Topik Buddhisme > Buddhisme untuk Pemula

(PIC) Riwayat Hidup Buddha Gotama

(1/20) > >>

Adhitthana:

Riwayat Hidup Buddha Gotama yang dipaparkan di bawah ini hanyalah merupakan garis besar dari kehidupan Beliau dari kelahiran-Nya sebagai Pangeran Siddhattha sampai Parinibbana (kemangkatan mutlak), serta beberapa peristiwa penting dalam kronologi pembabaran Dhamma oleh-Nya.

Adhitthana:
Spoiler: ShowHide
Empat asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa yang lalu, terdapat sebuah kota yang makmur bernama Amaravatã. Sebuah kota yang sempurna dalam segala hal. Indah dan menyenangkan. Dikelilingi oleh pohon-pohon hijau dan taman yang indah, memiliki persediaan makanan dan barang-barang kebutuhan yang cukup. Kaya akan barang-barang berharga untuk dinikmati oleh masyarakatnya. Kota ini menghangatkan hati para dewa dan manusia.
Di kota ini selalu terdengar suara-suara dari sepuluh macam suara seperti, suara gajah, kuda, kereta, suara genderang besar, genderang kecil, harpa, nyanyi-nyanyian, tiupan kulit kerang, tepuk tangan, dan undangan-undangan pesta. (Di kota-kota lain penuh dengan suara yang tidak menyenangkan, teriakan-teriakan dan tangisan yang menyakitkan).
Kota ini teranugerahi dengan semua karakteristik dari sebuah kota metropolitan. Tidak kekurangan mata pencaharian untuk mencukupi kebutuhan hidup seperti: berlian, emas, perak, mata kucing, mutiara, zamrud, dan selalu didatangi oleh pengunjung-pengunjung dari luar. Lengkap dengan segala barang-barang seperti di alam surga. Di sini adalah alam di mana orang-orang menikmati buah dari perbuatan-perbuatan baik.

