//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - hudoyo

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 ... 128
46
<< Jawabannya biar masing2 yg tentuin saja. >>

Ya, setuju. ... Tapi kalau orang punya posisi sebagai admin dari sebuah forum diskusi, itu bukan "masing-masing tentuin sendiri", melainkan ia bisa menggiring opini para member.

Salam

47
Yup, saya juga merasa sejauh ini adanya kecocokan antara praktik pengembangan saya dgn yg di dalam MMD. Gak pernah ikut sih hanya dr menelaah konsep yg ada. Tp dgn kecenderungan yg berbeda tentunya.

Menurutku, harus berani utk melangkah keluar dari pola pembelajaran yg ada dan mencoba melihat bagaimanakah realita di luar pagar pembatas kita itu?
Tanpa keberanian melangkah keluar dari pakem, realita kita hanyalah sebatas pembenaran dan pen'cocok'an kita dgn apa yg kita pelajari itu. And, di satu waktu yg pas bngt timing momentnya, saya membaca sebuah quote pendek dr JK yg sesuai dg apa yg saya rasakan.
Di saat itu pula saya mencoba utk reset lagi praktik yg saya rasa stuck dan restart. Metode sendiri tentunya. ;D
Hanya sayang rasanya kalo melihat bbrp orang yg segitu kuat penolakan yg timbul sehingga menghalangi utk mempelajari sesuatu diluar jalurnya secara lebih objektif dan tdk terdistorsi pandangan sendiri atau mayoritas. :-?

Sekedar sharing sedikit pengalaman pribadi.

mettacittena
_/\_

Terima kasih banyak, Rekan Xuvie.

Tinggal satu pertanyaan teoretis kepada para moderator DC: "MMD itu meditasi Buddhis atau bukan?"

Kalau bukan, bagaimana mungkin Sri Pannyavaro Mahathera mendukung dan melibatkan diri langsung dengan MMD?

Kalau MMD meditasi Buddhis, kenapa di DC di taruh di tempatnya yang seperti sekarang? ... :)

Ah, tapi itu tidak penting buat saya. Mungkin penting buat para admin DC sendiri ... :) ... karena merekalah yang mengatur semua ini.

Salam,
Hudoyo

48
Pak Hudoyo,
selama bapak menuliskan postingan mengenai MMD dan selama ini pula saya mencoba memperhatikan ,mempelajari dan mempraktekan secara pribadi meskipun kadang muncul pertanyaan iseng ,nakal dan agak nyeleneh soal MMD ini namun saya melihat bahwa dari praktik MMD yang saya coba jalankan selama ini adalah baik adanya.
Karena seperti yang bapak pernah tuliskan bahwa bapak mengobok2 batin karena pandangan yang tidak sama maka timbul perdebatan, dari itu saya telusuri apa yang dimaksud dengan batin yang terobok2 tak lain tak bukan adalah karena kebanyakan orang meditasi sudah terkonsep dalam pikirannya harus begini dan begitu, banyak pemeditasi terutama pemula telah memenjarakan pikirannya sedemikian rupa sehingga apapun praktek meditasi yang dia jalankan tidak menghasilkan apa2 kecuali sensasi yang dimunculkan batin itu sendiri(seperti penggambaran tenang yang tentunya dikonsepkan lagi dari buku2).

Dalam MMD mungkin membalikkan dan membuka penjara pikiran itu sendiri sehingga ketika seseorang pemeditasi tradisional memasuki MMD,batin dia seperti diobok2  berkata "Ini bukan sebenarnya""saya tidak terima""bukan seperti yang saya lakukan". penolakan-penolakan batin ini tentunya tidak akan membawa orang pada keberhasilan Meditasi itu sendiri.
Apa yang bapak terangkan mengenai batin yang padam,melihat namun tidak memaksakan padam,akhirnya saya mengerti jalan naturalnya sebuah pikiran, dan ketika melihat kembali tulisan Ajahn Chah,maka saya lebih mengerti apa yang saya alami dalam praktek MMD itu sendiri.
 _/\_


Rekan Nyanadhana,

Wah, saya turut bermudita-citta membaca posting Anda kali ini. Ternyata, seperti yang Anda tekankan, kesadaran itu universal, dan baru terbuka setelah orang terbebas dari belenggu-belenggu konsep-konsep yang ada di kepalanya.

Yang saya harapkan, agar rekan-rekan pemeditasi vipassana yang lain, sepeti Fabian dsb, juga pada akhirnya memperoleh pencerahan seperti Anda. Sayang sekali, bukan, kalau orang bermeditasi sekian tahun lamanya, tepi batinnya tetap tertutup oleh konsep-konsep doktirn yang ada di kepalanya.

Sekali lagi, turut bermudita-citta.

Salam,
Hudoyo

49
pak hudoyo.

sy agak bingung.......saya beri contoh saja.

pada saat perbuatan kita lakukan baik itu atau buruk...............

jika telah melakukan action.....persis yang anda bilang langkah 1.
terus....apakah yang membedakan perbuatan itu baik atau buruk jikalau bukan "aku" yang menimang?

misalkan seorang arahat melakukan perbuatan....kalau bukan "aku" ----> pencerapan mengenai hal baik dan buruk....apakah dimata arahat perbuatan itu semua "sama"

sy rasa ada yang namanya langkah#2...."ini baik" ini buruk"................

Y.M Sariputta saja memuji kesaktian saudara nya Y.M Maha Monggalana.......
seperti "sungguh mengaggumkan kesaktian anda"-dsb-nya
nah dari sini jika bukan "aku" siapa yang menilai?

jika persepsi pada langkah #1,maka seharus nya Sariputta tidak memuji-nya juga tidak mencela-nya.....karena itu merupakan hanya fenomena.

apakah pada batin seperti itu muncul "ini menganggumkan" "ini tidak menganggumkan"?

demikian pada waktu Y.M MahaKassapa...."sebaiknya saya mengadakan sidang Sangha demi melestarikan Buddha Dhamma"...
bukankah ini semua keputusan disebabkan pencerapan ini baik ini tidak baik alias "aku"


mohon bimbingannya _/\_

HUDOYO:

Rekan Marcedes,

Rupanya Anda salah paham tentang proses pikiran sebagaimana diuraikan Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta.

