//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)  (Read 4640 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline antidote

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 249
  • Reputasi: 25
  • Gender: Male
PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)
« on: 08 April 2012, 10:44:59 AM »
Perbuatan Baik (Kusala Kamma)

alih bahasa: PANDITA S.WIDYADHARMA

Daftar Isi
1.Satu perbuatan baik tak mungkin cuma-cuma
2.Kesukaran yang dicari sendiri
3.Apakah perbuatan baik dapat mengubah nasib?

Kata Pengantar

Namo Buddhaya.
   Memenuhi permintaan agar saya menulis tentang
Buddha Dhamma dengan mengambil tema penghidupan sehari-hari, maka
setelah membaca buku Kot Hang Kam yang disusun oleh T.Liang Bhibul,bangkok
saya telah mengambil keputusan untuk menterjemahkan tiga cerita pendek yang terdapat dalam buku tersebut.

   Menurut hemat saya, cerita-cerita tersebut bagus sekali, karena
biasanya kita hanya memikirkan diri kita sendiri saja atau setidak-tidaknya sampai kepada keluarga kita. Apakah pernah kita meluangkan pikiran kita untuk mencoba juga memikirkan orang lain?

   Maka oleh karena itu, dengan ini saya mengetuk hati nurani anda yang hidupnya sekarang sudah berkecukupan atau berkelebihan agar cobalah sewaktu-waktu juga memikirkan keadaan Saudara-saudara kita yang sedang ditimpa kemalangan atau yang hidup dalam kemiskinan. Memang kita harus malu untuk hidup melarat di negara yang makmur, tetapi sebaliknya kita harus malu pula untuk hidup bermewah-mewah di tengah-tengah masyarakat yang masih penuh dengan orang-orang miskin dan melarat, seperti keadaan negara kita sekarang yang baru saja dalam tingkat permulaan pembangunan lima tahun.
   Orang-orang miskin senantiasa menantikan uluran tangan anda sekalian. Semoga dana anda sekalian yang diberkan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan itu akan membawa kebahagiaan bagi mereka yang ditolong dan berkah yang besar bagi anda yang berdana.
   Sabbe satta bhavantu sukhitatta.
   Semoga semua mahluk hidup bahagia.
   Sadhu! Sadhu! Sadhu!

               Mettacittena,


            S.Widyadharma,Maha Pandita

Cetiya Vatthu Dhaya
jakarta,27-7-1969

NOW

Offline antidote

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 249
  • Reputasi: 25
  • Gender: Male
Re: PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)
« Reply #1 on: 08 April 2012, 10:47:19 AM »
Suatu Perbuatan Baik Tak Mungkin Cuma-Cuma

   Pada tahun 1949 seorang dokter Thai datang ke India untuk mempelajari penyakit daerah tropis dan penyakit kulit. Ia bermalam di sebuah hotel Y.M.C.A. di Calcutta

   Pada suatu hari ia kehabisan uang dan selekasnya ia mengirim kawat kepada keluarganya di Thailand supaya ia dikirimkan uang. Ia menunggu-nunggu sampai beberapa minggu lamanya, tetapi belum juga ia dapat kabar dari keluarganya.

   Keadaan keuangannya sudah menjadi sangat kritis sekali, sehingga ia sekarang sudah tak dapat lagi membayar keperluaannya sehari-hari. Kita semua tahu bagaimana sengsaranya kalau kita berada di negara asing, jauh dari sanak keluarga dan handai taulan, dan kita tidak mempunyai uang.

   Di sebelah kamar dokter ini adalah kamar seorang insinyur India yang masih muda usianya. Insinyur ini bekerja di hutan dan hanya kadang-kadang saja datang ke kota untuk mengambil perbekalan. Insinyur ini melihat wajah dari dokter yang penuh ketegangan dan kegelisahan. Ia menghampiri dokter itu dan setelah memperkenalkan diri ia kemudian berkata:"Saya harap dokter dapat memaafkan atas kelancangan saya ini. Saya telah memperhatikan wajah anda dan saya merasa pasti bahwa anda sedang berada dalam kesulitan besar. Saya harap anda berkenan memberitahukan kesulitan-kesulitan anda dan mungkin saya dapat membantunya".

   Dokter itu untuk beberapa saat lamanya agak tertegun mendengar pertanyaan tersebu. Kemudian dengan sopan ia menjawab:"Terima kasih atas kebaikan hati anda, tetapi saya rasa saya tidak mengalami kesulitan apa-apa".

   Dengan tersenyum insinyur itu berkata lagi:"Oh, saya harap anda jangan salah mengerti. Pandanglah saya sebagai seorang sahabat. Walaupun kita baru pertama kali bertemu, namun saya dengan ikhlas ingin sekali menolong anda. Harap anda ceritakan kepada saya kesulitan apa sebenarnya yang menimpa diri anda".

   Dokter itu merasa terharu atas tawaran yang mulia untuk menolongnya dari kesulitan, meskipun ia belum dapat memahami, apa sebenarnya yang mendorong insinyur itu sehingga ia mau menolong seorang asing yang baru saja ia kenal. Padahal puluhan, yah bahkan ratusan ribu orang bangsanya sendiri yang demikian miskinnya, sehingga mereka tidur di alam terbuka tanpa ada seorangpun yang menghiraukannya.
Meskipun ia merasa pasti, bahwa kawan barunya itu ingin menolongnya dengan sungguh-sungguh dan dengan setulus hati, namun ia masih merasa sungkan untuk membentangkan kesulitannya kepada orang asing yang baru saja dikenalnya. Ia lalu menjawab:"Anda betul-betul baik sekali, tetapi pada saat ini saya belum memerlukan pertolongan apa-apa. Terimakasih atas perhatian anda yang demikian besar."

   Ketika insinyur mendengar penolakan itu dengan tenang dan dengan wajah penuh pengertian ia lalu berkata:"Mohon dimaafkan apabila saya telah melakukan sesuatu yang kurang berkenan di hati anda;tetapi saya merasa pasti, bahwa anda sekarang berada dalam kesulitan keuangan dan saya akan gembira sekali kalau anda dapat memberitahukan kepada saya berapa banyak uang yang anda butuhkan".

   Dokter itu merasa heran sekali atas terkaan yang tepat dari kawan barunya itu dan oleh karena tidak dapat menyangkal lagi, ia lalu berkata:"Sesungguhnyalah, bahwa saat ini saya berada dalam kesulitan keuangan. Tetapi saya telah mengirim kawat kepada keluargaku di Thailand agar segera mengirim uang. Saya kira kiriman itu agak terlambat, karena keluarga saya sedang berlibur dan saya merasa pasti bahwa kalau mereka pulang, pastilah saya akan medapat kiriman uang. Saya memang berada dalam kesulitan karena kterlambatan kiriman uang dari Thailand, tetapi saya juga tidak mungkin menerima uluran tangan anda, karena kita baru saja bertemu untuk pertama kali ini. Lagipula saya tidak dapat memberikan jaminan apa-apa kepada anda. Meskipun saya tidak dapat menerima tawaran anda yang luhur itu, tetapi budi anda akan tetap saya ingat selama saya masih hidup."

   Insinyur itu merasa kecewa sekali dan dengan tegas ia menjawab:"Saya harap anda jangan memikirkan tentang jaminan. Saya sebenarnya telah mengenal anda sebagai umat Buddha yang baik dan hati anda penuh dengan perasaan welas asih. Anda telah memperlakukan semua orang dari kasta apapun dengan sama rata dan tidak memandang kaya atau miskin, bahkan anda telah mengabaikan urusan anda sendiri, hanya karena anda ingin menolong orang lain. Apakah itu bukan merupakan jaminan yang cukup?" Insinyur itupun lalu tertawa terbahak-bahak.
   "Bagaimana anda dapat mengetahuinya semua itu?" tanya dokter itu dengan keheran-heranan.
   "Ah, itu mudah saja", jawbnya."Saya telah mengetahui tindak-tanduk anda beberapa hari yang lalu, waktu penjaga malam gedung ini yang dari kasta 'paria' pada suatu malam menjerit-jerit karena sakit. Waktu itu mungkin anda mendengar jeritannya dan karena anda seorang yang penuh welas-asih, maka anda segera turun ke bawah untuk memeriksa si sakit, meskipun hal tersebut bertentangan sekali dengan adat-istiadat di sini, di mana orang jangankan menyentuh badannya, sedangkan tersentuh oleh bayangannya saja sudah merasa jijik."

   Waktu insinyur itu beristirahat sebentar, dokter itu lalu memotong pembicaraannya dengan berkata:"Bagaimana anda dapat mengetahui semua ini?"

   Ia tersenyum dan melajutkan:"Pada malam itu hawa terasa panas sekali sehingga saya tidak dapat tidur. Waktu saya mendengar anda turun, sayapun ikut turun untuk melihat apa yang anda akan lakukan. Saya menyaksikan segala sesuatu yang anda lakukan terhadap orang paria itu. Waktu itu saya berdiri di belakang sebuah pilar yang tidak dapat dilihat oleh anda. Saya memperhatikan anda memeriksa dan mengobati pasien anda untuk melenyapkan sakitnya dan tidak henti-hentinya terdengar anda menghiburnya dengan kata-kata yang lemah-lembut. Meskipun ia tidak dapat mengerti apa yang anda katakan, namun secara naluri(instinct) pasti ia mengetahui dari nada suara anda, bahawa anda benar-benar ingin menolongnya. Selanjutnya saya melihat ia memegang tangan anda untuk ditekankan di pipinya sebagai cetusan rasa terima kasih. ketika itu aku berada dekat sekali, sehingga aku dapat melihat air mata terima-kasih yang keluar dari matanya. Saya kira sebelumnya iya tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu. Kemudian saya melihat ia tertidur dan dengan hati-hati anda melepaskan tangan anda dari genggamannya dan selanjutnya dengan diam-diam anda kembali ke kamar anda.

Saat itu malam telah berganti menjadi pagi hari. Anda telah mengorbankan kesenangan dan waktu istirahat anda untuk mengurus kepentingan orang lain tanpa pkiran untuk mendapat balas jasa apapun juga. Setelah itu akupun kembali ke kamarku dan peristiwa yang baru saja kusaksikan berkesan sekali di hati sanubariku. Masih jelas terlintas dalam pikiranku cara yang spontan dan penuh cinta-kasih, pada waktu anda merawat si sakit dan mau tidak mau aku berpikir, 'alangkah indahnya dunia ini apabila semua orang melakukan perbuatan seperti anda'.
Sayapun tahu bahwa pada malam-malam berikutnya anda masih tetap mengunjunginya sampai si sakit menjadi sembuh benar. Anda pasti tahu bahwa orang itu tidak dapat memberikan imbalan apa-apa kepada anda kalau ia telah sembuh, namun demikian anda masih mau mengeluarkan uang untuk membeli obat untuk si sakit, padahal anda sendiri kekurangan uang untuk membeli makanan. Saya meohon maaf kalau saya telah mencampuri urusan pribadi anda. Mungkin hal ini disebabkan karena saya terlalu lama berada di hutan belukar dan hanya sekali-kali saja datang ke kota, sehingga membuat saya menjadi orang yang usilan dengan urusan orang lain."

   "Saya tidak menyalahkan anda, lagipula hal itu sama sekali tidak merugikan diriku", jawab dokter itu sambil menarik napas panjang. "Perbuatan anda untuk mengikuti dan mengamat-amati tindak-tandukku semata-mata terdorong oleh peerasaan ingin tahu dan untuk mempelajari watak seorang asing dan bukan didasarkan atas pikiran-pikiran yang tidak baik. Apa yang saya lakukan terhadap si penjaga malam semata-mata didasarkan atas pertimbangan prikemanusiaan dan saya rasa akan dilakukan juga oleh setiap pemeluk agama lain. Anda harus tahu, bahwa kami sebagai siswa-siswa Sang Buddha diajar untuk mengasihi dan menaruh belas kasih terhadap semua makhluk yang ada di dunia ini tanpa perbedaan kasta, kedudukan, suku maupun bangsa, bahkan juga terhadap binatang-binatang.

Sang Buddha mengajar bahwa kita dilahirkan untuk membagi kebahagiaan dan penderitaan kita; maka itu adalah penting sekali agar kita selalu berusaha untuk membantu saudara-saudara kita yang sedang menderita. Kami selalu akan berusaha agar tidak menyakiti atau merugikan orang lain, tetapi berusaha untuk selalu berbuat baik dan menolong mereka yang sedang ditimpa kemalangan; dan kamipun diajar untuk selalu bersikap manis budi dan mempunyai toleransi yang besar terhadap mereka yang mempunyai pendirian lain.

