengutip pendapat Acharn Chah, walaupun saya membatasi diri untuk tidak berpatokan kepada Bhikkhu atau umat Buddha tertentu (patokan saya sebagai umat Buddha adalah Tipitaka, bukan orang tertentu) tapi saya juga mau komentar sedikit mengenai ucapan Acharn Chah....

Bagi seorang Acharn Chah, ini mungkin yang dimaksud beliau adalah Nibbana. Nibbana yang sesungguhnya menurut Tipitaka memiliki satu rasa, yaitu "taste of liberation", liberation yang dimaksud adalah liberation dalam hal terbebas dari suka dan duka batin maupun jasmani, dengan kata lain terbebas dari fenomena batin maupun jasmani. inilah yang dimaksud dengan "joy" nya Acharn Chah. yaitu Joy setelah melihat bahwa suka dukkha tak ada (telah lenyap).

Tetapi bagi seorang meditator jaman sekarang yang semuanya adalah Neyya puggala, berlatih 3 sampai sepuluh hari intensif, bila ia menyatakan bahwa ia mengalami hal demikian, itu bukan Nibbana tetapi "mental idleness" yaitu kelambanan atau kemalasan batin. (biasanya berasosiasi dengan rasa enggan atau malas, yaitu malas memperhatikan) atau bisa juga terjadi di malam hari pada saat badan mulai lelah.

Pengalaman Nibbana hanya bisa dicapai oleh meditator yang batinnya telah jernih, ia merasa segar, karena perasaan perasaan negatif seperti rasa malas, enggan, ngantuk dsbya (yang termasuk 5 nivarana) telah bisa diatasi.

Untuk menjernihkan batin ini memerlukan waktu dan tak terjadi secara tiba-tiba. Theravada tidak menganut paham Satori seperti dalam Zen, semuanya terjadi melalui "proses gradual", setelah mampu melakukan ini, baru bisa melakukan itu (setelah mengerti atau bisa pelajaran SD baru bisa mencerna pelajaran SMP).

Semoga kita semua berbahagia dan bebas dari penderitaan, (pernyataan ini wajar diucapkan oleh orang yang belum mencapai tingkat kesucian Arahat).


Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #40 on: 13 September 2008, 03:05:00 PM »
Wah saudara Tesla bagus sekali mengutip pendapat Acharn Chah, walaupun saya membatasi diri untuk tidak berpatokan kepada Bhikkhu atau umat Buddha tertentu (patokan saya sebagai umat Buddha adalah Tipitaka, bukan orang tertentu) tapi saya juga mau komentar sedikit mengenai ucapan Acharn Chah....

sip... saya jg bukan berpatokan pada Bhikkhu/orang tertentu, bukan pula Tipitaka semata.

Quote
Bagi seorang Acharn Chah, ini mungkin yang dimaksud beliau adalah Nibbana. Nibbana yang sesungguhnya menurut Tipitaka memiliki satu rasa, yaitu "taste of liberation", liberation yang dimaksud adalah liberation dalam hal terbebas dari suka dan duka batin maupun jasmani, dengan kata lain terbebas dari fenomena batin maupun jasmani. inilah yang dimaksud dengan "joy" nya Acharn Chah. yaitu Joy setelah melihat bahwa suka dukkha tak ada (telah lenyap).
sederhananya, ketika kita bebas dari beban apakah itu beban kepemilikan atau beban kehilangan. disitulah joy tsb muncul.
joy tsb memang harus dialami sendiri & tdk mungkin dijelaskan/ditransfer kpd orang lain.
terlebih lagi apakah itu nibbana saya tidak tahu.

Quote
Tetapi bagi seorang meditator jaman sekarang yang semuanya adalah Neyya puggala, berlatih 3 sampai sepuluh hari intensif, bila ia menyatakan bahwa ia mengalami hal demikian, itu bukan Nibbana tetapi "mental idleness" yaitu kelambanan atau kemalasan batin. (biasanya berasosiasi dengan rasa enggan atau malas, yaitu malas memperhatikan) atau bisa juga terjadi di malam hari pada saat badan mulai lelah.
saya melihat rekan Fabian telah memiliki standar bahwa meditator zaman skr yg hanya meditasi intensif 3~10 hari tidak akan merealisasikan nibbana...
dg demikian rekan Fabian telah membentuk apa itu nibbana dalam diri rekan Fabian, yaitu sesuatu yg harus dicapai melebihi meditasi intensif 3~10 hari (atau bahkan lebih).
bagi saya itu beban...
bila saya memikul beban demikian, semakin lama saya tambah lelah, letih, lamban & mungkin akan malas... dg melepas beban yg saya punya & ketahui, saya semakin mengalami "joy" tsb... saya semakin ringan, lega... kebalikan dari lamban & malas...

