//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - seniya

Pages: 1 2 3 4 5 6 [7] 8 9 10
91
Studi Sutta/Sutra / Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« on: 02 February 2013, 09:56:56 PM »
Catuma Sutta dari Majjhima Nikaya (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17773.0/message,290600.html) mengisahkan ketika Sang Buddha berdiam di Catuma sekelompok 500 orang bhikkhu yang dipimpin oleh Sariputta dan Moggallana datang mengunjungi Beliau. Namun karena pertemuan para bhikkhu tuan rumah dan para bhikkhu tamu tersebut menimbulkan keributan, Sang Buddha memanggil mereka dan membubarkan Sangha (mungkin maksudnya Sangha kelompok para bhikkhu yang baru datang tersebut).

Akhirnya berkat bujukan orang-orang Sakya di Catuma dan Brahma Sahampati, Sang Buddha menerima kembali para bhikkhu tersebut. Beliau bertanya kepada Bhikkhu Sariputta dan Moggallana tentang pendapat mereka atas kejadian pembubaran Sangha tersebut. Bhikkhu Sariputta menjawab bahwa ia berpikir Sang Buddha ingin berdiam dalam ketenangan sehingga ia dan para bhikkhu akan juga melakukan hal yang sama, tetapi ini disalahkan Sang Buddha. Jawaban Bhikkhu Moggallana bahwa karena ia berpikir Sang Buddha ingin berdiam dalam ketenangan, maka ia dan Sariputta-lah yang akan mengasuh Sangha, inilah yang dibenarkan Sang Buddha.

Kemudian berlanjut tentang kotbah mengenai 4 jenis ketakutan yang muncul ketika seseorang meninggalkan kehidupan duniawi.

Nah, sekarang hal yang menurut saya tidak wajar atau aneh dari sutta ini adalah:

1. Kenapa Sang Buddha digambarkan seakan-akan "jengkel" dengan keributan yang diperbuat para bhikkhu pendatang tersebut sehingga mengusir dan membubarkan mereka semua? Sepertinya ini bukan sifat Sang Buddha yang telah tercerahkan sempurna.....

2. Seharusnya Sang Buddha telah mengetahui akibat yang tidak diharapkan karena membubarkan para bhikkhu pendatang tersebut karena seperti dalam pernyataan oleh orang-orang Sakya dan Brahma Sahampati terdapat banyak bhikkhu yang baru ditahbiskan yang dikhawatirkan akan mengalami perubahan keyakinan dalam Dhamma. Kenapa Sang Buddha bertindak begitu gegabah dengan membubarkan mereka?

3. Kenapa Bhikkhu Sariputta tidak dapat menjawab dengan benar bahwa Sang Buddha bermaksud menyerahkan pengasuhan Sangha kepadanya dan Bhikkhu Moggallana jika Sang Buddha tidak dapat mau membimbing mereka lagi? Padahal Bhikkhu Sariputta adalah yang terkemuka dalam kebijaksanaan, yang menurut komentar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit dari Sang Buddha sekali pun (misalnya dalam kejadian ketika Sang Buddha turun dari Tavatimsa setelah bervassa di sana).....

4. Mungkinkah Sang Buddha hanya bermaksud menguji reaksi Bhikkhu Sariputta dan Moggallana dalam kejadian ini? Ataukah ada maksud lagi (seperti dalam kejadian pembabaran Dhamma pertama untuk mengundang permohonan dari Brahma Sahampati dulu)? Atau malah tidak ada maksud tertentu (memang ketidaksengajaan Sang Buddha sendiri)?

Adakah yang menjelaskan kejanggalan-kejanggalan ini?
Mari kita diskusikan hal ini _/\_

92
DhammaCitta Press / Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« on: 26 January 2013, 06:28:05 PM »
Berikut ini adalah terjemahan dari tulisan Bhikkhu Sujato yang berjudul "Sects and Sectarianism". Ini project yang diberikan Tuhan Sumedho dan Batara Indra kepada saya tahun 2012 yang lalu, namun karena satu hal dan hal yang lainnya baru dapat diselesaikan saat ini dan sekarang dalam proses oleh Yang Maha Kuasa ;D. Mudah2an bisa diterbitkan dalam waktu dekat di perpustakaan DC :)

Seperti judulnya, buku ini membahas tentang asal mula aliran-aliran Buddhisme awal dari berbagai sumber teks Buddhis yang masih bertahan sampai sekarang dan perspektif Bhikkhu Sujato tentang berbagai kisah perpecahan yang menyebabkan munculnya aliran-aliran Buddhis. Tulisan ini merupakan perspektif yang baru atas pandangan terhadap sektarianisme dalam Buddhisme yang tak habis-habisnya diperdebatkan dalam kalangan Buddhis sendiri, namun kita tetap harus bersikap kritis atas pandangan penulis seperti yang dikatakan Bhikkhu Bodhi pada awal buku:

Quote
“Ini adalah buku yang ditulis dengan cerdas dan merangsang pemikiran yang menyelidiki salah satu dari lebih masa yang samar-samar dalam sejarah Buddhis India, masa yang melihat pembentukan aliran Buddhis awal. Diambil dari berbagai sumber yang dilestarikan dalam beberapa bahasa kanonik, Ven. Sujato telah berusaha menembus ke belakang mitos yang mencegah pemahaman yang jernih atas periode ini, dengan memberikan masing-masing dari aliran awal pendengarannya sendiri. Kesimpulan beliau kadangkala radikal – dan saya tidak mengikuti beliau dalam setiap langkah – tetapi karyanya dicerahkan dengan banyak pandangan yang tajam dan diskusi yang merangsang secara cerdas.”