Di kota Amaravatã ini hiduplah seorang Brahmana bernama Sumedhà. Ibunya adalah keturunan dari keluarga Brahmana dari generasi ke generasi, demikian pula dengan ayahnya. Sehingga, ia adalah seorang Brahmana murni karena kelahiran, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Ia terlahir dari seorang ibu yang kaya raya dan baik. Ia tidak dapat dicemooh karena kelahirannya dengan mengatakan, “Orang ini lahir dari golongan rendah sampai tujuh generasi leluhurnya.” Ia adalah orang yang tak dapat diremehkan atau dicela. Ia adalah seorang dengan darah Brahmana murni dengan fisik yang menarik perhatian setiap orang.
Sehubungan dengan kekayaannya: Ia memiliki harta yang tersimpan dalam gudang harta dalam jumlah yang sangat besar dan sejumlah besar hasil panen serta barang-barang kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Ia memelajari tiga Kitab Veda: Iru, Yaju, dan Sàma. Menguasai kitab-kitab ini dan dapat menghafalnya tanpa cacat. Tanpa kesulitan ia menguasai:
1. Nighandu, buku yang menjelaskan berbagai istilah,
2. Ketubha, buku mengenai literatur-literatur yang berisi bermacam literatur yang ditulis oleh para peneliti terpelajar,
3. Vyakarana (Akkharapabheda), buku Tata Bahasa yang berhubungan dengan analisis kata-kata dan menjelaskan aturan-aturan tata bahasa dan istilah-istilah seperti alphabet, konsonan, dll,
4. Itihasa (juga disebut Påraõa) yang merupakan Veda kelima yang menceritakan tentang legenda-legenda dan kisah-kisah kuno.
Ia juga ahli dalam Lokayata, karya filosofis yang menentang perbuatan-perbuatan yang dapat memperpanjang saÿsàra dan juga karya yang berhubungan dengan orang-orang besar seperti: Buddha yang akan datang, Pacceka Buddha yang akan datang. Ia juga seorang guru yang mengajarkan cerita-cerita Brahmanis yang diajarkan dari generasi ke generasi.
Orangtua Sumedhà meninggal dunia sewaktu ia masih sangat muda. Penjaga harta keluarga, membawa daftar harta, membuka gudang harta yang penuh dengan emas, perak, batu delima, mutiara, dan lain-lain, dan berkata, “Tuan muda, sebanyak inilah harta yang engkau warisi dari pihak ibu, dan sebanyak ini dari pihak ayah, dan sebanyak ini dari leluhurmu.” Ia memberitahukan Sumedhà tentang kekayaan yang diwarisinya dari tujuh generasi leluhurnya, dan berkata, “Lakukan apa pun yang engkau inginkan dari kekayaan ini.” Kemudian menyerahkannya kepada Sumedhà.
Sumedhà Pergi Bertapa
Suatu hari Sumedhà naik ke teras atas istananya, duduk bersila dalam keheningan, timbul pikiran berikut ini dalam dirinya:
“Sungguh menyedihkan kelahiran sebagai makhluk hidup; Demikian pula kehancuran dari badan jasmani; Sungguh menyedihkan mati dalam tekanan kebodohan dan di bawah kekuasaan usia tua.”
“Karena harus mengalami kelahiran, usia tua, dan sakit, aku akan mencari Nibbàna di mana usia tua, kematian, dan ketakutan padam.”
“Betapa menyenangkan seandainya aku dapat bebas dari tubuh ini secara total, karena tubuh ini penuh dengan benda-benda kotor seperti: air seni, kotoran, darah, ludah, dahak, nanah, lendir, empedu, keringat, dan lain-lain.”
“Pasti ada jalan menuju Nibbàna yang penuh dengan kedamaian. Tidak mungkin tidak ada. Aku akan mencari Jalan menuju Nibbàna sehingga aku dapat terbebas dari lingkaran kehidupan.”
“Misalnya saja, di mana ada penderitaan (dukkha), di sana juga ada kebahagiaan (sukha). Demikian pula, di mana ada lingkaran kelahiran yang merupakan timbulnya dukkha, disana juga ada Nibbàna yang merupakan padamnya dukkha.”
“Demikian pula, jika ada panas, juga ada dingin; jika ada tiga api nafsu, keserakan, kebencian, dan kebodohan, pasti juga ada Nibbàna yang merupakan padamnya tiga api ini.”
“Di mana ada perbuatan jahat, di sana juga ada perbuatan baik: Demikian pula, di mana ada kelahiran kembali, di sana juga ada Nibbàna di mana energi kelahiran kembali dipadamkan.”
Setelah munculnya pikiran-pikiran ini, ia merenungkan dalam-dalam:
“Misalnya, seseorang yang telah terjatuh ke dalam kotoran atau yang tergelincir ke dalam kubangan yang kotor dan melihat dari jauh sebuah kolam yang jernih yang dihiasi oleh lima macam bunga teratai; Jika setelah melihat kolam ini, ia tidak berusaha untuk mencari jalan dan pergi menuju kolam itu; ini bukanlah kesalahan kolam tersebut, tetapi kesalahan orang tersebut; Demikian pula, ada sebuah kolam besar Nibbàna di mana seseorang dapat mencuci kotoran batinnya, jika seseorang itu tidak mencari kolam besar Nibbàna itu, ini bukanlah kesalahan Nibbàna.”
“Seperti seseorang yang dikepung oleh musuh dan tidak berusaha untuk meloloskan diri walaupun di sana ada jalan untuk melarikan diri, itu bukanlah kesalahan jalan itu; Demikian pula jika seseorang yang ditawan oleh musuh yang berbentuk kotoran batin, tidak berusaha untuk melarikan diri walaupun telah ada jelas sekali jalan besar menuju kota emas Nibbàna di mana seseorang aman dari musuh-musuh yang berbentuk kotoran batin, ini bukanlah kesalahan jalan besar tersebut.
“Seperti, seseorang yang menderita penyakit, tidak dapat sembuh walaupun ada dokter yang ahli. Dokter itu tidak dapat disalahkan; Demikian pula jika seseorang yang sangat menderita penyakit kotoran batin tidak mencari seorang guru untuk menyembuhkan penyakit itu, meskipun di sana ada seorang yang ahli dalam melenyapkan kotoran batin, guru tersebut tidak dapat disalahkan.”
Kemudian Sumedhà lebih jauh merenungkan sebagai berikut untuk terbebas dari jasmani:
“Seperti seseorang yang dibebani oleh mayat seekor binatang yang tergantung di lehernya dan membebaskan diri dari bangkai busuk tersebut dan pergi ke mana pun yang ia inginkan dengan bebas dan bahagia. Demikian pula Aku akan pergi menuju Kota Nibbàna dan meninggalkan jasmani yang busuk ini yang bukan lain hanyalah kumpulan benda-benda menjijikkan.”
“Seperti mereka yang meninggalkan kotoran mereka di kakus tanpa pernah menengok ke belakang. Demikian pula Aku akan pergi ke Kota Nibbàna setelah meninggalkan jasmani ini yang penuh dengan benda-benda menjijikkan.”
“Seperti seorang pemilik perahu tua, bocor, dan rusak, meninggalkan perahunya dengan muak. Demikian pula Aku akan pergi ke Kota Nibbàna setelah meninggalkan tubuh ini, yang dari sembilan lubang pada tubuh di mana kotoran yang menjijikkan mengalir keluar.”
“Seperti seseorang yang membawa banyak harta yang kebetulan melakukan perjalanan dengan para perampok, meninggalkan para perampok itu dan melanjutkan perjalanan dengan aman ketika ia menyadari bahaya hartanya dirampok. Demikian pula, karena pikiran bahwa “harta kebajikanku dapat dirampok” membuat aku takut, aku akan meninggalkan jasmani ini yang seperti kepala perampok dan akan pergi mencari jalan menuju Nibbàna yang tidak diragukan lagi memberikan keamanan dan kebahagiaan bagiku.”
Mahàdàna
Setelah merenungkan hal-hal tadi, sekali lagi Sumedhà Sang Bijaksana berpikir, “Dengan memiliki banyak kekayaan ini, ayahku, kakakku, dan para leluhurku serta saudara-saudaraku selama tujuh generasi bahkan tidak mampu membawa hanya satu keping uang pun pada saat mereka meninggal dunia. Namun aku harus dapat menemukan cara untuk membawa kekayaanku ke Nibbàna.” Kemudian ia menghadap raja dan berkata, “Yang Mulia, karena pikiranku sangat terganggu oleh bahaya besar akan penderitaan yang ditimbulkan oleh kelahiran, usia tua, dan lain-lain, maka aku akan pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi petapa. Aku mempunyai banyak harta kekayaan. Ambillah hartaku itu.”
“Aku tidak menginginkan harta kekayaanmu. Kamu dapat melepaskannya dengan cara yang engkau inginkan” jawab Raja. “Baiklah, Yang Mulia” jawab Sumedhà Sang Bijaksana. Kemudian dengan tabuhan genderang besar, ia mengumumkan di seluruh kota Amaravatã, “Kepada siapa pun yang menginginkan kekayaanku, silakan datang dan ambil.” Dan ia mendanakan kekayaannya dalam suatu mahàdàna kepada semua orang tanpa membedakan status miskin atau kaya.