Dalam langkah #1, yang disebut 'persepsi murni', di situ belum ada pengidentifikasian, pelabelan, apalagi penilaian "ini baik", "itu buruk", "ini boleh", "itu tidak boleh", apalagi TINDAKAN. Semua itu terjadi SESUDAHNYA, yakni pada langkah #2 - #6, ketika muncul si aku/atta, ... lalu si aku itu ber-relasi dengan objek yang dihadapinya ... lalu si aku itu mempunyai keinginan & kehendak (cetana) tertentu terhadap objek itu ... lalu si aku itu bertindak.

Jadi, TINDAKAN seorang biasa (puthujjana) SELALU didahului oleh 'keinginan', kemudian 'kehendak' (cetana). ... Dan itu didasari oleh 'penilaian' tentang 'baik' vs 'buruk', 'boleh' vs 'tidak boleh' dsb.

Nah, tindakan orang biasa seperti itulah yang saya katakan bisa salah: apa yang kita kira benar belakangan ternyata salah, atau sebaliknya. Itulah sebabnya mengapa manusia selalu dirongrong oleh rasa menyesal.

Sedangkan pada seorang arahat, karena tindakannya tidak berasal dari PEMIKIRAN, PERTIMBANGAN dan KEHENDAK--dengan kata lain, tindakan seorang arahat adalah spontan, tanpa lewat pikiran--maka tidak pernah salah.

*****

Sang Buddha kemudian menyarankan kepada para pemeditasi vipassana, agar mengamati batinnya dan tidak membiarkan munculnya si aku/atta, pemikiran, pertimbangan, penilaian benar/salah, boleh/tidak boleh dsb. Dengan kata lain, Sang Buddha menyarankan agar proses batin itu berhenti pada langkah #1 saja (Mulapariyaya-sutta); dalam Bahiya-sutta Sang Buddha mengatakan, agar "berkaitan dengan yang terlihat hanya ada yang terlihat" ... artinya jangan diikuti dengan pengidentifikasian, pelabelan, pembandingan, penilaian baik/buruk, boleh/tidak boleh, keinginan, kehendak, tindakan dsb.

Dalam Bahiya-sutta, dengan tegas Sang Buddha mengatakan, jika kita bisa berada dalam keadaan itu, maka KITA TIDAK ADA LAGI. ... Ini dengan tegas menjawab pertanyaan Anda, "Apakah yang membedakan perbuatan itu baik atau buruk jikalau bukan "aku" yang menimbang?" ... Sang Buddha menegaskan, KALAU KITA BISA BERADA DALAM KESADARAN VIPASSANA ITU, maka KITA TIDAK ADA LAGI, dan ITULAH AKHIR DUKKHA. Jadi, menurut Sang Buddha, tercapainya nibbana (akhir dukkha) harus memenuhi prasyarat, yakni LENYAPNYA AKU/diri/atta.


Quote
sy rasa ada yang namanya langkah#2...."ini baik" ini buruk"................


Anda mau menyanggah Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta? ... Silakan baca lagi sutta penting itu perlahan-lahan. Jangan sampai kepeleset.

*****

Rekan Marcedes,

Tentang kata-kata Sariputta Thera, Maha Kassapa Thera dsb yang tercantum dalam kitab suci, jangan terlalu dihiraukan. Anda & saya tidak bisa menggunakan rujukan seperti itu untuk MEMAHAMI jalan pikiran seorang arahat. Apalagi kata-kata Maha Kassapa Thera yang Anda kutip; menurut hemat saya pribadi, itu bukan kata-kata seorang arahat, melainkan kata-kata seorang puthujjana (penulis kitab suci itu yang menurut saya belum arahat), karena seorang arahat tidak pernah berpikir "ingin melestarikan apa pun" dalam kehidupan ini, karena hal itu bertentangan dengan hakikat eksistensi yang tidak abadi ini.

Alih-alih mencoba memahami jalan pikiran seorang arahat, saya sarankan lakukanlah tuntunan Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta dan Bahiya-sutta terhadap pikiran Anda sendiri.

Anda terlalu cepat, dalam waktu 2 hari saja, menarik kesimpulan seperti di atas. Saran saya, lakukan retret vipassana sekurang-kurangnya selama satu minggu. Nanti, kalau Anda berhasil masuk ke dalam keheningan, di mana si aku & pikiran ini berhenti, Anda akan tahu sendiri jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan Anda di atas.

Lebih baik lagi kalau Anda ikut retret MMD, karena hal-hal seperti ini sama sekali tidak dibahas dan tidak dilatih dalam retret vipassana "tradisional" yang diajarkan oleh para bhante yang saya ketahui, kecuali Bhante Pannyavaro, Ajahn Chah, dan mungkin Sayadaw U Tejaniya. Kalau Anda ikut retret MMD, Anda bisa berdiskusi dengan saya sepuas-puasnya setiap malam.

Bacalah wejangan Sri Pannyavaro Mahathera pada pembukaan & penutupan retret MMD Seminggu di Vihara Mendut bulan Desember kemarin (dalam buklet yang sudah dapat Anda download). Beliau berkata pada prinsipnya, "Amati saja, tapi jangan dipadamkan." (maksudnya lobha, dosa, moha dll dalam batin kita) Nanti semuanya akan diam dan padam dengan sendirinya. Mungkin Anda sekarang tidak bisa mengerti itu.

Salam,
Hudoyo

51
.
seperti nya dari contoh yang pak hud sampaikan.....adalah pilihan ke-2 dari yang saya tanyakan..