Ven. Bhikkhu Bodhi

Semoga dapat bermanfaat dan menambah wawasan kita semua _/\_

NB: Harap untuk tidak memberikan komentar/tanggapan (reply) pada thread ini untuk kerapian thread ini. Trims

93
DhammaCitta Press / Pembahasan ANGUTTARA NIKAYA
« on: 04 January 2013, 06:25:54 PM »
Quote
60 (9)

“Para bhikkhu, karena dua alasan faun tidak mengucapkan bahasa manusia.<294> Apakah dua ini? [Dengan berpikir:] ‘Agar kami tidak mengatakan kebohongan, dan agar kami tidak salah memahami satu sama lain dengan apa yang berlawanan dengan fakta.’ Karena dua alasan ini maka faun tidak mengucapkan bahasa manusia.” [78]

Faun itu apaan, om Indra????

94
Diskusi Umum / Kisah Seorang Bhikkhu yang Menyokong Orang Tuanya
« on: 22 December 2012, 01:29:54 PM »
Menyambut hari ibu yang jatuh pada hari ini tanggal 22 Desember 2012, saya pada kesempatan ini mem-post sebuah kisah Jataka tentang seorang bhikkhu yang merawat kedua orang tuanya yang jatuh miskin setelah anak mereka yang satu-satunya meninggalkan keduniawian.

Selamat hari ibu buat semua ibu di dunia ini....  :)

95
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi / Sejarah dan Masa Depan Alam Semesta
« on: 20 December 2012, 09:37:47 PM »
Tak ada satu pun yang tahu dengan pasti sejarah semesta, bagaimana proses kelahiran serta kematiannya nanti. Namun demikian, astronom telah melakukan sekian penelitian untuk mencoba mendeskripsikan.

Dengan pengetahuan yang telah dimiliki saat ini, astronom mengungkapkan bahwa semesta lahir dari peristiwa yang disebut Big Bang atau Dentuman Besar 13,7 miliar tahun lalu. Sementara, semesta bisa berakhir lewat Big Freeze, Big Rip, Big Crunch ataupun Big Bounce.

Berikut rangkuman kisah semesta yang disusun oleh para ilmuwan. Tentu saja, ini bukan hal yang pasti akan terjadi. Hingga kini, penelitian terus dilakukan untuk mengonfirmasi, apa yang terjadi di masa lalu dan yang akan terjadi di masa depan.

Tahap I : Big Bang

Peristiwa kelahiran semesta dimulai dari Big Bang, berlangsung 13,7 miliar tahun lalu. Pada masa awalnya, semesta sangat panas dan padat. Partikel subatomik seperti elektron tercipta dan hancur sepanjang waktu. Semesta tersusun atas sebagian besar foton atau partikel cahaya.

Dengan semua yang terjadi, semesta masa lalu tampak buram. Cahaya tak bisa bergerak jauh. Semesta saat itu juga tidak seragam, ada fluktuasi dalam densitas dan suhu.

Tahap II : Pengembangan

Pada waktu 10(-35) detik setelah Big Bang, terjadi pengembangan semesta secara besar-besaran. Tingkat pengembangan semesta mencapai 10(60) kali dalam waktu yang sangat singkat itu. Semesta juga menjadi lebih halus.

Analoginya, semesta semula seperti bola golf yang kasar. Setelah mengembang, semesta menjadi seukuran Bumi dan lebih halus.

Tahap III : 3 Menit Setelah Big Bang

Tiga menit setelah Big Bang, semesta masih sangat panas, mencapai miliaran derajat Celsius. Materi yang menyusun semesta saat itu adalah 3/4 hidrogen dan 1/4 helium. Hingga kini, proporsi unsur tersebut di semesta juga masih sama.

Semesta masih buram saat ini, masih tersusun atas foton. Selama ratusan ribu tahun sesudahnya, semesta tetap dalam kondisi sama. Perlahan, wilayah yang lebih padat di semesta akan menarik materi dari wilayah yang kurang padat. Semesta tidak seragam.

Tahap IV : Cosmic Background Radiation

Pada 400.000 tahun setelah Big Bang, suhu semesta sekitar 3000 Kelvin. Pada suhu tersebut, atom sudah mungkin terbentuk dari elektron, proton dan neutron. Cahaya bebas bergerak, dilihat sebagai Cosmic Background Radiation (CMB). Semesta menjadi transparan.

Saat itu, wilayah semesta tak seragam secara suhu. Ada wilayah yang lebih panas dan sebaliknya. Jika dibuat suatu peta dimana suhu panas dilambangkan dengan warna merah, akan ada titik-titik merah di peta tersebut.

Tahap V : Masa Kegelapan

Masa ini berlangsung 400.000 - 400.000.000 tahun setelah Big Bang. Saat itu, semesta banyak tersusun atas gas netral. Ada wilayah yang lebih padat dengan gaya gravitasi lebih tinggi. Gravitasi lebih tinggi berarti memiliki materi lebih banyak.

Karena memiliki densitas lebih tinggi, suhunya juga lebih panas. Meski demikian, bintang belum bisa terbentuk. Semesta bisa dikatakan gelap.

