Dhammatha Vagga
XIX. ORANG ADIL
1. Seseorang yang mengadili suatu kasus dengan gegabah [prasangka sepihak] tidaklah dapat dikatakan sebagai orang adil. Orang bijak menyidik secara sakmana baik yang benar maupun yang salah.
2. Orang yang mengadili suatu kasus dengan takgegabah, adil, dan memegang hukum sebagai patokan; ia yang bijak ini patut digelari sebagai orang adil.
3. Bukanlah karena banyak berbicara seseorang dianggap sebagai orang bijak. Orang yang tentram, tanpa rasa benci dan takut itulah yang dapat disebut sebagai orang bijak.
4. Bukanlah karena banyak berbicara seseorang dianggap sebagai pakar Dhamma. Orang yang walaupun belajar sedikit tetapi batinnya melihat Dhamma dan tidak melalaikannya itulah yang [lebih] patut disebut sebagai pakar Dhamma.
5. Bukanlah karena rambutnya beruban seseorang disebut sebagai Sesepuh (Thera). Orang yang hanya tua usianya itu disebut sebagai tua renta yang melompong [tanpa arti].
6. Barangsiapa menembus kebenaran dan mencapai Dhamma [adiduniawi], tidak bersifat kejam, berpenguasaan diri, terkendali; orang arif yang terbebas dari noda batin inilah yang patut disebut Sesepuh.
7. Bukanlah karena fasih berbicara dan berparas cemerlang seseorang dapat menjadi orang baik apabila masih memiliki keirihatian, kekikiran dan keculasan.
8. Barangsiapa dapat mencabut prilaku buruk semacam itu hingga ke akar-akarnya; orang arif yang terbebas dari noda batin inilah yang layak disebut orang baik.
9. Meskipun berkepala gundul, seseorang yang tak bersusila dan suka berdusta tidaklah dapat disebut sebagai pertapa. Bagaimana mungkin orang yang penuh keirihatian dan keserakahan itu menjadi pertapa?
10. Barangsiapa dapat menghentikan segala kejahatan, besar atau kecil, ia patut disebut pertapa karena telah mengalahkan segala kejahatan.
11. Bukan hanya karena meminta-minta makanan dari orang lain, seseorang disebut sebagai bhikkhu. Apabila masih berprilaku seperti perumah-tangga, ia tidaklah pantas disebut sebagai bhikkhu.
12. Siapa pun dalam agama ini, yang telah menanggalkan kebajikan maupun kejahatan, menempuh kehidupan suci, yang dengan pengetahuan menembus hakikat dunia [khandha] ini; dialah yang disebut sebagai bhikkhu.
13. Bukanlah karena berdiam diri, orang dungu yang taktahu apa pun dianggap sebagai orang suci. Orang bijak yang bagaikan memegang neraca dapat menimbang serta memilih hal-hal yang baik, dan menanggalkan yang buruk itulah yang disebut orang suci. Selain itu, ia yang memahami hakikat kedua dunia [khandha] juga disebut orang suci.
14. Bukanlah karena berdiam diri, orang dungu yang taktahu apa pun dianggap sebagai orang suci. Orang bijak yang bagaikan memegang neraca dapat menimbang serta memilih hal-hal yang baik, dan menanggalkan yang buruk itulah yang disebut orang suci. Selain itu, ia yang memahami hakikat kedua dunia juga disebut orang suci.
15. Apabila masih menganiaya makhluk lain, seseorang tidak disebut sebagai orang suci. Karena tidak lagi menganiaya segala jenis makhluk lain, seseorang disebut sebagai orang suci.
16. Duhai para bhikkhu, apabila belum terbebas dari noda batin, janganlah Engkau merasa puas [dan berpangku-tangan] hanya karena telah melaksanakan sila dan nadar, banyak belajar, mencapai pemusatan, bertinggal di tempat sunyi.atau hanya karena berpikir "Saya telah merasakan kebahagiaan penglepasan yang tidak dinikmati orang awan"
17. Duhai para bhikkhu, apabila belum terbebas dari noda batin, janganlah Engkau merasa puas [dan berpangku-tangan] hanya karena telah melaksanakan sila dan nadar, banyak belajar, mencapai pemusatan, bertinggal di tempat sunyi.atau hanya karena berpikir "Saya telah merasakan kebahagiaan penglepasan yang tidak dinikmati orang awan"