Apakah Perbuatan Baik Dapat Merubah Nasib
Telah banyak sekali kudengar tentang ramalan-ramalan para nabi dan astrolog dan hal yang diatas itu menarik perhatianku. Ini disebabkan karena ramalan-ramalan itu kadang-kadang tepat dan sukar dimengarti.
Pada umumnya aku tak dapat menerima atau percaya mukjizat-mukjizat yang belum kusaksikan sendiri. Di samping itu aku sebenarnya tidak pernah percaya occultisme atau astrologi. Kalau ada orang yang membicarakan hal ini, pada umumnya aku hanya menganggukkan kepala saja dan berkata "ya" atau "tidak", sekedar untuk jangan membuat mereka tersinggung. Tetapi peristiwa yang akan kututurkan di bawah ini benar-benar terjadi kepada diriku sendiri. Kalau anda nanti tidak percaya, aku pun tidak akan merasa tersinggung, karena pada mulanya aku sendiripun tidak percaya. Namun kalau sekiranya peristiwa yang akan kututurkan di bawah ini membuat anda lebih mempunyai rasa perikemanusaiaan dan manis budi terhadap masyarakat di sekeliling anda, maka hal itu membuat aku gembira sekali, karena pengalamanku telah membuat beberapa di antara saudara menjadi bahagia.
Cerita ini dimulai beberapa bulan sebelum pecah perang Pasifik. Aku sedang membaca sebuah harian dan istriku masuk ke dalam rumah setelah memberi dana kepada para bhikkhu. Ia langsung menghampiriku dengan tergesa-gesa. Setelah duduk di sebelahku, ia berkata: " Suamiku sayang, apakah kau tahu bahwa Yai Plag dan Tan Ma, tukang kebun yang tinggal di belakang rumah kita telah beruntung sekali? mereka telah menarik hadiah pertama dari lotre."
Tanpa berpaling aku menjawab dengan singkat: "Ah, aku rasa itu memang sudah menjadi rezeki mereka."
Istriku agak kecewa karena aku tidak begitu perhatikan berita tersebut. Ia kemudian berkata: " Aku rasa itu bukan semata-mata rezeki, sayang."
"Kalau bukan rezeki, lalu habis apa? Apakah tidak wajar, bahwa ada yang menjadi pemenang hadiah pertama?" jawabku sambil terus membaca surat kabar.
"Duduk persoalannya sebenarnya begini", kata istriku sambil terus berusaha untuk menarik perhatianku. Orang mengatakan, bahwa ada seorang bhikkhu bernama Tan Achan Pak Kow, baru datang dari daerah pegunungan di Utara, menginap di Kuti Tan Maha, yaitu Bhante yang setiap hari kita bawakan makanan. Beliau telah meramalkan rezeki Yai Plag dan Tan Ma pada hari raya yang baru lalu. Diceritakan, Bahwa Yai Plag dan Tan Ma pergi ke vihara dan mengeluh karena penghidupannya sengsara. Kemudian Tan Achan begitu baik hati untuk memeriksa nasib mereka dan meramalkan, bahwa dalam waktu satu minggu pasangan itu akan mendapat rezeki yang besar. Beliau juga memberi kepastian, bahwa mereka selanjutnya akan hidup beruntung. Hari ini genap seminggu dan pasangan itu benar-benar telah mendapat rezeki besar seperti yang telah diramalkan. Sungguh mengherankan sekali!"
Istriku memandang wajahku dan mencoba menerka apakah aku menaruh perhatian atau tidak terhadap ceritanya. Kutahu, bahwa ia ingin sekali meyakinkan aku agar percaya kepada ramalan nasib. Tetapi memang sudah menjadi watakku, untuk tidak mau percaya begitu saja tanpa ada bukti yang meyakinkan. Tetapi untuk jangan membuatnya kecewa aku lalu menjawab : "Aduh, tepat benar dan apakah kamu tahu apa yang akan dilakukannya sekarang? Mereka mungkin akan membeli sebuah rumah yang mungil dan hidup sebagai orang hartawan."