Di samping itu sesuai dengan kode ethik kedokteran tidak mungkinlah aku membiarkan saja orang sakit tanpa memberikan pertolongan atau obat, dan bukanlah menjadi soal apakah aku akan dibayar atau tidak, karena kami mempunyai keyakinan bahwa jiwa seseorang itu tidak dapat dinilai dengan uang. Agama Buddha mengajarkan kita untuk mengabaikan kasta-kasta dan harus memperlakukan mereka sama rata, entah ia seorang bangsawan atau seorang petani miskin. Bahkan binatang-binatangpun harus kami perlakukan sama dan kalau mereka sakit kami akan menolongnya dan berbuat apa saja yang dapat kami lakukan untuk menyembuhkan penyakitnya."

   Dengan wajah berseri-seri insinyur India itu menjawab:"Memang sesungguhnyalah penggolongan manusia dalam kelas-kelas harus dianggap termasuk jaman yang lalu dan manusia-manusia dalam jalam moderen ini harus mempunyai pandangan yang lain. Saya yakin, bahwa Ajaran Buddha Gotama didasarkan atas fakta-fakta dan hukum Kesunyataan (absolute Truth) yang tidak akan lenyap.

Kebajikan dan Moralitas yang luhur termasuk salah satu tujuan dari agama Buddha. Biarpun Ajaran Sang Buddha sekarang sudah berusia lebih dari 2.500 tahun, namun kenyataannya masih tetap ampuh dan tidak ketinggalan jaman. Anda memiliki watak yang baik dan perbuatan anda patut menjadi contoh bagi seluruh umat manusia. Saya menaruh hormat kepada anda dan sayapun ingin mengikuti jejak anda. Tetapi karena saya bukan seorang dokter, maka saya harus melakukan perbuatan baik dengan cara yang lain. Misalnya kalau melihat seorang dalam kesulitan saya akan merasa tidak senang apabila saya belum dapat memberikan sesuatu petolongan. Karena hari libur saya besok akan berakhir dan saya harus kembali ke hutan belukar besok pagi, maka sayang sekali saya tidak mempunyai banyak waktu untuk berbincang-bincang dengan anda sampai sepuas-puasnya. Tetapi anda dapat memberikan saya sedikit kebahagiaan dengan menyetujui saya membatu anda dalam mengatasi kesulitan keuangan anda, sebelum saya kembali besok pagi ke hutan. Hal tersebut akan memberikan saya kepuasan dan kebahagiaan dan saya harap anda dapat menyelami jalan pikiran saya."

   "Saya mengerti jalan pikiran anda dan saya merasa berterima kasih sekali", jawab dokter itu setelah berpikir sejenak. "Karena saya tidak ingin mengecewakan anda, maka dari itu saya menerima uluran tangan anda. Saya ingin meminjam uang sebanyak 200 Rupee dan saya rasa jumlah ini cukup sambil menunggu kiriman dari rumah."

   "Apa, 200 Rupee!" seru insinyur itu. "Apakah anda rasa itu cukup? Saya rasa anda masih malu-malu untuk menerima pinjaman uang dari saya. Saya harap anda menganggap saya sebagai seorang sahabat karib atau seorang yang masih termasuk keluarga. Biarpun saya baru sekali ini bertemu dengan anda, tetapi saya merasa bahwa saya telah kenal anda selama 10 tahun, yah, bahkan lebih dari itu. Karena itu saya akan meminjamkan anda uang sebanyak 400 Rupee dan saya harap anda jangan menolak, sebab hal itu akan membuat saya sedih dan kecewa."

   Insinyur itu segera mengeluarkan dompetnya dan memberikan 400 Rupee kepada dokter itu yang segera menulis surat utang dan memberikannya kepada sahabatnya.

   Setelah melihat surat utang itu, insinyur itu mencabiknya sambil berkata:"Saya tidak memerlukan surat utang dari anda. Watak dan tindak tanduk anda adalah lebih penting dari pada secarik kertas ini. Sekarang saya dapat kembali ke hutan dengan hati yang bungah dan juga bangga, karena saya mendapat kesempatan untuk melakukan sesuatu terhadap anda. Nah, dokter, sekarang saya harus kembali ke kamar saya dan saya harap dapat bertemu lagi dengan anda besok pagi sebelum saya berangkat."
Ia lalu meninggalkan kamar dokter itu.
"Hai, kawan tunggu dulu sebentar",dokter itu memanggil.
"Anda belum memberitahukan kepada saya, bagaimana saya harus mengembalikan uang itu dan bila anda kembali dari hutan."

   Insinyur itupun menghentikan tindakannya dan sambil tersenyum ia menjawab:"Kalau saya sedang bekerja di hutan saya selalu berpindah-pindah tempat. Lagipula saya tak dapat membeli apa-apa dihutan. Karena itu saya harap anda tidak usah bersusah-payah untuk mengirim uang pinjaman itu kepada saya. Tunggu saja sampai suatu ketika saya kembali datang ke kota dan kita dapat bertemu kembali. Yang menjadi persoalan ialah, bahawa saya juta tidak tahu dengan pasti bila saya kembali ke kota."

   Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dokter itu sudah bangun dan menjumpai insinyur itu sudah siap-siap untuk berangkat. Di taman sudah menunggu jip penuh berisi peti-peti perlengkapan dan makanan untuk di hutan.

   "Saya merasa gembiara sekali dapat berjumpa lagi dengan anda pada pagi ini",kata insiyur muda itu."Kemarin malam saya lupa memberitahukan anda bahwa saya telah mendengar penjaga malam menangis sambil meratap-ratap."

   "Oh, apa sebenarnya yang telah terjadi. Saya kira ia telah sembuh benar", berkata dokter itu dengan nada keheran-heranan.
   "Ya, memang ia telah sembuh benar. Ia menangis dan meratap untuk menyatakan terima kasihnya atas kebaikan anda."
   "Bagaimana anda dapat tahu hal itu?" tanya si dokter.
   "Saya rasa kalau anda pada saat itu belum tidur, anda pasti dapat mendengar ia meratap dengan kata-kata bahawa anda baik sekali terhadap dirinya dan dengan teliti telah mengobati dirinya sampai menjadi sembuh benar. Anda mempunyai hati yang luhur untuk memperlakukannya sebagai seorang manusia, bertentangan sekali dengan perlakuan yang sampai kini ia alami. Kebaikan anda tetanam dalam-dalam di sanubarinya. Ini semua ia ratapkan sambil menangis.

Tetapi saya lupa, bahwa sekiranya anda juga mendengar apa yang ia katakan, anda juga tidak akan mengerti apa yang ia ucapkan.
Setelah saya mendengar pujian-pujuan terhadap diri anda, saya lalu tertidur dengan mata basah oleh air mata. Saya selalu mendengar dan percaya, bahwa kaum paria tidak pernah menyatakan terima kasihnya terhadap orang yang menolongnya.
Dengan mendapat kawan seperti anda, biarpun hanya untuk waktu yang singkat, membuat saya bangga sekali."

   Dokter ini tersenyum kemalu-maluan dan berkata:"Semua orang yang dilahirkan di dunai ini adalah sama, baik kecerdasannya maupun perasaannya. Semua orang, baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya, mempunyai hak yang sama sebagai penduduk di dunia ini. Namun tidak dapat disangkal akan adanya orang-orang yang menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain, yang memandang rendah dan menghina orang yang miskin. Mereka ini menganggap, bahwa orang lain sangat rendah kecerdasannya. Mereka tidak diberi kesempatan untuk membuktikan kecakapannya, dihalang-halangi dalam pergaulan sosial dan diperlakukan segagai makhluk rendah.
Perlakuan yang tidak semestina ini telah membuat mereka hilang martabatnya sebagai manusia dan membuat mereka memiliki perasaan rendah diri yang berlebih-lebihan. Mereka merasa sebagai manusia rendah yang tidak layak bergaul dengan orang-orang dari kasta yang lebih tinggi. Perasaan ini mempengaruhi pikiran mereka sedemikian rupa, sehingga mereka merasa termasuk golongan hewan.
Sebenarnya mereka adalah sama dengan orang lain dan merekapun memiliki kemampuan berpikir dan kecerdasan sebagaimana juga dimiliki oleh orang lain. Kalau saja mereka diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan yang baik dan kepada mereka diberi kesempatan yang sama seperti orang lain, maka pastilah merekapun dapat menjadi orang yang pintar dan termashur atau setidak-tidaknya menduduki jabatan yang penting.

   Kami sebagai umat Buddha dididik untuk mempunyai rasa cinta-kasih dan belas-kasihan kepada semua makhluk, yaitu manusia dan binatang-binatang. Sebab itu, kepercayaan yang mengatakan bahwa menyentuh seorang paria akan membawa malapetaka, sebenarnya tidak masuk akal dan dalam peristiwa itu justru membawa kebaikan untuk diriku. Sebab perawatan yang aku berikan kepada penjaga malam yang sakit mengakibatkan aku bertemu dengan anda dan aku mendapat pinjaman uang dari anda sebesar 400 Rupee. Uang ini lebih dari cukup sambil menunggu kiriman uang dari keluargaku. Sesungguhnya kemarin aku sangat gelisah sekali, mengingat uang telah habis dan kiriman dari keluarga belum saja tiba. Tetapi dengan uang yang anda pinjamkan kesulitan ini dapat teratasi."

   "Saya merasa gembira sekali mendapat kehormatan untuk menolong anda", berkata insinyur itu dengan senyum bangga. Setalah itu ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman, Tetapi dokter itu tidak menyambut tangannya.
   "Anda lupa, bahwa tangan saya ini telah menyentuh seorang paria, bahkan telah ditekankan kepada pipinya", memperingati dokter itu. "Apakah anda tidak takut nanti ikut dikotori?"
   "Ah, saya dapat menghargai cara berkelakar anda". jawab insinyur itu sambil tertawa, "tetapi sejak saya menyaksikan perbuatan anda, saya sekarang merasa tenang dan bahagia, dan saya telah menjelma menjadi orang yang baru."
   Tiba-tiba terdengar seruan dari pembantunya bahwa segala sesuatu telah siap.
   Insinyur itu berkata kepada kawannya:"Nah, sahabatku, telah tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Aku mengucapkan selamat tinggal kepada anda." Kembali ia mengulurkan tangannya dan sekarang telah disambut dengan hangat oleh dokter itu sambil berpandang-pandangan mata dengan penuh rasa haru.
   "Selamat tinggal, sahabatku yang baik", katanya,"sampai jumpa kembali."
   "Saya doakan agar anda selalu dalam keadaan sehat walafiat dan semoga anda selamat dan tidak kurang suatu apapun dalam perjalanan. Selamat jalan!" jawab si dokter.
Insinyur itupun naiklah ke jip dan berangkat ke tempat tujuannya.
   Untuk beberapa waktu lamanya dokter itu masih berdiri di tempat ia bersalam-salaman dengan sahabatnya yang baik hati itu. Pada saat itu kedua mata dokter basah dengan air mata dan ia berdoa:"Semoga Sang Tri Ratna selalu melindungi sahabatku dan semoga ia selalu bahagia hendaknya".
NOW

Offline antidote

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 249
  • Reputasi: 25
  • Gender: Male
Re: PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)
« Reply #2 on: 08 April 2012, 10:49:50 AM »
Kesukaran Yang Dicari Sendiri

   Aku teringat kepada satu kejadian yang benar-benar terjadi pada waktu sebelum perang dunia kedua, yang kukira bermanfaat sekali untuk dipakai contoh oleh para muda-mudi di waktu yang akan datang,di mana mereka mungkin akan menghadapi persoalan yang sama dan keadaan yang sama. Mereka dapat mengambil contoh ini sebagai petunjuk jalan agar terhindar dari akibat-akibat yang tidak baik.

   Pada suatu hari aku mendapat undangan untuk menghadiri resepsi pernikahan yang diadakan di sebuah rumah makan yang terkenal. Waktu hari nikah tiba, pergilah aku ke toko untuk membeli hadiah dan pulang ke rumah. Mempelai laki-laki disertai dengan beberapa kawannya sudah menungguku dan mengingatkan kembali kepadaku untuk jangan lupa datang pada malam harinya di resepsi. Alasan dari kedatangannya ialah untuk memastikan agar aku jangan lupa tanggalnya, karena ia sangat menghargai aku sebagai salah seorang kawan karib dari mendiang ayahnya.

   Aku berjanji dengan pasti untuk menghadiri resepsi, karena ayahnya memang termasuk salah seorang sahabat karibku dan mempelai laki-laki inipun dengan hormat memanggilku "paman"

   Malam harinya aku pergi ke rumah makan pada jam yang tertera di surat undangan Waktu naik ke ruang atas, aku melihat meja makan panjang yang dihias secara mewah sekali dan beberapa tamu sudah duduk mengelilingi meja ini.

   Aku disambut dengan hangat oleh kedua mempelai yang membawaku ke salah satu sudut dari meja, di mana sudah kelihatan duduk beberapa tamu yang terhormat. Aku menyadari, bahwa resepsi ini mewah sekali dan juga terlihat banyak botol whisky buatan luar negeri siap untuk diminum. Selain itu tampak juga sebuah orkes terkenal mengiring penyanyi terkenal yang sedang menyanyi di depat mikrofon. Sewaktu-waktu diselingi dengan beberapa muda-mudi menyanyikan lagu-lagu Thai populer.