Melepaskan Keduniawian
Setelah melakukan mahàdàna, Sumedhà yang Bijaksana, Bakal Buddha, melepaskan keduniawian dan pergi menuju Pegunungan Himalaya dengan tujuan ke Gunung Dhammika pada hari itu juga. Dewa Sakka melihat Sumedhà mendekati Pegunungan Himalaya, memanggil Vissukamma dan berkata, “Pergilah, Vissukamma, Sumedhà, Sang Bijaksana telah melepaskan keduniawian dan bermaksud menjadi petapa. Buatkan sebuah tempat tinggal untuknya.”
“Baiklah Yang Mulia,” jawab Vissukamma. Kemudian ia membuat rancangan sebuah pertapaan yang di dalamnya terdapat sebuah bangunan gubuk beratap daun-daunan dan dilengkapi jalan setapak yang nyaman dan tanpa cacat. (Penulis menjelaskan bahwa jalan ini tanpa cacat karena bebas dari lima macam cacat yaitu:)
(1) jalan yang kasar dan tidak rata,
(2) ada pohon-pohonan di jalan tersebut,
(3) tertutup oleh semak-semak,
(4) terlalu sempit, dan
(5) terlalu lebar.
(Penulis kemudian menggambarkan jalan setapak itu dan memberikan ukuran: panjangnya enam puluh lengan (1 lengan = 45-55cm), terdiri dari tiga lajur, lajur utama di tengah dan dua lajur yang lebih sempit di kiri dan kanannya, lajur utama lebarnya satu setengah lengan, sedangkan dua lajur lainnya masing-masing lebarnya satu lengan. Keseluruhan jalan ini dibuat di atas tanah yang datar dan rata yang dilapisi oleh pasir putih.) (Gubuk yang dibangun berisi bermacam perlengkapan petapa seperti: penutup kepala, jubah, tempat air, dan lain lain. Vissukamma kemudian menulis di dinding bagian dalam gubuk, sebuah tulisan, “Kepada siapa pun yang ingin menjadi petapa, boleh menggunakan perlengkapan ini.” Kemudian ia kembali ke alam Dewa.)
Mulai Bertapa
Sesampainya di kaki Pegunungan Himalaya, Sumedhà, Sang Bijaksana berjalan di sepanjang perbukitan dan mencari tempat yang sesuai di mana ia dapat tinggal dengan nyaman. Di sana, di lekukan sungai di wilayah Gunung Dhammika, ia melihat sebuah pertapaan yang indah yang dibangun oleh Vissukamma atas perintah Dewa Sakka. Kemudian ia berjalan perlahan-lahan menuju jalan setapak, namun ia tidak melihat jejak kaki di atas jalan setapak itu, ia berpikir, “Mungkin, para penghuni pertapaan ini sedang beristirahat di dalam pondoknya setelah mengumpulkan dàna makanan yang melelahkan di pemukiman sana.” Dengan pikiran seperti itu ia menunggu beberapa saat.
Namun tidak terlihat tanda-tanda keberadaan orang di sana setelah waktu yang cukup lama. “Aku telah menunggu cukup lama, aku akan menyelidiki apakah tempat ini ada penghuninya atau tidak.” Ia membuka pintu dan masuk ke gubuk, melihat ke sana kemari, kemudian terlihat tulisan di dinding dan berpikir, “Perlengkapan ini cocok untukku. Aku akan menggunakannya dan menjadi petapa.” Setelah memutuskan demikian, dan setelah merenungkan sembilan kerugian memakai pakaian orang biasa dan dua belas keuntungan memakai jubah, kemudian ia mengganti pakaiannya dengan memakai jubah tersebut.
Meninggalkan Gubuk dan Tinggal di Bawah Pohon
Setelah ia menanggalkan pakaiannya yang mewah, Sumedhà, Sang Bijaksana, mengambil jubah yang berwarna merah seperti bunga amoja yang ditemukannya terlipat rapi di atas pasak bambu, siap untuk dipakai, ia melilitkan jubah itu di sekeliling pinggangnya. Di atasnya ia memakai jubah lain yang berwarna emas, yang juga menutupi bahu kirinya. Ia memakai penutup kepala dan mengencangkannya menggunakan penjepit rambut berwarna putih, mengambil sebuah pikulan untuk membawa perlengkapan yang di satu ujungnya digantungkan jaring tempat ia meletakkan tempat air berwarna batu karang, dan di ujung lainnya digantungkan gancu panjang (dipakai untuk memetik buah-buahan dari pohon), sebuah keranjang, tongkat, dan lain lain. Kemudian ia menggantungkan pikulan perlengkapan itu di bahunya yang sekarang penuh dengan perlengkapan petapa. Dengan memegang tongkat di tangan kanannya, ia berjalan keluar dari gubuknya. Sewaktu berjalan mondar mandir sepanjang jalan setapak sepanjang enam puluh lengan, ia mengamati dirinya dengan penampilan baru dan merasa gembira dengan pikiran:
“Keinginanku telah terpenuhi,
Indah sekali kehidupan bertapaku ini,
Kehidupan bertapa sangat dipuja oleh para bijaksana,
seperti para Buddha dan Pacceka Buddha,
Penjara rumah tangga telah ditinggalkan,
Aku telah keluar dengan selamat dari alam kenikmatan duniawi,
Aku telah memasuki kehidupan menjadi seorang petapa,
Aku akan berusaha melatih kehidupan suci,
Aku akan berusaha mendapatkan hasil dari latihan-latihan suci ini.”
Kemudian ia menurunkan pikulan perlengkapan dari bahunya, duduk diam seperti patung emas di atas batu di tengah jalan setapak, ia melewatkan hari itu di sana.
Pada waktu malam ia masuk ke gubuk, berbaring di atas papan di pinggir dipan, ia menggunakan jubah sebagai selimut dan tidur. Ketika ia bangun keesokan paginya, ia merenungkan alasan mengapa ia ada di sana:
“Karena melihat bahaya dari hidup berumah tangga, dan karena telah melepaskan harta kekayaan, aku masuk ke hutan dan menjadi petapa dengan tujuan untuk mencari jalan yang dapat membebaskan aku dari perangkap nafsu. Mulai saat ini, aku tidak boleh lalai. Ada tiga jenis pikiran salah, yaitu yang berasal dari nafsu (kàma vitakka) yang mengarah kepada kenikmatan indra, yang berasal dari kebencian (vyàpàda vitakka) yang mengarah kepada pembunuhan, perusakan, mencelakai; yang berasal dari kekejaman (vihiÿsa vitakka) yang mengarah kepada melukai dan menyakiti makhluk-makhluk lain. Pikiran-pikiran ini seperti lalat liar yang diberi makanan oleh mereka yang malas dan tidak mau melatih batin agar terbebas dari kotoran batin dan kemelekatan fisik terhadap nafsu indra. Sekaranglah waktunya bagiku untuk secara total melatih ketidak-terikatan (paviveka).”
“Sebenarnyalah, setelah melihat bahaya dari hidup berumah tangga yang menghalangi, merintangi, dan merugikan latihan-latihan ini, aku melepaskan keduniawian. Gubuk dari dedaunan ini sebenarnya sangat indah. Tanah yang baik ini kuning cerah seperti buah yang matang. Dindingnya putih keperakan. Atap dedaunan ini indah kemerahan seperti warna kaki merpati. Dipan rotan ini memiliki corak bagaikan alas tempat tidur yang mewah. Tempat tinggal ini sangatlah nyaman untuk ditempati. Kupikir, kemewahan yang dimiliki petapa sebelumku di sini tidak dapat melebihi kemewahan dari gubuk ini.” Dengan perenungan ini, ia melihat delapan cacat dalam sebuah gubuk dedaunan dan sepuluh keuntungan dari tinggal di bawah pohon. Karena itu, hari itu juga ia meninggalkan gubuk itu dan mencari pohon yang memiliki sepuluh manfaat.
Bermeditasi Dengan Hidup Hanya dari Buah-buahan
Keesokan paginya, ia memasuki perkampungan untuk mengumpulkan dàna makanan. Para penduduk menyediakan berbagai macam makanan. Setelah selesai makan, ia kembali ke tempatnya di hutan, kemudian duduk dan berpikir:
“Aku menjadi petapa bukan karena kekurangan makanan. Makanan yang lezat cenderung menambah kesombongan dan keangkuhan seseorang. Kesulitan yang timbul dari kebutuhan mempertahankan hidup dengan makanan tak akan berakhir. Baik sekali jika aku dapat menghindarkan dari memakan makanan yang berasal dari hasil pertanian dan hidup hanya dari buah-buahan yang jatuh dari pohon.”
Sejak saat itu, ia hidup hanya dari memakan buah-buahan yang jatuh dari pohon. Tanpa berbaring sama sekali, ia berlatih meditasi terus-menerus tanpa putus hanya dalam tiga postur: duduk, berdiri, dan berjalan, hingga pada hari ketujuh, ia mencapai Delapan pencapaian (delapan tingkat Jhàna) dan lima kekuatan batin tinggi (Abhi¤¤à).
Buku Buddhavaÿsa menceritakan kisah Sumedhà Sang Bijaksana, Bakal Buddha, mulai sejak ia melakukan mahàdàna, sampai kepada saat ia menjadi petapa dan mencapai kekuatan batin dan Jhàna.

