//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - hudoyo

Pages: 1 2 3 4 5 6 7 [8] 9 10 11 12 13 14 15 ... 128
106
Tidak selalu Bodhisattva lebih tinggi. Arahat setara dengan Bodhisattva Bhumi ke-6 dalam Mahayana. Kalau Bodhisattva Bhumi pertama justru malah 'lebih rendah' ketimbang Arahat.

Di dalam ajaran & budaya Vajrayana (Buddhisme Tibet), Bodhisattva dan Buddha hampir tidak dapat dibedakan lagi. ... Bodhisattva Manyusri disebut juga Buddha Manyusri. ... Orang Tibet percaya bahwa di sekitar mereka terdapat banyak Buddha dalam bentuk guru-guru yang hidup. Ini berbeda dengan kepercayaan di Theravada bahwa dalam satu zaman hanya ada satu Buddha. ...

Quote
Hampir menyamai..... tapi masih ada klesha:

Di dalam ajaran Vajrayana, seorang tokoh-Buddha bisa beremanasi (memancar) menjadi Bodhisattva ... dst ... bahkan menjadi tokoh-tokoh historis, seperti Padmasambhava & pasangan perempuannya, Tsogyel, dsb. ...

http://www.berzinarchives.com/web/en/archives/e-books/unpublished_manuscripts/making_sense_tantra/pt1/making_sense_tantra_04.html

"Coarse and Subtle Emanations of Buddha-Figures

To benefit others, Buddhas emanate multiple appearances of themselves in a variety of coarse and subtle forms. They assume an array of subtle bodies (Skt. sambhogakaya) to teach arya bodhisattvas – the only ones able to see such forms. Aryas (noble ones) are highly realized beings with direct, straightforward, nonconceptual perception and understanding of how things exist. Buddhas take an assortment of coarser bodies (Skt. nirmanakaya) in order to benefit ordinary beings. Any Buddha may emanate coarse or subtle bodies in the forms of any Buddha-figure or everyday being, or even of another Buddha. The same is true of Buddha-figures when appearing as if they were individual enlightened beings. Only those who are receptive to receiving help or teachings, however, are able to meet Buddhas in any form and derive the full benefit.

Buddhas and their Buddha-figure emanations reside in their own Buddha-fields. Buddha-fields are special realms unassociated with the confusion of uncontrollably recurring existence (Skt. samsara). They are the pure lands where Buddhas and Buddha-figures manifest in subtle forms and teach arya bodhisattvas the final steps to enlightenment. Since Buddha-fields are beyond the common experience of Buddhologists and Hinayana adherents, their literal existence would naturally be unacceptable to them. Mahayana sutra and tantra practitioners, however, regard them as actually existing, although no one can reach them without the prerequisite realizations. Even great masters cannot bring the mental continuums of freshly deceased persons to pure lands unless the deceased have built up the potentials for this from their own practices.

The nonliteral ultimate meaning of Buddha-fields is the clear light continuum of each individual being. Within the sphere of each being's clear light continuum, beyond the confusion of uncontrollable existence, dwell the various aspects of Buddha-nature, represented by Buddha-figures. Arya bodhisattvas on the path of highest tantra - the only practitioners with nonconceptual meditative access to their clear light continuums – gain final actualization of their Buddha-natures while in this state.

Sometimes Buddha-figures come from their Buddha-fields in the subtle forms of bodhisattvas and request Shakyamuni to impart the various sutras and tantras, as when Vajrapani requested A Concert of Names of Manjushri (Praises to the Names of Manjushri). As bodhisattvas, they may also attend and compile Buddha's discourses, as Vajrapani did for The Guhyasamaja Tantra, or give teachings in Shakyamuni's stead, as Avalokiteshvara did for The Heart Sutra. In such cases, as explained above, the Buddha-figures and Shakyamuni share the same mental continuum.

