//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - hudoyo

Pages: 1 2 [3] 4 5 6 7 8 9 10 ... 128
31
[Dari buku: "Vipassana Bhavana - Meditasi Mengenal Diri", oleh: Sri Pannyavaro Mahathera & Hudoyo Hupudio]

Wejangan Sri Pannyavaro Mahathera pada penutupan Retret MMD Seminggu di Vihara Mendut, 1 Januari 2009

KESADARAN ITU MEMBEBASKAN

Para Ibu, Bapak & Saudara peserta meditasi,

Hari ini adalah akhir latihan meditasi yang Ibu, Bapak & Saudara ikuti di Vihara Mendut dengan bimbingan Dr. Hudoyo. Banyak orang sering mempunyai anggapan bahwa penderitaan dan kebahagiaan itu berada di luar diri kita. Kemudian kita berusaha keras untuk mencari kebahagiaan, sehingga
mengalaminya. Dalam hal penderitaan, banyak orang menganggap bahwa  penderitaan yang berasal dari luar itu masuk menghantam diri kita dan membuat kita menderita.

Sebetulnya, Ibu, Bapak & Saudara, kebahagiaan dan penderitaan itu tidak berada di luar diri kita. Kalau kita mencari di luar, memilah-milah, melihat di segala sudut di luar diri kita, kita tidak akan menemukan kebahagiaan atau penderitaan. Di manakah sesungguhnya penderitaan dan kebahagiaan itu berada? Penderitaan dan kebahagiaan itu kita alami di dalam diri kita ini; maka penderitaan dan kebahagiaan itu sebetulnya tepat, persis, berada di dalam diri kita sendiri. Bukan dicari di luar dan juga tidak datang dari luar lalu masuk ke dalam diri kita.

Penderitaan terjadi, kebahagiaan dialami, tidak lain karena pikiran kita memberikan reaksi, tanggapan, terhadap segala sesuatu. Kalau pikiran itu menanggapi dan memberikan reaksi terhadap segala sesuatu yang tidak sesuai dengan selera kita, timbullah rasa tidak senang, timbullah penderitaan, ketegangan, dan sebagainya. Di mana hal itu dirasakan? Tidak di luar, tetapi di dalam diri ini. Kalau pikiran memberikan reaksi, tanggapan, terhadap segala sesuatu yang ditangkap oleh pancaindera maupun terhadap kenangan atau ingatnan-iangatan pikiran itu sendiri—kalau reaksi atau tanggapan itu—sesuai dengan selera kita, berarti menyenangkan, maka timbullah yang disebut bahagia, rasa nyaman, puas.

Tetapi, apakah yang sering kita alami dan kita namakan kebahagiaan itu kekal? Sama sekali tidak; sebentar kesenangan atau kebahagiaan itu lenyap. Demikian juga penderitaan. Kalau kita mengamat-amati—dengan kalimat lain, kalau kita menyadari—saat penderitaan muncul atau saat kebahagiaan muncul, menyadari saja, maka padamlah penderitaan itu, padam. Dan padamlah juga kebahagiaan yang hanya sebentar itu, padam. Pada saat penderitaan padam, pada saat kebahagiaan atau kesenangan padam, timbullah rasa bahagia yang lebih halus, atau ada yang menjelaskan dengan kalimat: timbullah kesunyian yang mendalam. Kebahagiaan yang lebih halus atau kesunyian yang mendalam timbul karena kesadaran memperhatikan penderitaan atau kebahagiaan, kemudian fenomena mental itu lenyap, berganti dengan kebahagiaan yang mendalam, berganti dengan kesunyian yang mendalam, atau ketenangan yang lembut—demikianlah berbagai istilah digunakan. Itu pun juga tidak boleh luput dari kesadaran kita; sadari saja!

"Apakah kita tidak menikmatinya, Bhante?"—Kalau kita menikmati, maka apa yang dikatakan kebahagiaan yang halus, kesunyian yang mencekam, ketenangan yang mendalam itu akan menjadi kelengketan baru, akan menjadi ketagihan kembali. Kalau fenomena mental yang disebut mendalam atau lembut itu tidak segera disadari,  akan menyelinaplah pikiran ingin menikmati yang
halus-halus itu kembali. Oleh karena itu, sadarilah.
Ibu, Bapak & Saudara,

Menjelang Tahun Baru, ada sebagian saudara kita yang mempunyai kebiasaan, beberapa menit menjelang pukul 24.00 dia merenungkan hal-hal setahun yang sudah lewat sampai menangis. Dadanya merasa sesak, air matanya bercucuran. Kemudian dia berdoa, sampai beberapa menit melewati pukul 24.00 atau pukul 00.00. Setelah itu dia merasa puas, lega. Pada suatu kesempatan menjelang Tahun Baru, orang ini tertidur, dan terbangun sudah pukul satu malam. Dia tidak sempat melakukan ritual menangis menjelang tutup tahun, juga tidak sempat berdoa sampai melewati tengah malam. Dia kecewa, dia susah, sangat tertekan, tidak bahagia. Bagaimana mengatasi hal ini?

