Berikut saya berikan sebagian (ringkasan) terjemahan isi buku tersebut dan akan disambung kelak kemudian hari jika ada waktu luang lagi:
=====================================
KONSEP KEKOSONGAN DALAM LITERATUR PALI
Oleh: Ven. Medawachichiye Dhammajothi Thera
Pendahuluan
Tujuan tulisan ini adalah untuk menyelidiki hubungan antara konsep Sunna (Sunya) dalam Buddhisme awal dan Sunnata (Sunyata) dalam Madhyamaka. Dalam melakukan penelitian ini penulis berusaha membuktikan bahwa Sunyata seperti yang diajarkan Nagarjuna bukanlah upaya untuk menolak ajaran Buddhis awal tetapi suatu upaya untuk menegaskan da mengembangkan dengan kokoh bahwa ajaran sejati Sang Buddha dilandasi oleh Sunnata dari semua fenomena.
Penelitian ini juga berusaha untuk mengembangkan poin bahwa kritik Nagarjuna tidak ditujukan bagi Buddhisme awal tetapi bagi ajaran Substansialis dan Esensialis yang diajukan oleh aliran Buddhis yang belakangan, terutama Sarvastivada yang muncul dengan konsep Svabhava. Ini terutama merupakan studi literatur, khususnya berfokus pada Tipitaka Pali dan Visudhimagga. Metodologi yang dilakukan terutama historis. Oleh sebab itu, upaya yang dilakukan untuk menelusuri perkembangan historis dari konsep Sunnata dari Buddhisme awal sampai Madhyamaka. Penelitian ini dapat menunjukkan bahwa pergeseran penekanan dari Anatta menjadi Sunna adalah disebabkan oleh keadaan historis di mana kedua ajaran tersebut muncul.
Penggunaaan Istilah Sunna dan Istilah Lainnya yang Berhubungan dalam Literatur Pali
Apa yang kita sebut Buddhisme adalah ajaran dari seorang guru agama besar yang hidup di India timur laut, sekitar abad ke-6 SM. Pada saat itu di India terdapat banyak sekali aktivitas religius dengan bermunculannya banyak ajaran dan guru-guru spiritual yang masing-masing menyatakan kebenaran ajarannya sendiri dan ajaran lainnya adalah salah sehingga membingungkan orang-orang saat itu. Hal ini dapat diketahui dari Kalamasutta dari Anguttara Nikaya.
Semua ajaran ini berusaha memahami realitas, sifat sejati kehidupan dan dunia ini. Semuanya secara umum menganggap bahwa keberadaan atau samsara adalah penuh dengan permasalahan, dan oleh sebab itu diperlukan suatu cara untuk keluar dari masalah ini. Walaupun demikian, alasan atau argumen mereka dapat sampai pada kesimpulan ini berbeda-beda dari satu guru ke guru lain. Secara garis besar, tradisi yang mengajukan pandangan keberadaan samsara dan jalan keluarnya dibagi menjadi dua, yaitu tradisi Sraman dan Brahmana.
Sangat mengherankan bahwa walaupun kedua tradisi ini memiliki banyak perbedaan, keduanya menyetujui satu poin, yaitu terdapat sesuatu, apakah bersifat fisik atau metafisik yang bertahan apakah selama waktu yang panjang atau terbatas pada periode tertentu tanpa mengalami perubahan. Demikianlah aliran Brahmanik mengajukan pandangan baik suatu sosok Dewa yang eksternal atau sosok Brahmana, yang kekal dan melampaui kehancuran. Keduanya merupakan konsep metafisik. Ajaran Sramana, bahkan materialis yang paling kukuh di antara mereka seperti Ajita, menerima sesuatu, suatu yang menyusun inti material itu ada, walaupun ia lenyap bersama dengan hancurnya tubuh saat kematian.