Some of the coarse bodies that Buddhas or Buddha-figures emanate from their Buddha-fields were actual historical persons, such as Padmasambhava, the Indian master responsible for the first spread of Buddhism to Tibet. From the viewpoint of conventional truth, these great beings seemed to have individual mental continuums and appeared as such to ordinary beings, who could understand only this truth about them. A deeper truth about them was that their mental continuums were one with the Buddhas and Buddha-figures of whom they were emanations. For Buddhologists and Hinayana adherents, only the first statement about these historical figures is true. For Mahayana practitioners, both statements are fact.

Tantra practice includes visualizing oneself in the forms of certain historical figures regarded as Buddha-figure emanations, such as Padmasambhava, his female partner Yeshey Tsogyel, or the Second Karmapa, Karma Pakshi. Not all masters regarded as Buddha-figure emanations, however, serve as forms for tantra self-visualization, for example the Dalai Lamas as Avalokiteshvaras. Moreover, political reasons may have motivated the Tibetans to address honorifically certain rulers as Buddha-figure emanations, such as the Manchu emperors of China as Manjushris and the Russian czars as Taras. Tantra practice does not include such persons. Regarding them as emanations, however, accords with the general Mahayana advice to avoid speaking badly of anyone, because one can never tell who may be a bodhisattva emanation.

Further, some coarse Buddha-figure emanations that the Tibetans consider as having been historical figures would be hard to confirm by Western standards. A prominent example is Tara. Tara appeared as an individual who during a lifetime as a woman developed bodhichitta and became a bodhisattva. She vowed to continue taking rebirth ever after as a woman and to achieve enlightenment in a female form to encourage women to follow the path. ..."

107
Quote
by Hudoyo
Baca Mulapariyaya-sutta. Definisi pikiran dalam sutta itu persis sama dengan definisi pikiran (thought) dalam disiplin psikologi modern. ... 'Pikiran/berpikir' (thought, thinking) dalam Mulapariyaya-sutta disebut (ma~n~nati, conceptualization).

Quote
Mulapariyaya sutta-http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.001.than.html--by Bhikkhu Thanisaro

"He directly knows Unbinding as Unbinding. Directly knowing Unbinding as Unbinding, he does not conceive things about Unbinding, does not conceive things in Unbinding, does not conceive things coming out of Unbinding, does not conceive Unbinding as 'mine,' does not delight in Unbinding. Why is that? Because he has comprehended it, I tell you.

Coba bandingkan yg saya bold, apakah "thinking/thought" = "conceive" apakah artinya sama?, disitu jelas maknanya berbeda jauh, apalagi yg dimaksud dalam mulapariyaya sutta yg sebenarnya(bukan versi palsu)
Bahasa indonesia memang miskin kata2 tapi dengan ada perbandingan bahasa yg ada kita dapat mengetahui maksud dari sebuah sutta seutuhnya.
 

Karena kebodohan, tidak mengerti , lantas bilang "versi palsu".
Thanissaro menerjemahkan 'ma~n~nati' = 'conceive', RG de Wettimuny menerjemahkan 'conceptualize', dua-duanya berarti 'berpikir'.

108
Setahu saya cetopariyaya itu membaca pikiran bukan membaca kesadaran pak :)

Membaca seluruh isi batin, bukan cuma pikiran.
Ceto itu yg saya tahu merupakan bentuk lain dari Citta yang artinya adalah "hati/heart" dan manifestasinya adalah pikiran.

Tolong teks aslinya: manifestasi 'citta' adalah 'pikiran'.

Quote
AFAIK seorang arahant masih mempunyai batin dan pikiran. masih bisa merencanakan dst, itu yang saya simpulkan dari sutta-sutta yang ada. Saya tidak sependapat kalau para arahant itu "tidak berpikiran, thoughtless".

Anda tidak baca Mulapariyaya-sutta. Di situ Sang Buddha secara eksplisit menyatakan seorang arahat/buddha tidak "ma~n~nati" (do not conceptualize), artinya tidak berpikir.

Quote
Mereka memiliki complete control, cetovippatta bukannya tanpa ceto/citta/hati/pikiran.