Satu cara mungkin dia menghibur dirinya dengan mengatakan, "Ini toh bukan ajaran agamaku, menangis menjelang tutup tahun dan berdoa sampai lewat tengah malam bukan kewajiban agama. Jadi aku tidak perlu menyesal, tidak perlu bersedih.” Bisa juga diatasi dengan pandangan filosofis, "Yah, kalau malam hari ini lupa menangis dan lupa berdoa, bukan berarti kehidupan saya setahun yang akan datang ditentukan oleh tangisan dan doa awal tahun. Saya tidak menangis, tidak berdoa, tidak melakukan ritual itu, karena tertidur. Bukan berarti kehidupan saya setahun kemudian buruk.” Itu pandangan filosofis. Tetapi diatasi dengan dalil agama, diatasi dengan pandangan filosofis, dia tetap saja merasa kecewa; ada sesuatu yang mengganjal rasanya. Karena, dia melewatkan akhir tahun ini dengan tidak menangis dan tidak berdoa. Dia sulit menghilangkan kekecewaan, penderitaan, dan ganjalan itu. Mengapa? Karena kebiasaan itu sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun dan memberikan kenikmatan; menangis akhir tahun memberikan
kenikmatan, berdoa akhir tahun juga memberikan kepuasan, dan tahun ini dia tidak melakukannya, maka menjadi penderitaan, ketegangan, ganjalan, dan sebagainya.

Sebenarnya cara yang baik untuk mengatasi hal-hal yang mengganggu pikiran dia itu adalah dengan menyadari pada saat timbul pikiran, "Aku kok tidak menangis," disadarilah. Tidak usah dilawan dengan dalil agama, tidak usah dicarikan alasan filosofis, dengan disadari, maka hal itu akan hilang sendiri. Ketegangan itu akan berhenti, ganjalan itu akan berhenti. Tetapi, nanti bisa muncul kembali karena kadar kelekatan, kelengketan itu cukup kuat, ritual itu sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun, dan kesempatan itu hanya terjadi sekali saja pada akhir tahun, sedangkan tahun ini dia lupa. Kalau penyesalan itu muncul kembali, kemudian diikuti dengan penderitaan, dengan ketegangan, maka sadari kembali. Dalam bahasa daerah disebut: 'eling’ kembali. Saat kita sadar, saat kita eling, itu akan berhenti. Itulah, Ibu, Bapak & Saudara, pengalaman yang Ibu, Bapak & Saudara dapatkan selama Ibu, Bapak & Saudara bermeditasi secara intensif di Vihara Mendut ini.

Perkenankan saya untuk memberikan tambahan cerita. Beberapa waktu yang lalu, beberapa kali saya diundang dalam pertemuan lintas agama yang juga dihadiri tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat yang datang dari Poso, dari Ambon, dari daerah yang dilanda konflik dalam waktu yang panjang. Di antara mereka yang hadir di Yogyakarta dari daerah-daerah konflik itu, ada keluarga atau famili mereka yang menjadi korban,
meninggal dunia. Dan tidak hanya satu-dua orang. Apa yang menjadi
persoalan? Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menyembuhkan luka batin; mereka menggunakan istilah 'luka batin' karena kepedihan,
kesedihan, penderitaan yang kemudian muncul menjadi kebencian, dendam, sulit untuk diatasi. Ajaran agama dikemukakan; di dalam pandangan Buddhis, "Terima saja. Apa yang terjadi adalah akibat dari karma, perbuatan Anda sendiri yang lampau." Saudara-saudara kiami yang lain mengatakan, "Terima saja, itu sudah takdir Tuhan." Tetapi dengan jujur mereka mengatakan, "Saya mengerti penjelasan itu, tetapi sangat sulit saya mengatasi luka batin yang menekan batin saya." Bahkan di antara mereka ada yang
mengatakan, "Anda dengan mudah bisa mengucapkan pandangan-pandangan yang arif, yang bijak, karena Anda tidak mengalami sendiri, bagaimana kalau suami Anda, atau anak Anda, atau orang tua Anda di bunuh. Dan ada yang tidak hanya satu, tetapi lebih dari satu anggota keluarga kita yang dibunuh. Kita masih bisa melihat, bertemu dengan pembunuh-pembunuhnya; sulit mengatasi luka batin itu.”

Pada kesempatan itu, saya pun menyampaikan kepada mereka cara kesadaran. Luka batin itu, yang memedihkan, menyedihkan, yang mungkin sangat
mendalam, yang menimbulkan kebencian, dendam, cobalah tidak usah diatasi dengan bermacam-macam dalil atau alasan. Batin Anda tidak perlu dihibur dengan berbagai alasan. Karena nanti batin Anda akan menolak terus, menolak, menolak; menolak alasan atau hiburan yang datang untuk memadamkan kepedihan dan luka batin itu. Akan terjadi perdebatan yang hebat antara batin yang pedih dan terluka dengan alasan atau hiburan yang kita
munculkan.  Oleh karena itu, sadari saja. Sadari kalau memori itu muncul, kalau kebencian itu muncul, sadari. Kalau keinginan untuk membalas itu muncul, sadari. Kalau rasa pedih tiba-tiba muncul tanpa alasan, sadari. Dia akan padam. Harapan saya semoga mereka bisa memahami, dan kemudian melakukan; karena tidak banyak di antara mereka yang pernah bermeditasi. Kalau Ibu, Bapak & Saudara pernah bermeditasi, meskipun tidak lama, atau tidak sering mengikuti retret meditasi seperti ini, Ibu, Bapak & Saudara akan mengerti, apakah yang disebut dengan kesadaran itu, apakah yang disebut dengan eling itu: sangat berguna. Saya memilih istilah 'sangat berguna' dibandingkan dengan istilah 'sangat mulia', 'sangat
berharga'—sangat berguna—untuk membebaskan segala macam beban pikiran atau beban mental kita.

