Pada kesempatan lain pencapaian pemasuk-arus dijelaskan kepada Anathapindika dalam tiga cara yang berbeda— tetapi hanya kepada dia seorang. Sang Buddha berkata:
“Bila di dalam diri seorang murid mulia kelima kejahatan yang menakutkan telah lenyap, ketika ia memiliki empat sifat pemasuk-arus, dan bila ia memahami metode mulia dengan baik dan bijaksana, maka ia bisa menganggap dirinya sebagai pemasuk-arus. Namun, ia yang membunuh, mencuri, melakukan tindakan seksual yang salah, berbohong, dan mengkonsumsi zat yang memabukkan, menghasilkan kelima kejahatan yang menakutkan baik di masa sekarang maupun di masa depan, dan mengalami kesakitan dan kesedihan dalam pikirannya. Siapapun yang menjauhi kelima kejahatan, baginya kelima kejahatan telah dihapuskan. Kedua, ia memiliki—sebagai sifat pemasuk-arus—keyakinan tak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan ia menjalankan sila dengan tanpa-cela. Ketiga, ia telah sepenuhnya melihat dan menembus metode mulia, yakni asal mula yang saling bergantungan.” (AN 10:92)
Pada suatu pagi Anathapindika ingin mengunjungi Sang Buddha, namun karena masih terlalu pagi maka ia pergi ke kediaman beberapa pertapa pengelana. Karena para pertapa mengenalinya sebagai pengikut Sang Buddha, mereka bertanya padanya perihal pandangan yang dimiliki pertapa Gotama. Ia menjawab bahwa ia tidak mengetahui semua pandangan Sang Bhagava. Ketika mereka bertanya kepadanya lagi perihal pandangan para bhikkhu, ia menjawab lagi bahwa ia tidak mengetahui semua pandangan mereka. Oleh karena itu ia ditanya apakah pandangan yang dimilikinya. Ia menjawab: “Pandangan apa yang kupegang, tuan-tuan yang mulia, tidaklah sulit untuk ku jelaskan. Tetapi bolehkan bila saya memohon Yang Mulia untuk menjelaskan pandangan anda dahulu. Setelah itu tidak akan sulit bagiku untuk menjelaskan pandangan yang aku pegang.”
Para pertapa kemudian menjelaskan anggapan mereka mengenai dunia. Yang satu menganggapnya abadi, yang lain menganggapnya tidak abadi; yang satu menganggapnya terbatas, yang lain menganggapnya tidak terbatas; yang satu menganggap bahwa badan dan jiwa adalah sama, yang lain menganggapnya berbeda; beberapa percaya bahwa Yang Tercerahkan tetap ada setelah meninggal, yang lain mengatakan bahwa ia hancur.
Anathapindika kemudian berkata: “Yang manapun dari pandangan ini yang dipegang, sumbernya pasti salah satu dari dua ini: dari refleksinya yang tidak bijaksana, atau melalui ucapan orang lain. Dalam kedua kasus itu, pandangannya muncul karena terkondisi. Akan tetapi, hal-hal yang terkondisi adalah sementara; dan hal-hal yang bersifat sementara melibatkan penderitaan. Oleh karena itu, ia yang memegang pandangan dan pendapat melekat pada penderitaan, tunduk pada penderitaan.”
Kemudian para pertapa ingin mengetahui pandangan yang dipegang Anathapindika. Ia menjawab: “Apapun yang timbul adalah sementara; kesementaraan adalah sifat dari penderitaan. Tetapi penderitaan bukanlah milikku, bukan aku, dan bukan diriku.”
Karena ingin membalas, mereka berargumen bahwa ia sendiri juga melekat karena ia melekat pada pandangan yang baru saja ia jelaskan. “Bukan begitu,” balasnya, “karena aku telah menangkap hal-hal ini sesuai kenyataan, dan lagipula, aku mengetahui cara keluar darinya sebagaimana adanya”—dengan kata lain, ia menggunakan pandangan ini hanya sebagai alat dan pada waktunya juga akan melepasnya. Para pengelana pun tidak mampu membalas dan duduk terdiam, sadar bahwa mereka telah dikalahkan.
