Walaupun perlakuan di atas pada dasarnya mirip dengan Kośa, sekarang teks menyatakan tiga ciri khas yang membedakan satipaṭṭhāna Mahāyānis[59]:
1) Objek meditasi untuk para siswa adalah tubuh-tubuh mereka sendiri, dst., sedangkan para bodhisattva adalah tubuh-tubuh mereka sendiri dan orang lain.
Ini salah; seperti yang telah kita lihat, semua teks dari Sutta-Sutta mengakui baik perenungan internal dan eksternal.
2) Para siswa merenungkan ketidakkekalan, dst., dari tubuh, dst., sedangkan para bodhisattva berlatih tanpa-pemahaman [terhadap tubuh-tubuh, dst.].
Ini menunjuk pada perbedaan filosofi penting antara aliran-aliran Abhidhamma dan Mahāyāna: para ābhidhammika, khususnya Sarvāstivādin, cenderung memperlakukan dhamma-dhamma sebagai entitas nyata yang memiliki karakteristik ketidakkekalan dan seterusnya. Tetapi “Aliran Kekosongan” (di mana sang penulis termasuk di dalamnya) menganut bahwa suatu dhamma, bagaikan ilusi sulap, “tidak ada seperti yang ia tampaknya, dengan keadaan memiliki [objek] yang dipahami dan aspek-aspek [subjektif] yang memahami, tetapi ia juga bukan tidak[60] ada, karena keberadaan dari ilusi itu sendiri.”[61] Ini adalah perdebatan filosofi yang paling penting dan rumit dalam Buddhisme India yang belakangan. Cukup untuk mengatakan bahwa, dalam pendapat saya, para ābhidhammika mengajukan sesuatu yang pada pokoknya melebihi Sutta-Sutta dalam perwujudan ontologis mereka atas dhamma-dhamma; tetapi tanggapan “kekosongan” pada umumnya tidak membedakan antara ajaran-ajaran dari Sutta-Sutta dan para ābhidhammika, dan oleh sebab itu cenderung mencap semua pengikut Buddhisme awal sebagai realis yang naif. Jadi kecaman ini, walaupun mungkin berhubungan dengan suatu konteks tertentu, tidak berlaku bagi mereka yang hanya mengikuti Sutta-Sutta.
3) Para siswa berlatih satipaṭṭhāna demi tujuan ketidak-melekatan pada tubuh-tubuh mereka, dst., sedangkan para bodhisattva berlatih bukan untuk tanpa kemelekatan ataupun bukan dengan kemelekatan, tetapi untuk Nirvana yang tidak memiliki tempat berdiam.
Ini membutuhkan beberapa penafsiran, karena tentu saja semua aliran Buddhisme berlatih untuk “Nirvana yang tidak memiliki tempat berdiam”. Agaknya ini dimaksudkan untuk menunjuk pada Kebuddhaan, tujuan tertinggi aliran-aliran Mahāyāna. Hanya ketidak-melekatan mungkin dianggap tanpa belas kasih. Tidak diragukan poin yang sama dibuat di sini ketika teks mengatakan bahwa belajar, merenungkan, dan mengajarkan sūtra-sūtra dari Kendaraan Besar saja yang bermanfaat besar, bukan [sutta-sutta] dari Kendaraan Kecil, sebab Kendaraan Besar dibedakan karena belas kasihnya kepada orang lain.[62] Ini adalah klise kuno tentang sifat mementing diri sendiri dari para siswa. Mempertimbangkan betapa tegasnya Mahāyāna mencap aliran-aliran awal bersifat mementingkan diri sendiri, pasti terdapat beberapa kebenaran dalam tuduhan itu, pada beberapa tempat dan waktu. Tetapi adalah naif untuk menerapkan ini pada semua umat Buddhis awal; saya tidak dapat melakukan yang lebih baik daripada mengutip kata-kata Sang Guru.
“Aku akan melindungi diriku sendiri,” para bhikkhu: demikianlah seharusnya satipaṭṭhāna dilatih. “Aku akan melindungi orang lain,” para bhikkhu: demikianlah seharusnya satipaṭṭhāna dilatih. Dengan melindungi diri sendiri, para bhikkhu, seseorang melindungi orang lain; dengan melindungi orang lain, seseorang melindungi diri sendiri.
Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan melindungi diri sendiri seseorang melindungi orang lain? Dengan pelatihan, pengembangan, dan membuat banyak [empat satipaṭṭhāna]. Adalah dengan cara demikian bahwa melindungi diri sendiri seseorang melindungi orang lain.
Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan melindungi orang lain seseorang melindungi diri sendiri? Dengan kesabaran, tanpa kekerasan, cinta kasih, dan simpati. Adalah dengan cara demikian bahwa melindungi orang lain seseorang melindungi diri sendiri.[63]
17.7 Mādhyamaka
Aliran Mahāyāna India utama lainnya adalah Mādhyamaka. Mereka muncul lebih awal daripada Yogacāra, tetapi di sini saya memperlakukan mereka belakangan, karena satu-satunya karya mereka yang saya memiliki akses padanya lebih belakangan daripada karya-karya Yogacāra yang dibahas di atas. Sementara Yogacāra lebih baik dikenal sebagai suatu aliran kontemplatif, Mādhyamaka terkemuka atas dialektika yang rumit dan kering. Namun, mereka tidak mengabaikan meditasi; Bhāvanākrama oleh Kamalaśīla adalah sebuah panduan meditasi dari aliran Mādhyamaka dari Śantarakṣita yang tampaknya telah disiapkan untuk memperkenalkan meditasi kepada orang-orang Tibet yang baru diubah. Karya ini dipelajari dalam sebuah esai oleh Yuichi Kajiyama berjudul “Later Mādhyamakas”.
17.7.1 Bhāvanākrama
Jalan umum dijelaskan dengan cara yang biasa sebagai pertama-tama menguasai aspek kitab suci dan teoritis, kemudian mengembangkan samādhi yang memuncak pada jhāna dan pencapaian tanpa bentuk sebelum menjalankan vipassanā. Seperti dalam catatan Yogacāra ia menyatakan bahwa hanya pada tingkatan vipassanā terdapat perbedaan pokok dari aliran-aliran awal. Apa yang sangat luar biasa adalah bahwa ajaran vipassanā diturunkan dari evolusi doktrinal dari aliran-aliran sepanjang sejarah. Seseorang bermeditasi pada realitas tertinggi seperti yang dipahami oleh masing-masing aliran utama, kemudian menyadari bahwa tingkatan realitas ini adalah kosong, dan berlanjut pada perspektif yang lebih tinggi, yang lebih halus, yang memuncak, tentu saja, pada kekosongan tertinggi dari Mādhyamaka. Dengan demikian kesadaran individual seseorang berevolusi mencerminkan kesadaran kolektif. Bahkan lebih luar biasa lagi, tahapan evolusi ini jelas sejajar dengan empat satipaṭṭhāna, walaupun satipaṭṭhāna tidak dilibatkan. Di sini saya akan mengutip dari rangkuman Kajiyama.
Dalam bagian-bagian yang terdahulu yang diambil dari Bhāvanākrama oleh Kamalaśīla, empat tahap dapat dibedakan dengan sederhana:
1) Tahap persiapan di mana realitas-realitas ekternal yang diakui dalam sistem Sarvāstivāda dan Sautrāntika disajikan sebagai objek kritik.
2) Tahap di mana hanya pikiran dengan gambaran-gambaran yang terwujud diakui – sistem dari aliran Satyākāravāda-Yogacāra membentuk objek meditasi.
3) Tahap meditasi di mana objek-objek kesadaran serta dualitas subjek dan objek dikutuk sebagai tidak nyata dan di mana pengetahuan tanpa dualitas dinyatakan sebagai nyata – ini adalah sudut pandang Alīkākāravāda-yogacārin.
4) Tahap di mana bahkan pengetahuan non-dual atau pencerahan kesadaran dinyatakan sebagai kosong dari sifat intrinsik. Tahap yang terakhir ini adalah yang tertinggi yang dinyatakan oleh Mādhyamaka.
Tahap pertama melihat dhamma-dhamma sebagai entitas yang pokok, yang sejajar dengan perenungan terhadap tubuh. Tahap kedua menerima “ciri-ciri khas” atau objek-objek dari pikiran, yang sejajar dengan perenungan terhadap perasaan, yang merupakan sifat yang paling terkemuka dari pikiran. Tahap ketiga hanya mengakui kesadaran itu sendiri, yang bersesuaian dengan perenungan terhadap pikiran. Dan yang terakhir melihat hanya kekosongan murni, yang didefinisikan sebagai “kemunculan bergantungan”, seperti halnya perenungan terhadap dhamma memusatkan perhatian bukan pada melihat dhamma-dhamma di dalam dan dari dirinya sendiri, tetapi sebagai suatu matriks dari kondisi-kondisi.