Perkenankan saya memberikan tambahan cerita; Ibu, Bapak & Saudara
sehari-hari juga mendapatkan beban mental dari keseharian yang sederhana dan mungkin juga berat. Kita mungkin tiba-tiba teringat bahwa dua-tiga hari kemudian akan menghadapi suatu masalah yang berat, maka timbullah beban mental. Dan itu sampai membuat seseorang pucat, bersedih, ketakutan. Kalau Ibu, Bapak & Saudara pernah bermeditasi mengerti kesadaran,
sadarilah, elinglah, maka beban mental itu akan padam, sesaat. Kalau nanti muncul kembali, sadari kembali. Kalau Ibu, Bapak & Saudara sering
menghadirkan kesadaran, maka kesadaran itu juga akan sering hadir, menyadari pikiran, perasaan yang timbul.

Ibu, Bapak & Saudara,

Pada saat kesadaran itu absen, pikiran yang membebani mental kita itu sangat menekan, membuat kita merasa seperti tidak ada lagi jalan untuk terbebas; mengeluh, bahkan ada yang menangis meraung-raung
bergulung-gulung. Tetapi begitu kita sadar, maka berhentilah
tekanan-tekanan mental yang begitu berat. Kita juga harus menyadari kenikmatan, kesenangan, kepuasan yang muncul; tidak hanya kesedihan, tidak hanya kemarahan, tidak hanya keinginan-keinginan yang buruk; karena kesenangan, kepuasan, kenikmatan yang muncul itu kalau tidak disadari akan menimbulkan ketagihan.

Ibu, Bapak & Saudara,

Saya akan menguraikan sedikit lagi sebagai bagian akhir uraian pagi hari ini. Hal yang paling penting bagi kita sebetulnya adalah
menyadari—meskipun tidak mampu terus-menerus—sebanyak mungkin terhadap munculnya pikiran keakuan. Kadang-kadang timbul pikiran, "O, aku lebih baik dari dia," dalam berbagai hal: pengetahuan, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya. Itu adalah keakuan, yang kalau tidak disadari, tentu keakuan itu akan berkembang, menimbulkan kecongkakan, menimbulkan kesombongan, dan menimbulkan tindakan-tindakan yang bisa merugikan orang lain. Pikiran keakuan yang lain adalah, "O, aku masih sama dengan dia, tidak lebih tinggi, tidak lebih rendah." "Apakah ini juga keakuan, Bhante?"—Ya, ini adalah keakuan juga, dan pikiran keakuan itu kalau tidak disadari, maka akan berkembang, membuat seseorang kemudian berpikir, "Karena saya masih sama, maka saya harus melakukan sesuatu sehingga bisa melebihi dia." Atau pikiran yang lain timbul, “Karena saya sama, maka saya tidak lebih jelek dari dia." Pikiran keakuan lain lagi yang timbul adalah, "O, saya masih lebih rendah dari dia, saya lebih bodoh, saya lebih tidak mengerti, meditasi saya lebih jelek." Ini pun keakuan. Kalau keakuan ini tidak diatasi, akan membuat beban mental yang lain.

"Lalu bagaimana, Bhante, mengatasinya? Apakah dengan pandangan-pandangan filosofis, bahwa merasa lebih rendah juga berbahaya, merasa sama juga ada risikonya, merasa lebih tinggi juga membahayakan yang lain?”—Tidak. Ibu, Bapak & Saudara yang mengerti kesadaran, pernah melatih meditasi dan tetap melatih meditasi, sadari saja keakuan itu, maka keakuan itu akan padam. Aku yang merasa lebih, aku yang merasa sama, atau aku yang merasa kurang dari yang lain, sadari saja!

"Tetapi apakah kita tidak boleh melakukan sesuatu, Bhante?"—Mengapa tidak boleh? Lakukanlah hal-hal yang baik, karena Anda tidak sepanjang masa tinggal di vihara, retret, Anda berada di masyarakat. Lakukanlah hal-hal yang baik tanpa membandingkan antara aku dengan yang lain: "O, aku lebih rendah, aku lebih kurang, aku harus berbuat lebih dari dia." "O, aku sama dengan dia, aku harus melanjutkan yang sama ini supaya tidak melorot, atau menambah supaya lebih tinggi." "O, aku lebih tinggi dari dia, aku sudah cukup, dan aku harus mempertahankan kondisi yang lebih tinggi ini supaya tidak melorot."

Dalam kehidupan biasa memacu diri dengan cara membandingkan dirinya terhadap orang lain mungkin ada baiknya, tetapi dalam perkembangan membebaskan pikiran kita dari penderitaan, pandangan seperti itu tidak bermanfaat. Lakukanlah hal-hal yang baik tanpa membandingkan antara aku dengan yang lain.

Ibu, Bapak & Saudara,

Oleh karena itu, bolehlah saya memesankan: meditasi tidak berhenti pada hari ini; lanjutkan dalam keseharian Ibu, Bapak & Saudara. Hadirkan kesadaran untuk menyadari pikiran apa pun, perasaan apa pun yang menjadi beban mental, tekanan batin, luka batin, ataupun kepuasan, kebahagiaan, kenikmatan; sadari, sadari. Dengan menyadari kita akan membebaskan mental kita, batin kita, dari beban; mungkin hanya sesaat, tetapi itulah
kebebasan. Anjuran saya juga, duduklah bermeditasi sehari paling tidak satu kali, setengah jam atau satu jam. Memang kesadaran itu bisa hadir pada saat kita duduk, pada saat kita berdiri, berjalan atau berbaring, tetapi para guru meditasi menjelaskan bahwa dalam posisi duduk maka hadirnya kesadaran menjadi lebih kuat, lebih tajam.

