Ya, maksudnya itu. "Atta" itu tidak ada, yang ada hanyalah "anggapan/kepercayaan tentang adanya atta". Jadi "atta" itu bukan "ada kemudian hilang (ketika disadari)", tetapi ketika belum sadar, orang berpikir bahwa "atta itu ada", dan jika sudah menyadari, maka dia menyadari tidak ada yang bisa disebut sebagai "atta" ketika tidak ada lagi pembentukan konsep oleh pikiran.
Dalam Samyutta Nikaya, Khanda Vagga 151, dikatakan "... kesadaran akan bentuk, menggenggamnya, terus menerus ditopang olehnya, suatu pandangan muncul pada seseorang, 'inilah atta (eso atta), inilah dunia, saya akan kekal, stabil dan tidak berubah..."
Begitu juga dengan kesadaran akan persepsi, perasaan dan bentukan pikiran, ketika orang menggenggamnya, maka pandangan muncul pada seseorang "inilah atta (aku)". Sedangkan dikatakan bahwa bentuk, persepsi, perasaan, bentukan pikiran adalah tidak kekal.
Jadi, "atta" di sini sebetulnya tidak ada, tidak menggerakkan pikiran, tetapi suatu pandangan yang muncul karena keterkondisian.
Dari sinilah maksud saya bahwa "aku" dalam penjelasan Pak Hudoyo bahwa "pikiran bersumber dari gerak si aku" berbeda dengan definisi "atta/aku" yang sebetulnya hanyalah sebuah pandangan (ilusi dari orang yang belum mencapai kesucian).
Kalau menurut dugaan saya, definisi "aku" dari Pak Hudoyo adalah sama dengan "keterkondisian pikiran yang memunculkan pandangan 'atta'" pada sutta.
Tidak perlu memperdebatkan 'atta' itu ada atau tidak ada. Sang Buddha ditanya oleh Vacchagotta, apakah 'atta' itu ada atau tidak ada; beliau tidak mau menyatakan apakah 'atta' itu ada atau tidak ada.
Anda melihat 'atta' itu sebagai
paham metafisikal, dan terperosok ke dalam kontroversi 'atta' itu ada atau tidak ada. ... Saya melihat bahwa 'atta' itu
kesadaran eksperiensial puthujjana yang melekat pada badan & batin ini;
'atta' itu selalu ada dalam pikiran seorang puthujjana seperti Anda dan saya.
Justru dalam
Samyutta Nikaya, Khandha-vagga 151 ("Eso atta") yang Anda kutip itu, Sang Buddha juga menegaskan bahwa
'atta' itu muncul karena puthujjana melekat pada badan & batin (nama-rupa) ini. ... Pada akhir sutta itu, Sang Buddha berkata,
"Para bhikkhu, seorang siswa ariya (Sotapanna ke atas), melihat ini, berpaling dari nama-rupa; berpaling, ia tidak berminat lagi, dan terbebaskan. Terbebaskan, ia tahu: 'Aku terbebaskan, kelahiran kembali telah runtuh, kehidupan suci telah sempurna, selesai sudah apa yang harus dikerjakan, tidak ada lagi yang perlu dikerjakan." -- [
"Eva.m passa.m, bhikkhave, sutavaa, ariyasaavako ruupasmimpi nibbindati, vedanaapi nibbindati, sa~n~naayapi nibbindati, sa.nkhaaresupi nibbindati, vi~n~naa.nasmimpi nibbindati. Nibbinda.m virajjati. Viraagaa vimuccati. Vimuttasmi.m, vimuttami'ti ~naa.na.m hoti. Khii.naa jaati, vusita.m brahmacariya.m, kata.m kara.niiya.m, naapara.m itthattaayaa'ti pajaanaatii'ti."]
Demikianlah
seorang arahat tidak berdebat tentang 'atta' itu ada atau tidak ada, melainkan "berpaling dari nama-rupa". Maka, tafsiran Anda terhadap sutta itu:
"Jadi, 'atta' di sini sebetulnya tidak ada, tidak menggerakkan pikiran, tetapi suatu pandangan yang muncul karena keterkondisian," sama sekali tidak relevan bagi seorang arahat dan bagi siapa saja yang berlatih (sekha). ... Sekali lagi, bagi seorang yang berlatih, yang penting adalah
'berpaling dari nama-rupa', bukan memperdebatkan 'atta' itu ada atau tidak ada. ... Menurut hemat saya, perdebatan seperti itu hanya perbuatan orang iseng yang tidak berminat terhadap 'berpaling dari nama-rupa', yang tidak berminat terhadap pembebasan, dan hanya ingin memuaskan intelektualitasnya saja yang adalah perwujudan dari 'atta'-nya yang paling halus tapi paling kuat.
Kemudian, pernyataan Anda:
"... penjelasan Pak Hudoyo bahwa 'pikiran bersumber dari gerak si aku'..." menunjukkan bahwa
Anda sama sekali tidak mengerti apa yang saya ajarkan. ... Di mana saya pernah mengajarkan seperti itu, bisa ditunjukkan? ... Justru sebaliknya, saya mengikuti
ajaran Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta (yang juga dikonfirmasikan oleh disiplin psikologi di zaman modern ini), bahwa justru
"pikiran yang bergeraklah yang menciptakan aku", bukan sebaliknya "pikiran bersumber dari gerak si aku" seperti penangkapan Anda terhadap apa yang saya ajarkan. ...
Jika pikiran diam, maka aku pun lenyap. Pernyataan Anda yang terakhir,
"Definisi "aku" dari Pak Hudoyo adalah sama dengan "keterkondisian pikiran yang memunculkan pandangan 'atta' pada sutta," itu yang betul; kok bisa terbalik dari pernyataan Anda dalam kalimat sebelumnya?
... Perlu Anda catat bahwa pikiran puthujjana SELALU terkondisi ... tidak pernah pikiran puthujjana, seperti Anda dan saya, tidak terkondisi.
Salam,
hudoyo