Inilah pandangan tentang dunia yang umum saat kemunculan Buddhisme. Menariknya Buddhisme tidak memegang salah satu dari kedua tradisi ini. Sang Buddha, seperti yang terlihat dalam berbagai sketsa biografis yang tersebar di berbagai sutta-sutta awal, jelas memahami berbagai ajaran ini. Setelah menganalisa ajaran-ajaran ini, Beliau menolaknya. Ini disebabkan karena tidak seperti para guru pada masa itu Beliau tidak menganggap baik tradisi agama (anussava), logika dan penalaran (takkavimamsa) sebagai syarat mutlak pengetahuan. Sebagai gantinya Sang Buddha mengambil realisasi personal yang diperoleh melalui bentuk pengetahuan yang lebih tinggi (sayam abhinna sacchikatva) sebagai metode yang paling dapat dipercaya untuk memahami fenomena sejati, termasuk manusia dan dunia pengalamannya.
Dengan demikian jelas bahwa Sang Buddha mematahkan tradisi-tradisi ajaran yang diterima saat itu. Tradisi yang diterima tentang realitas saat itu cenderung pada salah satu ekstrem, seperti yang Beliau katakan dalam Kaccayanagotta Sutta dari Samyuttanikaya bahwa dunia ini cenderung mengambil salah satu ekstrem, yaitu bahwa segala sesuatu ada (atthi) [eternalisme] atau segala sesuatu tidak ada (natthi) [annihilasi]. Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau tanpa mengambil salah satu dari kedua ekstrem ini mengajarkan ajaran di tengah (Ubbho ante anupagamma tathagato majjhena dhammamdeseti).
1. Majjhena dhammam
Istilah “majjhema dhammam” yang sangat penting dalam penelitian ini menunjuk pada modus utama ajaran yang diambil Sang Buddha dalam menjelaskan realitas. Ini disamakan dengan sutta yang sama sebagai Paticcasamuppada (kemunculan yang saling bergantungan). Adalah melalui Paticcasamuppada bahwa Sang Buddha berusaha menjelaskan apakah realitas itu. Ini bukanlah teori Beliau, melainkan inilah sifat sejati, sistem alamiah yang bekerja dalam seluruh dunia yang dapat diamati.
2. Paticcasamuppada
Kemunculan yang saling bergantungan menyatakan bahwa tidak ada yang tidak bergantung dari hal lain. Semua hal adalah bergantung pada hal lain. Segala hal muncul berhubungan dengan hal lain. Oleh sebab itu, tidak ada yang kekal, tidak ada yang abadi, tidak ada yang tidak hancur. Ini merupakan pandangan baru tentang dunia yang berlawanan dengan yang dianut oleh para eternalis. Para eternalis menerima suatu sebab utama yang kekal dan independen. Sang Buddha menolak pandangan yang demikian karena sepenuhnya bersifat metafisik. Berdasarkan hal ini Sang Buddha menunjukkan pandangannya tentang dunia. tujuan pandangan tentang dunia ini adalah untuk menunjukkan bahwa segala sesuatu adalah tanpa sesuatu yang kekal seperti sosok jiwa, diri atau inti atau entitas.
3. Anatta
Anatta merupakan istilah yang paling umum digunakan untuk mengungkapkan pandangan bahwa segala sesuatu adalah tanpa suatu jiwa atau diri yang kekal. Selain itu, kata Sunna sendiri telah digunakan Sang Buddha dalam kotbah-kotbah awalnya. Ini merupakan fakta yang sangat penting karena banyak sarjana berusaha menunjukkan bahwa Sang Buddha tidak menggunakan kata Sunna dan ini adalah penemuan baru dari filosofi Madhyamaka.
