[Admin]Ini adalah kisah fiksi[/admin]
"Bunuhlah saja aku!" Demikian teriak istriku, sambil menyusupkan gunting ke telapak tanganku, memegangkan tanganku pada gunting itu, serta membimbing tanganku untuk menusukan gunting itu ke arah leher nya. mulutku terdiam, tapi tanganku menahan agar gunting itu tidak mengenai lehernya. sementara istriku terus mencaci maki ku sambil menangis sejadi-jadinya. itu karena, ia baru saja mengetahui bahwa uang siampanan nya sebanyak 80 juta rupiah sudah ludes. uang tersebut direncanakan untuk membeli rumah. karena sampai saat ini, kami masih hidup mengontrak.
aku lah yang menghabiskan semua uang itu tanpa sepengetahuan istriku. padahal, uang itu telah dikumpulkan olehnya selama 10 tahun, dari pengahasilanku dan penghasilannya. sebagian besarnya, merupakan pemberian dari ayah ibunya, yaitu mertuaku.
sambil menangis, istriku terus menginterograsi aku, "cepat katakan, kau gunakan untuk apa uang sebanyak itu?"
tapi tak ada jawaban yang keluar dari mulutku. aku bingung dan tidak tahu, harus menjawab apa yang benar. berkali-kali istriku memukuli wajahku, tapi aku diam saja. duduk bersila, dan berusaha menenangkan diri seperti ketika aku bermeditasi. istriku makin kalap, dan menodongkan gunting ke leherku. "Jawab..! atau ku bunuh kau...?". saya diam saja. akhirnya dia tidak terkendali, mencoba melukai tubuhku dengan menghujamkan gunting ke dada dan bahuku. tapi, sayang gunting itu tidak menembus kulitku. bajuku pun tidak robek. mungkin guntingnya sudah tumpul.
tidak cukup sampai di sana, ..istriku mengambil ember terisi setengah air lalu membantingkannya ke kepala ku. pecahlah ember itu, air nya tersebar ke mana-mana, mengenai TV dan Piano. anak-anak kami menangis. saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. tidak ada tetangga yang melerai. seperti nya mereka bersembunyi karena tak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain.
walaupun aku basah kuyup, seperti biasanya, aku berusaha menenangkan diri, menarik dan mengeluarkan nafas. walaupun kepalaku dan bahuku terasa sakit terkena ember dan tusukan gunting, tapi aku percaya apa yang disebut sakit itu hanyalah ilusi. jika aku memperhatikan rasa sakit itu, semua akan menguap begitu saja.
aku berusaha menahan nafas, saat istriku menancapkan kukunya ke daun telinga ku, serta memelintirnya dengan keras sekali. darah menetes dari daun telingaku. lalu kelepaskan nafas pelan-pelan, dengan mengencangkan otot-otot diperutku.
istriku semakin putus asa. ia pergi ke kamar tidur, dan menangis di sana sendirian, menghabiskan tangisnya. kedua anakku memburuku,dan saya memeluk mereka berdua. dengan baju basah kuyup, aku pergi membawa kedua anakku ke rumah orang tuaku untuk menitipkan kedua anakku tersebut. aku segera kembali. "Barangkali istriku masih ingin memukuli diriku". demikian bisikku dalam hati.
sesampainya di rumah, terdengar istriku berbicara dengan orang tuanya melalui HP sambil terisak-isak. aku kasihan padanya. dan aku merasa bersalah. tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
beberapa saat setelah istriku berhenti bicara, HP ku berbunyi. mertua ku menelepon. "apa benar uang itu sudah habis?"
"iya. Benar." jawabaku pendek.
"masya Allah. habis untuk apa uang segitu banyak bisa habis begitu?" tanya mertua.
saya diam saja. mertua perempuan ku itu mengajukan banyak pertanyaan, seperti yang diajukan oleh istriku. lalu diakhiri dengan tangisan. disambung dengan bapak mertua ku, dia marah besar dan mencaci maki ku, menyebutku sebagai pria tidak bertanggung jawab dan brengsek. saya diam.
lama sekali aku menempelkan HP di telingaku, untuk mendengar caci maki kedua mertuaku, sampai akhirnya terputus sendiri. mungkin pulsa mertua ku sudah habis.
aku berjalan menuju kamar, bersimpuh di samping istriku yang sedang berbaring dan tampak tampak tangisannya sudah mereda.