   Suasana ruang yang besar itu nampaknya gembira sekali terutama untuk para muda-mudinya. Aku mengagumi anak sahabatku itu yang dapat menyelenggarakan resepsi yang demikian mewah. Padahal aku tahu, bahwa baik keluarga mempelai laki-laki maupun keluargamempelai wanita bukan termasuk orang yang dapat dikatakan ber-uang.

   Selesai makan-makan beberapa tamu yang terhormat mengucapkan selamat kepada kedua mempelai dan mendoakan agar kedua mempelai bahagia dan mendapat banyak rezeki. Setelah itu pihak mempelai menghaturkan banyak terima kasih atas kehadiran dan restu para undangan.

   Setelah beberapa waktu berselang aku telah lupa sama sekali dengan resepsi yang megah yang berlangsung secara meriah sekali.

   Kira-kira satu tahun kemudian aku diundang makan di rumah makan oleh beberapa kawan. Sewaktu aku masuk, disudut ruang kebetulan aku melihat seorang anak muda sedang makan dengan beberapa orang lain dan pemuda itu adalah pemuda yang pada beberapa waktu berselang mengadakan resepsi perkawinan yang megah dan meriah.

   Pemuda itu gembira sekali ketika melihat aku dan latas ia bangun untuk mempersilahkan aku duduk di meja di mana ia sedang duduk makan. Dengan halus aku menampiknya, karena aku datang juga dengan beberapa kawan. Kemudian aku menanya:"Apa kabar sekarang, keponakan? Apakah kamu sudah diberkahi seorang anak?"

   Ia bukan menjawab pertanyaanku dengan senyum sebagaimana layaknya seorang yang baru saja menikah satu tahun lebih, tetapi dengan wajah sedih ia menjawab:"Pman, saya mengalami kesulitan besar. Istriku sekarang sedang hamil, sedangkan saya belum dapat membayar kembali utang-utang yang dipakai untuk membiayai pesta pernikahan kami. Lagipula akhir-akhir ini sulit sekali mencari uang. Kalau nanti istriku melahirkan, maka ongkos akan bertambah. Saya merasa kesal sekali, hingga pada satu saat saya ingin mati saja agar keluar dari kesulitan ini."

   Aku tidak mengira akan mendengar kata-kata ituu, karena waktu di pesta perkawinan ia kelihatannya sangat bahagia dan gembira dan sekarang tanda-tanda kebahagiaan itu lenyap sama sekali dari wajahnya.

   Aku menepuk-nepuk pundaknya dan menghiburnya dengan kata-kata:"Janganlah berpikir demikan. Semua orang yang hidup di dunia ini memang tidak dapat menghindari satu atau lebih perbuatan-perbuatan yang salah dalam hidupnya dan kalau sesuatu kesalahan telah terlanjur dilakukan, ia harus dengan tabah dan prihatin berusaha untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya itu."

   Mendengar kata-kata yang penuh nasehat, wajahnya tampak agak terang sedikit. Ia pergi sebentar untuk minta maaf dari kawan-kawannya dan kembali lagi mengambil tempat duduk di samping ku. Waktu kawan-kawanku sedang sibuk memesan makanan, secara singkat ia menuturkan tentang kesulitan yang ia hadapi sejak menikah, karena untuk membayar respsi yang megah itu ia harus meminjam dari sana-sini.

   Sekarang satu tahun telah lewat, tetapi ia masih belum dapat membayar kembali separuh dari uatang-utangnya.
Aku tidak tega untuk menegur perbuatannya pada waktu yang lalu itu, karena ini akan melukai perasaannya dan menurut hematku ia sekarang sudah cukup menderita. Tetapi aku tidak dapat tidak harus juga menyinggung persoalan ini dan menyayangkan, bahwa uang pinjaman yang demikian banyak itu dibuang-buang untuk membiayai satu resepsi yang hanya berlangsung satu hari. Ini tidak ada harganya sama sekali. Sekarang ia masih harus menanggung akibatnya, padahal tamu-tamu yang dulu datang di resepsi perkawinan mungkin sudah lupa sama sekali dengan peristiwa tersebut. Sungguh sayang dan menyedihkan!
   "Berapa utang yang telah kau bayar kembali dan berapa sisanya yang masih belum dibayar?"tanyaku.
   "Utang yang kecil-kecil semua telah kubayar lunas", jawabnya, "dan kira-kira 40% lagi yang belum dibayar kembali. Tetapi sekarang saya tidak punya uang lagi untuk bayar utang dan karena itu saya takut untuk berjumpa dengan orang yang memberi utang kepadaku. Saya sudah lama tidak berani menemuinya lagi. Hari ini kawan-kawan saya datang di Bangkok dari tempat yang jauh. Mereka mengundang saya untuk makan siang bersama-sama mereka dan karena itu saya dapat bertemu dengan paman. Sebab kalau tidak saya juga tidak berani bertemu dengan paman. Saya bukan malas dan maksud saya bukan untuk menipu. Saya bersedia untuk melakukan pekerjaan apa saja asal saya dapat memperoleh uang untuk membayar kembali utang-utang saya. Pekerjaan yang biasa saya lakukan waktu ini tidak ada lagi dan semua modal saya telah habis dipakai membayar utang."

   Aku mendengar semua ini dengan perasaan iba dan selanjutnya bertanya lagi:"Siapakah orangnya yang utangnya hingga kini kau belum dapat lunasi dan di manakah alamatnya? Apakah ia seorang yang kikir?"

   "Oh tidak,paman",jawabnya,"ia adalah orang yang manis budi dan terhormat. Kalau sifatnya serupa dengan yang lain-lain,maka saya juga tidak tahu harus bersembunyi di mana. Saya tahu benar bahwa saya seorang yang tidak baik dan tidak berharga untuk mendapatkan kepercayaan apa-apa."

   Suaranya agak gemetar waktu ia bicara. Selanjutnya aku bertanya,siapakah orang yang baik budi itu dan di mana ia tinggal,karena aku ingin tahu siapakah gerangan orang yang baik hati itu sehingga ia turut dipuji oleh orang yang utang kepadanya.

   "Namanya Khoon Luang...",jawabnya,"dan rumahnya di daerah selatan Bangkok."
   Waktu mendengar nama Khoon Luang disebut,lalu kebertanya:"Apakah ia seorang yang tubuhnya kecil, kulitnya agak bersih, rambutnya sudah menipis dan selau tersenyum? Dan sekarang seorang pensiunan pegawai negeri?"

   "Ya betul, itulah orangnya", jawabnya, "saya malu sekali dan takut untuk menemuinya, karena saya tidak dapat memegang janji. Apakah paman mungkin dapat memberikan nasehat kepadaku, sehingga aku dapat keluar dari kesulitan ini?"

   Melihat wajahnya yang sedih itu, aku merasa kasihan sekali dan besar hasratku untuk menolongnya karena ia berlaku jujur dan menceritakan semuanya kepadaku tanpa menyembunyikan apapun. Lalu aku berkata: "Sesungguhnya kesalahan berpangkal pada pesta yang mewah itu, tetapi memang ada jalan untuk memperbaikinya. Kalau aku memberi nasehat kepadamu, apakah kamu mau melaksanakannya?"

   "Saya mengenal paman sudah lama", jawabnya dengan wajah yang menunjukan pengharapan, "karena itu saya memohon diberitahukan apa yang saya harus lakukan, karena saya pandang paman sebagai ayah saya sendiri."

   Kata-katanya itu memberikan perasaan hangat dalam hatiku dan berkata: "Terima kasih atas penghormatanmu. Inilah nasehatku. Pertama, salah sekali untuk menghindari orang yang meminjamkan uang kepadamu, karena dengan berbuat demikian engkau telah melakukan kesalahan besar. Engkau haru percaya kepada kenyataan. kau harus berani menghadapi kenyataan dengan hati yang tabah, misalnya dalam persoalan dengan Khoon Luang, orang yang menjungjung tinggi kejujuran.

Ia meninggalkan jabatannya di Pemerintahan karena usia tua dan kesehatan yang kurang baik. Aku kenal dengannya sejak ia masih menjadi pejabat pemerintah. Kau harus berterima kasih kepadanya bahwa ia telah meminjamkan kau uang. Biarpun uang itu telah digunakan secara salah, kau masih harus berhutang budi kepadanya. Karena itu kau harus berlaku jujur kepadanya. Pergilah menemuinya dan katakan dengan jujur apa yang sebenarnya telah terjadi. Kau harus memberikan gambaran yang benar tentang keadaanmu. Setelah mendengar ceritamu aku merasa pasti, bahwa ia akan mengerti dan menaruh kasihan terhadapmu. Kau juga harus memberitahukannya dan berjanji untuk membayar utangmu dengan mencicil dan kau harus sering-sering datang ke rumahnya untuk menjenguknya. Jangan lupa menawarkan untuk melakukan pekerjaan apa saya yang dapat kau kerjakan, meskipun pekerjaan itu mungkin pekerjaan kasar. Kalau keu pikir kau dapat melakukan semua ini, jangan ragu-ragu dan kerjakanlah."

   Setelah berselang beberapa saat aku ulangi pertanyaanku. Setelah berpikir ia mejawab:"Nasehat paman sebenarnya bertentangan sekali dengan pendapatku, karena saya justru berpikir untuk menghindarinya sampai saya dapat mengumpulkan uang untuk membayarnya sekaligus. Tetapi dengan melakukan gagasan di atas hatiku rasanya tidak tentram, selalu gelisah dan itu membuatku menderita sekali. Sekarang saya akan melakukan apa yang paman nasehati, karena mungkin hal ini akan membuat hatiku agak tentram."

   Pada saat itu seorang pelayan membawa makanan yang telah dipesan oleh kawan-kawanku, dan setelah memberi hormat kepadaku anak muda itu lalu kembali ke mejanya.

   Setelah kejadian itu beberapa tahun telah lewat.
   Pada satu haru ketika seorang pejabat diperabukan, aku kebetulan bertemu dengan Khoon Luang dan karena lama tidak bertemu, kami mengobrol ke barat dan ke timur. Aku menanyakan tentang anak muda yang pernah berutang kepadanya. Jawabannya adalah sebagai berikut: "Berbicara mengenai anak muda itu, aku heran sekali dengan kelakuannya. Beberapa waktu yang lalu ia meminjam uangku dalam jumlah yang besar, dan setelah membayar kembali satu jumlah yang kecil ia lalu menghindari diri untuk bertemu denganku. Tetapi pada suatu hari tiba-tiba ia datang menemui aku dan mengaakan bahwa ia merasa berhutang budi sekali kepadaku karena telah meminjamkan uang kepadanya pada waktu ia menikah; tetapi karena ia sekarang tidak punya uang, maka untuk membayar bunganya ia ingin bekerja untukku dan katanya ia akan melakukan apa saja yang aku perintahkan.

Waktu aku mendengar tawarannya, timbul rasa kasihan dalam hatiku, karena aku seringkali mengalami bahwa banyak orang yang utang dan tidak sanggup membayar lalu tidak muncul-muncul lagi.
Dan kalau kebetulan bertemu, mereka hanya berjanji saja untuk membayar kembalian utangnya.
Sejak hari itu, kalau ia pulang dari pekerjaannya ia sering datang ke rumahku untuk melakukan pekerjaan di rumahku dan sewaktu-waktu ia juga membawa istrinya untuk melakukan pekerjaan  yang bisa dilakukan oleh wanita. istriku menaruh kasihan kepada istrinya, karena ia masih mau melakukan pekerjaan di rumahku, padahal ia sudah hamil tua. Istriku lalu mencarikan tempat di salah satu rumah sakit untuk calon ibu itu, di mana ia dapat bersalin kalau waktunya telah tiba.
Saudara tentu tahu, bahwa kalau orang baik hati terhadap kita, kitapun harus membalasnya dengan baik hati pula."

   Aku merasa gembiara dengan kabar baik itu dan selanjutnya bertanya: "Bagaimana dengan utangnya? Apakah ia telah membayar lunas?"

   "Belum", jawab Khoon Luang, "hanya tinggal sedikit lagi dan aku tidak ambil pusing apakah ia akan membayar kembali atau tidak, sebab orang baik seperti itu jarang sekali kita temukan.
Sejak waktu itu aku menganggap suami-istri itu sebagai anggota keluargaku dan aku sayang kepada mereka karena kejujurannya. Sekarang mereka telah mempunyai anak laki-laki yang mungil dan istriku sayang sekali kepada anak itu. Untuk suaminya aku telah mencarikan dua pekerjaan borongan dan menghubunginya dengan beberapa orang lagi."