Apa yang saya uraiakan di atas bukan "pilihan", melainkan proses yang SELALU TERJADI setiap kali sebuah rangsangan masuk ke dalam kesadaran kita melalui salah satu pancaindra. Setiap kali ada rangsangan masuk, selalu terjadi proses #1 - #6 secepat kilat tanpa dapat dihindarkan dalam batin seorang manusia biasa (puthujjana).


Quote
tetapi ada contoh lain...........
karena mobil merupakan sebuah materil---bisa di lihat dan disentuh..

bagaimana dengan action....perbuatan.
proses batin dari perbuatan.

kita ambil contoh perbuatan baik....seperti memberi sedekah pada fakir miskin.
apakah memberi hanya dipandang memberi....?
dan bagaimana proses timbul "aku" dalam hal ini....

'Tindakan' itu datang belakangan ... setelah langkah #1 - #6 terjadi, pikiran jalan terus ... menjadi 'tindakan'.

Dengan demikian, semua 'action' selalu mengabdi kepada kepentingan aku/atta. Termasuk 'perbuatan' yang paling luhur sekalipun, misalnya "tindakan berdana untuk bhikkhu, menyumbang pembangunan vihara" dsb. Pada dasarnya, semua untuk kepentingan si aku/atta. Itu yang disebut Hukum Karma-Phala, yang kita pelajari sejak dari Sekolah Minggu.

Tetapi, dalam diri seorang arahat/buddha, ketika langkah #1 - #6 tidak terjadi, maka langkah #1 (persepsi murni) LANGSUNG diikuti dengan 'tindakan', TANPA melalui PIKIRAN/SI AKU (karena si aku/atta sudah tidak ada lagi); di situ tidak ada 'pilihan', 'choices' seperti yang dihadapi oleh manusia biasa (puthujjana).

Jadi, prosesnya:
(1) orang biasa: persepsi -> pikiran -> kehendak, pilihan dsb -> tindakan. Ini bisa salah.
(2) arahat/buddha: persepsi -> langsung tindakan (direct action, tanpa pilihan/choices). Ini tidak pernah salah.

Dikatakan, arahat/buddha bebas dari Hukum Karma-Phala (yang adalah pikiran/aku dengan segala pilihannya, baik-buruk dsb).


Quote
dan lagi......jika saya seorang desain grafis serta perancang audio dari mobil.....
apabila praktek vipassana dilakukan....sy sadar sepenuhnya....hal ini bertolak belakang.
dimana seorang grafis serta desain audio harus melekat pada hal yang ber-objek
"mewah" "sporty" "racing" alias berkonsep....

mari kita ambil satu contoh "sporty" seperti modifikasi mobil di pameran djarum black
disini tentu ada "aku" karena objek seperti lampu...harus di katakan warna ini cocok...ini tidak cocok...
padahal dalam kenyataan jika ber-vipassana.....cahaya adalah cahaya....putih,ungu,orange...semua itu cuma "warna"
dan "aku" yang mengatakan orange bagus...putih jelek.....dsb-nya.

Memang bertolak belakang. Anda bicara tentang orang yang bekerja, mencari nafkah, menggunakan pikiran, dalam profesi apa saja. Kesadaran vipassana tidak bisa dipakai untuk berpikir mencari nafkah. Tolong dipisahkan.

Tapi itu tidak berarti orang yang bekerja tidak bisa menjalankan vipassana dalam kehidupan sehari-hari. Tidak sepanjang hari selama 16 jam Anda bekerja mencari nafkah. Banyak sekali saat-saat di sela-sela Anda berpikir, di mana pikiran/aku ini sebetulnya tidak dibutuhkan bergerak: ketika makan siang, ketika berada di kendaraan, ketika santai, dsb dsb, di tengah-tengah pekerjaan sehari-hari. Di situlah saat-saat orang bisa tetap sadar menyadari batin sendiri, dan tidak membiarkan pikiran ini melamun, melantur ke mana-mana.

Jadi, challenge-nya: "Bisakah pikiran/aku ini berhenti, dan hanya bergerak bila benar-benar diperlukan?" Itu saja.


Quote
pernah ada seorang bikkhu sangha mengatakan kpd saya...bahwa vipassana tidak cocok buat perumah tangga............dan sebaiknya berlatih samantha bhavana saja.

Orang yang berkata demikian, sekalipun ia anggota Sangha berjubah kuning, telah mencabik-cabik ajaran Buddha Gotama yang merupakan satu kesatuan. Dia tidak mengerti ajaran Buddha.

Vipassana (yang tidak perlu dipertentangkan dengan samatha) justru diperlukan oleh setiap manusia, dalam keadaan apa saja, yang ingin memahami kelekatannya pada badan & batin ini, dan ingin bebas dari situ.


Quote
tetapi sy sadar perjalanan hidup saya...dimana vipassana membawa pelepasan kemelekatan.....itu yang membuat saya bahagia..............

dimana setidak-tidak nya "saya" bukan maksud "aku" ingin mencapai minimal sottapana...
karena sungguh tidak nyaman sebuah kondisi(kelahiran)..dan itu adalah penderitaan.....

mohon penjelasan _/\_

Menyadari bahwa hidup ini adalah penderitaan adalah pintu menuju pembebasan. Teruslah berjalan di jalan itu, jangan hiraukan apakah Anda akan menjadi "Sotapana" atau tidak; nanti Anda akan tahu sendiri, tapi sekarang pikiran seperti itu cuma menjadi keserakahan yang menghalangi tercapainya pembebasan.