"Bu,...maafkan ayah!" kata ku perlahan-lahan.
"maaf, maaf! enak saja minta maaf! pergi sana! pergi!" istriku mengusir. aku terdiam lagi. aku mencoba menyentuh tangannya. tapi istriku menarik tangannya, serta membanting tanganku untuk menunjukan bahwa dia tak mau aku sentuh.
keesokan hari nya, orang tua ku dan orang tuanya berkumpul. semua menginterogasiku. semua menyudurkan aku. semua mencaci maki aku. seperti biasanya, aku diam. tak satupun dari pertanyaan-pertanyaan itu aku jawab. semua orang heran padaku, dan tampaknya mereka putus asa. sangat ingin tau, apa yang sudah aku lakukan sehingga menghabiskan uang puluhan juta rupiah tanpa ada penjelasan sedikitpun. keadaanku seperti narapidana yang bersiap-siap menghadapi hukuman gantung. dan aku sudah pasrah.
seumur hidup, baru kali ini aku dihujani begitu banyak kebencian. isrtriku, mertuaku, kaka iparku, ayahku, nenekku, bibi ku, semuanya, mereka memandangku dengan penuh kebencian. sepertinya saat ini, aku lebih mejijikan dari tahi anjing di mata mereka. bila tidak takut dikatakan tidak bermoral, mungkin mereka semua akan meludahi wajahku. di dalam sidang keluarga itu hanya ibuku saja yang tampak memandangku dengan rasa iba dan kasihan, karena melihat anak yang dilahirkannya kini sedang dihujani hinaan dan caci maki. tentu, tidak ada seorang ibu pun yang mengharapkan anak yang dicintainya menjadi seperti itu.
aku telah kenyang dengan seribu caci maki. dan aku tidak kehilangan ketenangan. aku tidak pernah membiarkan batinku gelisah dan pikiran menjadi kacau. selalu ku jaga, agar pikiranku tetap jernih serta memiliki pengertian jelas. salah satu, agar pikiranku tetap jernih, aku memusatkan perhatian pada keluar masuknya nafas, serta berusaha melihat objek nafas dengan sejelas-jelasnya, sehingga dengan jelas aku bisa membedakan ini nafas masuk, ini nafas keluar, nafas ini panjang dan nafas ini pendek, dan aku tidak lepas dari 4 objek perhatian murni. aku berpikir, "kendatipun aku harus mati, biarlah aku mati dalam keadaan pikiran yang tenang dan jernih."
akhirnya sidangpun bubar, tanpa keputusan yang pasti. istriku telah mengusirku untuk pergi dari rumah. tapi aku tidak pergi, karena tidak tahu, bagaimana harus kulangkahkan kaki. bukan tak berani aku mengembara seperti dulu, pergi ke hutan-hutan sendirian, aku hanya tidak tahu, apakah benar itu harus aku lakukan sekarang. oleh karena itu, aku diam saja, sampai datang kebenaran yang jelas kepadaku tentang apa yang seharusnya aku lakukan.
sejak saat itu, istriku tak mau bangkit dari tempat tidurnya. dia tidak mau makan, tubuhnya pun demam. lebih dari itu, dia tidak mau melihat wajahku lagi. aku dilarang masuk ke kamarnya. selama berhari-hari istriku dirawat oleh mertua perempuanku.
aku masuk ke kamar kerjaku sendirian, untuk merenungi diri. "ah, kenapa aku harus menyiksa diri." pikirku."biarlah apa yang sudah berlalu untuk berlalu. aku tidak hidup di masa lalu, tidak pula hidup di masa depan. kesalahan apapun yang telah aku lakukan, itu adalah masa lalu. harapan apapun yang ada di dalam dadaku, itu adalah khayalan. faktanya, aku hidup saat ini disini, seharusnya aku, istriku dan semua orang menikmati saja hidup saat ini. kami mengumpulkan uang sampai puluhan juta, karena mengharapkan bisa hidup bahagia. ternyata salah. kebahagiaan tidak ada pada uang puluhan juta rupiah. sebaliknya, uang itu justru membuat kehidupan istriku menjadi menderita seperti hari ini." demikian renunganku.