Quote
Pengalaman Nibbana hanya bisa dicapai oleh meditator yang batinnya telah jernih, ia merasa segar, karena perasaan perasaan negatif seperti rasa malas, enggan, ngantuk dsbya (yang termasuk 5 nivarana) telah bisa diatasi.

Untuk menjernihkan batin ini memerlukan waktu dan tak terjadi secara tiba-tiba. Theravada tidak menganut paham Satori seperti dalam Zen, semuanya terjadi melalui "proses gradual", setelah mampu melakukan ini, baru bisa melakukan itu (setelah mengerti atau bisa pelajaran SD baru bisa mencerna pelajaran SMP).
utk pengalaman nibbana saya belum sampai & tidak tahu :P

Quote
Semoga kita semua berbahagia dan bebas dari penderitaan, (pernyataan ini wajar diucapkan oleh orang yang belum mencapai tingkat kesucian Arahat).
menurut saya orang miskin pun berhak mendoakan orang kaya agar lebih kaya lagi ^-^

jadi...

semoga rekan Fabian terbebas dari penderitaan
_/\_
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #41 on: 13 September 2008, 05:00:49 PM »

saudara Tesla yang baik,

Saya hanya akan mengomentari sedikit reply saudara,

Quote
saya melihat rekan Fabian telah memiliki standar bahwa meditator zaman skr yg hanya meditasi intensif 3~10 hari tidak akan merealisasikan nibbana...

Saya sih memang beranggapan demikian... entah kalau saudara Tesla menemukan ada meditator yang telah merealisasi Nibbana dalam waktu 3-10 hari....

Quote
dg demikian rekan Fabian telah membentuk apa itu nibbana dalam diri rekan Fabian, yaitu sesuatu yg harus dicapai melebihi meditasi intensif 3~10 hari (atau bahkan lebih).

Saya rasa tulisan saya diatas tidak membentuk Nibbana dalam diri saya, tetapi kalau saya beranggapan bahwa bagi meditator jaman sekarang untuk mencapai Nibbana diperlukan waktu lebih dari 10 hari, itu memang benar.
Mungkin saudara Tesla tahu seseorang yang meditasi kurang dari 10 hari telah mencapai Nibbana? Bisa dikenalkan?

Quote
bagi saya itu beban...

bagi saya sih cuma sekedar tahu tidak menjadi beban, toh itu tidak dipikirkan, cuma sekedar tahu....   :)
Quote
bila saya memikul beban demikian, semakin lama saya tambah lelah, letih, lamban & mungkin akan malas...
Jika dengan memberitahu demikian, saudara Tesla mengalami kemunduran batin seperti itu saya mohon maaf, saya tidak menyangka hanya dengan membaca hal seperti itu saudara Tesla menjadi begitu.... sekali lagi saya mohon maaf, karena tujuan saya memposting tanggapan itu adalah untuk kemajuan batin dan pengertian yang baik bagi kita semua...

Quote
dg melepas beban yg saya punya & ketahui, saya semakin mengalami "joy" tsb... saya semakin ringan, lega... kebalikan dari lamban & malas...

Ahh sukurlah.... kalau pengetahuan itu menjadi beban bagi anda, maka sebaiknya memang dilepas, sukurlah anda menjadi ringan dan lega kembali saya ikut bermudita citta....
Saya sendiri tidak tahu bagaimana caranya melepas pengetahuan yang saya miliki (yang saudara anggap beban) coba tolong ajarkan saya caranya... terima kasih sebelumnya...

(((Semoga anda berbahagia dan terbebas dari penderitaan)))


 _/\_
« Last Edit: 13 September 2008, 05:02:43 PM by fabian c »
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline andry

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.117
  • Reputasi: 128
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #42 on: 13 September 2008, 05:27:33 PM »
Gak cape yah?
Samma Vayama

Offline Delusion

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 118
  • Reputasi: 15
  • Gender: Female
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #43 on: 13 September 2008, 05:28:29 PM »
:)

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #44 on: 13 September 2008, 05:28:43 PM »

saudara Tesla yang baik,

Saya hanya akan mengomentari sedikit reply saudara,

Quote
saya melihat rekan Fabian telah memiliki standar bahwa meditator zaman skr yg hanya meditasi intensif 3~10 hari tidak akan merealisasikan nibbana...