Quote
------------------------
sy ingin berbagi pengalaman sedikit............dimana saya menyadari "keinginan adalah sumber penderitaan"

waktu itu 1 kamar saya tidur ber-tiga...dan kebetulan juga saya sakit demam tinggi,,kepala ini pusing berat pada waktu itu............dan parahnya lagi....2 orang ini sangat cerewet dan selalu bercerita (suaranya keras) dan ditambah lagi menyalakan TV dengan suara keras pula...
ingin tidur tetapi tidak bisa karena terlalu bising.

saya rasa pembaca disini sudah tahu....jika orang sakit kepala + suara bising bagaimana jadinya.
ingin menegur...tetapi tidak enak...karena 2 orang itu lebih tua jauh dari pada saya. dan lagi seperti nya orang yang baru bertemu 10 tahun sekali....jadi cerita kiri kanan

pada waktu itu saya sadari emosi saya meningkat.....tetapi..entah kenapa saya lalu menyadari.....
kepala ini sakit+kondisi seperti ini.................muncul pertanyaan pada diri saya apakah "keinginan" bahwa sakit ini harus nya tidak begini+kondisi juga harus nya tidak seperti ini merupakan "penderitaan"

sakit ini memang sakit....(sepertinya batin saya "ingin" sembuh tetapi tidak bisa) "ingin" itu adalah sumber penderitaan.
demikian juga kondisi yang bising batin saya "ingin" suasana tenang......dan karena tidak terpenuhi suasana tenang,,, "ingin" itu adalah sumber penderitaan.

tetapi kadang saya merasa sangat tidak bijak.....karena orang tidak bijak saja yang tidak mau sembuh.....

maka saya ambil jalan tengah...........yakni
jika "keinginan" itu bisa terpenuhi, maka lakukan.....tetapi jika "keinginan" itu tidak bisa terpenuhi,,maka terima-lah kenyataan itu.....

pak hud saya jadi ingin tahu...."aku" saya itu muncul dan padam pada bagian mana?......karena melewati itu semua seperti secepat kilat....

mohon maaf banyak bertanya _/\_

Rekan Marcedes, memang pikiran itu secepat kilat. Tapi sepanjang episode yang Anda ceritakan itu, bila pikiran bergerak, di situ muncul 'aku/atta'. Misalnya, yang Anda katakan:
(1) ingin menegur...tetapi tidak enak
(2) muncul pertanyaan pada diri saya apakah "keinginan" bahwa sakit ini harus nya tidak begini+kondisi juga harus nya tidak seperti ini merupakan "penderitaan"
(3) saya merasa sangat tidak bijak.....karena orang tidak bijak saja yang tidak mau sembuh.....
(4) saya ambil jalan tengah...........yakni jika "keinginan" itu bisa terpenuhi, maka lakukan.....tetapi jika "keinginan" itu tidak bisa terpenuhi,,maka terima-lah kenyataan itu.....

Dari #1 - #4, semua itu adalah proses pikiran, di situ ada 'aku/atta', yang mencari jalan terbaik untuk menghadapi--dan kalau bisa kelua--dari situasi itu. Itu adalah hal yang sangat wajar.

Jadi, kapan kesadaran vipassana itu muncul? ... Kesadaran vipassana itu muncul pada saat timbul kesadaran akan gerak pikiran/aku (masing-masing dari #1 s.d. #4 itu) ... Misalnya: ketika Anda merenungkan #2 di atas, bila timbul kesadaran, maka seluruh pikiran itu berhenti ... Anda tidak mencari jawaban lagi ... Itulah kesadaran vipassana. ....

Pada saat kesadaran akan gerak pikiran/aku itu muncul, maka proses pikiran itu berhenti dengan sendirinya, tanpa dibuat berhenti ... itulah kesadaran vipassana: di situ, pada detik itu, tidak ada pikiran/aku lagi yang bergerak. ... Tetapi, sedetik kemudian ... muncul lagi pikiran baru ... lalu mulailah lagi proses pikiran/aku itu ...

Demikianlah, pada awalnya kesadaran vipassana itu hanya berlangsung selama sedetik, malah kurang barangkali, dan hampir selalu diikuti oleh munculnya pikiran baru. ...

Hanya bila orang sudah terbiasa sadar seperti itu, mungkin karena sering berlatih mengembangkan kesadaran, kesadaran vipassana itu bisa berlangsung lebih lama, dan pikiran/aku itu menjadi lebih jarang muncul ... keheningan yang tadinya sedetik, menjadi dua detik, makin lama makin bertambah panjang, tanpa diharapkan dan diupayakan untuk menjadi lebih panjang.

Dan yang penting adalah, pada saat kesadaran vipassana berlangsung, Anda tidak bisa mengenali bahwa Anda berada dalam kesadaran vipassana. Mengapa? Karena pada saat itu, pikiran/aku yang membanding-bandingkan tidak berfungsi. ... Anda baru "ngeh" bahwa Anda barusan berada dalam kesadaran vipassana ketika kesadaran vipassana itu telah berakhir; dengan kata lain, setelah muncul lagi pikiran baru yang merenungkan peristiwa yang baru saja Anda alami ... jadi ketika Anda sudah tidak berada dalam kesadaran vipassana lagi. ... Jadi di sini, Anda belajar salah satu sifat pikiran: pikiran hanya bisa berada di masa lampau ... pikiran tidak bisa melihat apa yang ada pada saat kini (yathabhutam nyanadassanam)  ... Untuk menyadari apa yang ada sekarang, pikiran/aku harus berhenti. ... Itulah kesadaran vipassana.

Nah, cobalah sendiri dalam latihan vipassana Anda.

Salam,
Hudoyo


52
[Dari Forum sebelah:]

Kainyn_Kutho:


Pak Hud, mo tanya lagi nih. Kalo misalnya ditanya bedanya nibbana sama paham pemusnahan itu, point prinsip yang membedakan itu apa yah? Intinya sama2 hilang habis tidak terlahir lagi, bukan?

Kalau menurut saya, paham pemusnahan itu karena ada inti diri, lalu inti diri itu mengalami kehancuran, sedangkan pada nibbana tidak ada inti diri, jadi padam itu hanyalah sebuah proses yang berhenti. Tidak ada yang "dibentuk" ataupun "dihancurkan". Mohon penjelasan Pak Hud.

Terimakasih sebelumnya.

