Dalam agama, "hanya pandanganku yang paling benar, yang bertentangan dengan pandanganku adalah salah."
"Benar" dan "salah" lahir dalam setiap agama untuk menciptakan konsistensi dalam pandangannya.
Misalnya:
Suatu agama menyakini "A itu ada." Oleh karena itu setiap pandangan yang mengatakan "A itu tidak ada" otomatis menjadi salah menurut keyakinan agama tersebut.
Walaupun nanti ada sebuah agama sama-sama meyakini "A itu ada", jika terjadi ketidaksepahaman dalam keyakinan akan hal lain akan mengakibatkan perselisihan yang baru. Misalnya: walaupun dua agama sama-sama meyakini "A itu ada", namun jika agama pertama menyakini bahwa "C adalah wakil A", sedangkan agama kedua menyakini "B adalah wakil A", maka keduanya akan saling menuduh yang lain adalah sesat.
Demikian seterusnya, hal yang sama terjadi ketika ada dua keyakinan yang saling bertentangan.
Permasalahannya tidak terletak pada cara pandang tentang arti kesesatan, tetapi lebih tetapnya pada klaim kebenaran yang dimiliki oleh setiap kebenaran. Ketika sebuah agama lahir, ia selalu mengumumkan kebenaran menurut versinya dan meragukan pandangan kelompok lain yang tidak sesuai dengan kebenaran menurutnya. Dari situ lah cap sesat pada paham lain muncul.
Jadi kebenaran pun harus dipertanyakan. Bukan apakah ada kebenaran mutlak atau tidak, tetapi apakah arti klaim kebenaran bagi pihak yang melakukannya?
Pada nyatanya konsep kebenaran mutlak selalu bersifat paradoks. Ketika seseorang merasa menemukan kebenaran mutlak, ia merasa mendapatkan hak untuk membantah dan menyalahkan pihak yang tidak sejalan dengannya. Pada saat itu, ia mulai menciptakan "kesalahan mutlak" sebagai lawan dari posisinya sebagai "kebenaran mutlak." Pada saat itu mulai terjadilah debat mengenai mana yang lebih benar dari yang lain. Di mata pihak yang dicap sebagai "kesalahan mutlak" pihak yang merasa dirinya sebagai "kebenaran mutlak" tidak lain adalah "kesalahan mutlak" itu sendiri, sedangkan dirinya adalah "kebenaran mutlak." Dengan demikian, setiap keyakinan adanya "kebenaran mutlak" selalu terkandung kecenderungan untuk memposisikan pihak yang lain sebagai "kesalahan mutlak." Perpsepektif ini akan dibalas terus oleh pihak lawan. Oleh karena itu, keyakinan adanya kebenaran mutlak selalu akan berbuah pada keterjebakan dalam lingkaran setan saling menyalahkan satu sama lain.
Apa buktinya lingkaran setan ini terjadi? Di dunia ini, kesepakatan yang mutlak dan menyeluruh antara dua pihak sangat langka atau sama sekali tidak pernah terjadi. Kecenderungannya adalah sebaliknya, perpecahan dan perbedaan pandangan selalu terjadi di mana-mana. Bukan karena kebenaran itu relatif, tetapi karena setiap pihak mengklaim dirinya mewakili suatu "kebenaran mutlak" tertentu.
Lantas, apakah kebenaran itu sendiri. Saya sendiri merasa yakin kalau pun kebenaran sejati itu ada, ia pasti tidak bisa diklaim sebagai "kebenaran." Kebenaran sejati tidak butuh dibela atau dibuktikan "kebenarannya", karena ia ada pada dirinya dan memang berlangsung apa adanya. Setiap usaha untuk menyebut sebuah kebenaran sejati (kalau ia bisa disebut sebagai "kebenaran") hanya akan menyimpangkan hakekatnya dari wataknya yang sebenarnya. Alasanya seperti yang telah kujelaskan di atas, setiap klaim "kebenaran" akan berdampak pada hasil yang sebaliknya. Oleh karena itu saya juga meyakini kalau "Kebenaran sejati" berada di atas dikotomi seperti "benar" atau "sesat." Dalam hal ini, "kebenaran sejati" selalu melampaui kata-kata.
Oleh karena itu, Sang Buddha tidak mengajarkan pada murid-muridnya untuk berdebat tentang "apa yang benar" atau "apa yang salah." "Empat kebenaran mulia" Sang Buddha bukan dipahami dengan diskusi atau fatwa untuk memihak kebenaran tertentu. "Empat kebenaran mulia" hanya dapat dipahami dengan praktik. Oleh karena itu, praktik adalah satu-satunya jalan menuju "kebenaran" menurut Buddhisme