Adhitthana:
Spoiler: ShowHide
Sumedha mengorbankan dirinya

Sumedha menatap tanpa berkedip pada sosok Buddha, yang dianugerahi dengan 32 tanda besar seorang manusia luar-biasa ( Mahapurissa ), dan 80 tanda-tanda kecil lainnya. Ia menyaksikan sosok Buddha yang indah dan bercahaya, seperti terbuat dari emas-murni, dengan aura terang di sekeliling-Nya dan enam sinar memancar dari tubuh-Nya, seperti kilat di langit biru.

Kemudian Sumedha memutuskan sebagai berikut, “Hari ini, aku akan mengorbankan diriku untuk Buddha. Agar Ia tidak menginjak lumpur dan mengalami ketidaknyamanan, biarlah Buddha beserta 400.000 Arahanta menginjak punggungku dan seolah-olah berjalan di atas jembatan kayu berwarna batu delima. Dengan menggunakan tubuhku sebagai jembatan oleh Buddha dan para Arahanta, aku pasti akan mendapat kesejahteraan dan kebahagiaan dalam jangka waktu yang lama.”

Setelah mengambil keputusan demikian, ia melepaskan sabuknya, menggelar matras kulit macan dan jubahnya di atas tanah becek kemudian berbaring tiarap diatasnya, bagaikan jembatan yang terbuat dari kayu berwarna batu delima.


Aspirasi Sumedha untuk mencapai Ke-Buddha-an

Sumedha, yang sedang bertiarap, seketika muncul keinginan untuk menjadi Buddha, “Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya ? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna dari Buddha Dipankara ? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai ke-Buddha-an.”

“Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai ke-Buddha-an dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”

“Setelah mencapai ke-Buddha-an sebagai hasi dari perbuatanku yang tiada bandingnya dengan bertiarap dan menjadi jembatan untuk Buddha Dipankara, aku akan menolong banyak makhluk keluar dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”

“ Setelah menyeberangi sungai samsara dan meninggalkan tiga alam kehiduapn, aku akan menaiki rakit Dhamma Jalan Mulia Berfaktor Delapan dan pergi menyelamatkan semua makhluk termasuk dewa.” Demikianlah pikirannya bercita-cita untuk menjadi Buddha.


Sumitta , Kelak Menjadi Yasodhara

Sewaktu Sumdedha sedang memikirkan cita-cita untuk mencapai ke-Buddha-an, seorang Brahmana perempuan muda bernama Sumitta bergabung dengan para penduduk menyambut Buddha. Ia membawa delapan kuntum bunga teratai untuk dipersembahkan pada Buddha Dipankara. Sewaktu ia sampai di tengah-tengah keramaian dan begitu matanya menatap Sumedha, ia terpesona dan seketika jatuh cinta kepadanya. Ia ingin mempersembahkan sesuatu pada Sumedha, tapi ia tidak memiliki apa-apa kecuali delapan kuntum teratai. Kemudian ia berkata kepada Sumedha, “Yang Mulia petapa, aku berikan padamu lima kuntum bunga teratai, agar engkau dapat mempersembahkannya sendiri kepada Buddha. Sisa tiga kuntum ini adalah sebagai persembahanku kepada Buddha”. Kemudian ia menyerahkan lima kuntum bunga teratai itu kepada Sumedha, kemudian menyampaikan keinginannya, “ Yang Mulia Petapa, selama waktu yang akan engkau jalani dalam mencapai Ke-Buddha-an ; semoga aku dapat selalu menjadi pendampingmu.”

Sumedha menerima bunga teratai dari Sumitta dan di tengah-tengah keramaian, mempersembahkannya kepada Buddha-Dipankara, yang datang menghampirinya.


Ramalan Pasti dari Buddha Dipankara : Sumedha kelak akan menjadi Buddha

Mengamati apa yang sedang terjadi antara Sumedha dan Sumitta, Buddha membuat ramalan di tengah-tengah keramaian :

“ O… Sumedha, perempuan ini Sumitta, akan menjadi pendampingmu dalam berbagi hidup, membantumu dengan semangat dan perbuatan yang sama dalam usahamu mencapai ke-Buddha-an, ia akan membahagiakanmu dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatannya, ia akan berpenampilan cantik dan menyenangkan, manis tutur katanya dan baik hati. Dalam usahamu mencapai ke-Buddha-an, dalam kelahiranmu yang terakhir, ia akan menjadi murid perempuan yang akan menerima warisan spiritual darimu, menjadi seorang Arahanta, lengkap dengan kemampuan batin tinggi.”

Pada saat Buddha-Dipankara menyatakan hal tersebut diatas, Petapa Sumedha memang telah memenuhi kedelapan faktor yang diperlukan untuk menerima ramalan kepastian bahwa kelak ia akan menjadi Buddha. Kedelapan faktor tersebut adalah :

1.Ia adalah manusia
2.Ia adalah laki-laki
3.Telah memenuhi semua kondisi seperti Kesempurnaan yang diperlukan untuk meraih tingkat ke-Arahatta-an dalam kehidupan itu juga
4.Dia harus bertemu muka dengan muka dengan seorang Buddha yang hidup.
5.Dia harus menjadi seorang Petapa yang percaya hukum karma (Kammavadi) atau pernah menjadi anggota Sangha dalam masa kehidupan seorang Buddha.
6.6. Dia harus memiliki kekuatan-batin / mencapai keempat Rupa-Jhana dan keempat Arupa-Jhana ( yang dikenal sebagai “Attha-Samapatti-Jhana-Labhi” ).
7.Berusaha keras untuk mengembangkan kesempurnaan tanpa memperdulikan hidupnya .
8.Dia harus memiliki kebulatan tekad yang kuat untuk menjadi seorang Buddha meskipun dia tahu bahwa dia akan menanggung penderitaan sebagai binatang, setan, dan lain-lain di dunia yang menyedihkan. Dengan kata lain, dia harus mencegah dirinya untuk mencapai tingkat Arahat, dengan tekad bulat dan tetap berdiam di dalam samsara untuk kepentingan ummat manusia dan para dewa.
Mengetahui bahwa Sumedha memiliki persyaratan ini, Buddha Dipankara menghampiri Sumedha dan berdiri di dekat kepalanya, selagi ia masih bertiarap, dengan kekuatan batin-Nya, melihat jauh ke masa depan untuk mengetahui apakah Sumedha, yang sedang berbaring tiarap di atas lumpur, yang berkeinginan untuk menjadi Buddha, dapat tercapai keinginannya atau tidak.