Istriku tidak menaruh perhatian terhadap kelakarku dan melanjutkan: "Sayang, aku ingin mengajakmu menjumpai Achan Pa Kow, karena akhir-akhir ini aku sering mendapat impian buruk."
"Janganlah terlalu percaya kepada impian buruk, karena ini akan menimbulkan kekhawatiran yang tidak perlu. Dinda harus tahu, kalau kita banyak tidur kitapun akan banyak mimpi", kataku sambil menghiburnya.
Tetapi, rupanya hal ini tidak berhasil, karena ia tetap menghendaki agar aku pergi menemui Tan Achan untuk meramalkan nasibku. Ketika aku melihat wajahnya yang agak sedih, aku merasa kasihan sekali. Rupanya ia begitu khawatir sekali. Biarpun dalam hati kecilku aku tidak begitu percaya, tetapi untuk menghiburnya aku akhirnya setuju untuk pergi menemui Tan Achan. Hal ini kulakukan untuk mengusir rasa kekhawatiran dari hati istriku.
Kemudian kami langsung berangkat menuju vihara dimana Tan Achan menginap yang kebetulan memang tidak jauh dari rumah kami.
Tiba di vihara kami diberi tahu, bahwa Tan Achan sedang keluar, yaitu dijemput oleh seorang yang tinggi kedudukannya. Tempat itu sudah penuh sesak oleh orang-orang yang juga sedang menunggu kedatangan Tan Achan. Mungkin hal ini disebabkan, karena ramalannya yang tepat telah tersiar luas di antara penduduk kota. Sambil menunggu kedatangan Tan Achan, aku mencoba-coba untuk menggambarkan bagaimana rupa dan pribadi Tan Achan tersebut. Aku menggambarkan beliau sebagai orang yang sudah lanjut usianya, kalau jalan harus memakai tongkat, tangannya memegang biji tasbih sedangkan mulutnya tak henti-hentinya berkomat-kamit memanjatkan doa.
Kami duduk mengobrol dengan Tan Maha mengenai berbagai persoalan sambil menantikan kembalinya Tan Achan. Setelah Tan Achan tiba kembali, Tan Maha lalu memperkenalkan kami sebagai kenalan baik beliau dan kami lalu memberi hormat kepada Tan Achan dengan berlutut tiga kali. Aku merasa malu karena apa yang kugambarkan tentang beliau ternyata meleset sama sekali. Kenyataannya beliau orangnya masih muda dan gagah sedangkan wajahnya dihias dengan senyuman yang menyenangkan. Beliau kelihatannya sabar sekali dan kami merasa seolah-olah terkena getaran halus yang menyenangkan yang membuat kami merasa tenang dan bahagia. Hal ini memperkuat keyakinan kami terhadap diri beliau.
Tamu-tamu yang telah menunggu sebelum kami tiba, secara bergiliran menghampiri Tan Achan dan mohon diberi pelindung dan lain-lain lagi. Setelah ditolong keperluannya maka pulanglah mereka ke rumah masing-masing, sehingga akhirnya hanya kami berdua suami-istri yang berada di ruangan itu. Tanpa ragu-ragu istriku mohon kepada beliau untuk memeriksa nasibku. Meskipun hal ini membuat hatiku sedikit tidak enak namun aku diam saja.
Tan Achan duduk bersimpuh, merapatkan kedua tangannya di dada dan menututp matanya untuk beberapa menit lamanya. Kemudian ia membuka matanya dan berkata: "Nyonya, suami nyonya sebenarnya tidak senang diperiksa nasibnya."
Aku agak heran mendengar kata-kata itu, karena aku tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa aku kurang senang, tetapi Tan Achan secara tepat mengetahui perasaanku. Aku bertanya-tanya dalam diriku, alangkah luar biasa daya tangkap Tan Achan, sehingga dari mata, air muka atau salah satu sikapku beliau dapat mengetahui apa yang sedang kupikir.