Saya sih memang beranggapan demikian... entah kalau saudara Tesla menemukan ada meditator yang telah merealisasi Nibbana dalam waktu 3-10 hari....

Quote
dg demikian rekan Fabian telah membentuk apa itu nibbana dalam diri rekan Fabian, yaitu sesuatu yg harus dicapai melebihi meditasi intensif 3~10 hari (atau bahkan lebih).

Saya rasa tulisan saya diatas tidak membentuk Nibbana dalam diri saya, tetapi kalau saya beranggapan bahwa bagi meditator jaman sekarang untuk mencapai Nibbana diperlukan waktu lebih dari 10 hari, itu memang benar.
Mungkin saudara Tesla tahu seseorang yang meditasi kurang dari 10 hari telah mencapai Nibbana? Bisa dikenalkan?
rekan Fabian salah memahami...
bagi saya hal tsb tidak perlu dipatok.
mengenai penelitian ke luar (orang lain) akan sangat sulit utk tepat... hanya jadi tebak2an...
seseorang bisa saja mengatakan dia sudah nibbana (arahat)...
atau sekelompok orang bisa saja mengatakan gurunya telah nibbana.
semua itu saya coba abaikan. tidak mematok apakah harus lebih dari 10 hari atau kurang dari 10 hari...
bagaimana kita membuktikannya?
"konon" hanya menjadi arahat yg bisa tahu orang lain arahat atau bukan ^-^
jadi akhirnya kita harus merealisasikan sendiri...
pendapat2 di luar yg ada tidak saya tolak keberadaannya, namun jg tidak saya pikir2...
semoga rekan Fabian dapat memahami kalimat saya.

Quote
Quote
bagi saya itu beban...

bagi saya sih cuma sekedar tahu tidak menjadi beban, toh itu tidak dipikirkan, cuma sekedar tahu....   :)
Quote
bila saya memikul beban demikian, semakin lama saya tambah lelah, letih, lamban & mungkin akan malas...
Jika dengan memberitahu demikian, saudara Tesla mengalami kemunduran batin seperti itu saya mohon maaf, saya tidak menyangka hanya dengan membaca hal seperti itu saudara Tesla menjadi begitu.... sekali lagi saya mohon maaf, karena tujuan saya memposting tanggapan itu adalah untuk kemajuan batin dan pengertian yang baik bagi kita semua...
Anumodana...
bukan karena posting rekan fabian saya menjadi demikian...
saya ada menulis kata "bila" di awal kalimat ;)
keadaan itu terjadi pada saya dulu tanpa jeda... (tentunya karena saya sendiri, bukan rekan Fabian)
saya hanya tahu itu adalah beban ketika saya telah melepaskannya...
ketika itulah 5 niravana yg rekan Fabian katakan mengendap...
kemudian dalam kegiatan sehari2, secara tak sadar saya mengumpulkan beban2 lagi.
memikulnya lagi... dan akhirnya 5 niravana itu ada lagi...

Quote
Quote
dg melepas beban yg saya punya & ketahui, saya semakin mengalami "joy" tsb... saya semakin ringan, lega... kebalikan dari lamban & malas...

Ahh sukurlah.... kalau pengetahuan itu menjadi beban bagi anda, maka sebaiknya memang dilepas, sukurlah anda menjadi ringan dan lega kembali saya ikut bermudita citta....
Saya sendiri tidak tahu bagaimana caranya melepas pengetahuan yang saya miliki (yang saudara anggap beban) coba tolong ajarkan saya caranya... terima kasih sebelumnya...
pengetahuan itu sendiri adalah netral...
kitalah yg menjadikannya beban & memikulnya ke mana2...
karena ini masalah batin tentu saja ada perbedaan dg beban fisik.
melepas bukan artinya menolak, krn menolak hanya seperti menurunkan satu beban & memikul beban yg lain... (beban dari memiliki pengetahuan menjadi beban menolak pengetahuan)
melepas batin sesederhana kata let it go.
& hanya ketika rekan Fabian let it go, rekan Fabian akan merasakan perbedaannya, apa yg tadi telah dipikul kemana-mana.

Quote
(((Semoga anda berbahagia dan terbebas dari penderitaan)))
 _/\_
_/\_
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

 

anything