Bapak Sunya, saya kira permasalahannya adalah seseorang mengaku tradisi bakar-bakar ini adalah bagian dari ajaran Buddha, padahal bukan. Jadi gak ada hubungannya sama makan petai karena tidak ada yg mengaku makan petai adalah ajaran Buddha.
Juga, Bapak Sunya, di sini member memberikan pendapat mereka dan tidak ada yg menulis bahwa mereka menolak tradisi bakar-bakar.
Lalu, Bapak Sunya, jika di sini member meluruskan bahwa suatu ajaran/praktik bukan ajaran Buddha, itu bukan berarti mereka menolaknya, tetapi mencegah agar ajaran Buddha yg sekarang tidak tercampuraduk lebih banyak lagi dengan tradisi dan kepercayaan lain, CMIIW.
Anda tidak menangkap esensi tulisan. Makan petai, membaca surat kabar, mengemudi, mengakses forum Dhammacitta, semua adalah aktivitas Buddhis. Pengakuan yang Anda sebut terjadi karena ada upaya asosiasi (penyamaan) aktivitas Buddhis dengan ajaran Buddhisme. Contohnya, jika suatu hari setiap setelah khotbah dharma lalu umat diberi makan petai, maka akan muncul stigma (kesan) dimana makan petai adalah tradisi Buddhis, minimal setelah khotbah dharma. Ini juga terjadi pada saat jaman Orde Baru, dimana agama Buddha, Tao, dan Konghucu disatukan dalam satu wadah - agama Buddha, sehingga ada stigmatisasi bahwa tradisi tertentu merupakan ajaran agama tertentu, atau istilah mudahnya ketiga tradisi dan agama yang disatukan, jadi tercampur-aduk.
Sama halnya, jika Anda kurang mengerti contoh di atas, Anda bisa ambil contoh budaya duduk di lantai dalam mendengarkan khotbah. Ini juga bukan diajarkan secara baku, tapi turun temurun dari jaman Sang Buddha hingga sekarang. Yang terbaru, duduk dengan bantal setebal sekian sentimeter, ini juga budaya yang akan jadi stigma seiring dibiasakannya dalam waktu yang lama. Tentu boleh-boleh saja, jika suatu hari ada pelurusan dan klarifikasi dari umat Buddha, bahwa duduk di lantai, duduk dengan bantal meditasi, menyanyi setelah selesai khotbah, mengucapkan anumodana lebih sering daripada terima kasih, menggunakan bahasa Pali, dlsb adalah bukan tradisi Buddhis(me). Cuma, yang perlu diingat:
Jangan menyampaikannya secara tidak sopan. Saya kira, Buddha Gautama sendiri tidak pernah menyebut tokoh aliran lain dengan sebutan-sebutan yang kurang pantas. Buddha Gautama, bahkan berpesan jika ajaran-Nya sendiri yang dijelekkan dan/atau dipuji, haruslah sang murid tidak terganggu (sedih, marah, senang, tinggi hati, dsb) atas hinaan/pujian yang diterimanya.
Berkata-kata tidak pantas hanya akan menjadi praktek ucapan dan pikiran yang buruk, terlepas dari yang dikatakannya benar atau tidak.
Menghakimi pencuri dengan dalih bahwa ia adalah pencuri, merupakan sebuah upaya pembenaran atas tindakan/perbuatan jahat.
Mengucapkan kata-kata tidak pantas pada kepercayaan yang dianut makhluk lain dengan alasan bahwa ia menyimpang dari ajaran Buddha dan mengaku-ngaku sebagai bagian dari ajaran Buddha, adalah upaya pembenaran atas sebuah perbuatan jahat dengan pikiran dan ucapan.
Secara substansi, tidak ada bedanya penghakiman pencuri dengan ucapan kurang pantas pada tokoh agama atau aliran lain. Dilihat dari sisi apapun tetap salah.
Salam.