Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Buddhisme Awal, Sekte dan Tradisi => Theravada => Topic started by: marcedes on 02 October 2009, 09:55:47 PM

Title: Empat makanan Keinginan manusia
Post by: marcedes on 02 October 2009, 09:55:47 PM
Empat makanan Keinginan manusia

Pattakamma Sutta, Samyutta Nikaya menyebutkan bahwa terdapat empat hal di dunia ini yang selalu diagung-agungkan, dicita-citakan dan selalu di harapkan oleh setiap orang, tetapi hal itu sangat sulit untuk di dapatkan. Empat hal tersebut adalah:

1. Harapan untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan Dhamma.
2. Cita-cita untuk menjadi orang yang terpandang di dalam masyarakat.
3. Harapan agar mempunyai umur yang panjang dan selalu sehat.
4. Setelah meninggal bisa terlahir di alam-alam bahagia, yaitu terlahir di alam surga.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kenyataannya keempat tersebut memang selalu di harapkan oleh setiap orang. Perlu diingat bahwa untuk mendapatkan kekayaan memang tidak sulit, tetapi untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan Dhamma merupakan hal yang tidak mudah. Demikian juga setelah mendapatkan kekayaan kita mempunyai harapan agar kita menjadi orang yang terpandang. Jika seseorang mengumpulkan kekayaan dengan jalan yang benar, maka dia akan dihormati oleh masyarakat, dan tentunya akan membawa efek kepada keluarga dan juga kepada gurunya. Perbuatan baik yang telah kita tanam menyebabkan seseorang mendapat kesehatan dan umur panjang, tetapi menurut agama Buddha tidak ada sesuatu yang terbentuk bersikap kekal. Oleh karena itu, setelah memdapatkan hal-hal tersebut diatas, maka harapan terakhir adalah dapat terlahir kembali di alam-alam yang membahagiakan. Jadi disini sudah jelas bahwa Sang Buddha menasehatkan kepda kita bahwa kekayaan atau harta materi bukanlah satu-satunya jalan tujuan dalam hidup kita, dan dalam mengumpulkan materi seseorang diharapkan untuk memperhatikan norma-norma etika dan norma-norma keagamaan, sesuai dengan Dhamma. Lalu bagaimanakah pandangan agama Buddha mengenai kekayaan ini ditinjau dari orangnya? Apakah syarat-syaratnya sehingga seseorang dapat dikatakan sebagai orang yang kaya? Apakah ukurannya, definisi atau batasannya sehingga sseorang dapat mengatakan dirinya kaya atau justru merasa bahwa dirinya masih miskin? Pada bahasan-bahasan berikutnya akan diterangkan lebih lanjut tentang jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas.

Batasan kaya dan miskin menurut ajaran agama Buddha.

Sesungguhnya ukuran atau batasan “kaya dan miskin” itu bersifat psikologis, bersifat kejiwaan dan berlaku relatif di dalam diri masing-masing manusia. Bisa saja antara satu orang dengan orang lain mengartikan batasan antara kaya dan miskisn ini secara berbeda, namun demikian hendaknya kita tetap memiliki target atau patokan sehingga kita dapat mengatakan sebagai “kaya” atau “miskin”.

Lebih lanjut manusia ditinjau dari batasan kaya dan miskin ini dapat dibagi menjadi empat macam kelompok manusia atau empat golongan. Empat penggolongan itu adalah:

A. Orang kaya yang miskin

Manusia kelompok pertama ini memang kaya dalam hal materi, dia memiliki harta dan kekayaan. Tetapi justru dengan kekayaan yang dia miliki itu dia merasa tidak bisa tenang. Yang dipikirkan oleh orang-orang seperti ini adalah bagaimana merubah dan menambah kekayaan. Kekayaan atau harta di nomor satukan, tidak peduli apapun yang dilakukan asalkan hal itu bisa mendatangkan harta dan kekayaan. Bahkan untuk menggunakan kekayaan sendiri saja dia merasa sayang. Dia tidak menggunakan kekayaannya, baik untuk dirinya sendiri dan tidak membagi-bagikan kekayaan kepada orang lain untuk mendapatkan kebajikan (napas attanamsukheti pineti napas vibhajati napas punnakaroti). Kalau dia menggunakan kekayaan itu hanya untuk menanamkan kekayaan itu hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi tidak untuk menanamkan kebajikan (attanamsukheti pineti napas vibhajati napas punnamkaroti). Orang seperti ini biasanya keluarganya berantakan, meskipun kaya dalam hal materi tetapi keharmonisan di dalam keluarganya sudah tidak ada lagi. Hubungan antara suami istri dan anak sudah tidak terpikirkan lagi, karena harta dan kekayaan menurut mereka lebih penting daripada semua itu. Orang seperti ini tidak akan hidup bahagia di alam-alam berikutnya, karena walaupun kaya tetapi orang ini tidak bisa menggunakan kekayaannya dengan benar, dia ia akan terlahir dialam menyedihkan. Orang seperti ini dapat dikatakan juga sebagai manusia yang berasal dari tempat yang terang menuju ketempat yang gelap (joti Tamo Parayano).

