Ya saya setuju, Mungkin saja yang menulis tipitaka menganggap sang Buddha sebagai manusia Super, padahal menurut saya lebih hebat mengambil sisi manusianya yang bisa mencapai pencerahan dengan upaya sendiri.
Benar.
Suatu devosi dan kekaguman , bisa membuat persepsi menjadi bias. Selanjutnya akan menjadikan berpikir yang bias. Akhirnya salah arah semuanya. Oleh krn itu, seingat saya, Sang Buddha juga pernah mengkritik orang yg terlalu mengaguminya sehingga salah dalam perbuatannya.
Suatu hari dalam suatu diskusi atau tanya jawab (persisnya saya lupa), dikarenakan kekaguman saya pada Sang Buddha, maka secara spontan saya mengatakan --krg lebihnya--,"Sungguh hebat Guru kita, karena dia adalah manusia yang Luar Biasa, bukan seperti kita2 ini".
Saat itu ada yang membalas dengan kritis, "Saya rasa Sang Buddha adalah manusia biasa seperti kita-kita ini. Kalau dia adalah manusia luarbiasa, maka artinya bhw kita sebagai manusia biasa ini tidak akan pernah mencapai Kebuddhaan. Bila demikian, maka buat apa beliau mengajar kita?"
Dari komentar itu saya menjadi tersadarkan. Betul juga bila kita sudah terpola untuk melihat nibbana itu sebagai "tak tercapai" , maka ya pasti kita tak akan pernah dapat mencapainya. Padahal, problema kita dalam samsara ini, tiada lain adalah pola-pola pemikiran yang salah seperti itu, yang justru harus dihilangkan.
Salam.
Persamaan Buddha dan kita:
sama-sama BISA mencapai pencerahanPerbedaan Buddha dan kita:
Buddha MAU sedangkan
kita TIDAK MAUPencerahan mirip dengan berhenti merokok:
Tanya:
Apakah kamu bisa berhenti merokok?Jawab: Saya mau, tapi tidak bisa, sulit.
Tanya:
Jika saya kasih Rp. 1.000.000.000,- per bulan apakah kamu bisa berhenti merokok?Jawab: Oh, bisa dong... bisa
Tanya:
berarti kamu buakannya 'tidak bisa' berhenti merokok. Kamu BISA, cuman kamu tidak mau saja, buktinya kalo ditawarin duit 1 M perbulan, kamu ternyata bisa toh...----
Kita (termasuk saya) masih beranggapan hidup ini panjang, perlu dinikmati dan pencerahan besok2 juga bisa, ngapain diburu-buru.... nyante aja, mending pikirin kerjaan dan keluarga. Kita mau, tapi tidak "benar-benar mau", sama dengan mau berhenti merokok, tidak benar2 mau berhenti merokok, akibatnya yah, nggak jadi2 berhenti merokoknya. Sedangkan Buddha menganggap pembebasan adalah suatu 'hal yg mendesak' dan beliau 'berusaha keras' untuk merealisasinya.
Itulah beda Buddha dengan kita.
::