Sewaktu aku sedang keheran-heranan, aku mendengar istriku berkata kembali: "Bhante, saya telah berketetapan hati untuk memohon dengan sangat agar nasib kami dapat diberitahukan dan kami harap jangan sampai dikecewakan."
Tan Achan kembali menutup matanya untuk beberapa waktu lamanya dan setelah ia membuka matanya, ia nampaknya seperti orang yang bersusah hati. Dengan perlahan ia membalikkan badannya, sehingga dapat menatap mataku dengan tajam. Kemudian dengan sungguh-sungguh ia berkata: "Aku sebenarnya tidak senang untuk memberitahukan jalan hidupmu, karena dalam satu dua tahun ini kamu akan mendapat kecelakaan yang mengerikan. Aku tidak akan memberitahukan kecelakaan apa, karena hal ini akan membuatmu gelisah. Sekarang segala sesuatunya berjalan baik, tetapi lain tahun dan tahun setelah itu kamu harus berhati-hati."
"Bhante, mohon diberitahukan bagaimana akibat dari kecelakaan itu? Saya rasa saya cukup tabah untuk mendengarnya", tanyaku dengan perasaan ingin tahu.
Untuk beberapa waktu lamanya Tan Achan diam seperti sedang bermediatasi dan aku merasa seolah-olah beliau tidak dapat mengambil keputusan. Akhirnya ia berkata: "Kamu ditakdirkan untuk mati secara mengerikan sekali tanpa ada orang yang tahu."
Kata-kata ini membuat seluruh tubuhku terasa gemetar, karena tidak kuduga akan mendengar kata-kata yang begitu menyeramkan.
Biasanya aku selalu tenang dan tidak takut pada bahaya atau kecelakaan yang mungkin menimpa diriku. Setelah mendengar ramalan itu aku
masih belum yakin bahwa apa yang diramalkan itu betul-betul akan terjadi. Meskipun aku tidak kaya raya, tetapi aku tidak kekurangan suatu apa, lagi pula aku masih didampingi oleh seorang istri yang sangat mencintai dan memujaku seolah-olah seorang dewa.
Bagaimana aku dapat percaya, bahwa dalam waktu dekat aku akan menemui ajalku secara mengerikan dan tanpa ada yang tahu, padahal aku selalu didampingi istriku yang setia.
Waktu istriku mendengar kata-kata Tan Achan, ia mendadak menjadi gelisah dan kelihatan sedih sekali. Lalu ia bertanya: "Bhante, apakah ada jalan yang dapat merubah nasib suamiku menjadi baik? Saya mohon dengan sangat supaya diberitahukan."
Tan Achan lalu menjelaskan, bahwa upacara untuk merubah nasib seseorang hanya dapat membantu agar orang merasa lebih baik, tetapi sebenarnya tidak dapat menolong apa-apa, sebab segala sesuatu harus berjalan sesuai dengan karma ( perbuatan ) kita masing-masing.
Ada orang yang merasa heran mengapa ia tertimpa kemalangan, padahal menurut hematnya dalam penghidupan ini ia selalu berbuat baik. Hal ini desebabkan oleh perbuatan-perbuatannya yang buruk di penghidupan yang lampau yang sekarang berbuah di penghidupan ini. Mereka harus membayar untuk perbuatan-perbuatannya yang buruk dan setelah itu mereka baru dapat mengecap kebahagian dari perbuatan-perbuatannya yang baik. Ada orang lain lagi yang terlebih dahulu menikmati akibat baik dari perbuatannya dipenghidupan-penghidupan yang lampau dan kemudian baru menderita sebagai akibat buruk dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Jalan penghidupan bukanlah semata-mata merupakan jalan di dalam taman dengan pemandangan-pemandangan yang indah permai saja. Sebelum tiba di tempat tujuan, seringkali kita harus melalui tempat yang tidak menyenangkan dan sewaktu-waktu mungkin bertemu dengan hutan belukar. Beliau melanjutkan, bahwa untuk merubah nasib sebenarnya tergantung dari diri kita sendiri. Kita harus berusaha untuk membebaskan diri dari perasaan benci, iri hati, loba dan pikiran yang selalu ingin mementingkan diri sendiri saja. Waktu menyatakan ini Tan Achan tertawa dan wajahnya kelihatan bersinar.