================================

HUDOYO:

Mas Kainyn,

Sang Buddha selalu mengingatkan tentang adanya dua paham yang saling bertolak belakang, yakni paham 'keabadian', 'eternalisme' (sassata-vada) dan paham 'kemusnahan', 'anihilasionisme' (uccheda-vada), sedangkan ajaran beliau tidak termasuk salah satu dari kedua paham itu.

Saya memahaminya demikian: kedua paham itu--baik paham 'kekekalan' maupun paham 'kemusnahan'--berada pada tataran (level) pemikiran filosofis, hasil perenungan, pemikiran intelektual semata-mata; bukan hasil penembusan meditatif ke dalam kenyataan apa adanya (yathabhutam nyanadassanam). Di dunia modern, paham 'kekekalan' diwakili oleh filsafat Idealisme dan teologi agama-agama monoteistik, sedangkan paham 'kemusnahan' diwakili oleh filsafat Materialisme.

Sedangkan 'nibbana' (kepadaman, tidak lahir lagi) yang ditemukan oleh Sang Buddha berada di luar kesimpulan-kesimpulan filosofis apa pun, bukan hasil perenungan, bukan hasil pemikiran intelektual semata-mata, melainkan hasil penembusan dalam kesadaran vipassana, justru ketika si aku & pikiran yang menciptakan segala macam paham filosofis itu berhenti. Jadi pengalaman 'nibbana' menegasikan baik paham 'kekekalan' maupun paham 'kemusnahan', yang kedua-duanya tidak lebih daripada produk pemikiran belaka.

*****

Di sini menarik apa yang baru saja saya tulis di forum DC:

Bahiya-sutta dalam e-book itu sudah saya terjemahkan ulang, karena terjemahan bhs Indonesia yang ada saya rasakan kurang memuaskan; lagi pula terdapat 'parafrase' (tafsiran, bukan terjemahan murni).

Contoh:

Dalam Bahiya-sutta di http://dhammacitta.org/tipitaka/kn/ud/ud.1.10.than.html
tercantum: "... Bahiya pertapa berpakaian kulit kayu, para bhikkhu, sepenuhnya telah terbebaskan."

Di sini, penerjemahnya menggunakan "terbebaskan" sebagai 'padanan' dari 'parinibbuto'. Ini bukan terjemahan melainkan 'parafrase' (menguraikan kembali suatu teks dalam bentuk lain sesuai tafsiran penerjemah), semacam 'saduran'. 'Nibbuto' sendiri berarti 'padam', 'extinct', 'parinibbuto' berarti 'padam sempurna'.

Dalam e-book saya, kalimat itu saya terjemahkan:
"... Bahiya—petapa berpakaian kulit kayu—telah padam dengan sempurna (parinibbuto).”

Perbedaan terjemahan ini mempunyai dampak sangat besar: Dalam terjemahan pertama, terkesan Bahiya tetap ada sebagai entitas, sebagai pribadi, sebagai individu ("yang telah terbebaskan"); sedangkan dalam terjemahan saya tidak mungkin pembaca mendapat kesan bahwa Bahiya tetap ada sebagai entitas, sebagai pribadi, sebagai individu--tidak ada lagi Bahiya, ia telah "padam sempurna".

Dengan kata lain, saya melihat dalam terjemahan Bahiya-sutta di DC itu telah menyusup kembali paham 'kekekalan' tanpa disadari oleh penerjemahnya dengan menerjemahkan 'parinibbuto' menjadi "telah terbebaskan", sedangkan penerjemahan taat asas 'parinibbuto' menjadi "padam sempurna" bukanlah termasuk paham 'kemusnahan', melainkan FAKTA yang muncul ketika aku & pikiran berhenti. Itu yang oleh Sang Buddha disebut "lenyapnya dukkha".

Bukankah Sang Buddha pernah berkata: "Para Bhikkhu, saya hanya mengajarkan Dunia (loka) dan lenyapnya Dunia." -- Ini bukan paham 'kemusnahan', bukan?

Salam,
Hudoyo


53
pada waktu pikiran kita katakanlah menangkap objek mobil mewah dan keren melalui mata........

pada orang awam timbul pikiran serta "berpikir" bahwa objek ini mewah keren....dan membawa kebahagiaan.
dan pada latihan apakah
objek mobil ini dipandang mewah keren tetapi tidak membawa kebahagiaan....karena objek ini tidak dipandang sebagai "bukan milik-ku"

ataukah
objek mobil ini tidak dipandang mewah keren dan juga tidak membawa kebahagiaan....karena objek ini tidak dipandang sebagai "bukan milik-ku"

anumodana buku nya....sy baca dulu....

Marilah kita bahas menggunakan contoh yang Anda berikan; mohon gunakan pula rujukan dari Mulapariyaya-sutta yang di-post Rekan Dilbert di atas.

Dalam kesadaran vipassana yang kuat, pada suatu ketika masuk suatu stimulus (rangsangan) ke mata kita ... Rangsangan itu belum dikenali, belum punya identitas, belum punya label/nama ...

Itu adalah langkah #1: 'persepsi murni' (pure perception) ... disebut murni karena belum dicampuri oleh pikiran, keinginan dsb dari si aku, belum punya label/nama dsb.

Pada langkah #2: 'konseptualisasi' (conceptualization), mulai terjadi identifikasi, pelabelan ("itu mobil", "bukan sepeda motor"), dan penilaian ("itu mobil mewah", "tidak murah"). Di sini pikiran mulai bergerak.

Pada langkah #3 + #4: muncul aku (atta) yang kemudian memisahkan diri dari objek ("mobil") > atta/aku berhadapan dengan objek, "aku berhadapan dengan/melihat mobil mewah". Ini pikiran yang terus berjalan.

Pada langkah #5: atta/aku ber-relasi dengan objek: "itu mobilku", "itu bukan mobilku", dsb. Ini pikiran yang terus berproses.