diluar sana, masih banyak orang yang masih sering kelaparan, tak punya baju dan rumah. sedangkan kami tidaklah kelaparan. walaupun mengontrak, rumah tempat tinggal kami cukup bagus. airnya bersih. lingkungnanya aman dan bersih. walaupun kehilangan uang 80 juta rupiah, tapi kami masih menyimpan beberapa juta rupiah di rumah. lalu kenapa, istriku harus menyakiti dirinya sendiri dengan dendam kesumat serta enggan makan dan enggan diobati? ah, tapi yang namanya pikiran orang, tak bisa kita ubah sekehendak diriku. semua orang menempuh jalannya masing-masing dan memiliki cara berpikir yang berbeda-beda. aku harus menerima fakta itu.
beberapa dokter telah dipanggil ke rumah. karena istriku tidk mau dibawa ke RS. aku tidak tahu, bagaimana parahnya keadaan istriku, karena aku dilarang masuk ke kamarnya. bila aku mencoba mengitip dari balik pintu, mertua perempuanku langsung marah-marah, dan membanting pintu kamar, agar aku tidak melihat istriku.
tadi,.. dini hari pukul 01:30 aku terbangun dari tidur, karena mendengar tangisan mertua ku di kamar istriku. aku segera menuju ke kamar istriku. tampak istriku sedang bergerak-gerak gelisah. tampak sulit bernafas dan kadang matanya terbalik-balik. aku mendekatinya dan mengusap keningnya. sungguh aku mencintai dan menyayanginya. dan aku begitu iba, hingga berderai-derai air mataku.
sejurus, aku melihat sorot pandang istriku, tampaknya ia masih menyimpan kemarahan padaku. aku hanya bisa berharap dalam hati, bahwa dia akan memaafkan aku. karena itulah yang akan bisa menyejukan hatinya yang begitu gersang.
rupanya, istriku sudah tidak tahan dengan sakitnya. ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. aku pun tersungkur ditangannya sambil menangis. seandainya dapat, tentu aku ingin turut serta, pergi bersama dia. istriku telah mati, Gan!
saat mengantar jenazah istriku ke pekuburan. anakku yang sulung bertanya, "ayah, kenapa ibu meninggal?"
"Ibu pergi ke surga, nak. nanti kita semua akan berkumpul di sana. nanti kita ketemu ibu lagi." demikian jawabku.
anak ku berkata lagi dengan sedih, "kata kakek, ibu dibunuh sama ayah. benar enggak yah?"
tak kuasa aku menahan derai air mataku. aku tahu, orang-orang memandang aku tak ubahnya sebagai pembunuh istriku. karena dianggap yang menyebabkan istriku jatuh sakit hingga meninggal dunia. lalu, kini apa yang harus aku katakan. haruskah aku berdebat dengan anakku sperti di forum diskusi, untuk menjelaskan mana pandangan yang benar. tidak. itu bukan waktunya berdebat dan berdiskusi. tapi, apakah aku harus membiarkan anakku menanggap ayahnya yang membunuh ibunya? tidak. tak bisa kubiarkan hal itu terjadi. "Mari nak, kita doakan, agar ibumu hidup bahagia di dalam sorga!".
Ampun, Gan!
ingin aku berlari
entah kemana aku harus berlari
ingin aku berteriak
dada ku hendak meledak
aduh, Tuan
hamba memang bersalah
mengapa istriku yang dimatikan
mengapa tidak aku saja
kurasa, hidup merupakan hukuman yang berat dari kematian
ingin rasanya aku pergi ke hutan
menjalani hidup sebagai pertapa
seperti sang bodhisatva
tapi anak-anak ku, bagaimanakah pula
aku berdiri disini sperti patung
tak tahu kemana harus melangkah
maju salah, mundur pun salah
kiri kanan atas bawah
semua serba salah
ampun, Tuan
berilah daku hidup bahagia
sebagaimana dahulu kala
jangan seperti ini
dalam berdiri aku samadhi
menyusuri jejak sang istri
dimana ia berada, kemana ia telah pergi
sungguh sangat kasihan
ia jatuh ke dalam neraka
tejerembab di dalam udara yang berputar
seperti yang terbawa arus sungai
lalu beputar-putar di dalam pusaran air
tampak ia mengharap belas kasihan
dan minta pertolongan
lalu aku datang, untuk menolong dia
dia mengulurkan tangan
hendak meraih tanganku
tapi dia terpental ke belakang
dihembuskan angin kebencian
sungguh aku tidak tahu lagi
bagaimana cara menolongnya
saat ku buka mata
aku melangkah
walaupun sedih dan menderita
tapi hidup harus kulanjutkan
aku harus pergi bekerja
demi anak-anak kami