Anda mencampuradukkan hati dan pikiran. Pikiran (thought, thinking) bukan citta, bukan manifestasi citta.

109
maksudnya free interpretation

Khotbah Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta sudah eksplisit, tidak perlu ditafsir-tafsirkan.

Quote
bolehkah saya bertanya.....apakah MMD memiliki supervisi sebagai contoh Bhante Pannavaro sebagai supervisor/pengamat/pembimbing MMD yang telah berkembang sampai hari ini?

Pengajaran MMD adalah sepenuhnya tanggung jawab saya. ...

Bhante Pannyavaro sebagai kepala vihara Mendut tentu mendapat informasi tentang MMD yang diselenggarakan di viharanya; termasuk informasi dari orang-orang yang menentang MMD, saya tahu. ... Namun beliau tetap mengizinkan MMD dilaksanakan secara teratur di Vihara Mendut ... Malah Bhante Pannyavaro merekomendasikan MMD kepada pengurus Vihara Dhamma Sundara, Solo (di mana beliau juga menjabat sebagai kepala viharanya), yang ingin mengadakan retret MMD pada 21-23 November 2008 nanti. ... Saya mendapat informasi pula bahwa Bhante Pannyavaro pernah membahas MMD dengan Bpk Rahula (putra alm Bhante Girirakkhito Mahathera, ketua Yayasan Girirakkhito Mahathera yang memiliki Brahmavihara-arama, Singaraja) ketika Bhante Pannyavaro berkunjung ke Bali untuk peringatan Waisak kemarin; beliau mengharapkan agar MMD terus dilaksanakan secara teratur di kedua vihara Mendut dan Brahmavihara-arama.

110
Kalau Anda belum tau kondisi arahat, berarti selama ini Anda juga berasumsi ttg pikiran arahat dong , dan  selama ini yg Pak Hud ajarkan bukan realita tetapi spekulasi. .^-^

Anda berspekulasi, saya berspekulasi. Spekulasi saya berdasarkan Mulapariyaya-sutta. ... Spekulasi Anda berdasarkan abhidhamma? ... Jelas tidak nyambung.

Quote
Baru tau ada teori spontan melalui perbuatan itu bukan reaksi . ^-^ Bagaimana dengan reaksi baik, tidak baik dan netral (arahat) semuanya reaksi lho .

Reaksi adalah karma, orang berpikir, lalu berkehendak adalah berbuat karma ... Seorang arahat tidak berbuat karma, tidak bereaksi.

Quote
Jika Sang Buddha setiap pagi bermeditasi dan memantau siapa yg hendak ditolong, melihat yg ditolong seberapa matang batinnya utk tercerahkan, dan bisa mengetahui sebab -akibat yg akan ditolong, itu apakah termasuk analisa atau bukan?  ^-^

Di dalam Mulapariyaya-sutta, Sang Buddha menyatakan seorang arahat/buddha tidak berpikir (mengkonseptualisasikan). ... Bagaimana proses batin seorang arahat/buddha, itu hanya spekulasi.

Quote
Kalau mau gampang yg di mulapariyaya-sutta itu = yatthabhutananadassana

Di dalam Mulapariyaya-sutta, Sang Buddha menyatakan seorang arahat/buddha tidak berpikir (mengkonseptualisasikan). ... ITULAH yathabhutanyanadassanam = melihat apa adanya ... orang melihat apa adanya bukan dengan berpikir, yang selamanya terkondisi ... orang melihat apa adanya ketika pikiran berhenti (Mulapariyaya-sutta).

Quote
Bagaimana dengan berpikir adalah berpikir, melihat adalah melihat, pikiran adalah pikiran bandingkan dengan
Pikiran adalah respon batin....bla..bla.... mana yg yatthabhutananadassana? :whistle:

Tidak ada ungkapan "berpikir adalah berpikir"!
Yang ada 'vi~n~nate', yang dikenal, yang muncul lewat pintu indra batin. ... Jadi 'yang dikenal' hanya ada 'yang dikenal' (tidak ada respons menjadi berpikir) ... ITULAH yathabhutanyanadassanam = melihat apa adanya ... orang melihat apa adanya bukan dengan berpikir, yang selalu terkondisi.