4. Sunna
Para sarjana awal yang meneliti filosofi Madhyamaka dan konsep Sunnata oleh Acarya Nagarjuna tampaknya agak terkejut olehnya. Ini adalah pengungkapan baru bagi mereka. Disebabkan oleh keterkejutannya, para sarjana ini menyatakan Sunnata adalah konsep yang sama sekali baru, tidak terdengar sebelumnya dalam ajaran Sang Buddha yang ditemukan dalam sutta Pali. Salah satu sarjana awal itu adalah Theodore Stcherbatsky yang menulis dalam Central Conception of Buddhism: “... bahwa seluruh bangunan besar Buddhisme awal diporak-porandakan dan dihancurkan” oleh ajaran baru Sunnata oleh Nagarjuna ini.
Lebih lanjut, T.R.V Murti menulis dalam buku yang sama:
“Filosofi Madhyamaka mengambil perhatian kita sebagai sistem yang menciptakan revolusi dalam Buddhisme dan melalui itu dalam filosofi India secara keseluruhan. Seluruh pemikiran Buddhis beralih pada ajaran sunyata dari Madhyamaka.... Atas peranan dan pentingnya Madhyamaka ini, saya berspekulasi untuk memujinya sebagai filosofi utama Buddhisme.”
Namun hal ini dikritik oleh W.S. Karunaratne dalam tesisnya The Teory of Causality:
“Pernyataan Stcherbatsky bahwa istilah Sunyata merupakan penemuan baru Mahayana sangat mengejutkan karena ketidaktahuannya menolak kenyataan dari Buddhisme awal. Pengertian filosofis dan harfiah istilah ini telah dengan jelas terbukti kebenarannya dalam teks-teks Pali. Teks-teks ini memiliki semua bukti untuk menunjukkan penggunaan yang jelas tingkatan dalam evolusi makna istilah ini dari pengertian awalnya yang harfiah menjadi pengertian filosofis yang berkembang jauh. Makna awal Sunna (Skt: Sunya) tidak bersifat filosofis dan memiliki arti “kosong”, “tidak berpenghuni”, “tidak berguna”.... Karena Sunna berarti kosong dan hampa, istilah ini sering dipakai dalam pengertian “kosong dari” (kualitas atau sifat ini atau itu).”
Pengertian ini kemudian berkembang perlahan-lahan menjadi pengertian filosofis seperti yang ditemukan dalam sutta-sutta awal itu sendiri. Misalnya Mahavedallasutta dalam menggambarkan pembebasan pikiran melalui kekosongan (sunnata) menyatakan bahwa pembebasan yang demikian dapat dicapai oleh para bhikkhu yang pergi ke hutan atau kaki sebatang pohon atau suatu gubuk kosong dan merenungkan demikian: “Ini kosong dari suatu diri atau dari apa yang menjadi milik dari suatu diri (Sunnam idam attena va attaniyena va’ti)”.
Menuru W.S. Karunaratne, pengertian filosofis tertentu dari sunna mulai berkembang dari sini. Di sini istilah “sunna” digunakan dalam pengertian adjektif harfiahnya sebagai “kosong” dari suatu inti atau hal apa pun yang substansial seperti jiwa atau diri (atta). Belakangan istilah Sunna itu sendiri digunakan, tanpa penggunaan “atta” dan “attaniyena” untuk menunjukkan makna dari non-substansialitasnya. Demikianlah dalam sutta-sutta dapat ditemukan istilah Sunna digunakan sendirian untuk menunjuk pada non-substansialitas.
Salah satu contohnya ditemukan dalam Samyuttanikaya (iv, 54) dalam sutta yang disebut Sunnoloko Sutta yang membahas tentang kekosongan dunia. ini digambarkan sebagai suatu tanya jawab antara Sang Buddha dan Yang Mulia Ananda sebagai berikut:
“Demikianlah Yang Mulia Ananda mendekati Sang Bhagava... dan berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, dikatakan: ‘dunia ini kosong, dunia ini kosong’. Dalam jalan bagaimanakah, Yang Mulia, dikatakan ‘dunia ini kosong, dunia ini kosong’?” (Sunnoloko sunnoloko’ti bhante vuccati, kittavatanuko bhante sunnoloko’ti vuccati?)