Kesamaannya tidak dapat disanggah dan penting. Urutan empat satipaṭṭhāna mewujudkan suatu kemajuan alami, dari yang kasar menuju yang halus, yang dapat dilihat dalam pengalaman. Seperti halnya banyak ajaran Buddhis lainnya ini suatu pola yang sederhana tetapi sangat mendalam yang dicerminkan dalam banyak perwujudan. Dengan demikian, bagi mereka yang mendalami ajaran-ajaran itu terdapat suatu kecenderungan, apakah disadari atau tidak, untuk mengasimilasikan prinsip-prinsip itu, mengabstrakkannya, dan menerapkannya dalam konteks yang sangat jauh dari yang aslinya. Ini membantu untuk melihat kelanjutan dan hubungan, tetapi ia membutuhkan suatu penegasan-kembali dari konteks aslinya jika kita tidak dipotong terpaut dari tambatan kita.
17.7.2 Meditasi pada Kekosongan
Untuk menyelidiki peran perhatian dalam Buddhisme Tibet yang belakangan, yang terutama diturunkan dari Mādhyamaka, saya akan bergantung pada karya cendikiawan modern
Meditation on Emptiness oleh Jeffrey Hopkins. Ini didasarkan pada berbagai sumber, termasuk teks-teks Buddhis India, risalah-risalah Tibet, dan ajaran-ajaran oral oleh para bhikkhu Tibet masa kini. Di sini, perhatian diperlakukan secara eksklusif dengan cara samatha. Penjelasan dasar perhatian memperluas definisi Asaṅga yang diberikan di atas.
Perhatian adalah ketidak-lupaan sehubungan dengan suatu fenomena yang familiar; ia memiliki fungsi menyebabkan ketidak-bingungan. Perhatian memiliki tiga ciri khas:
1) Ciri khas objektif: suatu objek yang familiar. Perhatian tidak dapat dihasilkan dari suatu objek yang tidak diketahui.
2) Ciri khas subjektif: ketidak-lupaan dalam pengamatan terhadap objek itu. Walaupun seseorang mungkin menjadi familiar dengan objek itu sebelumnya, jika ia tidak segera muncul sebagai suatu objek pikiran, perhatian tidak dapat muncul.
3) Ciri fungsional: menyebabkan ketidak-lupaan. Karena kemantapan pikiran meningkat bergantung pada perhatian, ketidak-bingungan ditetapkan sebagai fungsi perhatian.
... semua pencapaian samādhi dalam Sūtra dan tantra dicapai melalui kekuatan perhatian.[64]
“Perhatian benar: kepenuh-perhatian terus-menerus pada objek-objek kesadaran dan pada cara-cara persepsi dari objek-objek itu yang diperlukan untuk menapaki sang jalan.”[65]
Hopkins menyajikan beberapa diagram yang merangkum konsepsi orang Tibet atas tahapan dalam pengembangan samatha. Di sini terdapat suatu daftar dari lima kecacatan dalam samatha bersama dengan obat penyembuhnya.[66]
Tabel 17.2: Kecacatan dan Obat Penyembuh dari Samatha
Kecacatan | Obat Penyembuh |
Kemalasan (kausīdya) | Keyakinan (śraddhā), kemauan (chanda), upaya (vyāyāma), ketenangan (prasrabdhi) |
Melupakan ajaran-ajaran (avavādasammoṣa) | Perhatian (smṛti) |
Kelambanan (laya) dan kegelisahan (auddhatya) | Pemahaman jernih (samprajanya) |
Kurangnya ketekunan (anabhisaṁskāra) | Ketekunan (abhisaṁskāra) |
Ketekunan (berlebihan) (abhisaṁskara) | Keseimbangan (upekṣā) |
Kebanyakan dari hal ini cukup masuk akal, walaupun ketenangan sebagai obat penyembuh untuk kemalasan agak tidak sesuai. Perhatian muncul dalam pengertian kunonya sebagai “ingatan”.