Tampaknya Anda tidak mau membaca Mulapariyaya-sutta.
Pikiran (konseptualisasi, ma~n~nati) adalah respons terhadap persepsi murni (sa~njanati). Anda mau bilang Sang Buddha blablabla ...?

111
Mulapariyaya-suttanya aja uda beda versi nih  ^-^

apa maksudnya?

112
Saya kira asumsi Theravada dan asumsi Vajrayana tidak relevan untuk dikonfrontir untuk membahas J Krishnamurti. Kalau ini merupakan upaya untuk membenturkan mazhab yang satu dengan yang lain dalam Buddhisme dengan menggunakan sesuatu yang jelas-jelas bertentangan dengan Buddhisme, saya kira bukanlah upaya yang terpuji.
Sebelumnya rekan Hudoyo berkali-kali menyamakan JK dengan Sang Buddha. Kini setelah rekan Sumedho menyampaikan satu bukti yang meragukan status JK, rekan Hudoyo menyatakan tidak peduli apakah JK Arahat atau bukan. Malah sekarang menggunakan Bodhisatta sebagai tameng. Seolah-olah JK melanggar sila demi welas asih? Atau rekan Hudoyo merasa istilah "Boddhisatva" adalah isu yang sensitif antara mazhab dalam Buddhisme sehingga akan menimbulkan pro dan kontra dalam DC? Mohon "welas asih" dari rekan Hudoyo untuk tidak melakukan hal tersebut.

Yang saya bilang, Krishnamurti adalah orang yang telah bebas. ... Hanya orang Buddhis-lah, terutama segelintir kalangan Theravada, yang mempersoalkan apakah K itu buddha, arahat atau bukan. ...

Saya tidak tahu apa yang Anda maksud dengan "jelas-jelas bertentangan dengan Buddhisme" ... sejauh ini saya rasa tidak ada yang seperti itu. ...

Sumpah Bodhisattva yang bersangkutan sudah saya pakai untuk mencoba memahami batin K sejauh dapat saya pahami dengan menggunakan konsep-konsep dari khazanah Buddhisme yang tidak terbatas pada Theravada saja sejak pertama kali muncul kontroversi mengenai "affair" K, bukan baru sekarang.

Orang hanya merasa sensitif tentang suatu ajaran kalau itu menyangkut kepentingan dirinya sendirinya. Dalam suatu wacana intelektual atau ilmiah tidak ada yang perlu ditutup-tutupi.

Quote
Oh ya, saya mohon maaf sebelumnya. Lupa menyampaikan selamat datang kembali kepada rekan Hudoyo. Saya kira waktu rekan Hudoyo pamitan dulu itu serius.

Saya hanya menanggapi poin-poin yang menyangkut MMD dan Krishnamurti. Selebihnya saya tidak peduli dengan apa yang terjadi di DC, karena isinya hanya orang-orang yang sudah mempunyai keyakinan kuat tertentu dan tidak mungkin berubah lagi. Jadi tidak ada gunanya berdiskusi di DC, hanya buang-buang waktu ... lebih baik menulis untuk Kaskus.

Salam,
hudoyo

113
(i) muncul rangsangan melalui salah satu dari keenam indra (sa~njanati = mempersepsikan, perceiving)--ini masih belum pikiran;[/color]
(ii) muncul reaksi oleh pikiran: berpikir, mengkonseptualisasikan (conceiving, ma~n~nati);
(iii) muncul konsep atta/aku yang masih menyatu dengan obyek (ma~n~nati);
(iv) konsep atta memisahkan diri dari obyek, muncul dualitas subyek-obyek (ma~n~nati);
(v) konsep atta membentuk hubungan dengan obyek (ma~n~nati);
(vi) atta bersenang hati dengan obyek (abhinandati).

apakah pikiran seorang arahat sampai pada proses i atau ii ?? karena atta baru muncul di proses iii...

