Sebagai seorang Buddha, beliau tentu tidak memiliki kemarahan lagi. Segala perbuatan yang beliau lakukan berdasarkan kasih sayang beliau demi kebahagiaan dan kesejahteraan para dewa dan manusia (bahujanahitāya bahujanasukhāya lokānukampāya atthāya hitāya sukhāya devamanussānaṃ). Namun, meskipun Sang Buddha penuh dengan cinta kasih, beliau bukan manusia lemah atau tidak memiliki gut / nyali. Sebagai seorang guru, terkadang beliau juga menggunakan cara yang keras untuk mendidik murid2nya. Dalam Kesisutta dari Aṅguttaranikāya, ada empat cara yang digunakan Sang Buddha untuk mendisiplinkan para bhikkhu murid beliau, yakni:
1. saṅhena vineti (mendisiplinkan dengan cara lembut). Dikatakn terutama pada saat beliau menunjukkan akibat2 perbuatan baik.
2. pharusena vineti (mendisiplinkan dengan cara keras). Terutama pada saat beliau menunjukkn hasil perbuatan2 yang jahat.
3. saṅhapharusena (mendisiplinkan dengan cara lembut dan kasar).
4. Jika dengan tiga cara di atas seorang bhikkhu tidak terdisiplinkan, beliau akan mengusirnya dari saṅgha. Kitab komentar menjelaskan bahwa seorang bhikkhu diusir karena telah melakukan parajika (pelanggaran yang menyebabkan ia harus lepas jubah).
Sementara itu, dalam Abhayarajakumārasutta dari Majjhimanikāya, Sang Buddha sendiri mengakui bahwa terkadang menggunakan kata2 yang tidak menyenangkan. Namun ini semua dilakukan demi kebaikan orang tersebut. Beliau memberikan sebuah perumpamaan. Jika seandainya ada seorang bayi memakan kerikil atau potongn ranting kecil dan tersangkut ditenggorokan untuk menyelamatkan bayi tersebut orangtua hendaknya berusaha mengambil benda tersebut meskipun darah harus keluar dari tenggorokannya.
Setelah anda mendeskripsikan Sang BUddha sebagai manusia lembut, kemudian anda mencoba menyamakannya dengan presiden atau polisi yang lembut. Saya pikir kita harus membedakan dua hal ini. Sang BUddha yang bergelut dalam kehidupan spiritual tidak bisa disamakan dengan mereka yang bergelut dalam bidang politik negara. Satu contoh, meskipun dalam Saṅgha yang didirikan Sang Buddha memiliki peraturan2 dan hukuman2 yang harus diberikan kepada anggota Saṅgha yang melanggar peraturan2 yang ditentukan, dalam Sangha ini, tidak ditemukan adanya pysical punishment (hukuman fisik). Sementara itu, dalam peraturan negara, hukuman fisik merupakn hal yang biasa.
Be happy.