Pada langkah #6: muncul emosi dll faktor batin: bersenang hati, bahagia, bangga (kalau itu mobilku), iri hati, tidak senang, kecewa dsb (kalau itu bukan mobilku). Di sini muncul perasaan dsb.

***

Itu bisa Anda alami sendiri bila Anda ikut retret MMD sekurang-kurangnya seminggu. Anda bisa berada pada langkah #1 untuk beberapa lama (beberapa menit, bahkan sampai beberapa jam), tanpa munculnya langkah #2-#6. Jadi, bagi para meditator MMD, itu bukan cuma teori dari kitab suci Buddhis, melainkan fakta yang bisa dilihat sendiri (ehipassiko). Bahkan banyak teman-teman non-Buddhis bisa mengalaminya tanpa harus menghafalkan Mulapariyaya-sutta. Bacalah testimonial rekan-rekan peserta retret MMD seminggu.

Salam,
Hudoyo


54
http://rapidshare.com/files/153834859/Debat_Fabian_vs_Hudoyo_tentang_vipassana__atta_dll.pdf

Penjelasan sangat rinci dari saya ada pada e-book ini. Tapi nanti saya beri penjelasan singkat berkaitan dengan contoh Rekan Marcedes.

Salam,
hudoyo

55
Sering2 ya kasih eBook ke kita....
terutama menu specialnya Bp Hodoyo : BAHIYA-SUTTA

Bahiya-sutta dalam e-book itu sudah saya terjemahkan ulang, karena terjemahan bhs Indonesia yang ada saya rasakan kurang memuaskan; lagi pula terdapat 'parafrase' (tafsiran, bukan terjemahan murni).

Contoh:

Dalam Bahiya-sutta di http://dhammacitta.org/tipitaka/kn/ud/ud.1.10.than.html
tercantum: "... Bahiya pertapa berpakaian kulit kayu, para bhikkhu, sepenuhnya telah terbebaskan."

Di sini, penerjemahnya menggunakan "terbebaskan" sebagai 'padanan' dari 'parinibbuto'. Ini bukan terjemahan melainkan 'parafrase' (menguraikan kembali suatu teks dalam bentuk lain sesuai tafsiran penerjemah), semacam 'saduran'. 'Nibbuto' sendiri berarti 'padam', 'parinibbuto' berarti 'padam sempurna'.

Dalam e-book saya, kalimat itu saya terjemahkan:
"... Bahiya—petapa berpakaian kulit kayu—telah padam dengan sempurna (parinibbuto).”

Perbedaan terjemahan ini mempunyai dampak sangat besar: Dalam terjemahan pertama, terkesan Bahiya tetap ada sebagai entitas, sebagai pribadi, sebagai individu ("yang telah terbebaskan"); sedangkan dalam terjemahan saya tidak mungkin pembaca mendapat kesan bahwa Bahiya tetap ada sebagai entitas, sebagai pribadi, sebagai individu--tidak ada lagi Bahiya, ia telah "padam sempurna".

Salam,
Hudoyo

57
E-book "Vipassana Bhavana - Meditasi Mengenal Diri"
Oleh: Sri Pannyavaro Mahathera, Hudoyo Hupudio
Jumlah halaman: 26 halaman
Penerbit: Suwung, Yogyakarta, 2009

sudah bisa diunduh dari Rapidshare, http://rapidshare.com/files/180800249/Vipassana_Bhavana_MMD.pdf:

DAFTAR ISI:

1. HANYA MENYADARI SAJA, TIDAK MEMADAMKAN - Wejangan Sri Pannyavaro Mahathera pada pembukaan Retret MMD Seminggu di Vihara Mendut, 24 Desember 2008;

2. MENYADARI DAN MENGATASI TIMBULNYA KEAKUAN - Oleh: Sri Pannyavaro Mahathera

3. KESADARAN ITU MEMBEBASKAN - Wejangan Sri Pannyavaro Mahathera pada penutupan Retret MMD Seminggu di Vihara Mendut, 1 Januari 2009

4. APAKAH MEDITASI MENGENAL DIRI (MMD) ITU? - Oleh: Hudoyo Hupudio

5. RUJUKAN: BAHIYA-SUTTA

*****

Hardcopy buku tersebut sedang naik cetak, diperkirakan selesai awal Maret 2009.

Salam,
Hudoyo

58
[Minggu, 4 Januari 2009, 7:58am]

Hudoyo Hupudio
selamat pagi, mas sutarman.

Sutarman
selamat pagi Pak Hudoyo

Hudoyo Hupudio
apa kabar? saya baru pulang dari Mendut kemarin dulu.

Sutarman
Kabar baik Pak. Naik mobil lagi? Sama siapa saja Pak? Saya baca-baca komentar MMD banyak yg menarik Pak

Hudoyo Hupudio
saya berangkat dengan Mbak Ninin dan Siska naik pesawat.
Mas Budi & anak2 nyusul pakai mobil.
Saya pulang pakai mobil.
MMD kali ini menarik.
Yang penting, Bhante Pannya membuka dan menutup dengan memberikan wejangan.
semua sudah saya upload dalam serial "cerita dari Mendut".
Rencananya kedua wejangan itu ditambah artikel saya "Apakah MMD itu?" akan diterbitkan menjadi buklet.
Rencananya buklet itu juga akan dipasarkan, di samping dibagikan gratis pada setiap peserta retret yad.

Sutarman
Rasanya saya sdh lama sekali nggak "touch" dengan "paguyuban" MMD. Banyak sekali kemajuan yang saya rasakan.

Hudoyo Hupudio
Ya, adanya website ini sangat membantu komunitas MMD.

Sutarman
Bagus sekali Pak. Saya sdh baca materinya. Menurut hemat saya tidak usah tebal-tebal. Yang penting isinya sangat"menggugah". Selanjutnya yang penting praktek. Atau kalau mau diskusi bisa via website.