Buddha Dipankara mengetahui semua tentang masa depan Sumedha, dan berkata,” Sumedha akan menjadi Buddha, bernama Gotama, setelah 4 Asankkheyya-Kappa dan 100.000 Kappa sejak saat ini.”

Setelah mendengar ramalan Buddha Dipankara yang tiada bandingnya di tiga alam, dewa dan manusia bersorak gembira, “Dikatakan Sumedha Sang petapa, adalah benar-benar seorang Bakal Buddha.” Mereka menepuk lengan kiri atas mereka dalam kegembiraan ( pada masa itu mereka tidak bertepuk tangan untuk menyatakan kegembiraan, tapi menepuk lengan kiri dengan telapak tangan kanan ). Dewa dan Brahma yang datang dari sepuluh ribu alam semesta bersama-sama dengan manusia mengangkat tangan memberi penghormatan.

Mereka juga mengungkapkannya lewat pengharapan,” Meskipun sekarang kami gagal dalam melatih ajaran Buddha Dipankara, raja dunia, kami akan bertemu lagi dengan petapa mulia ini yang kelak akan menjadi Buddha; saat itu kami akan sungguh-sungguh berusaha keras untuk mencapai pengetahuan Dhamma yang lebih tinggi.”

Setelah Buddha Dipankara membuat ramalan, Ia pergi dengan menginjakkan kaki kanan-Nya di sebelah Sumedha. Keempat ratus ribu Arahanta juga meninggalkan tempat dengan Sumedha di sisi kanan mereka ( setelah mempersembahkan bunga dan dupa ). Demikian pula dengan manusia, para Naga, musisi Surgawi ( Gandhabba ) meninggalkan tempat setelah memberi penghormatan kepada Sumedha dan mempersembahkan bunga dan dupa.

Setelah Buddha Dipankara dan keempat ratus ribu Arahanta menghilang dari pandangan, Sumedha bangun dengan gembira dari posisi tiarapnya, dan dengan pikiran dipenuhi kegembiraan dan kebahagiaan, ia duduk bersila diaas tumpukan bunga-bunga yang ditebarkan untuk menghormatinya oleh para dewa dan manusia, kemudian merenungkan :

“ Aku telah berhasil mencapai Jhana dan lima kemampuan batin. Di sepuluh ribu alam semesta, tidak ada petapa yang menyamaiku. Aku tidak melihat seorang pun yang sama denganku dalam hal kekuatan batin.” Dan Sumedhapun merasakan kegembiraan dan kebahagiaan luar biasa.