   Aku makin gembira, karena nasehatku ternyata telah berhasil baik, bahkan di luar dugaanku semula. Aku lalu berkata: "Betul-betul luar biasa dan beruntung sekali baginya, bahwa ia telah bertemu dengan seorang tuan uang yang begitu baik hati seperti saudara. Biasanya tuan uang tidak pernah mau mengerti keadaan orang yang berutang kepadanya. Ia hanya memikirkan, bagaimana ia harus dapat kembali uangnya berikut bunganya dengan cara apapun juga. Dan hal ini seringkali menimbulkan salah pengertian dan percekcokan. Aku kira hal yang saudara lakukan merupakan satu di dalam seribu yang berakhir dengan kebaikan bagi kedua belah pihak."

   "Ah, aku pikir bahwa kedua belah pihak harus bersikap jujur satu sama lain, sebab kalau tidak ada saling pengertian yang baik, tidak mungkin lah tercapai penyelesaian yang baik, misalnya kalau satu pihak saja yang bersikap jujur. Seperti juga ada pepatah yang berbunyi, kalau kita menepuk dengan sebelah tangan maka ia tidak akan mengeluarkan suara. Bukankah demikian? Pada usiaku yang sekarang ini kupikir bahwa akhir hidupku sudah tidak lama lagi. Oleh karena itu aku tidak begitu menghiraukan uang dan merupakan perbuatan yang tidak pantas untuk memeras uang dari orang lain. Sebaliknya kalau aku menolong orang yang berada dalam kesulitan, maka perbuatan baik itu di kemudian hari pasti akan memberikan buah yang baik."

   Pembicaraan kami yang mengesankan terhenti, waktu kami mendengar suara musik Thai berbunyi, yang menandakan bahwa saat dari perabuan akan segera dimulai. Semua hadirin berdiri dan membuat satu barisan yang berjalan menuju ke peti jenazah untuk melakukan penghormatan terakhir. Setelah itu kami bubar dan pulang ke rumah masing-masing.

   Kira-kira delapan atau sembilan bulan setelah pertemuan di atas, pada suatu pagi di hari Tahun Baru dan waktu aku sedang duduk di depan rumah ku, aku melihat sebuah mobil masuk dari pintu depan dan orang yang mengendarai mobil itu adalah anak muda yang telah mengikuti nasehatku pada beberapa tahun yang lalu. Setelah mobilnya berhenti, ia turun dengan membawa sebuah bungkusan besar. Aku mempersilahkan ia masuk ke kamar tamu. Setelah melakukan penghormatan terhadap diriku, ia lalu berkata:"Saya datang untuk menghaturkan terima kasih, paman."

   "Mengapa kau harus menghaturkan terima kasih?" tanyaku keheran-heranan,"dan mengapa kau membawa barang sedemikian banyaknya?"
   "Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan Selamat Tahun Baru kepada paman dan semoga tahun ini membawa banyak rezeki dan banyak kebahagiaan, istri dan anak saya sebenarnya juga ingin turut untuk memberi hormat kepada paman, tetapi hari ini Bapak Khoon Luang menyelenggarakan pesta untuk anak-anaknya di rumah, sehingga istri ku harus pergi ke sana untuk membantu. Tetapi dalam beberapa hari ini mereka pasti akan datang menemui paman."

   Dengan agak terharu aku berkata:"terima kasih, kau membuat mereka repot saja. Sekarang, coba ceritakan tentang penghidupanmu dan bagaimana dengan pekerjaanmu."

   "Nah inilah yang menyebabkan saya datang ke sini untuk menghaturkan terima kasih atas nasehat yang paman telah berikan kepadaku beberapa tahun yang lalu. Sejak saya mengikuti nasehat paman, saya merasa lebih bahagia, karena Bapak Khoon Luang dan istrinya telah memperlakukan istri dan saya sendiri dengan penuh manis budi. Bapak Khoon Luang telah menolong saya untuk mendapat dua pekerjaan memborong bangunan dan selain dari itu beliau pula yang membiayai kedua pekerjaan tersebut. Setelah kedua pekerjaan selesai saya mendapat untung yang lumayan, sehingga dapat melunasi semua sisa utang saya. Sekarang saya bangga dapat berkata bahwa saya tidak lagi diganggu oleh pikiran-pikiran yang ruwet dan merasa benar-benar bahagia. Inilah yang membuat saya selalu ingat kepada paman dan baru sekarang saya dapat berkunjung, biarpun sebenarnya saya sudah lama ingin datang ke sini. Akhir-akhir ini saya selalu sibuk saja dan karena hari ini libur, maka saya gunakan kesempatan ini untuk datang berkunjung ke rumah paman."

   "Bicara sejujurnya, aku tidak menolong kau apa-apa", jawabku,"hanya memberimu nasehat yang aku kira dapat menolongmu. Pada hakekatnya, orang yang berbuatlah yang akan mendapat kebaikan, bukan orang yang sekedar memberi nasehat. Kau telah melaksanakan nasehatku dan memperoleh hasil yang baik sekali, bahkan melampaui perkiraan ku semula. Engkau harus selalu ingat, bahwa kesulitan biasanya membayangi penghidupan kita. Bukankah Sang Buddha pernah bersabda, bahwa kesulitan apapun yang kita alami, kita sekali-kali tidak boleh berputus asa. Janganlah lari kalau kesulitan itu timbul. Kesulitan justru harus dihadapi dengan hati yang tabah, sebab dengan hati yang tabah disertai kesabaran, keuletan dan kebijaksanaan, setiap kesulitan cepat atau lambat akan dapat di atasi. Dan ini terbukti dengan dirimu."
NOW

Offline antidote

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 249
  • Reputasi: 25
  • Gender: Male
Re: PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)
« Reply #3 on: 08 April 2012, 10:58:16 AM »
   
Apakah Perbuatan Baik Dapat Merubah Nasib

Telah banyak sekali kudengar tentang ramalan-ramalan para nabi dan astrolog dan hal yang diatas itu menarik perhatianku.  Ini disebabkan karena ramalan-ramalan itu kadang-kadang tepat dan sukar dimengarti.

   Pada umumnya aku tak dapat menerima atau percaya mukjizat-mukjizat yang belum kusaksikan sendiri.  Di samping itu aku sebenarnya tidak pernah percaya occultisme atau astrologi.  Kalau ada orang yang membicarakan hal ini, pada umumnya aku hanya menganggukkan kepala saja dan berkata "ya" atau "tidak", sekedar untuk jangan membuat mereka tersinggung.  Tetapi peristiwa yang akan kututurkan di bawah ini benar-benar terjadi kepada diriku sendiri.  Kalau anda nanti tidak percaya, aku pun tidak akan merasa tersinggung, karena pada mulanya aku sendiripun tidak percaya.  Namun kalau sekiranya peristiwa yang akan kututurkan di bawah ini membuat anda lebih mempunyai rasa perikemanusaiaan dan manis budi terhadap masyarakat di sekeliling anda, maka hal itu membuat aku gembira sekali, karena pengalamanku telah membuat beberapa di antara saudara menjadi bahagia.

   Cerita ini dimulai beberapa bulan sebelum pecah perang Pasifik.  Aku sedang membaca sebuah harian dan istriku masuk ke dalam rumah setelah memberi dana kepada para bhikkhu.  Ia langsung menghampiriku dengan tergesa-gesa.  Setelah duduk di sebelahku, ia berkata: " Suamiku sayang, apakah kau tahu bahwa Yai Plag dan Tan Ma, tukang kebun yang tinggal di belakang rumah kita telah beruntung sekali? mereka telah menarik hadiah pertama dari lotre."

   Tanpa berpaling aku menjawab dengan singkat: "Ah, aku rasa itu memang sudah menjadi rezeki mereka."

   Istriku agak kecewa karena aku tidak begitu perhatikan berita tersebut.  Ia kemudian berkata: " Aku rasa itu bukan semata-mata rezeki, sayang."

   "Kalau bukan rezeki, lalu habis apa? Apakah tidak wajar, bahwa ada yang menjadi pemenang hadiah pertama?" jawabku sambil terus membaca surat kabar.

   "Duduk persoalannya sebenarnya begini", kata istriku sambil terus berusaha untuk menarik perhatianku.  Orang mengatakan, bahwa ada seorang bhikkhu bernama Tan Achan Pak Kow, baru datang dari daerah pegunungan di Utara, menginap di Kuti Tan Maha, yaitu Bhante yang  setiap hari kita bawakan makanan.  Beliau telah meramalkan rezeki Yai Plag dan Tan Ma pada hari raya yang baru lalu.  Diceritakan, Bahwa Yai Plag dan Tan Ma pergi ke vihara dan mengeluh karena penghidupannya sengsara. Kemudian Tan Achan begitu baik hati untuk memeriksa nasib mereka dan meramalkan, bahwa dalam waktu satu minggu pasangan itu akan mendapat rezeki yang besar. Beliau juga memberi kepastian, bahwa mereka selanjutnya akan hidup beruntung. Hari ini genap seminggu dan pasangan itu benar-benar telah mendapat rezeki besar seperti yang telah diramalkan. Sungguh mengherankan sekali!"

   Istriku memandang wajahku dan mencoba menerka apakah aku menaruh perhatian atau tidak terhadap ceritanya. Kutahu, bahwa ia ingin sekali meyakinkan aku agar percaya kepada ramalan nasib. Tetapi memang sudah menjadi watakku, untuk tidak mau percaya begitu saja tanpa ada bukti yang meyakinkan. Tetapi untuk jangan membuatnya kecewa aku lalu menjawab : "Aduh, tepat benar dan apakah kamu tahu apa yang akan dilakukannya sekarang? Mereka mungkin akan membeli sebuah rumah yang mungil dan hidup sebagai orang hartawan."

   Istriku tidak menaruh perhatian terhadap kelakarku dan melanjutkan: "Sayang, aku ingin mengajakmu menjumpai Achan Pa Kow, karena akhir-akhir ini aku sering mendapat impian buruk."

   "Janganlah terlalu percaya kepada impian buruk, karena ini akan menimbulkan kekhawatiran yang tidak perlu. Dinda harus tahu, kalau kita banyak tidur kitapun akan banyak mimpi", kataku sambil menghiburnya.

   Tetapi, rupanya hal ini tidak berhasil, karena ia tetap menghendaki agar aku pergi menemui Tan Achan untuk meramalkan nasibku. Ketika aku melihat wajahnya yang agak sedih, aku merasa kasihan sekali. Rupanya ia begitu khawatir sekali. Biarpun dalam hati kecilku aku tidak begitu percaya, tetapi untuk menghiburnya aku akhirnya setuju untuk pergi menemui Tan Achan. Hal ini kulakukan untuk mengusir rasa kekhawatiran dari hati istriku.

   Kemudian kami langsung berangkat menuju vihara dimana Tan Achan menginap yang kebetulan memang tidak jauh dari rumah kami.

   Tiba di vihara kami diberi tahu, bahwa Tan Achan sedang keluar, yaitu dijemput oleh seorang yang tinggi kedudukannya. Tempat itu sudah penuh sesak oleh orang-orang yang juga sedang menunggu kedatangan Tan Achan. Mungkin hal ini disebabkan, karena ramalannya yang tepat telah tersiar luas di antara penduduk kota. Sambil menunggu kedatangan Tan Achan, aku mencoba-coba untuk menggambarkan bagaimana rupa dan pribadi Tan Achan tersebut. Aku menggambarkan beliau sebagai orang yang sudah lanjut usianya, kalau jalan harus memakai tongkat, tangannya memegang biji tasbih sedangkan mulutnya tak henti-hentinya berkomat-kamit memanjatkan doa.

   Kami duduk mengobrol dengan Tan Maha mengenai berbagai persoalan sambil menantikan kembalinya Tan Achan. Setelah Tan Achan tiba kembali, Tan Maha lalu memperkenalkan kami sebagai kenalan baik beliau dan kami lalu memberi hormat kepada Tan Achan dengan berlutut tiga kali. Aku merasa malu karena apa yang kugambarkan tentang beliau ternyata meleset sama sekali. Kenyataannya beliau orangnya masih muda dan gagah sedangkan wajahnya dihias dengan senyuman yang menyenangkan. Beliau kelihatannya sabar sekali dan kami merasa seolah-olah terkena getaran halus yang menyenangkan yang membuat kami merasa tenang dan bahagia. Hal ini memperkuat keyakinan kami terhadap diri beliau.

   Tamu-tamu yang telah menunggu sebelum kami tiba, secara bergiliran menghampiri Tan Achan dan mohon diberi pelindung dan lain-lain lagi. Setelah ditolong keperluannya maka pulanglah mereka ke rumah masing-masing, sehingga akhirnya hanya kami berdua suami-istri yang berada di ruangan itu. Tanpa ragu-ragu istriku mohon kepada beliau untuk memeriksa nasibku. Meskipun hal ini membuat hatiku sedikit tidak enak namun aku diam saja.

   Tan Achan duduk bersimpuh, merapatkan kedua tangannya di dada dan menututp matanya untuk beberapa menit lamanya. Kemudian ia membuka matanya dan berkata: "Nyonya, suami nyonya sebenarnya tidak senang diperiksa nasibnya."