Di dalam Mupariyaya-sutta jelas dinyatakan oleh Sang Buddha bahwa seorang Sekha (sotapanna s.d. anagami) harus berlatih agar proses batinnya hanya berhenti pada #1 (sa~njanati, persepsi murni), dan tidak melanjut ke #2 (ma~n~nati, konseptualisasi) dst ... apalagi sampai ke #6 (perasaan senang, tidak senang sdb -- abhinandati).

Lalu Sang Buddha juga jelas menyatakan bahwa dalam batin arahat/buddha hanya ada persepsi murni (#1) saja ... tidak ada lagi #2 s.d. #6 ... Berarti arahat/buddha tidak berpikir seperti kita berpikir, tidak muncul diri/aku/atta, tidak ada rasa senang, bahagia, tidak senang dsb ... Singkatnya: tidak ada reaksi apa pun lagi di dalam batin terhadap rangsangan yang masuk dari luar (#1).

114
Meditasi / Re: Beda Samatha dan Vipasana
« on: 29 September 2008, 09:09:40 AM »
semua kitab belum tentu benar, kecuali kitab yang diimani, pasti dianggap benar mutlak.

115
Setahu saya cetopariyaya itu membaca pikiran bukan membaca kesadaran pak :)

Membaca seluruh isi batin, bukan cuma pikiran.

116
Semua hal juga ada spekulasi pak hud. Matahari itu seperti bola api raksasa yg panas, kutub utara itu es semua, diluar angkasa tidak ada gravitasi. Itu semua adalah spekulasi karena kita belum mengalami sendiri.
Demikian pula saya berspekulasi tentang JK :)
tentang sumpah bodhisattva yg bersedia melanggar sumpah itu, saya belum bisa berspekulasi seperti pak hud karena saya belum pernah mempelajari itu.

Silakan saja Anda berspekulasi tentang JK dari asumsi-asumsi Theravada. .... saya berspekulasi tentang JK dari asumsi-asumsi Vajrayana. ... Memang semua itu spekulasi.

117
Memang repot kalau orang melihat dengan kacamata yang berbeda ...
Di dalam Vajrayana, seorang Bodhisattva itu jauh lebih tinggi daripada arahat ... sangat berbeda pengertiannya dengan Bodhisattva di Theravada ...
 ... seorang Bodhisattva di tingkat 10 hampir menyamai Buddha ...
Dalam Vajrayana bahkan dipercaya ada banyak Buddha sebagai manusia di sekeliling kita pada saat ini ... sangat berbeda dengan kepercayaan di Theravada. ...
Manyusri kadang-kadang disebut Buddha, kadang-kadang disebut Bodhisattva. ...

118
hahahahhahah... spekulasi....

Sumpah Bodhisattva itu bukan spekulasi.

119
Pernyataan Pak Hud diatas, yakni:
karena BERPIKIR selalu menciptakan AKU dan diikuti LDM
Menurut saya adalah suatu pernyataan pribadi.

Bukan pernyataan pribadi, melainkan tercantum dalam Mulapariyaya-sutta. ... Ketika batin menerima rangsangan (persepsi) melalui salah satu dari keenam pintu indra ... batin bereaksi dengan konseptualisasi (berpikir), lalu muncul atta/diri/aku, lalu diri itu berhadapan dengan obyek yang dicerap, lalu diri itu membentuk relasi dengan obyek itu (melekat, menolak dsb), lalu muncullah perasaan senang, tidak senang dsb. Itu semua tercantum dengan jelas dalam Mulapariyaya-sutta.

Quote
Berpikir adalah salah satu pintu indera, seperti juga pintu indera lainnya, misalnya: melihat, merasa, dll
Ketika pikiran muncul selanjutnya akan diikuti oleh niat / keinginan, pada saat inilah LDM / aLaDaM akan muncul.