Adhitthana:
Spoiler: ShowHide
Demikianlah pada kelahiran terakhirnya sebagai Bakal Buddha ketika Beliau terlahir sebagai Pangeran Vessantara, Beliau sampai pada akhir dari periode pengumpulan Pàramã dengan melakukan semua kebajikan-kebajikan terakhir yang melebihi segalanya, yang tiada bandingnya dan yang layak dianugerahi dengan Pencerahan Sempurna. Hal ini memberikan kesan dan penghormatan bahkan oleh bumi yang besar (Mahàpathavã) yang berguncang tujuh kali. Dan setelah mengakhiri kehidupannya di alam manusia, Bakal Buddha kita terlahir sebagai dewa bernama Setaketu di Surga Tusita. Beliau memiliki sepuluh tanda-tanda yang tidak dimiliki oleh dewa-dewa lainnya, yaitu: (1) umur panjang, (2) kerupawanan fisik, (3) kebahagiaan luar biasa, (4) kekayaan dan pengikut yang banyak, (5) kekuasaan, (6) indria penglihatan, (7) indria pendengaran, (8) indria penciuman, (9) indria pengecap, dan (10) indria sentuhan.
(Jika dikatakan bahwa, “Samudra raya, dari batas cakkavala, terus sampai mencapai kaki Gunung Meru, yang kedalamannya mencapai delapan puluh empat ribu yojanà.” Tidak perlu disebutkan bahwa menghitung tetesan air di samudra itu adalah hal yang mustahil. Demikian pula halnya, orang-orang baik yang mendengar atau membaca bahwa Bakal Buddha selama empat asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa, dengan tanpa henti dan tidak mengenal lelah terus-menerus memenuhi Pàramã, càga, dan cariya dengan empat pengembangan, seseorang dapat merenungkan dalam-dalam dengan penuh keyakinan bagaimana Bodhisatta memenuhi Kesempurnaan, dan lain-lain, dalam setiap kelahiran yang lebih banyak dari jumlah tetesan air yang tidak terhitung di samudra raya.)
Seruan Mengumumkan Munculnya Buddha (Buddha Kolahala)
Dewa Setaketu, Bakal Buddha, menikmati kebahagiaan surgawi di Surga Tusita selama empat ribu tahun surga yang sama dengan lima ratus tujuh puluh enam juta tahun manusia. Kemudian, seribu tahun manusia sebelum kehidupannya di Surga Tusita berakhir, para brahmà di Alam Suddhavasa berseru, “Teman-teman! Seribu tahun dari sekarang, akan muncul seorang Buddha di alam manusia!”
Karena seruan ini yang berasal dari langit surga, muncullah seruan-seruan yang mengabarkan kemunculan Buddha (Buddha kolahala), “Seorang Buddha akan muncul!, seorang Buddha akan muncul!” yang bergema ke seluruh dunia selama seribu tahun ke depan sejak saat itu.
(Mengenai nama Bodhisatta dewa, disebutkan dalam salah satu bab dari Ratanasaïkama, Buddhavaÿsa Pàëi, sebagai berikut: Yada’ham Tusite kàye Santusito nàma’ham tadà. Yang menyebutkan bahwa dewa tersebut bernama Santusita. Juga di dalam Komentar Buddhavaÿsa dan Jinalaïkara òãkà, nama yang sama disebutkan lagi. Tetapi dalam penjelasan Pubbenivasa-katha, Vera¤ja kaõóa dari Komentar Pàràjika dan dalam penjelasan Bhayabherava Sutta dari Komentar Målapaõõàsa, nama dewa itu disebut Setaketu. Selain itu penulis Buddhavaÿsa dari Myanmar, seperti Tathàgata-Udàna Dãpanã, Màlàlaïkàra Vatthu, Jinatthapakàsani, dan lain-lain menyebutkan bahwa Setaketu adalah nama dewa tersebut. Dan menurut penjelasan dari beberapa guru, Santusita adalah nama yang berasal dari kata Tusita, nama alam dewa tempat dewa tersebut. Sedangkan Setaketu adalah nama sebenarnya dari dewa yang kelak menjadi Buddha Gotama.)
Permohonan Kepada Bodhisatta Dewa
Mendengar seruan yang memberitakan tentang akan munculnya seorang Buddha, semua raja dewa dari sepuluh ribu alam semesta, seperti Catuahàràja, Sakka, Suyàma, Santusita, Sunimmita, Vasavattã dan semua Mahàbrahmà berkumpul di suatu alam tertentu untuk mendiskusikan mengenai Bakal Buddha yang usianya tinggal tujuh hari manusia lagi, dan yang sedang mendekati ajalnya dan telah melihat lima tanda-tanda (pubbanimita). Kemudian mereka semua mendatangi Dewa Setaketu dengan beranjali dan memohon:
“O Bodhisatta dewa, Engkau telah memenuhi Sepuluh Kesempurnaan, bukan untuk memperoleh kebahagiaan Sakka, Màra, Brahmà atau Raja Dunia. Engkau memenuhi Kesempurnaan ini dengan cita-cita hanya untuk mencapai Kebuddhaan, agar memperoleh Kebebasan, juga untuk membebaskan makhluk-makhluk lain, manusia, dewa, dan brahmà. O Bodhisatta dewa, ini adalah waktu yang paling tepat bagi-Mu untuk menjadi Buddha, ini benar-benar waktu yang tepat untuk menjadi Buddha! Oleh karena itu, sudilah Engkau masuk ke rahim ibu-Mu di alam manusia. Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, semoga Engkau juga membebaskan manusia, dewa, dan brahmà dari saÿsàra dengan mengajarkan Dhamma Keabadian, Nibbàna.”
Sang Bodhisatta Melakukan Lima Penyelidikan
Bodhisatta dewa Setaketu tidak terburu-buru menyanggupi permohonan para dewa dan brahmà yang datang dari sepuluh ribu alam semesta. Sesuai tradisi para Bodhisatta terdahulu, Beliau akan melakukan lima penyelidikan sebagai berikut: 1. Waktu yang tepat bagi munculnya seorang Buddha,
2. Benua yang cocok bagi munculnya seorang Buddha,
3. Negeri yang tepat bagi munculnya seorang Buddha,
4. Keluarga di mana Bodhisatta (dalam kelahiran terakhirnya) akan dilahirkan, dan
5. Umur kehidupan dari bakal ibu Bodhisatta.
Dari lima penyelidikan ini, Bodhisatta mempertimbangkan yang pertama:
1. “Apakah waktunya tepat atau tidak bagi kemunculan seorang Buddha?” Waktu yang tidak tepat bagi kemunculan seorang Buddha adalah jika umur kehidupan manusia sedang naik dari seratus ribu tahun, karena dengan umur yang sangat panjang itu berarti penderitaan yang disebabkan oleh kelahiran, penyakit, usia tua, dan kematian tidak terlihat jelas, karena tertutup oleh panjangnya umur kehidupan sehingga manusia tidak menyadari semua penderitaan. Khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Buddha biasanya selalu berbicara tentang karakteristik ketidakkekalan (anicca), penderitaan (dukkha), dan tanpa-diri (anatta). Jika Buddha yang muncul pada saat umur kehidupan manusia lebih dari seratus ribu tahun, dan membabarkan khotbah mengenai anicca, dukkha, dan anatta, umat manusia pada masa itu akan menjadi bingung, bertanya-tanya apa yang sedang diajarkan oleh Buddha, mereka tidak akan mendengarkan apalagi memercayai khotbah tersebut. Tanpa mendengarkan atau memercayai, umat manusia akan bertanya-tanya apa yang sedang dikhotbahkan. Mereka tidak akan dapat memahami Empat Kebenaran Mulia apalagi mencapai Nibbàna. Tidak ada gunanya mengajarkan tiga karakteristik yang dapat membebaskan makhluk-makhluk dari saÿsàra kepada mereka yang tidak memercayai. Oleh karena itu, masa di mana umur kehidupan manusia lebih dari seratus ribu tahun, adalah tidak tepat bagi munculnya seorang Buddha.
Masa di mana umur kehidupan manusia di bawah seratus tahun juga bukan waktu yang tepat bagi kemunculan seorang Buddha, karena manusia pada masa itu terperangkap dalam kotoran batin yang disebabkan oleh kenikmatan indria. Khotbah Dhamma yang diberikan pada orang-orang ini tidak akan dapat bertahan; bahkan langsung lenyap bagaikan menulis di atas permukaan air, yang segera lenyap tanpa meninggalkan bekas apa pun. Oleh karena itu, umur kehidupan manusia yang pendek, di bawah seratus tahun, juga bukan waktu yang tepat bagi kemunculan seorang Buddha.
Dalam periode di mana umur kehidupan manusia berada antara seratus tahun sampai dengan seratus ribu tahun, periode inilah waktu yang tepat bagi munculnya seorang Buddha. Dalam masa ini kelahiran, usia tua, dan kematian terlihat dengan jelas, dengan demikian ajaran mengenai tiga karakteristik dan ajaran mengenai bagaimana makhluk-makhluk dapat terbebas dari saÿsàra dapat dipahami dengan mudah, dan di mana makhluk-makhluk tidak terlalu terikat dengan kotoran batin yang berbentuk kenikmatan indria. Oleh karena itu, periode ini adalah waktu yang tepat bagi kemunculan seorang Buddha. Masa di mana umur kehidupan manusia berada diantara seratus tahun dan seratus ribu tahun adalah waktu yang paling tepat bagi seorang Bodhisatta untuk mencapai Kebuddhaan. (Kebetulan, ketika para dewa dan brahmà mengajukan permohonan kepada Dewa Setaketu, umur kehidupan manusia adalah sekitar seratus tahun). Dengan demikian Bodhisatta Dewa Setaketu melihat bahwa waktunya tepat dan memutuskan, “Ini adalah waktu yang tepat bagiku untuk menjadi Buddha.”