   Aku agak heran mendengar kata-kata itu, karena aku tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa aku kurang senang, tetapi Tan Achan secara tepat mengetahui perasaanku. Aku bertanya-tanya dalam diriku, alangkah luar biasa daya tangkap Tan Achan, sehingga dari mata, air muka atau salah satu sikapku beliau dapat mengetahui apa yang sedang kupikir.

   Sewaktu aku sedang keheran-heranan, aku mendengar istriku berkata kembali: "Bhante, saya telah berketetapan hati untuk memohon dengan sangat agar nasib kami dapat diberitahukan dan kami harap jangan sampai dikecewakan."

   Tan Achan kembali menutup matanya untuk beberapa waktu lamanya dan setelah ia membuka matanya, ia nampaknya seperti orang yang bersusah hati. Dengan perlahan ia membalikkan badannya, sehingga dapat menatap mataku dengan tajam. Kemudian dengan sungguh-sungguh ia berkata: "Aku sebenarnya tidak senang untuk memberitahukan jalan hidupmu, karena dalam satu dua tahun ini kamu akan mendapat kecelakaan yang mengerikan. Aku tidak akan memberitahukan kecelakaan apa, karena hal ini akan membuatmu gelisah. Sekarang segala sesuatunya berjalan baik, tetapi lain tahun dan tahun setelah itu kamu harus berhati-hati."

   "Bhante, mohon diberitahukan bagaimana akibat dari kecelakaan itu? Saya rasa saya cukup tabah untuk mendengarnya", tanyaku dengan perasaan ingin tahu.

   Untuk beberapa waktu lamanya Tan Achan diam seperti sedang bermediatasi dan aku merasa seolah-olah beliau tidak dapat mengambil keputusan. Akhirnya ia berkata: "Kamu ditakdirkan untuk mati secara mengerikan sekali tanpa ada orang yang tahu."

   Kata-kata ini membuat seluruh tubuhku terasa gemetar, karena tidak kuduga akan mendengar kata-kata yang begitu menyeramkan.

   Biasanya aku selalu tenang dan tidak takut pada bahaya atau kecelakaan yang mungkin menimpa diriku. Setelah mendengar ramalan itu aku
masih belum yakin bahwa apa yang diramalkan itu betul-betul akan terjadi. Meskipun aku tidak kaya raya, tetapi aku tidak kekurangan suatu apa, lagi pula aku masih didampingi oleh seorang istri yang sangat mencintai dan memujaku seolah-olah seorang dewa.

   Bagaimana aku dapat percaya, bahwa dalam waktu dekat aku akan menemui ajalku secara mengerikan dan tanpa ada yang tahu, padahal aku selalu didampingi istriku yang setia.

   Waktu istriku mendengar kata-kata Tan Achan, ia mendadak menjadi gelisah dan kelihatan sedih sekali.  Lalu ia bertanya: "Bhante, apakah ada jalan yang dapat merubah nasib suamiku menjadi baik? Saya mohon dengan sangat supaya diberitahukan."

   Tan Achan lalu menjelaskan, bahwa upacara untuk merubah nasib seseorang hanya dapat membantu agar orang merasa lebih baik, tetapi sebenarnya tidak dapat menolong apa-apa, sebab segala sesuatu harus berjalan sesuai dengan karma ( perbuatan ) kita masing-masing.

   Ada orang yang merasa heran mengapa ia tertimpa kemalangan, padahal menurut hematnya dalam penghidupan ini ia selalu berbuat baik. Hal ini desebabkan oleh perbuatan-perbuatannya yang buruk di penghidupan yang lampau yang sekarang berbuah di penghidupan ini. Mereka harus membayar untuk perbuatan-perbuatannya yang buruk dan setelah itu mereka baru dapat mengecap kebahagian dari perbuatan-perbuatannya yang baik.  Ada orang lain lagi yang terlebih dahulu menikmati akibat baik dari perbuatannya dipenghidupan-penghidupan yang lampau dan kemudian baru menderita sebagai akibat buruk dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.

Jalan penghidupan bukanlah semata-mata merupakan jalan di dalam taman dengan pemandangan-pemandangan yang indah permai saja. Sebelum tiba di tempat tujuan, seringkali kita harus melalui tempat yang tidak menyenangkan dan sewaktu-waktu mungkin bertemu dengan hutan belukar. Beliau melanjutkan, bahwa untuk merubah nasib sebenarnya tergantung dari diri kita sendiri. Kita harus berusaha untuk membebaskan diri dari perasaan benci, iri hati, loba dan pikiran yang selalu ingin mementingkan diri sendiri saja. Waktu menyatakan ini Tan Achan tertawa dan wajahnya kelihatan bersinar.

   Setelah itu ia berkata kepada istriku : " mengenai nasib nyonya, dalam waktu enam bulan nyonya akan kehilangan seorang dari lingkungan rumah tangga dan tidak lama lagi nyonya akan kehilangan barang-barang yang berharga."

   Aku mendengarkan semua ini dengan perasaan tidak menentu dan aku sama sekali tidak menduga, bahkan memimpi pun tidak, bahwa apa yang diucapkan Tan Achan kelak benar-benar terbukti.

   Kira-kira enam bulan setelah kami mengunjungi Tan Achan, supir kami yang sudah lama bekerja, tiba-tiba diserang penyakit. Pada mulanya ia hanya demam sedikit, tetapi ketika sudah hampir sembuh ia mendadak diserang penyakit paru-paru dan akhirnya tidak tertolong lagi. kami berdua merasa sedih sekali dengan meninggalnya supir kami yang jujur dan setia itu.

   Setelah ia diperabukan, aku teringat apa yang telah diramalkan oleh Tan Achan. Ramalan yang pertama sekarang telah terbukti. Meskipun untuk pertama kalinya aku memperoleh bukti nyata, namun aku masih berpikir bahwa itu hanya kebetulan belaka.

   Tidak lama setelah supir tua kami meninggal dunia, kami telah menerima bekerja seorang supir baru yang masih muda usianya, Cherd namanya.
   Setelah ia bekerja untuk beberapa bulan lamanya, istriku kehilangan barang-barang perhiasannya. Istriku telah lalai untuk menyimpan barang-barang perhiasannya di tempat yang aman, bahkan petinya pun turut hilang.

   Kami yakin, bahwa pencurinya mesti salah seorang yang bekerja di rumah kami. Semua pelayan-pelayan tua telah bekerja pada kami untuk waktu yang lama dan telah terbukti kejujurannya, kecuali Cherd, supir yang baru masuk itu.
Mengenai orang ini kami sebenarnya tidak mengetahui apa-apa dan ia melamar pekerjaan pada kami melalui istri dari supir kami yang telah meninggal dunia.

   Istriku sama sekali tidak kelihatan kesal atas kehilangan barang-barang perhiasannya dan aku menarik kesimpulan, bahwa ia tahu cepat atau lambat ia pasti akan kecurian atau kerampokan. Ia mengatakan, bahwa barang-barang perhiasan dan emas adalah benda-benda dunia yang dapat dicari gantinya. Lagipula ia telah diperingati oleh Tan Achan dan ini turut mempengaruhi ia tidak begitu memikirkan tentang kehilangan barang-barang perhiasannya.

Tetapi aku merasa ia sebenarnya lebih khawatir tentang apa yang akan terjadi atas diriku. Setelah dua peristiwa terjadi sesuai dengan apa yang telah diramalkan, istriku menjadi gelisah dan takut, bahwa ramalan mengenai diriku kelak pun benar-benar terbukti.

   Beberapa hari setelah dilakukan pemeriksaan terhadap pencurian perhiasan, supir baru kami tidak datang lagi dan kami juga tidak dapat menghubunginya, karena kami tidak tahu alamatnya.

   Sekarang aku harus menyetir sendiri dan istriku tentu saja merasa khawatir sehingga ia hanya memperbolehkan aku setir mobil kalau hal itu benar-benar perlu sekali. Dalam hati kecilnya ia selalu dirudung kecemasan akan terjadinya kecelakaan sebagaimana telah diramalkan oleh Tan Achan.

   Pada suatu hari ketika aku sedang mengendarai mobil di suatu jalan di Bangkok, dari jauh kulihat sebuah mobil hitam sedang berusaha menghindari tubrukan dengan sebuah becak, tetapi sangat menyedihkan sekali sebagai gantinya ia lalu menubruk seorang yang sedang berjalan kaki.

   orang itu sedang memikul barang dagangan berupa kue-kue dan gula-gula dan sebagai akibat tubrukan itu kue dan gula-gula tersebut jatuh berserakan di jalan sewaktu ia terjatuh. Supirnya tidak berhenti, sebaliknya ia malah menacap gas untuk secepat mungkin menyingkir dari tempat tersebut.

Pada saat itu memang masih belum begitu ramai dan waktu kecelakaan terjadi juga tidak ada mobil polisi, sehingga mobil bercat hitam tersebut dengan mudah dapat menghilang. Ketika aku tiba di tempat terjadinya kecelakaan, aku hentikan mobilku di tepi jalan dan keluar dari mobil untuk melihat bagaimana keadaan orang yang telah kena tubruk.

   Si pedagang pikulan, seorang wanita tua berumur lebih dari enam puluh tahun, dengan susah payah mencoba bangun. Melihat hal tersebut aku segera datang untuk membantunya. Syukur, bahwa orang tua tersebut tidak mendapat luka berat. Beberapa orang yang kebetulan lewat telah membantu mengumpulkan kue dan gula-gula yang telah berserakan. Aku sendiripun membantu untuk mengumpulkan uangnya. Kasihan sekali wanita tua itu, sebab orang yang sudah demikian lanjut usianya selayaknya berdiam di rumah atau menjaga cucunya dan bukan untuk berjualan keliling dengan memikul keranjang yang berat.

   "Nenek, apakah kau terluka?" aku bertanya, "apakah pakaian mu cabik?"
   "Untung tidak apa-apa, tuan", jawabnya. "Saya hanya sakit sedikit di sana-sini."
   "Di mana rumahmu, nek? Aku akan mengantar mu pulang ke rumah."

   Setelah ia memberitahukan alamat rumahnya, aku persilakan ia untuk naik ke mobil. Tetapi ia kelihatannya ragu-ragu, sehingga aku perlu menaruh dahulu keranjang dan pikulannya ke dalam mobil. Wanita tua itu merangkapkan kedua tangannya di depan dada dan dengan suara terharu ia berkata: "Oh, tuan sungguh baik sekali. Bukan tuan yang menubruk saya, tetapi justru tuanlah yang menolong saya, sedangkan orang yang menubruk saya pergi kabur. Tetapi saya tidak marah kepada orang itu, karena kita tidak mungkin dapat menghindari nasib."

   Aku terperanjat ketika mendengar bahwa nasib tidak dapat dirubah. Lalu ku ingat apa yang telah diramalkan oleh Tan Achan dan pada saat itu pula aku mengambil keputusan, bahwa sebelum aku meninggal dunia aku ingin melakukan perbuatan-perbuatan baik sebanyak mungkin yang akan membuat orang-orang yang sedang menderita menjadi bahaga.

   "Nenek, mengapa engkau sendiri yang harus pergi berdagang? Apakah engkau tidak mempunyai anak atau cucu?"
   "Sebenarnya saya mempunyai anak dan cucu",jawabnya. "Saya tinggal bersama-sama dengan menantu dan tiga orang cucu, tetapi pada waktu ini menantuku sedang sakit dan saya harus menggantikannya berdagang."

   Sebelum membawanya pulang ke rumah, aku terlebih dahulu singgah di sebuah klinik di mana aku meminta kepada dokter-jaga yang kebetulan kenalan baikku, untuk memeriksa luka dari nenek itu. Setelah luka-lukanya diberi obat aku lalu menuju ke alamat rumah si wanita tua tersebut.

   
NOW

Offline antidote

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 249
  • Reputasi: 25
  • Gender: Male
Re: PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)
« Reply #4 on: 08 April 2012, 10:59:42 AM »
Kuhentikan mobilku di muka sebuah lorong yang sempit dan membantunya keluar dari mobil.  Orang-orang kampung datang berkerumun dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Apakah mobilku barangkali yang menubruk wanita tua itu.  Sebelum aku sempat menjawab, nenek itu mendahuluiku: "Oh, bukan tuan ini yang menubrukku. Orang lain yang telah menubrukku, tetapi ia lantas melarikan kendaraannya. Sedangkan tuan ini begitu baik hati untuk menolongkku."

   Aku membuka pintu belakang mobil dan mengeluarkan barang dagangan si nenek yang segera disambut oleh orang banyak untuk kemudian di bawa ke rumah nenek tersebut, sedangkan yang lainnya lagi berjalan sambil menuntun si nenek.

   Ku ikuti mereka sampai di ujung lorong, dimana terlihat jembatan kecil yang terdiri dari dua helai papan melintasi sebuah selokan yang airnya hitam dan penuh sarang nyamuk.