Ibu, Bapak & Saudara,

Guru Agung Buddha Gotama juga mengatakan "Ajaran yang Kuajarkan ini seperti rakit. Kalau rakit itu tidak digunakan menyeberang di sungai, hanya dipegang atau dijunjung di atas kepala saja,  tentu tidak
bermanfaat. Sering Dhamma yang diajarkan oleh Guru Agung Buddha Gotama itu oleh umat Buddha dijadikan bukan sebagai rakit, tetapi hanya dipegang di atas kepala, sehingga ajaran itu kemudian sering menimbulkan perdebatan. "Perdebatan dengan siapa, Bhante? Dengan orang lain?"  Yang lebih sering, berdebat dengan dirinya sendiri. "Ajaran mengajarkan begini, tetapi diriku mengapa masih seperti ini, aku masih belum maju, belum bisa melaksanakan ajaran. Ajaran mengajarkan seperti ini, tetapi aku bersikap begini. Hal ini tidak termasuk yang dibolehkan atau yang dilarang? Tetapi melanggar sedikit, boleh, ‘kan?” Begitulah, timbul perdebatan—mungkin dengan istilah lain: pertikaian—timbul pertikaian antara ajaran yang diketahui,
dimengerti, diyakini, dengan kondisi batinnya, dengan perilakunya yang masih belum cocok. Perdebatan atau pertikaian ini menimbulkan ketegangan, rasa bersalah, merasa menjadi umat yang belum mampu mengikuti ajaran, bahkan sering juga timbul pemikiran: "Apakah meditasiku ini sudah benar?" Dan hal-hal itu kemudian menjadi masalah dalam pikirannya sendiri. Sulit dihilangkan. Nah, perdebatan-perdebatan, pertikaian-pertikaian di dalam pikiran kita sendiri itu harus berhenti dengan kesadaran. Pada saat kesadaran hadir, pada saat itu kita mulai menggunakan rakit itu, tidak meletakkan rakit hanya di atas kepala; karena pada saat kesadaran hadir, pada saat kita eling, perdebatan atau pertikaian di dalam pikiran antara ajaran dengan kondisi dirinya, keragu-raguan, dan sebagainya, menjadi padam. Itulah kebebasan, meskipun hanya sesaat.

Kalau boleh dinamakan 'tujuan', tujuan kita bermeditasi adalah kebebasan; kebebasan dari kelekatan, dari kelengketan terhadap apa pun. Dan kalau Anda menghadirkan kesadaran, Anda mengalami kebebasan itu. Bukan sesuatu yang nun jauh di sana, dan harus dicapai setelah kita dilahirkan
berulang-ulang, melainkan sekarang juga. Pada saat kesadaran hadir, Anda mengalami kebebasan. Kesadaran itu membebaskan.

Semogalah latihan Ibu, Bapak & Saudara memberikan manfaat, sekarang dan juga untuk kemudian. Terima kasih.


32
OOT sih, tapi Menarik.... ternyata dalam jhana 1-4 masih ada pikiran......

Tergantung apa definisi 'pikiran'.
Kalau 'pikiran' = discursive thinking = vitakka-vicara, jelas dalam jhana 2-4 tidak ada lagi, begitu teorinya.
Jadi kata 'pikiran' harus dijelaskan dulu, apa artinya, apa padanannya dlm bhs Inggris.

33
_/\_ Hm ternyata seru juga yah antara pengkotakan MMD dan pengkotakan agama Buddha disini.

Well sedikit sharing, coba belajar dari seorang bhikkhu yang menjalani Dhutanga Vinaya atau kita sebut bhikkhu hutan. mereka tidak pernah mengikatkan diri pada pengkotakan Pitaka. setelah mereka belajar teoritis dari Wat maka mereka memutuskan untuk masuk ke hutan dan menjalankan apa yang persis dijalankan Gotama Buddha di masa lampau.

Di hutan , tidak ada Pitaka,tidak ada juga ayat ayat Sutta,tidak ada juga dupa,tidak ada juga rupang Buddha, tidak ada juga ritual segala macam, hanya ada seorang bhikkhu itu sendiri dan alam. bagaimana mereka mempraktekan Ajaran Buddha ? apakah terus2an membuka Pitaka Sutta, terus2an mengkotakan diri dengan adanya 1,2,3,4,5,6,7,8?

Mereka mengalami langsung, meditasi yang membawa pemahaman Samadhi. Kebenaran di luar dari konsep yang telah dibukukan. kalau anda bertemu seorang Ajahn,katakanlah dari buku Ajahn Chah,maka anda akan menemukan bahwa Ajahn Chah sangat jarang membahas kotak2,apa yang dia terima langsung adalah ekspresi langsung tanpa konsep.

Konsep digunakan untuk pemula dalam belajar namun ketika turun ke lapangan, konsep hanyalah sebatas panduan yang bisa dipegang namun ketika mahir tidak lagi dipegang.

Kita terkotak2, belalang yang ditaruh dalam kotak hanya akan loncat setinggi kotak itu,bedakan dengan belalang yang tumbuh di luar.

Saya tidak membela siapapun,hanya ingin kalian melihat kembali ke dalam praktik kalian, banyak pemahaman yang kalian tahu kecil tapi dianggap sangat besar. belum tentu...recheck kembali kata2 sebelum anda memuntahkan segalanya dalam tulisan.