SALAH! ... Berpikir (ma~n~nati, konseptualisasi) bukan salah satu dari keenam pintu indra. ... Pintu indra keenam adalah 'mano' (batin itu sendiri) ... melalui itu muncul rangsangan (stimuli) dalam bentuk ingatan (memori) ...

Bila muncul sebuah rangsangan (persepsi, sa~njanati) dalam bentuk ingatan melalui pintu indra batin, maka batin bereaksi dengan membentuk konsep (conceptualization), antara lain dengan memberi nama (label) ... proses inilah yang disebut 'berpikir' (ma~n~nati).

Quote
~ Keinginan yg dilandasi oleh LDM dalam Buddhisme disebut kamma buruk (EGO/AKU)
~ Keinginan yg dilandasi oleh aLaDaM disebut kamma baik.
Jadi, kesimpulan yg menyatakan bahwa semua pikiran akan menciptakan AKU (EGO) bukanlah Ajaran yg benar. Pernyataan begini akan membingungkan.

Bagi mereka yang memahami saya, sama sekali tidak membingungkan. ...
Berbeda dengan anggapan (definisi) Anda, aku/diri itu bukan buruk bukan baik.

Loba, dosa, moha berasal dari aku/diri. ... Metta, karuna, mudita, upekkha, juga berasal dari aku/diri. Oleh karena itu keempat brahmavihara ini hanya bisa membawa si aku/diri ke alam Brahma, SAMA SEKALI TIDAK MEMBEBASKAN (menghasilkan nibbana).

Quote
Logika sederhananya:
~ Kita setiap saat tidak pernah berhenti berpikir, bahkan dalam waktu tidur. Jika semua pikiran kita adalah AKU (LDM), berarti setiap saat kita memproduksi kamma buruk tanpa pernah menanam kamma baik sedikitpun. AKhirnya semua akan terlahir di alam menderita dalam beberapa putaran kehidupan saja, tidak akan ada makhluk yg bisa terlahir di alam yg lebih baik (karena setiap detiknya selalu memproduksi LDM).
Kesimpulan demikian tidak benar.


Definisi 'pikiran' yang Anda gunakan di sini tidak sama dengan definisi 'pikiran' yang saya gunakan dalam diskusi ini. Definisi 'aku/diri' yang Anda gunakan di sini tidak sama dengan definisi 'aku/diri' yang saya gunakan. Alam pikiran Anda tidak nyambung dengan alam pikiran saya.

Quote
Pikiran dapat memproduksi hal-hal yg baik, juga hal-hal yg tidak baik. Ajaran Buddha mengajarkan kita untuk dapat mengendalikan pikiran kit;, mengurangi pikiran2 tidak baik dan mengembangkan pikiran2 yg bermanfaat, caranya adalah: sila, meditasi dan panna

Betul, pikiran bisa menghasilkan ucapan & perbuatan yang kita sebut "baik" atau yang kita sebut "buruk". Tapi dua-duanya TIDAK PERNAH MEMBEBASKAN  Tidak ada orang yang bebas karena melakukan kusala-kamma.

Orang hanya akan bebas, kalau pikiran/si aku yang memproduksi "kebaikan" (apalagi "keburukan") sudah berhenti. Jadi, pembebasan berarti mengatasi keburukan dan kebaikan.

Itulah yang diajarkan Sang Buddha. Baca Mulapariyaya-sutta.

120
Yang sy tau juga begitu,
Sang Buddha tidak pernah mengajarkan kita untuk menghentikan pikiran.
Buddha mengajarkan kita supaya bisa mengendalikan pikiran kita.

Baca Mulapariyaya-sutta. Di situ jelas-jelas Sang Buddha mengajarkan, "Hendaknya para Sekha (sotapanna sampai anagami) tidak melakukan konseptualisasi, tidak berpikir."

Dan di situ, Sang Buddha juga menegaskan, "Seorang arahat/buddha tidak melakukan konseptualisai, tidak berpikir."

Pages: 1 2 3 4 5 6 7 [8] 9 10 11 12 13 14 15 ... 128