Hudoyo Hupudio
betul. Bentuk finalnya (A4) setebal 24 halaman.
Entah menjadi berapa halaman kalau sudah dicetak betul.
Saya rasa itu cukup sebagai perkenalan, sebelum peserta terjun ke dalam meditasi. Tidak perlu terlalu banyak teori.

Sutarman
Betul Pak.
Materi dr Bapak & Banthe sangat bagus, dan mewakili pandangan Buddhis maupun non Buddhis.

Hudoyo Hupudio
Yang menarik, wejangan dari Bhante tidak ada sedikit pun "bau" Buddhis-nya. :)
Malah yang dari saya banyak menyinggung ide-ide Buddhis ...
karena tulisan saya itu saya tujukan kepada para umat Buddha yang sekarang ini mempermasalahkan MMD,
juga kepada umat Buddha yang "bingung" melihat ada banyak versi meditasi vipassana.
Tetapi alur pemikirannya saya usahakan bisa diikuti oleh pembaca yang non-Buddhis juga.

Sutarman
Itu yg sy rasakan bisa mewakili dan "menggugah" dari pihak Buddhis maupun Non-Buddhis.

Hudoyo Hupudio
Betul.

Sutarman
Komentar-komentar di Website jg sy rasakan banyak kemajuan dlm MMD ini Pak. Sya rasakan perkembangannya dibandingkan sejak awak dulu.

Hudoyo Hupudio
Ya. ini perbedaan antara website dan milis.
yang masuk ke website adalah orang2 yang mau belajar.
sedangkan milis diterima oleh mereka yang belum tentu mau belajar, tapi kebetulan pernah mendaftar ke milis.
sehingga kadang2 muncul tanggapan yang kurang pas.

Sutarman
Saya yakin MMD memang sudah menemukan "bentuk final"-nya. Tinggal "sentuhan-sentuhan" akhir saja, yg lebih terarah ke arah komunitas yg membutuhkan.

Hudoyo Hupudio
betul
semua itu berkat paduan yang berani antara ajaran Buddha Gautama dan J. Krishnamurti.
tidak semua umat Buddhis berani membuat paduan seperti itu.
tapi sebetulnya tidak ada yang perlu ditakutkan, kalau semua itu didasari pengalaman batin sendiri dalam meditasi ...
dan bukan semata-mata spekulasi intelektual belaka.

Sutarman
Betul Pak. Nggak semua Buddhis menerima JK.

Hudoyo Hupudio
Dan yang saya kagumi adalah "keberanian" Bhante Pannyavaro untuk terlibat langsung dalam MMD.
Semula maksud saya adalah menerbitkan wejangan beliau itu,
dan tulisan saya saya tambahkan sebagai "Lampiran" saja.
Jadi dalam halaman sampul buklet itu hanya tercantum nama Bhante sebagai penulisnya.
Tapi Bhante malah menghendaki saya juga ikut sebagai penyumbang tulisan ...
dan nama saya tercantum juga dalam sampul buklet itu, di bawah nama bhante.
Kata Bhante, "kurang fair" kalau saya tidak ikut tampil sebagai penulis buklet itu, padahal saya pengajar MMD.
Wah, dengan demikian, Bhante lebih "melibatkan diri" dengan MMD.
Saya tidak tahu bagaimana reaksi sementara kalangan umat Buddha terhadap perkembangan ini.
Tapi bagi saya, yang jelas fakta & kebenaran tidak bisa ditutup-tutupi lagi.
Fakta pengalaman batin manusia dalam meditasi, yang diungkap oleh Buddha 2500 tahun lalu, dan yang diungkap oleh Krishnamurti pada abad ke-20 adalah identik ...
Ini tidak bisa ditutup-tutupi atau diingkari lagi,
kecuali oleh mereka yang secara ekstrem bersikap eksklusif.

Sutarman
Betul Pak. Buku itu ckp menampilkan keseimbangan pandangan utk melihat fakta.

Hudoyo Hupudio
ya, mudah-mudahan buku itu bisa membantu pencerahan banyak umat Buddhis, maupun non-Buddhis.
Di sisi lain, juga semoga buku itu membuka mata sementara peminat Krishnamurti yang bersikap meremehkan 'duduk diam' ...
dan menganggap bahwa K tidak mengajarkan meditasi
meditasi dalam arti 'duduk diam'.

Sutarman
Sy juga melihat Banthe Pannavaro sbg bikkhu bersikap sangat inklusif. Ini semacam "revolusi".

Hudoyo Hupudio
Benar. Saya belum pernah mendengar atau membaca ada bhikkhu Indonesia lain yang bicara seperti beliau.
Di dunia ini pun baru Ajahan Chah yang bicaranya mirip Bhante Pannyavaro.
Selebihnya masih kental dengan doktrin-doktrin Buddhisme.

Hudoyo Hupudio
wah, chatnya terhapus.
tapi saya sudah save
sampai 8:30amHudoyo Hupudio: Selebihnya masih kental dengan doktrin-doktrin Buddhisme.

Sutarman
comp sy hang, jd sys tadi off dl Pak.

Hudoyo Hupudio
begitu :-)

Sutarman
Dlm kesehariannya apakah JK "duduk diam" scr rutin & "formal", Pak?

Hudoyo Hupudio
o iya ...
dalam bukunya "Krishnamurti Notebook", ia menceritakan apa yang dialaminya dalam duduk diam ketika terbangun di pagi hari menjelang fajar.
saya mengutip banyak dari buku itu dalam buku "Duduk Diam dengan Batin yang Hening"

Sutarman
Dlm ajarannya apakah JK mengajarkan "duduk diam" itu secara "formal"?

Hudoyo Hupudio
K juga secara eksplisit mengajar duduk diam kepada anak-anak sekolahnya di India dan Inggris.
Itu juga saya muat dalam buku "Duduk Diam ..."
Selain duduk diam ketika bangun di waktu pagi, K hampir setiap sore berjalan cepat sendirian tanpa bicara selama 1 - 1,5 jam
orang2 yang mengikuti di belakangnya juga tidak bicara.
Mas Tarman sudah punya buku "Duduk Diam ..."?