Wah, anumodana untuk sharing renungannya. ... bagus sekali.
Saya copas ke situs MMD & ke milis-milis Buddhis. :)

34
for hudoyo


mmd bisa bikin i tahu kehidupan lampau gak?

ada step by step nya gak?

Sudah dijawab dengan telak oleh Rekan Nyanadhana. :)

35
Dari: Milis Samaggiphala

Dari: Ika Polim

sampai saat ini jika berdiskusi ttg kata tuhan thdp "ajaran lain" dipandang dr ajaran buddha, maka kecenderungan paling pasti yang akan terjadi adalah para buddhis akan pasti menampilkan "sesuatu jawaban" versinya dr apa yang dipahaminya secara buddhis, namun yang sebenarnya terjadi thdp mereka adalah cuma "ketidaktahuan" dan "penganggapan yang berlebihan" saja! buktinya?
buktinya adalah : memang ada dlm tipitaka yang berbicara ttg tuhan? sedangkan kata tuhan gak pernah munul dlm berbagai versinya disana!

kecenderungan berikutnya adalah pertanyaan balik kpd para pengikut "ajaran lain"itu sbb: jika seorg anak dilahirkan cacat, apakah hal buruk itu iptaan tuhan?

jika pertanyaan itu dijwb dgn sbb: apakah anda ingin mengatakan bahwa hal buruk itu merupakan akibat bekerjanya hukum karma pada anak itu? dan apakah hukum karma berkepentingan dgn kelahiran yang cacat itu? jika ya, bisa anda tunjukan how?

maka dptlah disimpulkan (sementara) bahwa hanya krn "ketidaktahuan" dan "penganggapan yang berlebihan" saja , jwbaN serta cntoh yg diberikan oleh para buddhis itu didasarkan!

ika.

=========================
HUDOYO:

Manusia menciptakan dengan akal-budinya pengertian tentang Tuhan (yang bukan hakikat sebenarnya dari Kebenaran/Al-Haq) untuk menjelaskan pengalaman hidup manusia yang sekali berada di atas dan sekali di bawah, dengan mengembalikan semuanya kepada kodrat dan iradat Illahi.

Begitu pula, manusia menciptakan doktrin-doktrin tentang Hukum Karma (padahal Sang Buddha telah wanti-wanti agar umat Buddha jangan mikir-mikir tentang Hukum Karma) juga dengan maksud untuk menjelaskan pengalaman hidup manusia yang sekali berada di atas dan sekali di bawah, dengan mengembalikan semuanya sebagai buah (phala) dari perbuatan (karma) manusia sendiri.

Kedua cara berpikir (paradigma) itu telah berkembang selama ribuan tahun di bagian-bagian dunia yang saling terpisah: yang satu di Timur Tengah, yang kemudian melahirkan agama-agama yang diklaim sebagai "agama samawi"; dan yang lain di anak benua India dan lebih ke Timur lagi, yang melahirkan agama-agama non-teistik.

Dalam perkembangannya, kedua cara berpikir/paradigma itu telah membentuk suatu sistem pemikiran yang logis dan konsisten sehingga tidak mungkin diruntuhkan oleh argumentasi dari satu pihak kepada pihak yang lain. Seorang yang beriman kepada Tuhan YME tidak akan mampu secara obyektif meruntuhkan sistem pemikiran Hukum Karma tanpa asumsi-asumsi ketuhanan tertentu yang menegasikan Hukum Karma. Sebaliknya, seorang yang percaya penuh kepada Hukum Karma tidak akan mampu secara obyektif meruntuhkan sistem pemikiran teologis tanpa asumsi-asumsi tertentu berdasarkan Hukum Karma itu sendiri yang menegasikan teologi.

Dengan demikian, perdebatan tentang "Tuhan vs Hukum Karma" ini adalah perdebatan yang sia-sia dan menggelikan. Ibarat seorang Inggris berdebat dengan seorang Rusia, yang di situ masing-masing menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengerti bahasa pihak yang lain.

*****

Bagaimanakah sikap yang tepat dalam menghadapi masalah itu? - Seorang pemeditasi vipassana/MMD akan dengan cepat bisa melihat bahwa baik teologi (ilmu kalam) maupun diskusi-diskusi tentang Hukum Karma oleh umat Buddha tidak lebih daripada spekulasi pikiran manusia belaka, yang sama sekali tidak membebaskan. Kalau orang melihat itu, maka ia tidak akan pernah lagi melibatkan diri dalam diskusi tentang teologi maupun hukum karma.

Saya hanya mengingatkan kembali akan peringatan Sang Buddha akan empat hal yang seharusnya tidak dipikirkan oleh manusia (acinteyya): salah satunya adalah Hukum Karma (kamma-vipaka). Sang Buddha secara eksplisit menyatakan, orang yang memikir-mikir tentang hal itu 'bisa menjadi gila'.

Saya rasa, dari sisi agama monoteistik, ada pula peringatan-peringatan yang mirip seperti itu datang dari "atas", agar manusia tidak memikir-mikir tentang Tuhan. - Dalam Al-QUr'an dikatakan: "Hanya sedikit pengetahuan diberikan kepadamu perihal RUH." - Dalam Alkitab, Tuhan dengan tegas menyerukan: "DIAMLAH, dan ketahuilah Aku Tuhan." (Mazmur)

Salam,
Hudoyo

36
[at] bro hudoyo

bisa tolong dijelaskan yg ini?

karena menurut LOGIKA Anda di atas maka Sang Buddha pun mengajarkan "NIHILISME" kepada kedua orang itu, sebagaimana Krishnamurti dan saya mengajarkan "nihilisme" di abad ke-20 dan 21 ini.


bagian mana dari tulisan bro markos yg menunjukkan bahwa SB mengajarkan nihilisme?