B. Orang kaya yang kaya

Kelompok orang yang kedua ini adalah orang-orang kaya didalam materi, dia memiliki harta dan kekayaan yang jauh melimpah itu dia mampu mengembangkan kebajikan dan mendapatkan kebahagiaan. Dia bisa menggunakan kekayaan untuk menikmati bagi dirinya sendiri dan untuk kepentingan orang lain, demi menanam kebajikan (attanamsukheti pineti samvibhajati punnamkaroti). Orang-orang dalam kelompok ini adalah orang yang terpuji, karena dia tidak melekat pada kekayaan ( adinnavadassanani) dan tahu menggunakan kekayaan untuk jalan kebebasan (nissaranapanna). Sebagai orang yang kaya dia bisa hidup dengan seimbang, tahu akan berapa banyak uang atau kekayaan yang telah didapatkan dan tahu berapa banyak kekayaanyang harus digunakan (samavijikata). Dia tidak hidup dengan kikir (ajjadumarika) dan juga sebaliknya, dia tidak jatuh dalam gaya hidup yang bersifat konsumerisme, hidup dengan glamour, dan penuh dengan foya-foya (udumbarakhatika). Orang-orang semacam ini akan hidup bahagia, keharmonisan dalam keluarganya selalu terjaga dan dalam masyarakatpun ia akan dihormati dan disegani dengan sendirinya empat macam dalam kehidupannya yang sekarangpun akan diperolehnya, yaitu; kebahagiaan karena dapat memiliki kekayaan (atti sukha), kebahagiaan karena dapat menikmati apa yang telah diperolehnya (bhoga sukha), kebahagiaan karena dapat memenuhi kebutuhannaya sendiri sehingga tidak terjatuh dalam hutang (anavajja sukha). Karena dia bisa mengerti akan kegunaan kekayaan dan menggunakan dengan jalan yang benar, maka ia akan terlahir dialam-alam yang membahagiakan. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari tempat yang terang dan menuju ketempat yabng terang pula (joti-joti parayano).

C. Orang miskin yang kaya

Orang yang tergolong dalam kelompok ketiga ini adalah orang yang tidak memiliki harta atau kekayaan materi yang melimpah, tetapi meskipun demikian dia tidak merasa putus asa atau merasa rendah diri karenanya. Biarpun miskin dia tetap bekerja dengan usaha dan semangat yang tinggi (uttanaviriyadhigatehi), dengan keringat sendiri (sedavakkhotehi), dan dengan jalan Dhamma (Dhammakehidmammaladdhehi). Dia tetap menjalankan kehidupannya sehari-hari sesuai dengan nroma-norma dalam masyarakat dan norma-norma keagamaan (Dhammacari), Orang seperti ini adalah orang-orang yang memiliki batas-batas kepuasan (santutthi), dia cukup merasa puas dengan apa yang telah didapat sesuai dengan jalan kebenaran dan puas dengan apa yang telah dimilikinya. Meskipun hanya memiliki sedikit harta dan tidak kaya dia tetap menjaga moral (sila) dan melakukan usaha-usaha yang dapat menimbilkan manfaat untuk orang lain serta bermanfaat untuk kedua-duannya. Dia juga tetap menjaga keharmonisan didalam kelaurgannya dan tidak melupakan kawajiban-kewajiban sebagai seorang perumah tangga, seperti; kewajiban kepada pemerintah untuk membayar pajak (rajabali), kewajiban untuk menjamu tamu sesuai dengan kemampuan( atithibali), kewajiban terhadap keluarga (nathibali), kewabijan terhadap para dewa 9devatabali), kewajiban kepada para leluhur yang telah meninggal (pubbhapetabali), kewajiban-kewajiban lainnya. Orang-orang yang seperti ini biarpun miskin harta dalam kehidupannya yang sekarang tetapi dia bisa memperoleh dan menggunakan dari sedikit yang dimilikinya dengan benar maka dia akan dapat terlahir di alam-alam yang bahagia. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari tempat yang gelap tetapi menuju ketempat yang terang (tamo joti parayano).

