Sdr. Sunya, JIKA kita berbicara dalam konteks jenis makhluk yang mencapai dengan cara usaha sendiri, bisa mengajar, dan sejenisnya, maka kita bisa menyatakan mencapai Sammasambuddha, dan anda bisa dikatakan tepat mengatakannya. Tetapi kita berbicara dalam konteks batin.
Analogi S1 dan D3 hanya berlaku dalam konteks jenis makhluk, bagaimana caranya ia mencapai, bukan apa yang ia “peroleh”.
Analogi yang tepat dari konteks kearahatan yang sedang dibahas adalah kedua mantan pelajar tersebut sama-sama memiliki pengetahuan Desain (misalnya jika S1 Desain dan D3 Desain.) disebut Desainer. Jadi tidak peduli bagaimana ia mencapainya, berapa lama dibutuhkan untuk mencapainya.
Jadi, kita harus tetap pada jalur konteks.
Dalam konsep Mahayana, seperti yang anda ketahui bahwa Buddha bisa bermanifestasi termasuk jadi bodhisattva dan jelas sudah dijalani oleh Siddhartha. Jadi, lagi jika alasannya titel Tathagatha – Arhat - Samyaksambuddha karena alasan bisa manifestasi jadi arahat maka gelar bodhisattva juga harusnya dimasuki karena Ia telah menjalani hidup sebagai bodhisattva, jadi titelnya jadi Tathagata-Bodhisattva-Samyaksambuddha.
Ya saya pernah mendengar istilah Mahasattva, namun mungkin karena pengetahuan saya yang terbatas, dalam teks kepustakaan saya hanya melihat gelar mahasatva disandingkan dengan gelar bodhisattva , cth: Avalokitesvata Bodhisattva Mahasattva, saya belum melihat Sakyamuni Buddha Mahasattva.
Dan saya rasa gelar bodhisattva (dalam tingkatan bodhisattva) yang dimaksud bukan berarti dalam konteks arti calon Buddha tetapi dalam konteks makhluk yang memiliki bodhi.
Itu saja yang bisa saya sampaikan saat ini.
Baik, saya terima penjelasannya. Terima kasih untuk koreksinya.
Kembali pada pembahasan utama saya dengan Sdr. Ariyakumara, apakah arahat adalah pencapaian tertinggi atau bukan, pencapaian final atau masih ada terusannya, saya kira akan lebih akurat dan meyakinkan bila dijalani sendiri. Kata-kata dan penjelasan teoritis hanya akan berujung spekulasi atau perkiraan secara intelektual (termasuk mengkaji hal ini dari sisi gelar, dlsb). Namun yang saya ketahui (yakini), semua pencapaian itu
bukan diri sejati, termasuk Arahat, Pacekka Buddha, Samma Sambuddha, (dan) apalagi Bodhisattva/Mahasattva.
Hal itu (yang digarisbawahi) yang diusahakan/diupayakan untuk dicapai oleh setiap makhluk (dalam konteks Mahayana). Sebab, bila masih merasa ada yang dicapai, ada gelar kesucian yang dilekati sebagai diri, maka Dia belumlah mencapai keterbebasan sesungguhnya (dalam konteks Mahayana).
Analogi sederhananya: Seseorang bisa saja mencapai gelar Sarjana, Doktor, atau Profesor, tapi jika hanya berdiam/terpaku pada gelar tersebut dan tidak mencoba potensi lainnya (di luar kompetensi gelar yang dicapai) maka dia belumlah bisa dikatakan serba-bisa (atau
sempurna, dalam bahasa spiritual).
Arahat ada dua makna (sesuai yang sudah dibahas):
1. Sifat.
2. Makhluk.
Untuk no. 2 jelas tidak kekal, ini sudah pasti (mutlak).
Untuk no. 1, yang saya ketahui dalam Mahayana memang sifat-sifat penolakan atas duniawi, samsara atau dukkha dalam jalur Arahat tidak bisa diterapkan dalam jalan bodhisattva, sebab akan menemui banyak kendala terkait perbauran dengan makhluk lainnya.
Selain itu, dalam Mahayana juga ada konsep, samsara sebenarnya juga merupakan aspek dari nirvana (saya tidak gunakan nibbana, khawatir beda terminologi beda makna), sebab potensi seorang makhluk yang tak terbatas, memungkinkan sekali untuk menciptakan kehidupan atau semesta yang diingini-Nya (kalau sudah realisasi Kebuddhaan). Ini termasuk bentuk kehidupan seperti ini (dengan dan/atau tanpa dukkha). Jadi (intinya), semua keberadaan termasuk gelar dan pencapaian, hanya layaknya sebuah permainan (belaka), sebab semuanya tidak tetap (berubah), serta tak memiliki inti kekal.
Oke, semoga bisa membawa manfaat bagi semua.
Salam, dan terima kasih untuk bimbingan serta koreksinya.