Tahap VI : Bintang Pertama

Wilayah yang punya densitas lebih tinggi akan makin panas. Saking panasnya, akhirnya bisa membakar hidrogen. Demikianlah akhirnya bintang pertama terbentuk. Bintang saat itu tergolong sangat terang.

Saat bintang meledak menjadi supernova, unsur-unsur yang lebih berat dari hidrogen dan helium tercipta. Ledakan akan mengionisasi gas netral. Hidrogen pun terionisasi. Masa ini disebut reionisasi semesta.

Tahap VIII : Galaksi Pertama

Seiring waktu, zona yang punya densitas tinggi makin membesar. Bintang-bintang mengelompok membentuk galaksi. Peristiwa ini terjadi sekitar 1 miliar tahun setelah Big Bang.

Tahap IX : Evolusi Galaksi

Galaksi mengalami evolusi, saling bertumbukan, bergabung hingga membentuk galaksi baru yang lebih besar. Selain itu, galaksi juga membentuk suatu kesatuan menjadi kluster galaksi.

Salah satu teori mengatakan, semesta terus mengembang. Galaksi menjadi lebih jauh satu sama lain dan kemungkinan tumbukan lebih kecil. Semesta yang terus mengembang membuat para astrofisikawan berpikir tentang eksistensi Energi Gelap yang menyusun 3/4 semesta.

Tahap X : Tata Surya

Tata Surya terbentuk 9 miliar tahun setelah Big Bang, dimulai dengan terbentuknya Matahari. Bumi terbentuk kemudian. Beberapa miliar tahun lagi, makhluk hidup tercipta di Bumi. Manusia yang juga akhirnya tercipta mulai bertanya-tanya tentang asal-usul semesta.

Tahap XI : Masa Depan

Masa depan tentu belum pasti. Tetapi, astronom telah memiliki beberapa skenario. Sekitar 11.000 tahun lagi, spesies manusia diprediksi punah. 5 miliar tahun lagi, Matahari mulai menua, menjadi bintang raksasa merah sehingga Bumi panas dan makhluk hidup di Bumi musnah.

Bumi sendiri akan hancur dilahap Matahari sekitar 7,5 miliar tahun dari sekarang. Sementara itu, Matahari akan mati kemudian. Bintang terakhir akan berhenti bersinar 100 triliun kemudian. Akhirnya, segalanya akan terjadi dalam waktu 10(100) tahun dari saat ini setelah lubang hitam menguap. Semesta akan berakhir lewat beberapa skenario, Big Freeze, Bg Rip, Big Crunch atau Big Bounce.

Sumber: http://sains.kompas.com/read/2012/12/20/18393441/Dongeng.Hidup.Semesta.dari.Lahir.hingga.Kiamat?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Khlwp

96
Theravada / [English] The Concept of Emptiness in Pali Literature
« on: 02 December 2012, 03:30:09 PM »
Di bawah ini adalah kutipan bagian kesimpulan dari buku berjudul "The Concept of Emptiness in Pali Literature" oleh Ven. Dhammajothi Thera. Lagi2 thread ini diinspirasi dari thread sebelah. Dalam kesimpulannya penulis menyatakan bahwa konsep sunyata dalam Buddhisme awal (Pali) sebenarnya tidak berbeda dengan konsep anatta yang lebih populer dalam berbagai sutta/teks Pali....

Quote
The Concept of Emptiness in Pali Literature - Conclusion
(Medawachchiye Dhammajothi Thero)

This Study on Sunnata (Skt. Sunyata) is mainly based on the Pali text. However, is is known that suyata came into prominence only with the rise of Madhyamaka philosophy of Acarya Nagarjuna. Therfore, no study of Sunnata is complete, without any reference to Sunyata as presented in Madhyamaka philosophy.

This study was done also with the objective of clarifying certain widely presented views regarding Sunyata. One of them is that this doctrine was not known to early Buddhism, or in other words, not a doctrine taught by the Buddha. This view gained so much of popularity, that scholars of the caliber of Stcherbatsky, followed by T.R.V. Murti boldly claimed this to be an innovation of Acarya Nagarjuna. Murti even went into the extent of comparing Acarya Nagajuna’s teaching an Sunyata as a ‘Copernican revolution’ in Buddhist tought. Therefore, besides explaining Sunna as found in the Suttas, an attempt has been made in this thesis also to show that this doctrine was well known to early Buddhism.

Thus, two whole chapter of this has been denoted to examine use of Sunna and other related terms in the suttas and in Post – canonical Pali literature. By enumerating and explaining such usage it has been possible to establish that this Sunna idea is not unknown to either the Buddha or to the disciples. However, the study shows that the terms Sunna/Sunnata are not of common occurrence as the term Anatta. It also came to light that even the disciples, though they knew what Sunna/Sunnata meant were far more familiar with the Anatta doctrine.

An attempt was made to examine how Sunya/Sunyata came into prominence overshadowing Anatta doctrine. In the present researchers view it is the early Madhyamaka texts like “Astasahasrikaprjnaparamita” etc., that contributed to the early popularity of these terms as a religious technical term.