“Ini karena, Ananda, karena dunia ini kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri sehingga dikatakan: ‘dunia ini kosong, dunia ini kosong’.” (Yasmaca Ananda Sunnam attena va attaniya va tasma sunnoloko’ti vuccati).
Ini dijelaskan lebih jauh dalam sutta ini sebagai berikut:
“Mata, Ananda, adalah kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri. Bentuk adalah kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri. Kesadaran mata adalah kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri.... Apa pun perasaan yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi – apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan menyenangkan juga bukan menyakitkan (sukha-dukkha-adukkhamasukha) itu juga kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri.”
“Inilah, Ananda, karena ia kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri sehingga dikatakan: ‘dunia ini kosong, dunia ini kosong’.”
Penggunaan Sunna di sini sangat jelas bersifat filosofis dalam maknanya dan menunjukkan ciri paling awal dari pandangan Buddhis awal tentang dunia bahwa tidak ada yang independen, tersendiri, ada dengan sendirinya, tidak memiliki sebab atau kekal. Ini sepenuhnya berbeda dengan filosofi aliran yang paling kuat pada masa itu, yaitu Upanisad yang mengajarkan bahwa terdapat sebab metafisik yang tidak disebabkan yang disebut “Brahman”.
Pengggunaan istilah Sunna yang filosofis dan lebih mendalam juga ditemukan dalam Mogharajamanavapuccha Sutta dari Suttanipata. Dalam sutta ini yang digambarkan sebagai percakapan antara seseorang bernama Mogharaja dan Sang Buddha, Mogharaja bertanya: “... Ia yang melihat dunia dalam cara bagaimanakah di mana raja kematian tidak melihatnya?” (Katham lokam avekkhantam muccuraja na passati). Dengan kata lain, ini adalah pertanyaan bagaimana seharusnya pandangan seseorang tentang dunia agar ia dapat lolos dari kehidupan samsara ini. Jadi ini adalah pertanyaan yang berkenaan dengan bagaimana merealisasi Nibbana yang melampaui kelahiran dan kematian. Dalam menjawab pertanyaan ini Sang Buddha mengatakan:
“Mogharaja, dengan sepenuhnya sadar, lihatlah dunia sebagai kosong, setelah mencabut akar-akar pandangan tentang diri – demikianlah seseorang seharusnya melampaui kematian; ia yang melihat dunia dengan cara ini, raja kematian tidak dapat melihatnya.” (Sunnato lokam avekkhassu Mogharaja sada sato attanuditthim uhacca, evam maccutaro siya, evam lokam avekkhantam maccuraja na passati).
Dalam sutta ini Snag Buddha menggunakan istilah Sunna untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang substansial dalam segala hal di dunia ini. Seluruh dunia kosong dari segala jenis entitas apa pun. Inilah pandangan para substansialis atau esensialis yang membuat seseorang terlibat dalam semua masalah kehidupan (dukkha). Oleh sebab itu, untuk bebas dari keadaan ini seseorang harus mengambil pandangan yang benar tentang realitas, bahwa dunia ini (di sini dunia berarti segala hal dan dunia pengalaman seseorang) adalah kosong (sunna). Dalam menjelaskan lebih lanjut hal ini Sang Buddha mengatakan bahwa seseorang seharusnya melepaskan pandangan (ditthi) tentang diri (atta). Ini telah membuktikan bahwa Sunyata dari aliran Madhyamaka bukanlah penemuan baru dan dapat ditemukan dalam Buddhisme awal.
Anicca, Dukkha, dan Anatta
Mungkin karena kenyataan bahwa sutta-sutta lebih menekankan pada sifat sejati (yathabhutam) dari seluruh dunia fenomena sebagai tiga karakteristik anicca, dukkha, dan anatta sehingga pentingnya kata Sunna menghilang. Walaupun ketiga kata ini berbeda artinya, ketiganya berusaha menggambarkan realitas yang sama, sifat sejati dari semua fenomena.
[bersambung]