D. Orang miskin yang miskin

Kelompok orang yang terakhir ini adalah orang-orangyang benar-benar miskin, dia miskin harta atau untuk tidak memiliki kekayaan tetapi juga miskin batinnya (tingkat spiritualnya rendah). Dari kemiskiannya itu justru timbul kebencian (dosa) dan iri hati (issa) begitu melihat orang lain yang kaya. Dia juga tidak bisa menerima kenapa dirinya menjadi miskin dan orang lain bisa kaya. Baginya nasehat-nasehat orang yang bijaksana tidaklah ada gunanya dan dia akan cenderung bergaul dengan orang jahat yang sepaham dengan dirinya. Keharmonisan didalam keluarganya pun tidak bisa diharapkan lagi karena orang-orang semacam ini moralnya (sila) sudah tidak terjaga lagi, bahkan untuk melakukan pelanggaran terhadap pelaksanaan sila itu sendiri sering terjadi. Pertengkaran dalam keluarga sering terjadi, cekcok antara suami istri dan anak sudah menjadi sarapan tiap pagi. Mereka tidak pernah mau berusaha dan berjuang keras dengan semangat yang tinggi (napas utthanaviriyadhigatehi) untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan jalan Dhamma (adhammikehidhammaladdhehi) untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan jalan Dhamma (adhammikehidhammaladdhehi) sering dilakukan. Kebanyakan dari mereka hanya mementingkan diri sendiri dan tidak pernah mau peduli dengan orang lain. Yang ada hanyalah kebencian dan iri hati begitu melihat orang lain bahagia. Orang-orang yang seperti ini akan terlahir kembali di alam-alam yang menyedihkan, dapat dikatakan mereka adalah orang-orang yang pergi ke tempat yang gelap dari tempat yang gelap (tamotama parayano).

Bagaimana seharusnya dengan diri kita?

Dalam situasi perkembangan perekonomian yang semakin memuncak, dimana persaingan antar manusia dalam mendapatkan harta atau kekayaan semakin ketat, manusia cenderung semakin serakah dan menjadi makhluk yang mementingkan dirinya sendiri (egois).

Pada dasarnya kekayaan itu sendiri dapat dikelompokkan dalam dua golongan, yaitu kekayaan materi yang bisa dicuri, dan kekayaan batin yang tidak bisa dicuri. Sangiti sutta menyebutkan kekayaan batin yang tidak dapat dicuri oleh siapapun itu adalah kekayaan ariya yang disebut juga ‘satta ariya dhana’ atau ‘tujuh kekayaan ariya’, yaitu Keyakinan (saddha), kemoralan (sila), malu untuk berbuat jahat (hiri) takut akan akibat dari perbuatan jahat (ottapa), pengetahuan Dhamma atau pendidikan (sutta), Kedermawanan atau kemurahn hati (caga), dan Kebijaksanaan (panna). Tujuh macam kekayaan Dhamma tersebut jauh lebih baik dari kekayaan materi dan ‘satta ariya dhana’ merupakan kekayaan yang terbaik dan tertinggi (anuttaramuttmam dhanagam) Sang Buddha memberikan anjuran kepada kita semua untuk mengembangkan kesejahteraan batin.

Kekayaan itu bersikap netral, baik dan tidaknya tinggal bagaimana seseorang menggunakannya.

Dalam ajaran Sang Buddha tidak ada larangan bagi kita untuk menjadi kaya, tetapi bagaimana cara memperoleh dan cara menggunakan kekayaan itu sendiri harus sesuai dengan kebenaran atau sesuai dengan ajaran Dhamma.

Jika kekayaan digunakan untuk kejahatan maka hal itu akan menjadi tidak bermanfaat, tetapi jika kekayaan digunakan untuk berbuat kebajikan ini akan sangat bermanfaat. Kekayaan materi bukanlah satu-atunya tolak unsur kebahagiaan, maka dari itu sebagai orang yang kaya jadilah ‘orang kaya yang kaya’ dan jika masih merasa menjadi orang miskin, jadilah ‘orang miskin yang kaya’.

Dalam Dhammapada, Sukha Vagga XV-204 Sang Buddha mengatakan, “Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar. Kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga” (arogya parama labha, santutthi paramamdhanam). Maka dari itu singkirkan kebencian (dosa) dengan kepedulian terhadap orang lain dan pengembangan cinta kasih kepada semua makhluk (metta), jauhkan diri dari keserakahan (lobha) terhadap harta atau kekayaan materi dengan memiliki batas-batas kepuasan (santithi) dan berusahalah untuk hidup secara sederhana (apicchata) atau tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan materi