These early Mahayana texts were in response to the non-Mahayana Buddhist schools that upheld the existence of some sorts of metaphysical entity that lay as the essence in everything. Of these schools the most prominent was the Sarvastivada school, and this belonged to the Therevada (=Hinayana tradition). This school in its attempt to explain reality, put forward a novel view which said that there is a self—nature (Sva-bhava) in everything, and that this Svabhava exists in all three periods of time namely, past present and future. The earliest criticism against this and other substantialist and essentialist views was by Mahayanists. In counter-arguing this view these early Mahayana texts highlighted the emptiness, voidness (Sunyata) of everything. It is, however, Nagajuna that made this his central thesis in presenting the Madhyamaka philosophy of his.

In this book an attempt has been made to show that Anatta and Sunya/Sunyata are not two different concepts. The present researcher is in agreement with the view that these two concepts cover the same range in their philosophical application; and that the preference for this term Sunya/Sunyata over Anatta only a shift of emphasis. The present researcher attempted to establish this point, citing textual and circumstantial evidence.

In doing this it has been attempted to demonstrate that the Buddh, too, used the term Sunna, and that he did so, not to bring out a new perspective but to further emphasize the absence of a self or anything connected with the self as the noumenon behind the phenomenon. In support of this textual evidence has been cited. It has also been shown that “Anatta” as used in early Suttas, did not merely mean the absence of an individual soul, but meant also the absence of any entity in both compounded (Samkhata/Samskrta) elements as well as in uncompounded (Asamkhata, Asamskrta) elements, that is Nibbana. Thus, it has been clearly shown that anatta means “emptiness” of everything, including Nibbana (Nirnvana).

Modern scholarship has attempted to sow that Acarya Nagarjuna gave a new interpretation to the Pratityasamutpada doctrine, and it is Acaeya nagarjuna that presented it as the central philosophy of Buddhism. It is true, according to the teachings of the present researcher, that Acarya Nagarjuny lays mere stress on the relativity aspect of Pratityasamutpada, while the early sutta forces more on its dependent origination aspect. Once again these are only different angles or perspectives from which the same doctrine is viewed. Paticca-samuppada/Pratitya-samutpada emphasis, both interdependence and relativity. In the final analysis these two aspects cannot be separated.

In early Sutta Paticca-sumppada was presented to explain causality, and in doing so the Buddha had to show that the then prevalent theories namly, self-creation, (Saya katam) external creation (Param katam) both self-creation and external creation, and also no causation or accidental causation (=Ahetu-appaccaya, Adhicca-samuppanna or yadrcchavada) are wrong. His explanation of Patucca-samuppada was focused on the rejection of these other causal theories.

Madhyamaka, however, emphasis the reality aspect of Pratityasamutpada and us it as a counter argument to nullify the Svadhava theory. Because of this Pratityasamutpada was considered more as an explaination of the voidness of everything. The two explanations namely, that of the Theravada Buddhist school and the Mahayana philosophy of the Pratitya-samutpada formula is not different in spirit thought the emphasis is different. And, of course, it has to be admitted that emphasis could vary according to the circumstance in which and the objective for which the formula is used.

Though some scholars attempt to show that it is Acarya Nagarjuna that raised Pratityasamutpada to the status of th central philosophy of Buddhism. The present researcher has attempted to show that early Buddhism to considered it to be so. For example, the content of enlightenment is often described as the knowledge regarding Pratityasamutpada. All other doctrines are based on and explained according to Pratityasamutpada. Beside, the “Kaccanagotta Sutta” very clearly calls it the preaching by the middle (Majjhena dhamma) which means it is the most-important central teaching. It should also be remembered that in the “Mahahatthipadopama Sutta”, Paticcasamuppada is equated with the Dhamma, which means it is the essence, the crux of the Buddha’s teaching. However it has to be noted, that it is Acarya Nagarjuna who made it prominent as the central philosophy of Buddhism without limiting in the explanation of Dukkha as it was in early Buddhism.

Beside, one should acknowledge also the fact that in early Buddhist Suttas Patipada is used in the sense of the way, the path or the practice and ‘Majjhima patipada’ is identical with the Noble Eightfold Path. But it is Acarya Nagarjuna who brought into light that that it is Pratitymutapada, which is the most fundamental of the Buddha’s Teaching, that even it provides the philosophical basis for the practice. The credit for highlighting the true spirit of the Buddha’s teaching is solely due to Acarya Nagarjuna.

A chapter was denoted to the study of various meditational practices recommended in early Buddhism, that lead to the realization of Sunna. Special focus was laid on two suttas namely Cula-Sunnata and Maha-sunnata both of the Majjhimanikaya. These while showing that the Buddha emphasized internalization of the understanding of the voidness of everything describes also how this could be done. This chapter will be of interest to those who wish it understand how meditative practice could be utilized to personally experience the voidness of all phenomena.

A chapter was devoted to show that it is not only the canonical Sutta that speaks of Sunna/Sunnata, but there is ample reference to it is post-canonical texts such as the Visuddhimagga. This chapter also brings to light that the Pali tradition was not unaware about the development of the sunya concept that was taking place in other non-Theravada traditions.

The present researcher’s study made it clear that the concept of Nibbana/Nirvana both in early Buddhism and Madhyamaka are similar; both advocate that Nibbana/Nirvana can be realized by correcting the distorted vision, driving out all “views” (drsti) that distort the proper understanding of reality. Both teachings hold that the final knowledge refers to the understanding of the true nature of things. To proper understanding in early Buddhism, is to see things as Anicca (impermanent) Dukkha (non-satisfactory/suffering), and Anatta (no-soul, no substance or essence). According to Madhyamaka this knowledge consists of seeing everything as empty, void (Sunya) of a Sva-dhava (self-nature). From this it is clear that thought there is a difference in terminology , in spirit both early Buddhism and Madhyamaka, advocate the same thing. This is further established by the fact that the Buddha also on an occasions advices that, one in order to escape this cycle of birth and death should see everything as empty (Sunnato lokam avekkhassu).