Ananthapindika dengan diam-diam menemui Sang Buddha, melaporkan percakapan itu kepada beliau, dan menerima pujian Sang Buddha: “Engkau benar, perumahtangga. Engkau harus lebih sering membimbing mereka yang terkotori agar bisa sesuai dengan kebenaran.” Dan kemudian Sang Guru menyemangati dan mendorongnya dengan sebuah kotbah. Ketika Anathapindika telah pergi, Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu bahwa bahkan seorang bhikkhu yang telah hidup seratus tahun di dalam Sangha tidak akan dapat menjawab para pengelana itu sebaik yang telah dilakukan Anathapiõóika si perumahtangga (AN 10:93).
Akhirnya, dua kejadian lain dapat diceritakan: Anathapindika sakit dan memohon kunjungan seorang bhikkhu untuk mendapat penghiburan. Karena Anathapindika telah melakukan begitu banyak sebagai penyokong Sangha, pastilah permohonannya dikabulkan. Pertama kali, Y.M. Ananda menemuinya; kedua kali, Y.M. Sariputta. Y.M. Ananda berkata bahwa mereka yang pikirannya tak terlatih takut pada kematian dan kehidupan sesudahnya karena mereka tidak mempunyai empat hal: ia tidak memiliki keyakinan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, tidak pula ia memiliki kemoralan yang dipuji para mulia. Tetapi Anathapindika menjawab bahwa ia tidak memiliki rasa takut terhadap kematian. Ia memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan mengenai sila, ia tahu tidak satupun yang masih ia langgar. Bhante Ananda memujinya dan berkata bahwa ia baru saja menyatakan buah pemasuk-arus (SN 55:27).
Ketika Y.M. Sariputta berkunjung, ia memberitahu Anathapiõóika bahwa tidak seperti orang awam yang pikirannya tidak terlatih, dimana mereka masih mungkin terlahir di neraka, dia memiliki keyakinan terhadap Tiga Permata dan tidak melanggar sila. Bila sekarang ia berkonsentrasi penuh pada keyakinannya terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan kemoralannya sendiri, maka sakitnya dapat lenyap melalui meditasi ini. Ia tidaklah sama dengan mereka yang tak terlatih, yang memiliki pandangan salah, niat salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian-penuh salah, konsentrasi salah, pengetahuan salah, atau kebebasan salah. Bila ia mempertimbangkan fakta bahwa ia, sebagai pemasuk-arus, memiliki sepuluh faktor mulia, mengalir menuju kebebasan benar, maka melalui meditasi ini sakitnya akan lenyap. Melalui kekuatan perenungannya, Anathapindika mengingat keberuntungannya yang besar menjadi seorang murid mulia, dan dengan kekuatan obat spiritual yang luar biasa ini penyakitnya langsung lenyap. Ia berdiri, mengundang Bhante Sariputta untuk mencicipi santapan yang dipersiapan untuk dirinya sendiri, dan berdiskusi lebih lanjut dengannya. Di akhir diskusi Bhante Sariputta mengajar dia tiga syair untuk diingat:
“Ketika seseorang memiliki keyakinan terhadap Sang Tathagata,
Tak tergoyahkan dan kokoh,
Dan tindakan bajik yang dibangun di atas kemoralan,
Disayangi para mulia dan dipuji—
Ketika seseorang memiliki keyakinan terhadap Sangha,
Dan pandangan yang telah diluruskan,
Mereka katakan bahwa ia tidak miskin,
Bahwa hidupnya tidak sia-sia.
Oleh karena itu orang yang cerdas,
Mengingat Ajaran Sang Buddha,
Seharusnya mengabdi pada keyakinan dan kemoralan,
Kepada kepercayaan dan pandangan Dhamma.” (SN 55:26)
Delapan belas kotbah yang ditujukan kepada Anathapindika telah disinggung dengan singkat. Empat belas kotbah diberikan oleh Sang Bhagava atas inisiatif Beliau; satu timbul ketika Anathapindika mengajukan satu pertanyaan; dalam kotbah yang lain ia melaporkan bagaimana ia telah mengajar orang lain; dan dalam dua kotbah ia diberi instruksi oleh Bhante Ananda dan Bhante Sariputta—kedelapan belas kotbah ini menunjukkan bagaimana beliau membuat Ajaran menjadi jelas bagi umat awam dan menginspirasi mereka pada usaha-usaha yang membahagiakan.