   Di kanan kiri lorong dan sejauh mata memandang hanya kemesuman dan kekotoran saja yang terlihat.  Dalam hidupku belum pernah aku pergi ke tempat semacam itu dan tidak terasa timbul rasa kasihan dalam diriku kepada orang-orang miskin yang terpaksa harus tinggal di tempat yang seburuk itu.

   Sekarang kami tiba di pondok si nenek dan ia mempersilahkan aku masuk ke pondoknya.  Aku demikian tenggelam dalam lamunanku memikirkan penderitaan orang-orang ini yang terpaksa harus hidup dari hari ke hari, sehingga aku tidak mendengar beberapa orang anak memberi hormat kepada nenek mereka.

   Aku mauk ke dalam gubuk dan melihat sekelilingku. Tidak ada apa-apa yang dapat dikatakan berharga, sebab semuanya serba usang. Nenek itu menarik keluar sebuah peti bekas, membersihkan nya dengan sehelai lap yang mesum dan mempersilahkan aku untuk duduk.

   Tanpa ragu-ragu sedikit pun aku lantas duduk dan tidak ambil pusing apakah celanaku akan menjadi kotor atau tidak.  Waktu aku sedang melihat-lihat bagian dalam gubuk itu, terlihat tubuh seorang wanita muda yang sedang tidur di balik kelambu mesum di salah satu sudut dan tubuhnya ditutupi oleh selembar selimut yang sudah usang.  Dari mukanya dapat terlihat jelas, bahwa ia sedang menderita sakit.  Di dekatnya ada sebuah lumpang dan segelas air, di mana terlihat terapung-apung beberapa kuntum bunga yasmin.  Umurnya kutaksir kira-kira tiga puluh tahun, tetapi ini hanya perkiraanku belaka sebab kalau sedang sakit biasanya orang akan nampak lebih tua dari umur sebenarnya.  Di samping nya duduk dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.  Anak perempuan itu adalah yang paling kecil dan kukira baru berumur tiga tahun.  Rambut nya diikat menjadi kuncir dan bajunya terbuat dari bahan yang murah.  Anak laki-laki yang tua berumur kira-kira delapan tahun dan adiknya berumur lima tahun.  Kedua-duanya tidak berpakaian.  Nenek lalu memerintahkan anak laki-laki itu berpakaian.  Kemudian mereka bertiga diperintahkan untuk memberi hormat kepadaku.

   Wanita muda yang sakit pun berusaha untuk bangun, tetapi aku katakan kepadanya agar terus saja tidur.  Sebab dari wajahnya terlihat jelas, bahwa ia sedang diserang demam.

   "Tuan, wanita itu menantuku", kata si nenek. "Ia sudah tujuh hari sakit dan anak-anak itu adalah cucuku.  Saya tidak tahu bagaimana harus memberi mereka makan.  Karena itu saya berusaha untuk membeli gula-gula dan menjualnya kembali.  Dari keuntungan yang idak seberapa itu saya belikan beras dan sayur untuk kita makan bersama."

   Saya menanyakan apa pekerjaan anaknya.  Ia menjawab: "Dulu anak saya bekerja sebagai supir, tetapi sejak beberapa bulan ini tidak pernah pulang ke rumah.  Ada orang yang mengatakan, bahwa ia bekerja di daerah Bankapi, tetapi ada orang lain lagi mengatakan, bahwa ia sekarang sedang berada di penjara.  Bagi kami, apakah ia pulang atau tidak sama saja, sebab ia tidak pernah memberi kami uang."

   Kemudian aku bertanya apakah menantu itu sudah diperiksa oleh dokter. "Dari mana saya punya uang, tuan, untuk membawa ia kedokter.  Saya telah meramukan jamu agar panasnya turun.  Apa lagi yang dapat saya lakukan? Kami miskin sekali, sehingga sulit sekali untuk dapat membeli makanan untuk sekian banyak mulut."

Saya merasa kasihan sekali dan berhasrat benar untuk menolong keluarga tersebut.  Kepada nenek itu aku katakan: "Nenek, sekarang aku akan panggil dokter. Engkau tak usah khawatir tentang pembayarannya.  Aku akan tanggung semua biayanya.  Aku tidak ingin mendapat balas jasa apa-apa dari apa yang aku akan lakukan.  Hal ini aku lakukan semata-mata karena terdorong oleh perasaan prikemanusiaan."  Kemudian aku selipkan beberapa lembar uang kertas ke tangan si nenek sambil berkata :"Terimalah uang ini, nek dan pergilah beli beberapa helai pakaian untuk cucumu dan makanan yang dapat menyegarkan menantumu."

   Aku lalu berdiri dan ingin meninggalkan tempat itu secepat mungkin, karena aku tidak ingin mendengar ucapan terima kasihnya.  Tetapi nenek itu dengan air mata yang berlinang-linang menyusulku dan sambil menangis berlutut memeluk kakiku.  Dengan tersendat-sendat ia berkata: "Oh, tuan! Sang Buddha akhirnya menaruh belas kasihan kepada saya. Saya begitu bahagia, sehingga saya tidak tahu apa yang harus saya katakan.  Tuan telah memberikan saya uang demikian banyaknya, sehingga melebihi keuntungan berjualan gula-gula selama beberapa tahun lamanya.  Hari ini saya sebenarnya sudah putus asa, karena beras dan bahan bakar sudah habis sedangkan uang tidak ada.  Sewa pondok sudah lama tidak saya bayar.  Oh, hampir saja saya tidak percaya tentang apa yang telah terjadi.  Bagaikan impian yang indah saja."

   Sebenarnya uang yang kuberikan itu tidaklah begitu besar jumlahnya, tetapi bagi orang yang sangat miskin seperti nenek itu yang hampir tidak makan tentu saja jumlah itu merupakan jumlah yang sangat besar.

   Aku menjemput seorang kawan yang menjadi dokter untuk memeriksa menantu nenek yang sakit itu.  Setelah diperiksa kawanku mengatakan, bahwa si sakit menderita penyakit malaria dan memberikan suntikan serta obat untuk dimakan.  Kawanku agak heran, karena ia sama sekali tidak mengira bahwa aku akan membawanya ke gubuk seperti itu.  Baru setelah aku memberikan penjelasan ia mengerti dan juga turut bergembira.

   Hari itu aku pulang ke rumah dengan hati yang senang dan bahagia.  Setelah aku ceritakan peristiwa di atas kepada istriku, ia pun turut bergembira.

   Setelah kejadian di atas, pernah beberapa kali aku bertamu ke rumah si nenek dan sedapat mungkin aku berusaha untuk menolong keluarga yang malang itu.  Sekarang tampak banyak perubahan di rumah nenek itu.  Cucu-cucunya sekarang memakai pakaian yang agak bersih dan rumahnya juga kelihatan lebih bersih dan terurus.  Tentu saja hal tersebut membuat aku gembira dan bahagia, karena pertolonganku sedikit banyak telah membawa kebahagiaan pada keluarga miskin ini dan tentunya khusus bagi ketiga anak itu. 

   Sekarang si nenek dapat berdiam di rumah untuk mengasuh cucu-cucunya sedangkan menantunya berjualan gula-gula.

   Pada suatu hari setelah aku habis makan malam, seorang pelayan masuk dan memberi tahu, bahwa ada seorang tamu ingin berjumpa denganku.  Aku menjawab agar tamu itu dipersilahkan masuk.  Ketika tamu itu masuk aku lantas mengenalnya, yaitu kawanku sewaktu masih sama-sama bersekolah.

Dari kawan-kawan lain telah kudengar, bahwa ia sekarang tinggal di Utara dan memiliki sebuah perusahaan besar.  Kedatangannya membuat aku gembira sekali.

   Setelah kami melepaskan perasaan rindu masing-masing, aku lalu memandang wajahnya dengan lebih teliti.  Pada wajah kawanku jelas dapat terlihat tanda-tanda penderitaan yang hebat dan kedua matanya guram, sehingga mudah dapat diketahui bahwa ia sedang sakit atau sedang ditimpa kemalangan. Ia kelihatannya gelisah sekali, seolah-olah ia berada dalam bahaya besar.  Aku ajak ia ke kamar kerja, dimana kami dapat berbincang-bincang tanpa dapat didengar oleh orang lain.

   Setelah kami berada berdua aku lantas tanya kepadanya: "Aku rasa engkau sedang memikirkan sesuatu.  Harap engkau beritahukan saja kepadaku kalau sekiranya ada sesuatu yang dapat aku bantu".

   Ketika mendengar tawaran ini matanya agak lebih bercahaya dan tanpa ragu-ragu lagi ia berkata: "Dugaan engkau memang tepat sekali.  Aku sekarang sedang dalam kesuliatan besar.  Kira-kira dua ratus orang pekerja dan pegawaiku sedang menantikan pertolongan.  Andaikata aku gagal maka mereka akan kehilangan pekerjaan sedangkan keluarganya keluarganya mungkin akan kelaparan.  Semua uangku sudah habis dan aku sekarang tidak mengeksport barang-barang lagi.  Telah sepuluh hari lamanya aku berada di Bangkok, namun sampai sekarang aku masih belum berhasil untuk mendapatkan pinjaman uang untuk melajutkan usahaku.  Aku telah menemui beberapa orang teman karibku yang di waktu yang lalu pernah aku tolong dan sekarang keadaan mereka telah baik.  Aku minta pertolongan mereka, namun dengan mengajukan berbagai alasan mereka semua menolak untuk menolongku.  Sekarang engkau adalah orang terakhir yang akan aku hubungi.  Biarpun kita sudah lama tidak pernah berhubungan semenjak kita keluar sekolah, tetapi aku memberanikan diri datang kemari untuk mohon pertolongan mu.
Bukan hanya untuk diriku saja, tetapi terlebih-lebih untuk dua ratus keluarga yang mungkin akan kelaparan"

   Setelah mendengar ceritanya aku lalu mengatakan, bahwa aku mengerti keadaannya dan merasa bersimpati sekali.  Selanjutnya kukatakan, bahwa tentu saja aku ingin menolongnya kalau saja hal ini tidak berada di luar kemampuanku.  Kawanku kemudian memberikan angka pasti yang akan cukup untuk dapat keluar dari kesulitan.  Angka ini merupakan jumlah yang besar, yang dalam keadaan biasa tidak mungkin akan kuberikan.  Tetapi sekarang aku telah bertekat untuk sebanyak mungkin melakukan perbuatan baik sebelum aku meninggalkan dunia yang fana ini.  Lagipula aku telah mendengar dari kawan-kawan yang lain, bahwa kawanku ini termasuk orang yang jujur dan baik hati, sehingga dengan tidak ragu-ragu lagi aku mengambil keputusan untuk memberikan pinjaman yang diminta.
Aku selalu percaya kepada pepatah kuno yang berbunyi: "Uang tidak dapat di bawa mati."  Oleh karena itu alangkah baiknya apabila uang itu dapat aku gunakan untuk tujuan-tujuan baik sewaktu aku masih hidup.

   Wajah kawanku bersinar kegirangan ketika mendengar, bahwa aku bersedia memberikan pinjaman sejumlah yang diperlukan.  "Oh, engkau telah menolong jiwaku", katanya dengan suara tersendat-sendat karena perasaan haru.  "Besok pagi aku akan datang kembali dengan membawa pengacaraku, untuk kemudian kita dapat menandatangai akte pinjaman."

   Kepadanya kukatakan, bahwa hal itu sama sekali tidak perlu.  Aku lalu menarik laci meja-tulis, mengeluarkan buku cheque dan menulis cheque untuk jumlah yang diperlukan.  Ia kelihatan terperanjat sekali, seakan-akan melihat iblis di siang tengah hari ketika aku mengulurkan cheque yang telah aku tanda tangani.  ia menerimanya dan memandagi cheque tersebut seperti orang yang lupa ingatan dan kemudian berlutut di depanku sambil memeluk kakiku.  Ia menangis tersedu-sedu dan air matanya berderai di kakiku.  Akupun turut menangis ketika mengangkatnya bangun.

   "Sekarang banyak jiwa akan tertolong", katanya setelah agak tenang.  "Ketika aku berkunjung kemari, sebenarnya aku tidak menyangka akan mendapat perlakuan yang demikian baiknya, sebab semua kawan-kawanku yang lain yang keadaannya sekarang sudah baik, telah menolak untuk menolongku.  Untuk itu aku merasa sangat kecewa.  Aku dapat diumpamakan sebagai orang yang hampir tenggelam dan akan menjangkau apa saja yang dapat aku pegang.  Kini suatu mukjizat telah terjadi.  Engkau telah menolong jiwaku dan juga telah memberikan harapan untuk melanjutkan perjuanganku.  Sebenarnya aku mengira bahwa hari ini merupakan hari penghabisan bagiku."

   "Mengapa kaukatakan demikian?" tanyaku dengan heran.