The major difference the present researcher sees between early Buddhism and Madhyamaka in their approach to Sunya is that the former lay more emphasis on personal experians in realizing the emptiness (Sunnata) of all phenomena, while the later emphasizes on logic and reasoning leading to an intellectual comprehension of it. However, that does not mean that Madhyamaka is not stressing the importance of internalizing this knowledge. The present research is of the view that Acarya Nagarjuna’s use of logic and reason is due to circumstance of the time, and the purpose for which his work Mulamadhyamakakarika was composed. It was composed not as a guide to practice but as acritical response for realists and substantialists. Hence, the preponderance of logic and reason.

Through this the present researcher found more tangible evidence to agree with the view of that Acaraya Nagajuna was not trying to present any new teaching but was making a concerted effort to remind the scholarship of the time that it is deviating from the teaching of the Buddha. The two stanzas of salutation for the Buddha, at the beginning and the end of this book, (Mulamadhyamakakarika) very clearly shows that Acarya Nagarjuna was a great follower and admire of the Buddha, and that he was attempting to highlight the true teachings (Saddharma) of the Buddha.

http://vanaradari.blogspot.com/p/concept-of-emptiness-in-pali-literature.html

Bukunya bisa di-download pada link yang diberikan di atas

97
Mahayana / Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« on: 25 November 2012, 06:40:15 PM »
Artikel ini walau tidak dapat menjawab paradoks dari ungkapan "bentuk (rupa) adalah kosong dan kosong adalah bentuk" (yang umumnya diterjemahkan secara salah sebagai "isi adalah kosong dan kosong adalah isi"), tetapi setidaknya dapat memberikan pemahaman dasar tentang konsep kekosongan dalam pandangan Mahayana yang dikaitkan dengan hukum sebab akibat yang saling bergantungan (paticcasamuppada).

Semoga bermanfaat.

NB: Walau thread ini terinspirasi dari thread sebelah, namun tidak dimaksudkan untuk diperdebatkan spt pada thread tsb. Artikel sudah lama saya terjemahkan dan telah dipost di forum tetangga.

98
Theravada / Perlindungan Diri Melalui Meditasi
« on: 11 November 2012, 06:29:39 PM »
Ajaran Buddha memiliki tujuan utama membebaskan diri dari kelahiran dan kematian yang berulang-ulang (samsara). Tujuan ini tampak seperti mementingkan diri sendiri karena pada hakekatnya pembebasan (Nibbana) adalah bergantung pada diri sendiri dan tidak dapat diperoleh dari orang/makhluk lain. Demikian pula, jalan langsung menuju pembebasan tersebut, yang dilakukan melalui praktek meditasi, terutama empat landasan perhatian (satipatthana), juga dianggap praktek yang egois dan berpusat pada diri sendiri.

Namun sesungguhnya dengan menjalankan meditasi, seseorang melindungi orang lain dengan melindungi diri sendiri dan juga sebaliknya. Secara khusus, melindungi diri sendiri dengan praktek meditasi (satipatthana) yang terus-menerus juga berarti melindungi orang lain (masyarakat), sedangkan melindungi orang lain dengan mengembangkan kesabaran, tanpa kekerasan, cinta kasih dan belas kasih juga berarti melindungi diri sendiri. Hal ini dinyatakan Sang Buddha sendiri dalam Sedaka Sutta (Samyutta Nikaya 47.19) sebagai berikut:

"Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan melindungi diri sendiri, ia melindungi orang lain? Dengan mengejar, mengembangkan, dan melatih meditasi [empat landasan perhatian]. Dengan cara demikianlah bahwa dengan melindungi diri sendiri, ia melindungi orang lain.
Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan melindungi orang lain, ia melindungi diri sendiri? Dengan kesabaran, tidak mencelakai, cinta kasih, dan belas kasih. Dengan cara demikianlah bahwa dengan melindungi orang lain, ia melindungi diri sendiri."


Dengan demikian, sisi pengembangan diri secara spiritual untuk membebaskan diri dari samsara melalui praktek meditasi adalah perlindungan diri, yang tidak terlepas dari perlindungan orang lain dengan mengembangkan cinta kasih terhadap semua makhluk. Adalah tidak mungkin dalam menjalankan ajaran Buddha seseorang hanya mementingkan diri sendiri (egois) ataupun pada sisi lain hanya memperhatikan kepentingan orang lain semata. Namun keduanya yang masing-masing adalah perwujudan kebijaksanaan dan cinta kasih, dua sayap Pencerahan Sang Buddha, adalah saling melengkapi satu sama lain.

