1. Kenapa Sang Buddha digambarkan seakan-akan "jengkel" dengan keributan yang diperbuat para bhikkhu pendatang tersebut sehingga mengusir dan membubarkan mereka semua? Sepertinya ini bukan sifat Sang Buddha yang telah tercerahkan sempurna.....
Kalau soal 'jengkel' atau tidak, karena kita tidak ada di sana waktu kejadian, sulit sih untuk membayangkan bagaimana tindakan Buddha waktu itu. Kalau saya pribadi membayangkan membubarkan sekadar membubarkan saja, tidak marah-marah.
2. Seharusnya Sang Buddha telah mengetahui akibat yang tidak diharapkan karena membubarkan para bhikkhu pendatang tersebut karena seperti dalam pernyataan oleh orang-orang Sakya dan Brahma Sahampati terdapat banyak bhikkhu yang baru ditahbiskan yang dikhawatirkan akan mengalami perubahan keyakinan dalam Dhamma. Kenapa Sang Buddha bertindak begitu gegabah dengan membubarkan mereka?
4. Mungkinkah Sang Buddha hanya bermaksud menguji reaksi Bhikkhu Sariputta dan Moggallana dalam kejadian ini? Ataukah ada maksud lagi (seperti dalam kejadian pembabaran Dhamma pertama untuk mengundang permohonan dari Brahma Sahampati dulu)? Atau malah tidak ada maksud tertentu (memang ketidaksengajaan Sang Buddha sendiri)?
Sama juga ketika Buddha berniat tidak mengajar, apakah Buddha tidak tahu ada orang yang memiliki sedikit debu di matanya sehingga harus dimohon oleh Brahma Sahampati?
Menurut saya ada beberapa hal di sini. Pertama para bhikkhu itu tampaknya belum siap secara batin, dengan dibubarkannya oleh Buddha, maka mereka akan merenung. Kemudian tampaknya Buddha mengetahui bahwa orang-orang Catuma ini akan membantu mereka, sehingga dibiarkan dan memberikan kesempatan pada orang-orang Catuma ini untuk berperan serta. Saya menduga demikian karena ada banyak sutta di tempat lain di mana Buddha sangat terganggu dengan para bhikkhu yang seperti "nelayan berjualan ikan", tapi tidak dibubarkan. (AN VI.1.4.12)
Lalu dalam kesempatan ini pula tampaknya Buddha ingin mengajarkan kepada para siswa senior (khususnya Sariputta dan Mahamoggallana) tentang apa yang seharusnya dilakukan ketika Buddha 'mengundurkan diri', bukannya mereka ikut mengundurkan diri, namun harus mengambil-alih tugas tersebut.
3. Kenapa Bhikkhu Sariputta tidak dapat menjawab dengan benar bahwa Sang Buddha bermaksud menyerahkan pengasuhan Sangha kepadanya dan Bhikkhu Moggallana jika Sang Buddha tidak dapat mau membimbing mereka lagi? Padahal Bhikkhu Sariputta adalah yang terkemuka dalam kebijaksanaan, yang menurut komentar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit dari Sang Buddha sekali pun (misalnya dalam kejadian ketika Sang Buddha turun dari Tavatimsa setelah bervassa di sana).....
Sariputta disebut-sebut terunggul dalam kebijaksanaan, sering disalahpahami orang bahwa maksudnya adalah kebijaksanaan duniawi. Namun sebetulnya bukan itu. Seseorang yang menembus jalan akhir, harus mengembangkan 5 indriya: saddha, viriya, sati, samadhi, panna. Di antara mereka yang indriya kebijaksanaannya lebih menonjol, yang mencapai pembebasan melalui kebijaksanaan (pannavimutta), Sariputta-lah yang terunggul. Sedangkan di antara mereka yang indriya samadhinya lebih menonjol, yang mencapai pembebasan lewat pemusatan pikiran (cetovimutta), Mahamoggallana yang terunggul. Kualitas dua siswa utama itu hampir sama secara duniawi, Sariputta sangat sakti, dan Mahamoggallana pun sangat bijaksana. Yang membedakan keduanya hanyalah indriyanya saja, sehingga "cara" pembebasannya berbeda.
Selain hal ini, Sariputta secara duniawi juga bisa tidak bijaksana, misalnya dalam Dhananjanisutta, Sariputta tidak mengetahui potensi kesucian Dhananjani dan membabarkan "hanya" sebatas alam Brahma saja. Jadi intinya memang 'kebijaksanaan' duniawi dan lokuttara berbeda. Para Arahant yang telah sempurna dalam kebijaksanaaan lokuttara juga bisa berbuat yang secara duniawi tidak bijaksana. (Contohnya Pindola Bharadvaja yang pamer kesaktian, Anuruddha yang masuk kamar wanita.)