2. Kemudian Beliau menyelidiki di pulau atau benua apa yang cocok bagi kemunculan seorang Buddha. Ada empat benua besar, masing-masing dikelilingi oleh ratusan pulau kecil-kecil. Di antaranya ada satu yang disebut Jambådãpa (disebut Jambådãpa karena banyak terdapat tanaman jambu (Eugenia jambolana) yang tumbuh di sana). Terlihat oleh Bodhisatta bahwa benua ini adalah satu-satunya tempat kemunculan Buddha-Buddha sebelumnya. 3. Kemudian Beliau menyelidiki, “Jambådãpa ini sangatlah luas, berukuran sepuluh ribu yojanà. Di manakah Buddha sebelumnya muncul di tempat yang sangat luas ini?” Kemudian Beliau melihat Majjhima-Desa, Wilayah Tengah di Jambådãpa adalah tempat kemunculan Buddha-Buddha terdahulu.
(Majjhima-Desa, Wilayah Tengah dibatasi sebelah timur oleh pohon sàla besar; di timur Kota Gajaïgala; sebelah tenggara oleh Sungai Sallavati; sebelah selatan oleh Kota Setakaõõika; sebelah barat oleh perkampungan Brahmana Thåõa; sebelah utara oleh Gunung Usiraddhaja. Wilayah Tengah itu sendiri berukuran panjang tiga ratus yojanà, lebarnya dua ratus lima puluh yojanà dan kelilingnya sembilan ratus yojanà. Wilayah di luar perbatasan disebut wilayah perbatasan (paccanta). Hanya di Majjhima-Desa seorang Buddha yang Mahàtahu, para Pacceka Buddha, Siswa-Siswa Utama, delapan puluh siswa lainnya, raja dunia, kaum kesatria yang kaya dan berkuasa, bràhmaõa, dan suku Gahapati yang dapat hidup makmur).
4. Selanjutnya Beliau menyelidiki di keluarga mana Bodhisatta akan dilahirkan pada kelahiran terakhirnya. Beliau mengetahui bahwa “Bodhisatta-Bodhisatta sebelumnya tidak pernah terlahir di keluarga dengan kasta pedagang dan kasta pelayan. Mereka selalu terlahir di keluarga raja atau brahmana, yang paling dihormati pada masa itu. Sewaktu masyarakat memberikan penghormatan tertinggi pada keluarga kerajaan, Bodhisatta akan terlahir di keluarga kerajaan. Dan ketika masyarakat lebih menghormati golongan brahmana, Bodhisatta akan terlahir di keluarga brahmana. Saat ini, keluarga bangsawan lebih dihormati daripada brahmana; aku harus terlahir di keluarga bangsawan. Di antara para raja, Raja Suddhodana adalah keturunan langsung dari Mahàsammata, raja pertama dalam kasta kesatria dari suku Sakya murni. Raja Suddhodana yang mulia ini akan menjadi ayah-Ku.
5. Akhirnya, Beliau menyelidiki siapa yang akan menjadi ibu-Nya dalam kelahiran terakhir-Nya sebagai manusia. Beliau melihat dengan jelas, “Ibu dari seorang Buddha haruslah sempurna dalam kerendahan hati dan tidak pernah berselingkuh, tidak pernah mengkonsumsi alkohol atau minuman keras lainnya; memiliki banyak jasa dan telah memenuhi Kesempurnaan selama seratus ribu kappa untuk menjadi ibu seorang Buddha. Ia terus-menerus mematuhi Lima Sãla tanpa pelanggaran. Sirã Mahàmàyà Devã, permaisuri dari Raja Suddhodana memiliki semua persyaratan ini. Oleh karena itu, Ratu Siri Mahàmàyà Devã akan menjadi ibu-Ku.” Kemudian Beliau menyelidiki lebih jauh, umur kehidupan Ratu Siri Mahàmàyà Devã hanya tinggal sepuluh bulan tujuh hari lagi.
Persetujuan Diberikan Kepada Para Dewa dan Brahmà
Demikianlah, setelah melakukan lima penyelidikan, Bodhisatta Dewa Setaketu memutuskan, “Aku akan turun ke alam manusia dan menjadi Buddha.” Setelah memutuskan demikian, kepada para dewa dan brahmà dari sepuluh ribu alam semesta yang datang berkumpul untuk memohon pada-Nya, Bodhisatta menyatakan kesediaannya; “O Dewa dan Brahmà, sekarang adalah saatnya bagi-Ku untuk menjadi Buddha seperti permohonan kalian, Anda sekalian boleh pergi sekarang; Aku akan turun ke alam manusia untuk mencapai Kebuddhaan.”
Setelah memberikan janji-Nya dan mengucapkan salam perpisahan kepada para dewa dan brahmà, Bodhisatta Dewa Setaketu memasuki Taman Nandavana dengan disertai oleh para dewa Tusita.
Taman Nandavana
Sehubungan dengan Taman Nandavana, dijelaskan menurut Nandana Vagga, dan lain-lain dari Komentar Sagàthà Vagga Saÿyutta. Disebut Taman Nandavana karena taman ini memberikan kegembiraan bagi semua dewa yang mengunjunginya.
Masing-masing dari enam alam dewa memiliki Taman Nandavana masing-masing. Semua taman ini memberikan kegembiraan yang sama, baik di alam yang lebih tinggi maupun di alam yang lebih rendah. Namun demikian, hanya Taman Nandavana di Surga Tàvatiÿsa yang akan dijelaskan di sini.
Taman Nandavana adalah tempat yang megah dan menyenangkan, lengkap dengan pepohonan surgawi, bunga-bunga, paviliun, kereta, dan berbagai hiburan yang menarik dan mengagumkan. Sebuah taman yang benar-benar taman di mana para dewa dapat menghibur diri dengan menyanyi, menari, dan menikmati berbagai hiburan yang disajikan oleh para dewa penari dan seniman dari berbagai usia yang cantik, bersuara merdu, dengan berbagai bentuk dan berwarna-warni, di mana tiap-tiap kelompok berusaha bermain lebih baik daripada kelompok lain dalam menampilkan dengan bebas bermacam kenikmatan indria kepada semua yang datang dari empat penjuru.
Taman Nandavana dianggap oleh para dewa sebagai tempat hiburan terpenting bagi mereka karena memberikan kemewahan dan kegembiraan, sebagai tempat yang menarik, dan semua yang datang untuk mencari lima kenikmatan indria—pemandangan indah, suara merdu, bau harum, rasa lezat, dan sentuhan menyenangkan—dapat merasa puas dan senang.
Taman Nandavana ini juga merupakan tempat untuk menenangkan diri bagi para dewa yang berada di akhir kehidupannya; lima pertanda muncul menjelang kematian yang memberikan peringatan kepada mereka bahwa ajal yang tidak dapat dihindari sudah mendekat. Banyak dewa yang merasa sedih dan putus asa karena akan kehilangan kehidupan yang penuh kebahagiaan. Namun begitu mereka memasuki taman ini, mereka akan kembali merasa tenang, damai, dan bahagia dengan segera.
Apa pun penyebab dari segala kesedihan dan keputusasaan mereka, begitu mereka memasuki Taman Nandavana, mereka segera tenggelam dalam kebahagiaan. Bagaikan embun dan kabut yang hilang oleh cahaya matahari pagi, bagaikan api dari sebuah lampu minyak yang padam karena tiupan angin, demikianlah dewa yang menjelang kematian dibaringkan di sana. Ada sebuah kalimat untuk menggambarkan taman ini, “Mereka yang belum pernah mengunjungi Taman Nandavana, tempat berkumpulnya semua kenikmatan indria, belum memahami kebahagiaan duniawi yang sesungguhnya.” Demikianlah daya tarik Taman Nandavana ini.
Dalam penjelasan Vera¤jakaõóa dari Vinaya Sàrattha Dãpanã Vol. I, tertulis, “Taman Nandavana di Surga Tàvatiÿsa luasnya enam puluh yojanà (menurut beberapa guru luasnya lima ratus yojanà), indah, dan dilengkapi dengan seribu jenis pepohonan surgawi.
Jinàlaïkàra òãkà dalam komentarnya mengenai Tividha Buddha Khetta juga mengatakan, “Taman Nandavana terletak di timur Kota Sudassana di Surga Tàvatiÿsa dan dikelilingi oleh tembok, api, dan gerbang permata. Luasnya seribu yojanà. Tempat rekreasi para dewa. Dua buah danau, Mahànanda dan Cåëànanda, terletak di antara Taman Nandavana dan Kota Sudassana. Danau ini sangat bersih, permukaan airnya berwarna biru gelap kehijauan, seperti langit yang bebas dari kabut dan awan.”
Saat Kematian Bodhisatta Dewa
Saat Bodhisatta Dewa Setaketu memasuki Taman Nandavana, para pengikutnya, para dewa laki-laki dan perempuan berkata kepadanya, “Setelah meninggal dari alam dewa ini, semoga Engkau terlahir di alam yang baik, tempat tujuan makhluk-makhluk yang memiliki banyak kebajikan!”
Para dewa yang menyertai Bodhisatta Setaketu juga memintanya untuk merenungkan kebajikan-kebajikan yang pernah dilakukannya pada masa lalu. Mereka mengelilingi Bodhisatta. Ketika Bodhisatta sedang berkeliling di Taman Nandavana diiringi oleh para dewa yang terus-menerus memintanya untuk merenungkan kebajikan-kebajikan yang telah dilakukannya, saat kematiannya tiba.