Sutarman
Sudah Pak. Tapi stlh praktek MMD, sy benar-benar orang yg kehilangan minat baca buku. Jd, nggak sy baca tuntas.

Hudoyo Hupudio
saya sendiri juga tidak berminat baca buku-buku spiritual ...
bahkan buku "The Power of Now" yang banyak dipuji orang, hanya saya baca setengahnya ..
setelah sampai setengah berikutnya, Tolle memberikan iming2, menceritakan bagaimana rasanya hening itu.
sampai di situ saya berhenti.
tapi saya masih membaca buku-buku K.
bukan untuk mencari sesuatu dari buku2 itu ...
melainkan karena saya merasa buku itu sebuah cermin kosong untuk mengamati batin saya sendiri,
kosong dalam arti tidak ada iming-iming apa2.

Sutarman
Kl gitu, buku Bapak, sdh pas: tidak tebal, menampilkan "praktek meditasi JK" dr pandangan Buddhis, dan menampilkan "ajaran pembebasan Buddha" dari pandangan JK.

Hudoyo Hupudio
ya.
satu lagi tentang meditasi K
pada waktu perang dunia II 1939-1945 K tinggal di Ojai, California.
karena dia seorang pasifis, dia dilarang oleh FBI untuk bicara di depan umum.
Ini berlangsung sampai perang selesai.
Jadi K tidak berbuat apa2, selain berkebun dan memelihara sapi dan unggas.
Di situ ia bermeditasi setiap hari ... secara formal duduk diam selama 2-3 jam.
Jadi, K mengajarkan duduk diam, mempraktikkan duduk diam (sekalipun ia sudah tercerahkan secara tuntas!) ...
dan seluruh ceramahnya bersumber dari pengalaman meditasinya.
Jadi, tidak betul para peminat K yang meremehkan duduk diam, dengan berbagai dalih ...
dengan mengutip kata-kata K secara berat sebelah.
Itu cuma disebabkan karena kemalasan saja.
Sehingga kadang2 K mengeluh: "Tidak seorang pun berubah."
Bukan keluhan sih, ia cuma mengungkapkan fakta dari orang-orang yang ada di sekitarnya.

Sutarman
Betul, Pak. Itu karena mungkin mereka tidak tahu bedanya antara "teori" dan "praktek langsung".

Hudoyo Hupudio
Betul. Ada yang bilang orang-orang yang berada di sekitar K terlalu silau dengan "matahari" sehingga matanya buta.

Sutarman
Itu problem umum di semua agama dan ajaran spiritual. Mereka merasa "aman" cukup dengan "teori" dan "keimanan" saja, tanpa "amal" apa pun.

Hudoyo Hupudio
Ya ... apalagi kalau berada di dekat guru mursyidnya. :)

Hudoyo Hupudio
Baiklah, Mas Tarman. ... Ada yang perlu dibahas lagi? ... Saya akan meneruskan beberapa pekerjaan di website ini.
Silakan baca-baca .. Untuk sementara saya signoff dulu. Terima kasih atas chatnya.
bye

Sutarman
Ternyata peminat JK jg terjebak hal yg sama. Mdh2an tidak dgn MMD. Sy sendiri merasakan tidak tergantung dgn Bapak, kecuali utk fasilitas MMDnya sebagai sarana meditasi intensif.

Hudoyo Hupudio
Itu yang betul. :)

Sutarman
trims Pak. Bye

Hudoyo Hupudio
Banyak peminat K yang terjebak pada 'rasa tercerahkan' ...
yang tercermin dalam bagaimana mereka menyikapi orang2 yang masih "melekat" pada iman dan ritualisme,
pada umumnya tercetus sikap2 melecehkan.
sikap2 demikian justru menunjukkan bahwa "pencerahan" banyak peminat K sebetulnya cuma di tataran intelektual belaka ...
tidak menyentuh hatinya.
ini juga terjadi di kalangan umat Buddha yang melecehkan ajaran2 teologi agama-agama Samawi.
"pencerahan" mereka dari ajaran Sang Buddha cuma di kulitnya saja, cuma di level intelektual belaka.
tidak meresap ke dalam hati.
OK, Mas Tarman, sampai jumpa lagi. Bye.

Sutarman
Di kalangan muslim jg banyak yang tdk praktek sholat, atau praktek sholat cuma sbg "ritual" yg kehilangan "esensi"-nya saja. Jarang yg mau mengembangkan sholat menjadi "meditasi" dan "perawatan tubuh". sehingga "tidak dapat apa-apa" dr "sholat"nya

Hudoyo Hupudio
ya, betul, itu ada di semua kelompok keagamaan.

Sutarman
Bye Pak. Lain kali di sambung lagi. Trims.

Hudoyo Hupudio
di kalangan Buddhis, banyak orang merasa puas dengan ikut kebaktian, tanpa benar2 menengok ke dalam batinnya sendiri.
tanpa bermeditasi.
hasilnya ya seperti sekarang: terpecah belah, menderita terus.
Ok, Bye, Mas Tarman.

[9:03am]

59
http://gerejastanna.org/category/meditasi/

Gereja St. Anna - Paroki Duren Sawit

Meditasi Tanpa Objek
By J. Sudrijanta, SJ on August 14th, 2008

Romo Sudrijanta, SJ, adalah seorang pemeditasi MMD. Pada Lebaran 2007 & 2008, beliau menjalani retret MMD, masing-masing selama  10 hari sendirian. Pada retret pertama, 2007, bertempat di pertapaan Katholik, Cikanyere, saya mendampingi beliau pada hari pertama & ketiga retret.

Hasilnya bisa dibaca dalam tulisan-tulisan beliau di situs resmi Gereja St. Anna.

60
katak di bawah tempurung

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 ... 128
anything