   "Engkau adalah harapanku yang terakhir", jawabnya.  "Kalau sekiranya aku gagal di sini, maka aku akan kembali ke hotel dan akan membunuh diri." Untuk membuktikan kata-katanya, ia mengeluarkan sepucuk pistol Colt 6,35 mm dari dalam tasnya bersama tiga pucuk surat.  Surat pertama ditujukan kepada polisi setempat, surat kedua kepada ibunya dan surat ketiga kepada istrinya.  Dalam suratnya kepada polisi ia menulis, bahwa ia telah melakukan bunuh diri.  Dalam surat nya yang ditujukan kepada ibu dan istrinya ia menyampaikan salam perpisahan dan beberapa pesan yang singkat.

   Bulu badanku berdiri waktu aku membaca surat-surat tersebut.  Aku gembira sekali, bahwa aku telah memutuskan untuk menolongnya.

   Setelah kawanku pergi, aku ceritakan peristiwa ini kepada istriku.  iapun turut gembira atas kejadian tersebut.  Waktu mendengar bagaimana kawanku menyatakan terima kasihnya ia pun turut menangis.

   Tak lama setelah kejadian di atas, Thailand ikut terlibat dalam kanca peperangan.  Harga barang-barang melonjak tinggi dan demikian pula dengan harga obat-obatan, terutama obat-obatan yang mahal harganya, sehingga banyak orang yang meninggal karena penyakit radang paru-paru.

   Apa yang telah diramalkan oleh Tan Achan tidak pernah kulupakan dan aku tahu, bahwa ajalku sudah dekat.  meskipun demikian aku tenang-tenang saja.  Aku tidak memperoleh anak dari istriku, walaupun kami telah menikah lebih dari sepuluh tahun lamanya.  Pernah istriku mengusulkan agar aku mengambil saja seorang istri kedua, tetapi usul tersebut dengan tegas kutolak.  Aku sangat menghargai usulnya, tetapi aku lebih senang untuk membiarkan saja keadaan ini seperti yang dikehendaki oleh nasib.

   Namun demikian aku belum dapat melihat tanda-tanda adanya kemungkinan, bahwa aku akan meninggal secara mengerikan dan tanpa ada oang yang tahu, karena aku bukanlah orang yang tidak beruang dan banyak juga dikenal orang.

   Selain itu Tan Achan juga mengatakan, bahwa upacara-upacara untuk merubah nasib seseorang hanyalah untuk membantu supaya perasaannya lebih enak, tetapi sebenarnya tidak dapat menolong apa-apa.  Tan Achan juga mengatakan, tidak seorang pun selain diri kita sendiri yang dapat menyingkirkan ketamakan kita dan keinginan yang tidak ada habis-habisnya.  aku setuju sekali dengan hal di atas, karena aku sendiri telah mendapat kepuasan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata dengan cara menolong orang yang sedang ditimpa kemalangan.
Sejak aku diramalkan nasibku, aku senantiasa berusaha untuk selaku melakukan perbuatan baik.  Meskipun aku tahu, bahwa perbuatan-perbuatan baikku mungkin baru akan berakibat dalam waktu yang lama sekali, tetapi aku tahu pula, bahwa perbuatan  jahat akan berakibat lebih cepat.  Sebenarnya aku tidak mengharapkan jasa apa-apa dari perbuatan baikku.

   Pada suatu malam ketika perang di Timur jauh berlangsung kurang lebih satu tahun lamanya, pesawat sekutu untuk pertama kalinya menjatuhkan bom di Bangkok.  Beberapa bom jauh di Jalan Yawaradj dan di gedung kedutaan jerman, sehingga menimbulkan rasa cemas di kalangan penduduk Kota Bangkok yang belum berpengalaman dalam hal serangan-serangan udara.  Di antara mereka ada yang mengungsi ke desa-desa, ada yang pindah ke pinggir kota untuk sedapat mungkin berada jauh dari pusat kota dan tempat-tempat yang penting.

   Aku menjadi khawatir mengenai diri nenek Yai Chome, menantu dan cucu-cucunya. Aku bermaksud untuk mengungsikan mereka ke tempat yang lebih aman kalau mereka menyetujuinya.  Memang aku tahu beberapa tempat yang baik.  Untuk keperluan ini aku pergi menemuinya dan membicarakan hal tersebut.

   "Tetapi tuan sendiri mau kemana?" tanya si nenek dengan penuh perasaan ingin tahu.

   Aku katakan kepadanya, bahwa aku tidak akan mengungsi, karena kami tidak mempunyai anak yang harus dipikirkan.  Lalu nenek yai Chome menjawab, bahwa ia juga tidak ingin mengungsi kemana-mana.  Aku mencoba membujuknya demi kepentingan cucu-cucunya.  Aku juga mengatakan, bahwa mengenai tempat tinggal ia tak usa pikirkan, karena dengan mudah aku dapat mencarikannya.

   "Tuan sudah pernah menolong jiwa kami sekeluarga.  Kalau tuan tidak mengungsi, apakah kami harus takut untuk tetap tinggal di sini.  Tidak tuan, kami tidak takut akan bahaya.  Kalau tuan tidak pergi, kamipun akan berdiam terus di rumah ini", kata nenek itu.

   Pada keesokan harinya, tepat pada hari Waisak, terjadilah peristiwa yang paling mengesankan dalam hidupku.  Hari itu aku berada di daerah Pahurat untuk keperluan dagang.  Tiba-tiba terdengar sirene tanda serangan udara.  Ini berarti, bahwa pesawat-pesawat sekutu sedang mendekati kota Bangkok dan akan membomnya pada waktu siang hari.  Tidak lama lagi terdengarlah raungan pesawat-pesawat terbang di atas kota dan mulai menjatuhkan bom mereka.  Tempat-tempat perlindungan seketika diserbu dan menjadi penuh sesak, karena pada waktu itu bioskop baru saja selesai dengan pertunjukan pagi dan orang-orang yang menonton berlari-lari kesana-sini untuk mencari perlindungan.
NOW

Offline antidote

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 249
  • Reputasi: 25
  • Gender: Male
Re: PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)
« Reply #5 on: 08 April 2012, 11:00:16 AM »
Terdengar bom jatuh di dekat aku berada.  Hal ini menyebabkan orang-orang menjadi lebih panik.  Cepat-cepat aku lewati gedung bioskop dengan maksud untuk mencari tempat yang aman di vihara.  Di depanku aku melihat seorang gadis kecil di tengah jalan sedang menangis-nangis mencari ibunya.  Tetapi tidak seorangpun yang menaruh perhatian kepadanya, karena pada waktu itu keadaan benar-benar sedang kacau-balau.  Semua orang hanya berpikir untuk menyelamatkan dirinya sendiri saja.  Timbullah rasa kasihan dalam hatiku melihat gadis kecil tersebut yang kukira berumur tiga tahun.  Aku berlari ke arahnya untuk membawanya ke salah sebuah lubang perlindungan.  Pada waktu itu aku mendengar bom-bom meletus makin dekat dan makin dekat. 

Waktu aku hampir tiba di tempat ia berdiri, tiba-tiba anak itu terjatuh.  Aku segera membungkuk untuk mengangkatnya bangun.  Pada saat itulah sebuah bom meledak di dekat tempat kami berada.  Pecahannya telah memapas bagian atas topi yang sedang kupakai, sehingga rambutku dapat terlihat dan kepalaku terasa dingin.  Karena tekanan udara yang disebabkan oleh ledakan bom tersebut hampir-hampir saja aku jatuh menimpa si anak gadis.

Saat itu aku benar-benar berada di antara hidup dan mati.  Kalau sekiranya pada waktu itu gadis kecil tersebut tidak terjatuh dan aku tidak membungkuk untuk mengangkatnya, maka pasti tamatlah riwayatku.  Tentu cerita ini tidak akan sampai kepada saudara-saudara.

   Aku peluk anak itu dan lari ke salah satu tempat perlindungan.  Ketika aku melihat sekelilingku, aku melihat banyak orang yang terluka dan berdarah, sedangkan banyak anggota badan manusia yang berserakan disana-sini.  Alangkah beruntungnya, bahwa aku beserta gadis itu masih hidup.  Ketika aku melihat wajah gadis itu aku agak cemas, sebab ia tidak menangis lagi dan matanya memandang ke depan dengan tidak berkedip.  Semula kukira, bahwa ia telah mati karena kaget.  Untung saja perkiraanku keliru, sebab sebenarnya ia sedang memandangi wajahku yang asing sekali baginya.  Dengan memeluk gadis itu aku menuju ke Wat Sutat dan ledakan-ledakan bom lambat laut berhenti.

Aku memasuki vihara yang ternyata sudah penuh dengan orang-orang yang mencari perlindungan.  Di antara mereka aku melihat seorang wanita yang berumur kira-kira tiga puluh tahun, sedang menangis.  Di dekatnya berada tiga orang anak gadis dan seorang anak laki-laki.  Mereka sedang sibuk membicarakan seorang anak yang hilang, karena mereka menduga, bahwa anak tersebut dibawa oleh orang yang lain ketika mereka berpisah mencari tempat untuk berlindung.

   Setelah mereka sekarang berkumpul kembali dan tidak melihat anak itu, mereka saling salah-menyalahkan satu sama lain.  Ketika wanita muda itu melihat aku, ia lari mendekati lalu menarik anak tadi dari pelukanku.  Anak itu lalu dipeluk erat-erat dan diciumi sambil menangis tersedu-sedu karena bahagia.

   "Oh, anakku sayang, engkau seperti juga dilahirkan kembali."  Dan ketika mereka sedang tertawa-tawa karena kegirangan, aku mencari jalan untuk keluar vihara melalui pintu samping.  Sebab aku menduga mereka pasti akan mencari aku untuk menghaturkan terima kasih.  Aku sudah merasa puas melihat keluarga anak itu bergembira karena gadis kecil itu telah selamat.

   Sampai hari ini pun aku belum dapat memastikan, apakah benar aku yang menolong naka itu ataukah bukan sebaliknya, anak itulah yang telah menolong jiwaku.  Kalau sekiranya pada waktu itu aku terkena pecahan bom dan meninggal, siapakah yang akan dapat mengetahui dan mengenalnya kembali?  Karena beberapa mayat yang bergelimpangan di sekitar tempat itu tidak lagi dapat dikenal. 

Kalau demikian halnya, siapakah yang akan memberitahukan kepada istriku?  Mungkin potongan-potongan badan manusia itu dikumpulkan menjadi satu, lalu ditanam sebagai orang-orang yang tidak dikenal.  Ketika membayangkan hal ini, tubuhku gemetar dan aku teringat kepada apa yang telah diramalkan oleh Tan Achan, yaitu aku akan meninggal dengan cara yang mengerikan dan tidak ada orang yang mengetahuinya.  Tidak pernah kuduga, bahwa sebenarnya aku harus mati dengan cara yang demikian hebat. 

Tetapi untunglah peristiwa itu sekarang sudah berlalu.  Aku hanya berdoa agar jangan mengalami peristiwa semacam itu lagi di kemudian hari.  Ketika aku mengangkat gadis kecil itu dari tengah jalan, aku tidak memikirkan bahaya.  Pada saat itu pikiranku hanyalah untuk menolong anak itu, padahal orang lain berlari-lari mencari tempat yang selamat.  Waktu itu tidak ada seorang pun yang memperhatikan gadis itu.  Aku telah terlepas dari maut karena telah mempertaruhkan nyawaku untuk menolong orang lain.  Aku sangat gembira, bahwa perbuatan baik yang kulakukan dapat berbuah dengan demikian cepatnya.

   Setelah hari yang tak dapat kulupakan itu serangan udara makin lama makin hebat.  pada suatu pagi seorang bhikkhu datang mengunjungi rumahku dengan jubah kuningnya yang kelihatan anggun sekali.  Beliau memberitahukan, bahwa beliau datang dari Utara.  Selagi lewat di tempat ini beliau singgah untuk menjengukku, karena beliau telah mendengar tentang diriku dari kawanku yang tinggal di Utara.

Kawan itu ternyata yang pernah kutolong beberapa waktu yang lalu ketika ia sedang dalam kesuliatan keuangan.
Aku mengundang bhikkhu itu untuk bermalam di rumahku dan meyediakan makanan untuk sarapan pagi dan tengah hari.  Istriku membersihkan kamar tidur di ruangan atas untuk dipakai beliau, sedangkan kami sendiri pindah tidur di kamar bawah. 

Pada malam harinya kami mengobrol ke barat dan ke timur sampai pada suatu ketika istriku mohon agar beliau mau melihat nasib kami.  Istriku ingin mengetahui, apakah aku sekarang sudah terbebas dari bahaya atau belum dan apakah yang akan terjadi pada waktu yang akan datang.