Setelah itu ia berkata kepada istriku : " mengenai nasib nyonya, dalam waktu enam bulan nyonya akan kehilangan seorang dari lingkungan rumah tangga dan tidak lama lagi nyonya akan kehilangan barang-barang yang berharga."
Aku mendengarkan semua ini dengan perasaan tidak menentu dan aku sama sekali tidak menduga, bahkan memimpi pun tidak, bahwa apa yang diucapkan Tan Achan kelak benar-benar terbukti.
Kira-kira enam bulan setelah kami mengunjungi Tan Achan, supir kami yang sudah lama bekerja, tiba-tiba diserang penyakit. Pada mulanya ia hanya demam sedikit, tetapi ketika sudah hampir sembuh ia mendadak diserang penyakit paru-paru dan akhirnya tidak tertolong lagi. kami berdua merasa sedih sekali dengan meninggalnya supir kami yang jujur dan setia itu.
Setelah ia diperabukan, aku teringat apa yang telah diramalkan oleh Tan Achan. Ramalan yang pertama sekarang telah terbukti. Meskipun untuk pertama kalinya aku memperoleh bukti nyata, namun aku masih berpikir bahwa itu hanya kebetulan belaka.
Tidak lama setelah supir tua kami meninggal dunia, kami telah menerima bekerja seorang supir baru yang masih muda usianya, Cherd namanya.
Setelah ia bekerja untuk beberapa bulan lamanya, istriku kehilangan barang-barang perhiasannya. Istriku telah lalai untuk menyimpan barang-barang perhiasannya di tempat yang aman, bahkan petinya pun turut hilang.
Kami yakin, bahwa pencurinya mesti salah seorang yang bekerja di rumah kami. Semua pelayan-pelayan tua telah bekerja pada kami untuk waktu yang lama dan telah terbukti kejujurannya, kecuali Cherd, supir yang baru masuk itu.
Mengenai orang ini kami sebenarnya tidak mengetahui apa-apa dan ia melamar pekerjaan pada kami melalui istri dari supir kami yang telah meninggal dunia.
Istriku sama sekali tidak kelihatan kesal atas kehilangan barang-barang perhiasannya dan aku menarik kesimpulan, bahwa ia tahu cepat atau lambat ia pasti akan kecurian atau kerampokan. Ia mengatakan, bahwa barang-barang perhiasan dan emas adalah benda-benda dunia yang dapat dicari gantinya. Lagipula ia telah diperingati oleh Tan Achan dan ini turut mempengaruhi ia tidak begitu memikirkan tentang kehilangan barang-barang perhiasannya.
Tetapi aku merasa ia sebenarnya lebih khawatir tentang apa yang akan terjadi atas diriku. Setelah dua peristiwa terjadi sesuai dengan apa yang telah diramalkan, istriku menjadi gelisah dan takut, bahwa ramalan mengenai diriku kelak pun benar-benar terbukti.
Beberapa hari setelah dilakukan pemeriksaan terhadap pencurian perhiasan, supir baru kami tidak datang lagi dan kami juga tidak dapat menghubunginya, karena kami tidak tahu alamatnya.
Sekarang aku harus menyetir sendiri dan istriku tentu saja merasa khawatir sehingga ia hanya memperbolehkan aku setir mobil kalau hal itu benar-benar perlu sekali. Dalam hati kecilnya ia selalu dirudung kecemasan akan terjadinya kecelakaan sebagaimana telah diramalkan oleh Tan Achan.
