[at] bro Ricky,
Baiklah jika telah memahami, bahwa ketika dalam memahami sebuah tradisi, maka teruslah mengkaji pengertian yg berdasarkan kaidah dan falsafah yang dicanangkan tradisi tersebut.
Misalnya ketika anda melihat seseorang menulis teks demikian "kucing bisa terbang", maka anda tidak perlu merasa itu tidak benar dan menyimpulkan sendiri. Karena yang namanya berusaha mememahami sebuah skriptur yang bukan dari tradisi kita, maka metodologi pembelajarannya adalah mempertanyakan bagaimana dalam menjelaskan kalimat tersebut menurut konteks sang penulis, bukan menyatakan bahwa ah itu tidak relevan, tidak masuk akal.
Intinya, bagaimana kita memahami dari konteks hermeneutika, dan bagaimana karakteristik hermeneutika yg dibangun oleh tradisi mahayana, tentu berbeda lagi dgn theravada.
Teori interpretasi juga bermacam2, bisa dari aspek historis, metafisik, spiritual.
Jadi yang anda tanyakan tentang "kejanggalan" ikrar Amitabha dari aspek mana? Apakah anda men set up dulu bahwa teori yg berangkat dari Theravada sudah benar dan final, sehingga timbul pertanyaan bahwa teori yg muncul dlm ikrat Amitabha ini jadi janggal. Cara demikian ya tentu saja akan kembali pada sikap judgement yang tanpa perlu judgement dalam diri anda sendiri.
Memang benar kita sama2 sepakat bahwa ajaran Buddha adalah sama, tetapi tentu juga sepakat bahwa pada masa tertentu terjadi perbedaan interpretasi dan kehilangan jejak keakuratan historis.
Ok, silakan lanjutkan, mungkin yg dipost bro Seniya cukup memberikan satu pemahaman baru.