Untuk memperdalam pengertian akan perlindungan diri sendiri dan orang lain berdasarkan Sedaka Sutta di atas, berikut saya menyajikan sebuah artikel berjudul "Perlindungan Diri Melalui Satipatthana" oleh Bhikkhu Nyanaponika Thera yang diterjemahkan dari Protection Through Satipatthana

Semoga bermanfaat _/\_

99
Studi Sutta/Sutra / Upanisa Sutta
« on: 13 October 2012, 05:13:40 PM »
Untuk memperingati post ke-1000 ;D saya mem-posting salah satu sutta favorit saya beserta penjelasan singkatnya yang pernah di-post di forum tetangga (www.w****a.com/forum/theravada/7174-paticcasamuppada-dalam-pengertian-positif.html)

Samyutta Nikaya 12.23
Upanisa Sutta
Penyebab Langsung

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku mengatakan bahwa penghancuran noda-noda adalah bagi orang yang mengetahui dan melihat, bukan bagi orang yang tidak mengetahui dan tidak melihat. Bagi orang yang mengatahui apakah, orang yang melihat apakah, maka penghancuran noda-noda terjadi? ‘Demikianlah bentuk, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan ... demikianlah persepsi ... demikianlah bentukan-bentukan kehendak ... demikianlah kesadaran, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya’: adalah bagi orang yang mengetahui demikian, bagi orang yang melihat demikian, maka penghancuran noda-noda terjadi. [30]

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan penghancuran sehubungan dengan kehancuran memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung dari pengetahuan penghancuran? Harus dijawab: kebebasan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kebebasan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kebebasan? Harus dijawab: kebosanan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kebosanan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kebosanan? Harus dijawab: kejijikan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kejijikan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kejijikan? Harus dijawab: pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya? Harus dijawab: konsentrasi.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa konsentrasi juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi konsentrasi? Harus dijawab: kebahagiaan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kebahagiaan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kebahagiaan? Harus dijawab: ketenangan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa ketenangan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi ketenangan? Harus dijawab: kegairahan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kegairahan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kegairahan? Harus dijawab: kegembiraan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kegembiraan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kegembiraan? Harus dijawab: keyakinan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa keyakinan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi keyakinan? Harus dijawab: penderitaan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa penderitaan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi penderitaan? Harus dijawab: kelahiran.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kelahiran juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kelahiran? Harus dijawab: penjelmaan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa penjelmaan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi penjelmaan? Harus dijawab: kemelekatan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kemelekatan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kemelekatan? Harus dijawab: keinginan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa keinginan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi keinginan? Harus dijawab: perasaan.

“Bagi perasaan, harus dijawab: kontak. Bagi kontak: enam landasan indria. Bagi enam landasan indria: nama-dan-bentuk. Bagi nama-dan-bentuk: kesadaran. Bagi kesadaran: bentukan-bentukan kehendak.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa bentukan-bentukan kehendak juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi bentukan-bentukan kehendak? Harus dijawab: kebodohan.

“Demikianlah, para bhikkhu, dengan kebodohan sebagai penyebab langsung, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai penyebab langsung, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai penyebab langsung, maka nama-dan-bentuk; dengan nama-dan-bentuk sebagai penyebab langsung, maka enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai penyebab langsung, maka kontak; dengan kontak sebagai penyebab langsung, maka perasaan; dengan perasaan sebagai penyebab langsung, maka keinginan; dengan keinginan sebagai penyebab langsung, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai penyebab langsung, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai penyebab langsung, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai penyebab langsung, maka penderitaan; dengan penderitaan sebagai penyebab langsung, maka keyakinan; dengan keyakinan sebagai penyebab langsung, maka kegembiraan; dengan kegembiraan sebagai penyebab langsung, maka kegairahan; dengan kegairahan sebagai penyebab langsung, maka ketenangan; dengan ketenangan sebagai penyebab langsung, maka kebahagiaan; dengan kebahagiaan sebagai penyebab langsung, maka konsentrasi; dengan konsentrasi sebagai penyebab langsung, maka pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya; dengan pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya sebagai penyebab langsung, maka kejijikan; dengan kejijikan sebagai penyebab langsung, maka kebosanan; dengan kebosanan sebagai penyebab langsung, maka kebebasan; dengan kebebasan sebagai penyebab langsung, maka pengetahuan kehancuran.

“Bagaikan, para bhikkhu, ketika hujan lebat turun di puncak gunung, airnya mengalir turun sepanjang lereng dan memenuhi celah, selokan, dan sungai; memenuhi kolam-kolam; memenuhi danau-danau; memenuhi sungai-sungai kecil; memenuhi sungai-sungai besar; dan memenuhi samudera;[4] demikian pula, dengan kebodohan sebagai penyebab langsung, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai penyebab langsung, maka kesadaran ... dengan kebebasan sebagai penyebab langsung, maka pengetahuan penghancuran.”

Sumber: http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_12.23:_Upanisa_Sutta

Penjelasan singkat:

Selama ini kita mengetahui tentang hukum sebab musabab yang saling bergantungan (Paticcasamuppada) dalam rumusan sbb:

Ketidaktahuan (avijja) --> Bentuk-bentuk pikiran (sankhara) --> Kesadaran (viññana) --> Jasmani dan batin (namarupa) --> Enam landasan indera (salayatana) --> Kontak (phassa) --> Perasaan (vedana) --> Nafsu keinginan (tanha) --> Kemelekatan (upadana) --> Kemenjadian (bhava) --> Kelahiran (jati) --> Usia tua dan kelapukan (jaramarana)

Rumusan di atas merupakan rumusan sebab akibat yang menjelaskan terjadinya dukkha dan roda kelahiran kembali (samsara). Namun demikian, ternyata terdapat rumusan Paticcasumappada yang "positif" yang menggambarkan sebab-akibat untuk tercapainya kebahagiaan sejati (Nibbana) seperti dalam Upanisa Sutta, Nidanasamyutta, Samyutta Nikaya sbb:

"Ketidaktahuan (avijja) merupakan kondisi yang mendukung bagi Bentuk-bentuk pikiran (sankhara), Bentuk-bentuk pikiran (sankhara) merupakan kondisi yang mendukung bagi Kesadaran (viññana), Kesadaran (viññana) merupakan kondisi yang mendukung bagi Jasmani dan batin (namarupa), Jasmani dan batin (namarupa) merupakan kondisi yang mendukung bagi Enam landasan indera (salayatana), Enam landasan indera (salayatana) merupakan kondisi yang mendukung bagi Kontak (phassa), Kontak (phassa) merupakan Perasaan (vedana), Perasaan (vedana) merupakan kondisi yang mendukung bagi Nafsu keinginan (tanha), Nafsu keinginan (tanha) merupakan kondisi yang mendukung bagi Kemelekatan (upadana),Kemelekatan (upadana) merupakan kondisi yang mendukung bagi Kemenjadian (bhava), Kemenjadian (bhava) kemenjadian merupakan kondisi yang mendukung bagi Kelahiran (jati), Kelahiran (jati) merupakan kondisi yang mendukung bagi Penderitaan (dukkha).

Penderitaan (dukkha) merupakan kondisi yang mendukung bagi Keyakinan (saddha), Keyakinan (saddha) merupakan kondisi yang mendukung bagi kegembiraan (pamojja), kegembiraan (pamojja) merupakan kondisi yang mendukung bagi kegiuran (piti), kegiuran (piti) merupakan kondisi yang mendukung bagi ketenangan (passaddhi), ketenangan (passaddhi) merupakan kondisi yang mendukung bagi kebahagiaan (sukha), kebahagiaan (sukha) merupakan kondisi yang mendukung bagi pemusatan pikiran (samadhi), pemusatan pikiran (samadhi) merupakan kondisi yang mendukung bagi pengetahuan dan pandangan akan hal-hal sebagaimana adanya (yathabhutananadassana), pengetahuan dan pandangan akan hal-hal sebagaimana adanya (yathabhutananadassana) merupakan kondisi yang mendukung bagi kekecewaan (nibidda), kekecewaan (nibidda) merupakan kondisi yang mendukung bagi pelenyapan nafsu (viraga), pelenyapan nafsu (viraga) merupakan kondisi yang mendukung bagi pembebasan (vimutthi), pembebasan (vimutthi) merupakan kondisi yang mendukung bagi pengetahuan akan lenyapnya kekotoran batin (asavakkhaya-nana)."

Di sini rumusan Paticcasamupada menjadi 24 nidana dengan 12 nidana pertama sama dengan rumusan Paticcasamuppada yang umum kita kenal (kecuali dalam nidana terakhir Jaramarana diganti menjadi Dukkha yang menjadi "link" bagi 12 nidana berikutnya) dan menambahkan 12 nidana berikutnya yang berakhir pada Asavakkhaya-nana. 12 nidana terakhir ini menunjukkan sebab akibat yang menuju pada lenyapnya kekotoran batin, yaitu tercapainya buah Kearahatan:

Keyakinan (saddha) --> kegembiraan (pamojja) --> kegiuran (piti) --> ketenangan (passaddhi) --> kebahagiaan (sukha) --> pemusatan pikiran (samadhi) --> pengetahuan dan pandangan akan hal-hal sebagaimana adanya (yathabhutananadassana) --> kekecewaan (nibidda) --> pelenyapan nafsu (viraga) --> pembebasan (vimutthi) --> pengetahuan akan lenyapnya kekotoran batin (asavakkhaya-nana).

Dikatakan bahwa dukkha (penderitaan) merupakan penyebab munculnya keyakinan (saddha). Ini bisa diartikan bahwa ketika seseorang mengalami penderitaan karena hidup dalam alam Samsara dan mendengarkan ajaran Sang Buddha, ia akan memperoleh keyakinan bahwa ajaran Buddha adalah benar adanya. Ia memperoleh keyakinan terhadap hukum sebab-akibat, Buddha, Dhamma dan Sangha. Semakin ia mendengarkan ajaran Buddha dan melihat pengalaman penderitaan dirinya sendiri, semakin keyakinannya bertambah. Kitab komentar mengatakan bahwa saddha di sini adalah aparāparaṃ saddha. Artinya keyakinan yang muncul secara berkesinambungan. Keyakinan semacam ini muncul dengan semakinnya ia melihat penderitaan pada dirinya dan melihat kebenaran Dhamma. Keyakinan yang berkesinambungan ini mampu menciptakan kegembiraan (pamojja) yang juga disebut sebagai tuṭṭha (kepuasan) dalam kitab komentar. Ingat bahwa keyakinan adlaah emosi, dan seseorang bisa merasakan bagaimana ketika ia memperoleh emosi keyakinan terhadap Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, ia pun memperoleh kegembiraan / kepuasan.

Kegembiraan selanjutnya menjadi penyebab kegiuran (piti). Dikatakan bahwa seseorang yang gembira seluruh badannya akan diselubungi kegiuran. Kitab komentar dalam hal ini menambahkan bahwa pamojja sesungguhnya adalah kegiuran yang masih lemah (dubbalapiti), sedangkan piti adalah kegiuran yang kuat (balavapīti).

