Pertama, ada tipe orang tua yang gengsi, gak mau dinasehati. Karena mereka merasa sudah banyak makan
asam asin garam. Kalo kita mengajak berbuat baik tapi sikap kita seperti 'menggurui', mereka malah akan menolak ajakan kita karena 'gengsi' nya itu walaupun mungkin – dalam hatinya – mereka setuju dengan pendapat kita.
Kalau punya ortu yang seperti ini, kita harus pandai-pandai memilih sikap dan kata yang tepat. Karena kalo gak, semakin seru kita membujuk, semakin keras mereka menolak. Coba pilih kata-kata yang tidak menggurui. Hati-hati, jangan sampai setiap kali kita berbicara tentang berbuat kebaikan, tentang ke vihara, atau bahkan mendengar kata "Buddha" aja mereka sudah jaga jarak. Apalagi dengar kita setel lagu buddhis, mereka uda curiga (mereka berpikir: jangan-jangan ini salah satu taktik anakku) Soalnya trauma diajakin terus seperti ketemu marketing asuransi aja.
Ada sebuah cara untuk membujuk tipe ortu seperti ini. Teman saya – sebut saja A – menceritakan pengalamannya membujuk ortunya berdana. Si A menjadi relawan pada sebuah kegiatan pengobatan gratis yang diadakan sebuah yayasan. Lalu si A mengatakan bahwa banyak sekali orang yang, bukan hanya sakit, tapi juga miskin. Bukankah ini memprihatinkan? Bagaimana mau cari uang kalo sakit? Lalu bagaimana mau sembuh kalo gak ada uang? Dalam kegiatan ini banyak orang miskin yang terbantu. Tapi yayasan ini dapat uang darimana? Tentu saja dari uluran tangan banyak orang, dan mungkin aja ada uang 'lima ribu' saya yang pernah saya sumbangkan. Si A juga mengatakan bahwa, setelah ikut kegiatan ini dia tau (setelah melihat sendiri) bahwa uang yang dia sumbangkan benar-benar jatuh ke tangan yang tepat, ke tangan orang yang membutuhkan.
Teman saya ini menceritakannya seperti ngobrol aja. Jangan dibuat seolah-olah seperti marketing yang sedang menawarkan produk. Ngobrol aja seperti biasa, kalo wajah ortunya keliatan 'masih keras', ya uda diamkan saja. Lain kali cerita lagi kisah lain. Nanti kalo keliatan sudah berminat, coba tawarkan,
“ma, berdana yuk...kecil juga gak apa, yang penting cinta kasihnya”.
Ibu-ibu kan biasanya rada pelit, tapi kalo seribu atau dua ribu aja, masa gak mau. Yah, mudah-mudahan kalo kita banyak stok cerita, sumbangannya bisa nambah
Tapi ceritanya bagus sekali kalo berasal dari kisah nyata yang kita alami sendiri, dan bukan rekayasa.
Kedua, ada tipe orang tua yang berpikir (seperti kalimat di iklan): “ku tau yang ku mau”. Mereka merasa sudah cukup puas dengan hidup mereka dan merasa tidak perlu adanya perubahan. Ada ortunya teman saya yang lain. Dia jarang ke vihara. Disuruh dengar dhamma, dia cuek aja. Orangnya dingin dan ngomongnya tegas. Dia jarang bicara tapi kalo karyawannya berbuat salah atau tidak disiplin, dia tidak segan-segan menegur dengan kata-kata keras. Tapi kalo diperhatikan dengan seksama, apa yang tampak sungguh berbeda dengan hatinya. Hatinya baik sekali. Dia mempunyai sejumlah karyawan yang diberikan tempat tinggal. Kalo dia liat karyawannya kesulitan mendapatkan air, dia belikan pompa air. Kalo dia liat karyawannya makan di lantai, dia belikan meja. Trus dia punya kebun, dan dia memperbolehkan karyawannya ambil buah atau sayur, tapi harus menanamnya kembali agar tidak habis.
Intinya, tampak luar bapak ini seperti orang yang tidak beragama, jarang ke vihara, jarang dengar ceramah, ngomongnya keras, gak ada basa-basi pake kata-kata lembut, dsb. Sepertinya banyak yang harus diubah. Tapi menurut saya, orang seperti ini, sudah cukup baik. “Dia tau yang dia mau”, dan memang itu sudah cukup. Bahkan sekalipun dia jarang mendengar Dhamma tapi sikapnya sudah selaras dengan kebaikan. Kalau memang pelan-pelan mau dikenalkan pada Dhamma yang lebih dalam, bisa pake cara pertama.
Tapi berbeda halnya kalau “ku tau yang ku mau”, tapi ternyata sikapnya buruk. Kalau seperti ini, coba cara pertama.