Adhitthana:
Spoiler: ShowHide
Sang Bodhisatta Memasuki Rahim
Bersamaan dengan saat kematian Bodhisatta Dewa Setaketu, Siri Mahàmàyà, permaisuri Raja Suddhodana dari kerajaan Kapilavatthu sedang menikmati kebahagiaan istana. Ia berada dalam bagian ketiga dari tahap kedua hidupnya yang disebut majjhima vaya. (Umur kehidupan manusia pada waktu itu adalah seratus tahun. Dengan demikian umur Siri Mahàmàyà Devã pada waktu itu adalah sekitar lima puluh lima tahun empat bulan. Ini dijelaskan dalam Samanta Cakkhu Dipanã).
Festival Bintang Uttaràsàlha
Hari itu adalah tanggal 9 di bulan âsàëha (Juni-Juli) tahun 67 Mahà Era, ketika Ratu Siri Mahàmàyà berumur lima puluh lima tahun empat bulan, penduduk kerajaan sedang merayakan festival bintang Uttaràsàlha, sebuah peristiwa tradisi tahunan. Semuanya bergembira, turut serta dalam perayaan ini.
Siri Mahàmàyà Devã juga turut serta dalam festival yang berlangsung dari tanggal 9 sampai tanggal 14 ini. Selama festival ini, tidak ada orang yang meminum minuman keras dan tidak ada yang memakai hiasan bunga, menggunakan wewangian, dan hiasan lainnya. Pada hari purnama di bulan itu, permaisuri bangun pagi-pagi, mandi dengan air harum, dan melakukan dàna besar dengan memberikan uang dan benda-benda lainnya senilai empat ratus ribu. Kemudian ia mengganti pakaian dan makan pagi yang terdiri dari makanan pilihan, kemudian ia menerima Delapan Sãla, dari gurunya Petapa Devila, kemudian memasuki kamar istana yang dihias indah dan menghabiskan hari itu di atas dipan yang indah, dan menjalani Delapan Sãla.
Mimpi Mahàmàyà
Saat menjalani Delapan Sãla dan berbaring di atas dipan yang indah, pada jaga terakhir di malam purnama itu, Siri Mahàmàyà jatuh tertidur dan bermimpi, yang merupakan pertanda masuknya Bodhisatta ke rahimnya. Mimpinya adalah sebagai berikut:
Empat Dewa Catumahàràjà mengangkat dan membawanya bersama tempat tidurnya ke Danau Anotatta di Pegunungan Himalaya. Kemudian ia dibaringkan di atas batu datar berukuran enam puluh yojanà di bawah keteduhan pohon sàla yang tingginya tujuh yojanà. Setelah itu, para permaisuri dari empat raja dewa tersebut datang dan membawa ratu ke danau dan memandikannya sebersih mungkin. Kemudian mereka memakaikan pakaian surgawi kepadanya serta mendandaninya dengan kosmetik surgawi; mereka juga meriasnya dengan bunga-bungaan surgawi. Kemudian ia dibaringkan dengan kepalanya menghadap ke timur di dalam sebuah kamar dari sebuah istana emas di dalam gunung perak tidak jauh dari danau tersebut.
Pada saat itu dalam mimpinya, ia melihat seekor gajah putih bersih sedang berjalan-jalan di gunung emas tidak jauh dari gunung perak di mana ia berada di dalam istana emasnya. Kemudian gajah putih tersebut turun dari gunung emas, naik ke gunung perak dan memasuki istana emas. Gajah putih tersebut kemudian mengelilingi ratu ke arah kanan dan kemudian masuk ke rahimnya dari sebelah kanan.
Sang Bodhisatta Masuk ke Rahim
Pada saat ratu sedang bermimpi, Bodhisatta Dewa Setaketu sedang berkeliling di Taman Nandavana di Surga Tusita, menikmati pemandangan dan suara yang indah; pada saat itulah Beliau meninggal dunia dari Alam Tusita dengan penuh kesadaran. Pada saat itu juga Bodhisatta masuk ke rahim mirip teratai dari ibunya dengan kesadaran agung pertama (Mahàvipàka citta), salah satu dari sembilan belas kondisi pikiran awal (patisandhi citta), hasil dari kesadaran kebajikan agung (Mahàkusala citta) yang disertai oleh kegembiraan (samanasa sahagata), juga disertai oleh pengetahuan (¥àõa sampayutta), spontan (asaïkhàrika), dan disebabkan oleh pengembangan persiapan (parikamma bhàvanà) sebelum mencapai Jhàna Cinta Kasih (Mettà Jhàna). Peristiwa ini terjadi pada hari Kamis pagi pada hari purnama di bulan Âsàëha tahun 67 Mahà Era, penanggalan yang ditetapkan oleh Raja A¤jana, kakek Bodhisatta. Peristiwa ini ditandai dengan peristiwa bulan dan bintang Uttaràsàëha berada dalam posisi segaris.
(Tanggal dan tahun memasuki rahim dan kelahiran Bodhisatta yang disebutkan di sini disesuaikan dengan perhitungan ilmu astrologi dan ilmu sejarah raja-raja. Kitab Pàëi, Komentar, dan Subkomentar tidak menyebutkan apa-apa mengenai hal ini. Gotamapuràõa menyebutkan 2570 penanggalan Kaliyuga sebagai tahun kelahiran Buddha Gotama).

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version