Bacalah pelan-pelan dengan cermat Bahiya-sutta dan Mulapariyaya-sutta ... Anda akan menemukan isinya persis sama dengan apa yang dikatakan Markos tentang Krishnamurti.


37
Re: Perbedaan vipassana "tradisional" dengan vipassana MMD

Dari: Milis Samaggiphala

Dari: MARKOS PRAWIRA


Sangat kontras sekali :

<< Di dalam MMD, hanya ada 'sati' (sadar/eling). Tidak dibagi-bagi menjadi "Delapan Jalan Utama", Sila, Samadhi, Pannya; pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar penghidupan benar ... dsb dsb. >>

dengan salah satu dari kesepakatan mengenai apakah sesuatu itu Buddhism atau bukan:

*Pokok-Pokok Dasar Pemersatu Theravada dan Mahayana *
*(MENURUT KONGRES SANGHA BUDDHIS SEDUNIA DI SRI LANGKA, DESEMBER 1966)*

4. Kami mengingat bahwa tujuan hidup adalah mengembangkan belas kasih untuk semua makhluk tanpa diskriminasi dan berusaha untuk kebaikan, kebahagiaan, dan kedamaian mereka; dan untuk mengembangkan kebijaksanaan yang mengarah pada perealisasian Kebenaran Tertinggi.Kami menerima Empat Kebenaran Arya, yaitu dukkha, penyebab timbulnya dukkha, padamnya dukkha, dan *jalan menuju
pada padamnya dukkha*; dan menerima hukum sebab dan akibat (Paticcasamuppada/ Pratityasamutpada).

*Magga , kebenaran bahwa pembebasan ini dapat dicapai melalui Jalan Tengah yang terdiri dari delapan faktor, yang mendorong ke arah kesempurnaan akan kemoralan (sila), disiplin mental (samadhi), dan kebijaksanaan (panna).*
**
dan bahwa Satipatthana hanyalah salah empat dari 37 kualitas yang membantu menuju Pencerahan pada poin 8 yaitu
*1. Empat Bentuk Landasan Perhatian Benar (Pali: satipatthana; Skt. smrtyupasthana);*
2. Empat Daya Upaya Benar (Pali. sammappadhana; Skt. samyakpradhana);
3. Empat Dasar Kekuatan Batin (Pali. iddhipada; Skt. rddhipada);
4. Lima Macam Kemampuan (indriya: Pali. saddha, viriya, sati, samadhi, panna; Skt. sraddha, virya, smrti, samadhi, prajna);
5. Lima Macam Kekuatan (bala: saddha, viriya, sati, samadhi, panna; Skt. sraddha, virya, smrti, samadhi, prajna);
6. Tujuh Faktor Pencerahan Agung (Pali. bojjhanga; Skt. bodhianga);
7. Delapan Ruas pada Jalan Mulia (Pali. ariyamagga; Skt. aryamarga).

Disini jelas terlihat bahwa MMD hanya menjalankan Buddhism secara separuh2 saja karena tidak menjalankan Jalan Mulia berunsur delapan

Pun hanya Sati saja, yg notabene hanya salah 4 dari 37 faktor saja

Semoga perbedaan ini bisa bermanfaat bagi kita semua........

===========================================

HUDOYO:

hehe ... :) ... Memang sangat kontras sekali, Rekan Markos Prawira. ...

Apanya yang kontras? Kontras antara pemahaman Anda sebagai PAKAR KITAB SUCI (Tipitaka Pali), yang hafal seabrek-abrek kata-kata Pali,  dan pemahaman saya sebagai pemeditasi vipassana, yang di dalam meditasi vipassana kitab suci mana pun tidak relevan lagi, termasuk kitab suci Buddhis. ... :)

Di dalam MMD, ketika para pemeditasi mulai duduk diam menyadari gerak-gerik pikiran masing-masing, maka SELURUH apa yang Anda tulis di atas RUNTUH ... karena semua itu tidak lain adalah pengertian teoretis, kata-kata di dalam kepala, gerak-gerik pikiran, yang sama sekali tidak membebaskan.

Jangankan dengan doktrin-doktrin yang Anda tampilkan itu, bahkan di dalam meditasi vipassana, gambaran (image) yang ada di dalam kepala tentang Buddha, Dhamma dan Sangha itu pun runtuh ... karena itu pun cuma angan-angan pikiran belaka yang sama sekali tidak membebaskan. ...

Melihat apa yang ada (yathabhutam nyanadassanam) bukanlah melihat Buddha, Dhamma & Sangha bagi umat Buddha, bukanlah melihat Yesus Kristus bagi umat Keristen, bukanlah melihat Al-Qur'an dan Muhammad bagi umat Islam.

Kebenaran bukan milik Buddha, atau milik salah satu nabi itu, atau milik siapa pun ... Kebenaran tidak punya merek.

*****

Silakan Anda mengumpulkan seribu bhikkhu dalam Kongres Sangha Buddhis Sedunia itu untuk mendukung pernyataan Anda itu. Saya cukup dengan satu bhikkhu Indonesia saja: Sri Pannyavaro Mahathera.

Salam,
Hudoyo


38
Quote
dan bahkan tidak mungkinlah TIPITAKA terbentuk........karena ada "ide"/ "aku" yang ingin menuliskan Tipitaka itu ke Daun.