   "Sebenarnya aku tidak suka meramalkan nasib", jawab beliau.
   "Aku harus mengatakan hal-hal yang benar, sebab seorang bhikkhu tidak boleh berdusta.  Kamu telah memohon agar aku mau melihat nasib dari suamimu dan sekarang aku terima permohonanmu itu.  Kamu harus selalu ingat, bahwa kita, mau atau tidak mau, harus memetik buah dari perbuatan-perbuatan kita dari penghidupan ini dan juga dari penghidupan-penghidupan yang lampau."  Kemudian beliau menutup matanya dan bermeditasi.

Aku dan istriku saling pandang-memandang dan kira-kira setengah jam kemudian bhikkhu itu membuka matanya.  Sambil tersenyum ia berkata: "Wah, sebenarnya suamimu sudah harus mati pada hari Waicak  yang lalu.  Tetapi untunglah hari naas itu telah lalu.  Sungguh suatu keajaiban.  Lalu kupusatkan pikiranku untuk mengetahui apa yang telah meyelamatkan jiwa suamimu, dan jawabannya ialah perbuatan-perbuatan yang mulia yang menjadi penolongnya.  Mulai dari sekarang kamu berdua akan menghadapi masa yang bahagia."

   Sesudah itu kami masih bercakap-cakap untuk beberapa waktu lamanya dan kemudian mempersilahkan beliau utnuk beristirahat di ruang kamar atas.  Ketika hendak menaiki tangga, beliau berpesan: "Malam nati, apaun juga yang akan terjadi yang membuatmu cemas, kuharap jangan menggangu aku.  Dan sekarang selamat malam."

   Malam itu wajah istriku kelihatannya cerah dan gembira sekali; hal mana yang tidak pernah kulihat sejak beberapa tahun yang lalu.
   Kesunyian malam itu diganggu dengan suara sirene.  Aku dan istriku terbangun dan ia minta aku membangunkan bhikkhu yang tidur di kamar atas.  Ketika itu aku teringat pesannya untuk jangan diganggu, meskipun apa juga yang terjadi.

   Pesawat-pesawat Sekutu telah beterbangan di atas kota Bangkok dan mulai menjatuhkan bom, sehingga seluruh kota menjadi tergetaar akibat ledakannya.  Aku memerintahkan agar semua orang masuk ke lubang perlindungan yang di gali di halaman muka rumah kami.  Kami mendengar pesawat melayang-layang di atas kepala kami dan terdengarlah ledakan yang satu disusul dengan ledakan yang lain.  Lubang perlindungan kami tergetar seperti sebuah perahu yang sedang dilanda gelombang besar.  Kami harus berdiam di lubang perlindungan itu hingga pagi hari.  Ketika aku keluar, ku kira rumahku telah menjadi tumpukann puing, tetapi alangkah gembira ketika aku lihat, bahwa segala sesuatunya masih seperti sediakala.

   Kami berdua mengantuk sekali, sehingga langsung saja masuk ke kamar tidur tanpa mengambil perhatian kepada orang-orang yang masih sibuk membicarakan serangan udara pada kemarin malam.  Pagi itu aku bangun agak siang dan teringat, bahwa kami mempunyai tamu yang belum disediakan makan pagi.

   Ketika aku keluar dari kamar, aku mendengar dari istriku, bahwa bhikkhu tersebut sudah meninggalkan rumah kami, sewaktu aku masih tidur nyenyak.  Tukang masak kami masih berjumpa dengan beliau pada pagi hari.  Sebelum pergi beliau berpesan supaya jangan membangunkan kami.  Selanjutnya beliau mengaakan, bahwa mulai sekarang kau akan hidup bahagia.

   Ketika istriku keluar dari kamar tidur, waktu itu beliau sedang keluar pintu pekarangan, sehingga istriku hanya dapat melihat jubah kuningnya saja.  Istriku berlari-lari ke pintu pekarangan untuk mengundang beliau makan pagi,  Tetapi ketika ia sampai di muka pintu pekarangan, bhikkhu itu sudah tidak kelihatan lagi.  Beliau juga tidak diketemukan sewaktu dicari-cari.

   Pagi itu aku menemukan dua buah bom yang tidak meledak, terbenam dalam tanah di kiri-kanannya tangga belakang.  Untungnya, bahwa bom itu tidak mengenai semen, sebab kalau demikian halnya, pastilah ia akan meledak dan seluruh rumah tentu akan musnah.

   Aku mengirim orang untuk memberitahukan petugas yang berwenang.  Tidak lama kemudian regu penjinak bom datang untuk menyingkirkan kedua bom tersebut.

   Setelah ituu tidak terjadi lagi hal-hal yang penting sampai tentara Jepang meyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu.

   Beberapa hari kemudian aku pergi mengunjungi Yai Chome, si nenek.  Ketika aku masuk ke rumahnya, aku terkejut melihat Cherd yang pernah bekerja di rumahku sebagai supir untuk beberapa bulan lamanya.  kemudian ia telah menghilan secara mendadak dan diduga sebagai orang yang mencuri perhiasan istriku.

   "Oh, apa kabar, Cherd?" tanyaku ketika hendak duduk.  Tiba-tiba ia berlutut di depanku dan aku tambah heran ketika Yai Chome berkata kepadaku: "Tuan, inilah Cherd, anakku.  Ia telah dipenjarakan untuk beberapa waktu lamanya dan aku telah memberitahukan kepadanya, bahwa tuanlah bintang penolong kami.  Tanpa pertolongan tuan, kami tak mungkin dapat hidup seperti sekarang ini.  mulai dari sekarang anak saya berjanji, bahwa ia telah tobat dan akan mulai dengan hidup yang baru",

   "Selamat, selamat Cherd.  Kamu tahu, bahwa kita semua harus menderita dan membayar untuk perbuatan-perbuatan kita yang tidak baik.  Aku gembira, bahwa engkau telah bertobat dan mulai hari ini akan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan berguna," kataku menghibur.  Ia menangis tersedu-sedu, sebab ia tidak pernah bermimpi, bahwa akulah yang menjadi penolong ibu dan keluarganya.

   "Besok aku ingin datang mengunjungi tuan dan nyonya di rumah", katanya, "sebab aik ingin membuat satu pengakuan".
   "Ah, tidak usalah kamu datang," kataku, " aku yakin istriku akan turut gembira mendapat kabar tentang dirimu."

   Setelah bercakap-cakap untuk beberapa saat lamanya, akupun lalu pulang.  keesokan harinya ketika kami sedang makan, seorang pelayan memberitahukan, bahwa Cherd telah datang dan ingin bertemu dengan kami.  Aku menyuruh Cherd masuk.  Waktu masuk ia membawa sebuah bungkusan yang kelihatannya berat.  Kemudian ia berlutut di hadapanku dan di hadapan istriku.

   "Tuan," katanya, "Ibu telah memberitahukan kepadaku, bahwa tuan telah menunjang keluarga kami dan ia pun tiap malam berdoa di hadapan patung Sang Buddha untuk memohon agar tuan diberkahi banyak untung, umur panjang dan dijauhi dari mara-bahaya.  Tuan telah membuat aku malu untuk semua perbuatan-perbuatanku di masa yang lalu.  Aku sekarang telah sadar, bahwa aku telah mengambil jalan yang salah.  Sayalah sebenarnya orang yang mencuri perhiasan-perhiasan nyonya dan sekarang aku datang untuk mengembalikannya lagi.  Pegi yang aku curi aku tanam di taman, karena takut ketahuan. 

Aku kira tuan pasti akan memanggil polisi dan menangkapku.  Pada waktu itu datanglah kawan-kawanku yang membujuk aku untuk turut melakukan perampokan.  Aku ikut mereka pergi ke salah sebuah rumah, tetapi pemiliknya rupa-rupanya telah mengetahuinya terlebih dahulu sehingga kami dijebak oleh polisi dan akhirnya tertangkap.  Saya di bawa ke depan pengadilan dan dihukum penjara.  Karena saya membuat pengakuan lengkap sebelum di bawa ke depan pengadilan, maka saya mendapat keringanan hukuman.

   Waktu keluar dari penjara, saya langsung pulang ke rumah dan mengira, bahwa keluarga saya berada dalam keadan morat-marit.  Tetapi apa yang kulihat justru sebaliknya.  Ibu, istri dan anak-anakku semua berada dalam keadaan yang baik dan ini semua berkat kebaikan hati tuan.  Karena itu saya akan selalu ingat budi kebaikan tuan.  Sayamenggali kembali peti yang telah saya tanam dan dengan ini saya mengembalikannya kepada tuan dan nyonya.  Mohon ampun atas perbuatan saya yang terkutuk ini."

   Kemudian Cherd membuka bungkusan itu dan kami mengenali peti perhiasan kami yang masih penuh lumpur.  Istriku membukanya dengan kunci yang masih disimpannya dan setelah diperiksa tidak ada sebuah barangpun yang hilang.  Kemudian ia mengambil sebuah kalung dan dihadiahkan kepada Cherd untuk istrinya.  Cherd terperanjat sekali untuk kebaikan istriku dan kembali ia berlutut untuk menyatakan terima kasihnya.  Dan apa yang terjadi ini meyakinkan aku, bahwa Cherd sekarang telah berubah. 

Tetapi aku tahu pula, bahwa seseorang dapat berubah pikiran apabila keadaannya sangat memaksa.  Oleh karea itu aku mencarikan pekerjaan untuk Cherd, sehingga ia dapat memperoleh penghasilan yang cukup untuk memelihara keluarganya.

   Tidak lama kemudian aku menerima sehelai surat dari kawanku yang dulu hampir saja bunuh diri andaikata pada waktu itu aku tidak menolongnya.  Ia memberi kabar, bahwa perusahaannya sekarang telah maju kembali dan ia telah memperoleh keuntungan yang besar.  Ia bermaksud untuk membawa serta keluarganya ke Bangkok untuk bertemu dengan aku. 

Suratnya aku balas dengan menulis, bahwa ia tak usa repot-repot untuk membawa serta istri dan anak-anaknya, hanya semata-mata untuk mengucapkan terima kasih kepadaku tentan apa yang pernah kulakukan.  Juga aku minta agar ia tak usa melakukan perjalanan itu kalau tidak diperlukan sekali, karena aku belum membutuhkan uang tersebut.

   Sepuluh hari kemudian kawanku tiba di Bangkok bersama-sama dengan istri dan anak-anaknya.  Mereka membawa hio(dupa), lilin, mangkuk dan daun akasia.  Aku kira, bahwa salah seorang dari anaknya ingin ditahbiskan menjadi bhikkhu, tetapi sebenarnya mereka datang untuk "dum-hua".

   Pada mulanya aku tidak tahu arti dari "dum-hua" ini, karena kata-kata ini jarang sekali digunakan di Bangkok.  Kemudian baru aku tahu, bahwa artinya ialah menyiramkan air suci pada telapak tangan orang tua yang dihormati.

   Setelah upacara selesai, aku memberkahi mereka.  Kemudian kawanku memberikan aku sehelai cheque dengan jumlah yang melebihi jumlah yang telah dipinjamkannya dulu.  Aku menolaknya.  Ia memohon agar aku mau menerimanya, karena menurut pendapatnya nilai uang pada waktu itu lebih tinggi dari pada waktu sekarang.  lagipula, karena pertolonganku jiwanya dan juga perusahaannya telah tertolong.

   Aku menjelaskan kembali kepadanya, bahwa aku menolongnya tanpa ada pengharapan balas jasa apapun.  Lagi pula aku tidak mempunyai anak dan aku tidak dapat membawa uang kalau sekiranya kelak aku meninggal dunia.

   Aku mempertahankan pendapatku, bahwa aku tidak mau mengambil uang yang lebih itu dan hanya mau menerima uang sebanyak yang dulu kupinjamkan.

   Ia menulis cheque yang baru dan memujiku di hadapan istri dan anak-anaknya disertai pesan untuk selalu ingat dan berterima kasih kepadaku selama mereka masih hidup.

   Aku merasa bahagia sekali dapat menolong sesama manusia dan kebahagiaan ini tidak dapat dibeli dengan uang, meskipun bagaimana besar sekalipun.

   Tidak pernah kulupa, bahwa pada hakekatnya segala sesuatu dalam hidup ini tergantung pada diri kita sendiri, bagaimana tertulis dalam kitab suci Samyutta Nikaya:
   "Sesuai dengan benih yang telah ditabur
    Begitulah yang akan dipetiknya
    Pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan
    Pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula
    Taburlah olehmu biji-biji benih dan
    Engkau pulalah yang akan merasakan buah dari pada nya."

Sekarang aku dapat menghadapai maut dengan wajah tersenyum.
NOW

Offline Sunce™

  • Sebelumnya: Nanda
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.350
  • Reputasi: 66
  • Gender: Male
  • Nibbana adalah yang Tertinggi
Re: PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)
« Reply #6 on: 08 April 2012, 02:12:22 PM »
Nice Post..
thanks..

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)
« Reply #7 on: 08 April 2012, 03:34:05 PM »
anumodana..  :)
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

 

anything