Kalo dilihat, dunia tinju seperti dunia yg penuh darah dan kekerasan. Terlebih sudah pasti tidak lepas dari rivalitas, adanya saingan atau lawan yg harus dihadapi dan dikalahkan. Tapi harap diingat itu rivalitas dan adu fisik cuma terjadi dalam ring dan dalam tempo 3 menit utk setiap rondenya.
Kalau masalah akusala dlm pikiran petinju yg misalnya bisa saja timbul krn dendam akibat kalah, atau utk memicu semangat bertanding dng menanamkan kebencian, kemarahan dsb itu bukan faktor tunggal karena tinju semata tapi cenderung karena pemikiran dan pilihan atlet, saling mengondisikanlah..
Minusnya tinju mungkin seperti pikiran terfokus pada mengalahkan lawan, yg berarti membentuk sebuah kebiasaan dlm pikiran. Dari sisi lain sebaliknya, mental para petinju lebih kuat, dng porsi latihan yg menyiksa pikiran dan tubuh.. Seberapa banyak orang yg bisa bertahan? Semua persiapan dilakukan mulai dari diet utk menjaga bobot, sparring, melatih teknik dan kekuatan pukulan dan daya tahan tubuh, jg melatih pikiran yg bermental baja dan semua dilakukan berbulan-bulan hanya utk diwujudkan di atas arena selama beberapa menit. Dari point2 ini saya malah salut thdp endurance mereka.
Dan saya rasa bukan hanya terbatas pada dunia tinju dan 'adu pukul bersifat fisik' tuh pikiran akusala dapat timbul.. Pikiran kusala dan akusala juga bisa terjadi pada misalnya dunia kerja atau usaha yg notabene tanpa kekerasan. Dan 'sikut-sikutan' dalam dunia 'tanpa kekerasan' terkadang malah lebih berbahaya daripada dunia yg sepintas terlihat kasar ini.
Seperti dalam Upali Sutta, Sang Buddha telah menjelaskan bahwa kualitas satu perbuatan oleh pikiran lebih berbobot daripada perbuatan fisik.
Setidaknya dalam dunia tinju, rival dikalahkan dengan cara2 yg sportif. Dibanding dunia kerja yg terkadang malah menghalalkan segala cara utk menuju puncak. Jadi masing2 ada plus minusnya menurut saya.
Akhirnya, semuanya kembali pada masing-masing. Keputusan ada di tangan kita. Sang Buddha hanya sbg patron yg memberi anjuran, tidak ada larangan yg mendikte dan bersifat dogmatis.
Menurut saya, yg terbaik tentu menghindari terlibat langsung dg pikiran akusala. Tapi utk menilai tinju mata pencaharian yg tdk benar scr sepihak, itu bukan hal yg sepantasnya kita lakukan, dan tidak membawa pada kemajuan batin.
[at] Virya
Mengenai kematian sbg konsekuensi terburuk dalam dunia tinju, saya rasa sudah menjadi pilihan yg disadari sepenuhnya oleh masing2 petinju. Dibilang banyak, seberapa banyak sebenarnya? Sudah mengumpulkan data dan fakta belum? Kasus kematian pd atlet krn penyumbatan darah di otak cuma terjadi pd beberapa gelintir dibandingkan atlet2 yg tidak meninggal. Tinju dg prosentasi kematian tinggi terjadi sekitar zaman Perang Dunia, di mana perhari seorang petinju bisa menghadapi lawan yg berbeda berkali-kali dng perlengkapan tinju yg belum memadai dan menjamin keselamatan spt hari ini. Sedangkan sekarang, misalnya Chris John hanya perlu menghadapi 1 lawan dalam 4 bulan sekali.
Apalagi peraturan yg semakin hari semakin disempurnakan sehingga tinju hari ini semakin mendekati olahraga. Misalnya lagi pelupuk mata yg tergores dan terluka, berdasarkan keputusan dokter bila berbahaya dapat dinyatakan RSC atau TKO sehingga pertarungan dihentikan.