Yang menghafalkan dan menulis Tipitaka itu bukan arahat, bukan orang yang telah bebas. Orang yang telah bebas tidak punya motivasi untuk menulis kitab suci.
Jadi penasaran...
Siapa yah yang mengajarkan Dhamma, dan mempopulerkan dhamma,
Siapa pula yang mengkotbahkan sutta-sutta yang didalam tipitaka...

Apa pula motivasi'nya?
Masa iya orang yang telah bebas punya motivasi untuk berkhotbah?

Seorang yang telah bebas sempurna --seperti Buddha, Krishnamurti-- tidak akan mengajarkan kebenaran dengan merek tertentu. Mereka sekadar bicara tentang kebenaran, dan kebenaran mereka tidak bisa dibedakan satu dari yang lain ...  tapi para pendengarnyalah yang sibuk memberi merek dan mempertentangkan merek-merek.

39
for MMD

gratis gak?

boleh berhenti gak?

mengikat gak?

ada bukunya gak?

bukunya gratis gak?

ebooknya donk.

Silakan download e-book "Vipassana Bhavana - Meditasi Mengenal Diri", oleh: Sri Pannyavaro Mahathera & Hudoyo Hupudio, dari Rapidshare: http://rapidshare.com/files/180800249/Vipassana_Bhavana_MMD.pdf

40
dear Kai,

Beberapa hal yang sampai saat ini masih dipegang dari MMD adalah :
-   tidak mengakui JMB8 yg notabene sudah dinyatakan dgn jelas sebagai satu2nya jalan utk mencapai nibbana
-   hanya mengakui tentang sati saja, yg notabene hanya merupakan salah empat dari 37 faktor
-   Mengusung ajaran J. Khrisnamurti, namun menggunakan label Buddhism.
Padahal ajaran J. Khrisnamurti sudah jelas berisikan mengenai Nihilisme, yg merupakan salah satu dari pandangan salah mengenai Atta yg disebut dalam Brahamajala Sutta
-   mengenai Terhentinya Pikiran : sudah jelas ini selaras dengan Nihilisme itu, jadi tidak ada apapun.
Berbeda sekali dengan Buddhism dimana pada saat mencapai nibbana sekalipun, selalu ada proses batin (pikiran/citta dan cetasika/faktor batin)

Kalau mau dilihat metode MMD yg tidak sesuai dengan meditasi adalah :
1.   Prinsip Nihilisme : tujuan bhavana adalah pencapaian nibbana. Sementara krn prinsip MMD berasas dari JK maka akan berujung pada Sunya/Kosong.
2.   Pada MMD, disebut bhw pada Arahat ada tahap terhentinya pikiran. Ini sangat keliru karena spt yg sy sebut diatas. Ini yg membuat org ”anti” thd pikiran itu, yg jika dikembangkan terus, dlm kelahiran mendatang mgkn bisa menjadi mahluk asannasatta (tidak punya sanna atau batin) karena dlm kelahiran saat ini, batinnya terus mengembangkan konsep nihilisme itu sendiri

Dan sampai saat ini, bro hudoyo masih terus hal2 yg disebut diatas......

silahkan bro Kai nilai sendiri

HUDOYO:

Rekan Markos Prawira,

Memang Anda menguasai kitab Abhidhamma Pitaka, tapi Anda tidak memahami ajaran Buddha Gotama berikut ini:

"Seorang arahat/buddha mengalami langsung nibbana, tapi tidak membayangkan nibbana, TIDAK BERPIKIR: 'Aku di dalam nibbana, aku berhadapan dengan nibbana, aku memiliki nibbana, aku berbahagia di dalam nibbana." ... Ini diulangi untuk semua pikiran apa pun yang bisa dipikirkan oleh manusia ... Dengan kata lain, Sang Buddha menegaskan, dalam diri arahat/buddha TIDAK ADA LAGI PIKIRAN yang berkaitan dengan aku, sebagaimana seorang puthujjana SELALU berpikir. Dengan kata lain, Sang Buddha hendak menegaskan bahwa dalam batin seorang arahat/buddha TIDAK ADA LAGI PIKIRAN SEBAGAIMANA PUTHUJJANA BERPIKIR!

Lalu Anda juga tidak memahami tuntunan vipassana ajaran Buddha Gotama kepada Bahiya & Malunkyaputta: "Bahiya, lakukan demikian: di dalam apa yang terlihat hanya ada yang terlihat [jangan diikuti oleh si aku & pikiran yang menanggapi apa yang terlihat] ... begitu seterusnya dengan semua yang tercerap dan semua yang dapat dikenal ... Kalau kamu bisa berada dalam keadaan itu, maka KAMU TIDAK ADA LAGI, KAMU TIDAK ADA DI MANA PUN JUGA! Itulah akhir dukkha."

KESIMPULAN:

Anda sama sekali tidak memahami ajaran Sang Buddha dalam Bahiya-sutta & Malunkyaputta-sutta, karena menurut LOGIKA Anda di atas maka Sang Buddha pun mengajarkan "NIHILISME" kepada kedua orang itu, sebagaimana Krishnamurti dan saya mengajarkan "nihilisme" di abad ke-20 dan 21 ini.

Yang Anda kuasai hanyalah isi Abhidhamma Pitaka yang dikarang oleh bhikkhu-bhikkhu non-arahat yang datang belakangan sesudah Sang Buddha, dan diklaim sebagai ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada ibunya di langit.

Salam,
Hudoyo

41

Bro Kainyn....