Pada suatu hari ketika aku sedang mengendarai mobil di suatu jalan di Bangkok, dari jauh kulihat sebuah mobil hitam sedang berusaha menghindari tubrukan dengan sebuah becak, tetapi sangat menyedihkan sekali sebagai gantinya ia lalu menubruk seorang yang sedang berjalan kaki.
orang itu sedang memikul barang dagangan berupa kue-kue dan gula-gula dan sebagai akibat tubrukan itu kue dan gula-gula tersebut jatuh berserakan di jalan sewaktu ia terjatuh. Supirnya tidak berhenti, sebaliknya ia malah menacap gas untuk secepat mungkin menyingkir dari tempat tersebut.
Pada saat itu memang masih belum begitu ramai dan waktu kecelakaan terjadi juga tidak ada mobil polisi, sehingga mobil bercat hitam tersebut dengan mudah dapat menghilang. Ketika aku tiba di tempat terjadinya kecelakaan, aku hentikan mobilku di tepi jalan dan keluar dari mobil untuk melihat bagaimana keadaan orang yang telah kena tubruk.
Si pedagang pikulan, seorang wanita tua berumur lebih dari enam puluh tahun, dengan susah payah mencoba bangun. Melihat hal tersebut aku segera datang untuk membantunya. Syukur, bahwa orang tua tersebut tidak mendapat luka berat. Beberapa orang yang kebetulan lewat telah membantu mengumpulkan kue dan gula-gula yang telah berserakan. Aku sendiripun membantu untuk mengumpulkan uangnya. Kasihan sekali wanita tua itu, sebab orang yang sudah demikian lanjut usianya selayaknya berdiam di rumah atau menjaga cucunya dan bukan untuk berjualan keliling dengan memikul keranjang yang berat.
"Nenek, apakah kau terluka?" aku bertanya, "apakah pakaian mu cabik?"
"Untung tidak apa-apa, tuan", jawabnya. "Saya hanya sakit sedikit di sana-sini."
"Di mana rumahmu, nek? Aku akan mengantar mu pulang ke rumah."
Setelah ia memberitahukan alamat rumahnya, aku persilakan ia untuk naik ke mobil. Tetapi ia kelihatannya ragu-ragu, sehingga aku perlu menaruh dahulu keranjang dan pikulannya ke dalam mobil. Wanita tua itu merangkapkan kedua tangannya di depan dada dan dengan suara terharu ia berkata: "Oh, tuan sungguh baik sekali. Bukan tuan yang menubruk saya, tetapi justru tuanlah yang menolong saya, sedangkan orang yang menubruk saya pergi kabur. Tetapi saya tidak marah kepada orang itu, karena kita tidak mungkin dapat menghindari nasib."
Aku terperanjat ketika mendengar bahwa nasib tidak dapat dirubah. Lalu ku ingat apa yang telah diramalkan oleh Tan Achan dan pada saat itu pula aku mengambil keputusan, bahwa sebelum aku meninggal dunia aku ingin melakukan perbuatan-perbuatan baik sebanyak mungkin yang akan membuat orang-orang yang sedang menderita menjadi bahaga.
"Nenek, mengapa engkau sendiri yang harus pergi berdagang? Apakah engkau tidak mempunyai anak atau cucu?"
"Sebenarnya saya mempunyai anak dan cucu",jawabnya. "Saya tinggal bersama-sama dengan menantu dan tiga orang cucu, tetapi pada waktu ini menantuku sedang sakit dan saya harus menggantikannya berdagang."
Sebelum membawanya pulang ke rumah, aku terlebih dahulu singgah di sebuah klinik di mana aku meminta kepada dokter-jaga yang kebetulan kenalan baikku, untuk memeriksa luka dari nenek itu. Setelah luka-lukanya diberi obat aku lalu menuju ke alamat rumah si wanita tua tersebut.