Daftar berikut, yang dibaca dari bawah ke atas, juga menempatkan perhatian di antara faktor-faktor untuk mengembangkan samatha.[67]
1) Konsentrasi (
samādhāna)
2) Keterpusatan (
ekotikaraṇa)
3) Kedamaian yang kuat (
vūpaśamana)
4) Kedamaian (
śamana)
5) Pengendalian (
damana)
6) Penetapan yang dekat (
upasthāpanā)
7) Penetapan-kembali (
avasthāpanā)
8) Penetapan terus-menerus (
samsthāpanā)
9) Penetapan pikiran (
cittasthāpanā)
Sembilan aspek samatha identik dengan definisi samatha dalam Abhidharmasamuccaya, dan jelas diambil dari sana atau dari suatu sumber yang berhubungan.[68] Namun, dalam sumber awal tidak ada pernyataan bahwa urutan istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menjelaskan kemajuan dalam meditasi. Mereka hanyalah suatu daftar sinonim untuk samatha dalam gaya Abhidhamma yang khusus. Beberapa waktu belakangan mereka ditafsirkan kembali sebagai tahapan dalam meditasi dengan membaca secara sembarangan makna-makna ke dalam istilah-istilah.
Yang paling menarik adalah empat istilah pada landasan dari Sembilan aspek samatha. Mereka memuncak pada
upasthāpanā (=
upaṭṭhāna), suku kata kedua dari kata majemuk satipaṭṭhāna (
smṛtyupasthāna). Tiga istilah yang pertama semuanya berasal dari akar kata yang sama, dan telah diturunkan dari
upasthāna.[69] Sedikit dapat disimpulkan dari awalan-awalan yang digunakan untuk membedakan istilah-istilah ini. Penekanannya adalah pada makna akar dari “pendirian, kemantapan, kekokohan (
standing,
stability,
steadiness)”, tiga kata bahasa Inggris juga terutama diturunkan dari akar kata Indo-Arya √
sthā. “Penetapan”, atau “penegakan”, atau “penempatan” pikiran pada objek, secara mantap, berulang-ulang, terus-menerus, adalah jalan menuju penyatuan.
Catatan Kaki:[45] Namun demikian, Vasubandhu membuat beberapa referensi sepintas lalu pada Nibbana sebagai diri sejati. Viṁśatikā-kārikā-vṛtti 10c (Anacker hal. 166).
[46] Boin-Webb, pg. xvii.
[47] Boin-Webb, hal. xviii.
[48] Boin-Webb, pg. 9.
[49] Boin-Webb, hal. 160–162.
[50] Lihat CDB, catatan 1, hal. 1397.
[51] Boin-Webb, hal. 166.
[52] Boin-Webb, hal. 168.
[53] Wayman, hal.97–98.
[54] Dugaan Frauwallner tentang “dua orang Vasubandhu” dengan penuh semangat dibantah oleh Anacker (pp. 7ff), tetapi dipertahankan oleh orang lain; cukup untuk dicatat bahwa Abhidharmakośa oleh Vasubandhu berasal dari perspektif Śrāvakāyana (Sarvāstivāda/Sautrāntika), sedangkan Madhyāntavibhāgabhāṣya dari Mahāyāna (Yogacāra).
[55] MVB 4.1. Anacker telah menerbitkan suatu terjemahan sebagian, yang lebih awal, dari karya ini dengan judul “The Meditational Therapy of the Madhyāntavibhāgabhāṣya” dalam Kiyota, dan sebuah terjemahan lengkap yang direvisi dengan judul “Commentary on the Separation of the Middle from the Extremes” dalam Anacker. Untuk membantu para pembaca yang mungkin memiliki akses pada salah satu atau yang lain dari karya-karya ini, saya memberikan referensi pada bagian teks alih-alih nomor halaman; namun, ini tidak begitu konsisten dalam kedua versi. Referensi biasanya menunjuk pada komentar pada syair-syair yang dinomori.
[56] MVB 4.5b.
[57] MVB 4.11a.
[58] MVB 4.7.
[59] MVB 4.12b.
[60] Terjemahan Anacker yang lebih awal menghilangkan “tidak” yang kedua.
[61] MVB 5.17.
[62] MVB 5.9, 10.
[63] SN 47.19.
[64] Hopkins, hal. 247.
[65] Hopkins, hal. 289.
[66] Hopkins, hal. 72, diagram 2.
[67] Hopkins, hal. 81, diagram 3.
[68] Boin-Webb, hal. 170.
[69] Definisi Abhidhamma Theravāda terhadap samatha dengan mirip memasukkan serangkaian istilah yang diturunkan dari √sthā; ini memiliki awalan yang sama dalam urutan yang sama (ṭhiti, saṇṭhiti, avaṭṭhiti).