MMD = ajaran
Pak Hud = pendiri MMD

Kalo Pendiri & Praktek MMD aja batinnya merosot (dalam kehidupan sehari2 ato cara dia diskusi di milis/forum), gimana dengan pengikutnya yg menjalankan ajaran itu? Mari kita renungkan....;D
_/\_ :lotus:

:) :) :)

Salam,
Hudoyo

42
Seseorang yang tidak melekat pada label tapi ingin punya label =)) =))

Wah, udah jadi "Global Moderator" ya?  ckckckck ....

43
saya mengerti anda katakan......masalah nya ketika mempraktekkan hal ini....seperti nya kebijaksanaan saya malah tertutup dan lebih memilih diam bengong ditempat

misalkan........
sy merasakan gatal......karena sadar maka tidak jadi di garuk.
sy merasakan haus......karena sadar maka tidak jadi minum.
sy merasa badan gerah......karena sadar maka tidak jadi mandi.........

pergi ke vihara pun...bahkan saya tidak ingin namaskara lagi..........karena sadar....tetapi lebih memilih namaskara. akhir nya di lakukan............

bukankah ini namanya sedang salah belajar? mohon bimbingan _/\_

"Tidak jadi menggaruk", "tidak jadi minum", "tidak jadi mandi", "tidak ingin namaskara"--KALAU itu memang benar-benar terjadi pada Anda, dan di sini saya mulai meragukan kejujuran Anda!--itu tidak lebih daripada REAKSI dari si aku lagi. ... Yang tadinya tanpa berpikir panjang dilakukan, sekarang segala sesuatu dinegasikan ... kedua-duanya adalah reaksi si aku terhadap suasana di sekitarnya.

Di dalam sadar yang sebenarnya, tidak ada yang seperti itu, tidak ada pola tertentu yang diikuti: kalau gatal, bisa menggaruk bisa pula tidak; kalau haus, bisa minum bisa pula tidak; kalau badan gerah, bisa mandi bisa pula tidak. ... Jadi sadar itu bukan berarti melahirkan suatu pola tingkah laku yang seragam dan bisa diprediksi lebih dulu, seperti perilaku orang yang selalu terseret oleh pikirannya.

Kalau benar-benar bisa sadar seperti itu, tanpa mencari-cari pola perilaku lagi, maka itu bukan "salah belajar", karena di situ orang melihat mulai runtuh dan berakhirnya peran si aku & pikiran ... sampai akhirnya yang mengambil alih adalah apa yang disebut-sebut oleh Buddha dalam Udana 8.3., "SESUATU yang tak dilahirkan, tak terbentuk, tak tercipta, tak terkondisi", yang BUKAN AKU lagi.

Jadi di sini orang "belajar dengan benar" karena yang menjadi garapan adalah si aku & pikiran ini sampai lenyap, itulah akhir dari dukkha.


Quote
dan keraguan saya menjadi-jadi ketika mengingat fenomena seperti.............
Y.M Sariputta memuji Y.M Mahamoggalana.
Sang buddha sendiri memuji murid nya......seperti Y.M Upali yang terunggul dalam vinaya

Ini sudah saya jawab, tidak perlu diulang-ulang lagi. Jangan mencoba-coba memahami jalan pikiran seorang arahat, sebelum Anda sendiri menjadi arahat.


Quote
dan lebih parah lagi................pada waktu seseorang kenalan bertemu....dia tersenyum.....sy seperti tidak merespon....
dan akhir nya muncul perenungan cepat.....dan sy memilih merespon........

Di sini Anda terseret lagi oleh pikiran dan kehidupan sehari-hari karena rasa malu terhadap orang lain; Anda tidak lagi bervipassana.

Di dalam retret MMD saya tekankan agar setiap peserta menganggap dirinya berada seorang diri di tengah hutan, tanpa memandang mata atau menghiraukan sesama peserta, sekalipun itu saudara atau temannya sendiri.


Quote
dan bahkan tidak mungkinlah TIPITAKA terbentuk........karena ada "ide"/ "aku" yang ingin menuliskan Tipitaka itu ke Daun.

Yang menghafalkan dan menulis Tipitaka itu bukan arahat, bukan orang yang telah bebas. Orang yang telah bebas tidak punya motivasi untuk menulis kitab suci.



Quote
----------------------------------------------------
di satu sisi saya ingin tanyakan.............

anda kata saya menggerakkan tangan saya ke-atas...............yang manakah lebih dulu.
1.keinginan(cettana) untuk menggerakkan tangan
2.kesadaran(kesadaran pada waktu menggerakkan tangan)_/\_

Di sini bukan tempat berteori atau menganalisis mana yang lebih dulu, apa gunanya tahu mana yang lebih dulu? Sama sekali tidak ada gunanya; sekalipun jelas cetana SELALU mendahului tindakan, sedangkan sati adalah kesadaran yang mengamati semuanya, mulai sejak dari cetana, sampai pada terjadinya gerakan atau tidak terjadinya gerakan.

Sadari saja SI AKU di balik setiap cetana. ITu yang penting, karena si AKU itulah yang menyeret Anda di dalam penderitaan.

Salam,
Hudoyo

44
<< Ada penggiringan atau tidak, kurang bermanfaat utk diduga2. >>

Ini bukan dugaan, melainkan fakta dari setiap kelompok di mana saja di mana ada otoritas; sekalipun cuma dalam bentuk moderator yang berhak menentukan mana yang Buddhis dan mana yang non-Buddhis.

45
o iya, nggantung terus ... sampai akhir zaman

Pages: 1 2 [3] 4 5 6 7 8 9 10 ... 128
anything