Seseorang yang diselimuti kegiuran, secara alami, badannya akan menjadi tenang (passadhi). Ini juga telah disebutkan Sang BUddha dalam Samaññaphalasutta (Pītimanassa kāyo passambhatī - seseorang yang memiliki kegiuran badanya akan menjadi tenang).

Ketika badan menjadi tenang, secara alami juga, badan dan pikiran merasakan kebahagiaan (sukha). Kitab komentar Samaññaphalasutta menjelaskan " Sukhaṃ vedetīti kāyikampi cetasikampi sukhaṃ vedayati" - sukham vedeti artinya seseorang merasakan kebahagiaan baik secara jasmaniah maupun mental.

Ia yang bahagia baik jasmani dan mental, batinnya akan menjadi terkonsentrasi (cittaṃ samādhiyati). Oleh karena itu, sukha menjadi penyebab munculnya samādhi. Dalam Bojjhangasaṇyutta, Samyuttanikāya, ketika menjelaskan 7 faktor penerangan sempurna, Sang Buddha juga menjelaskan bahwa ia yang telah menyempurnakan sukha akan memiliki batin yang terkonsentrasi (samādhi). Ini sangat jelas karena samādhi (kondisi terpusatnya pikiran pada satu obyek namun rileks) akan muncul hanya ketika jasmani dan batin berada pada kondisi tenang, rileks, tanpa tekanan dan bahagia. Kitab komentar Samaññāphalasutta menjelaskan bahwa sukha yang menjadi penyebab munculnya samādhi adalah nekkhamasukha (the happiness of renunciation). Kebahagiaan ini muncul karena pikiran telah terbebas untuk sementara dari lima rintangan batin. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa kebahagiaan ini mampu membawa pikiran pada konsentrasi. Sementara itu, kitab komentar upanisasutta mengidentikasikan samādhi sebagai tingkat2 jhana.

Mengapa seseorang yang terkonsentrasi mampu melihat dan mengetahui segala sesuatu sebagai mana adanya (Yathabhūtañānadassanaṃ)? Konsentrasi bisa diibaratkan sebagai pisau tajam ketika seorang dokter mau mengoperasi penyakit seorang pasien. Tanpa pisau tajam, seorang dokter tidak akan berhasil. Demikian pula, konsentrasi adalah senjata bagi seseorang untuk melihat fenomena dunia sebagai anicca, dukkha dan anatta. Jika pikiran kita masih diselubungi oleh banyak rintangan (lima rintangan batin), seseorang akan sulit dan bahkan tidak akan mampu melihat secara dalam melalui pengalamannya sendiri bahwa semua fenomena batin dan jasmani hanya sebagai fenomena yang tidak kekal, beban dan bukan aku. Oleh karena itu, samādhi merupakan sebab munculnya pengetahuan dan penglihatan segala sesuatu sebagai mana adanya. Dalam kitab komentar untuk Upanisasutta, yathabhūtañanadassanaṃ dikatakan sebagai vipassana yang masih muda (taruṇavipassana). Ini hanya meliputi empat macam pengetahuan yakni saṇkhāraparicchede ñāṇa (pengetahuan mengenai pembagian bentuk2 mental), kankhāvitaraṇe ñāṇa (pengetahuan untuk mengatasi keragu-raguan), sammasane ñāṇa (pengetahuan awal tentang anicca, dukkha dan anatta) dan maggāmagga ñāṇa (pengetahuan mana yang bukan jalan dan mana yang jalan).

Ketika seseorang melihat melalui pengalaman langsung bahwa segala fenomena batin dan jasmani sebagai anicca, dukkha dan anatta, secara natural, seseorang akan menjadi muak (nibbida) terhadap dunia. Muak di sini tidak harus diartikan sebagai negatif karena muak di sini muncul karena kebijaksanaan. Nibbida di sini merupakan faktor yang sangat penting bagi seseorang yang bertujuan untuk lepas dari lingkaran samsara, karena jika seseorang masih melihat dunia sebagai tempat aman, tempat yang menimbulkan kebahagiaan, ia tidak akan pernah bebas dari lingkaran samsara. Kemelekatan terhadap dunia muncul ketika seseorang masih melihat dunia sebagai nicca, sukha dan atta. Ini sangat berbeda dari nibbida yang muncul karena seseorang melihat dunia sebagai anicca, dukkha dan anatta. Selanjutnya kitab komentar untuk Upanisasutta menjelaskan bahwa nibbidañāna termasuk vipassana yang kuat (balavavipassana). Kita tahu bahwa nibbidañāna juga merupakan salah satu dari 16 pengetahuan yang didapat dari pengembangan vipassana. Kitab ini juga menyebutkan empat hal lain yang disebut sebagai pengetahuan vipassana yang kuat yakni bhayatūpaṭṭhāne ñāṇa (pengetahuan mengenai bahaya), ādīnavānupassane ñāṇa (pengetahuan untuk merenungkan bahaya) muñcitukamyatāñāṇa (pengetahuan untuk terbebas) saṇkhārupekkhāñāṇa (pengetahuan tentang keseimbangan semua bentuk2 sankhara).

Seseorang yang muak (nibbida) terhadap fenomena batin dan jasmani setelah melihatnya sebagai anicca, dukkha dan anatta, secara alami, tidak akan mendapatkan kesenangan di dalamnya (viraga -tanpa nafsu). Ia tidak tertarik lagi untuk melekati fenomena2 batin dan jasmani ini.

Ketika seseorang tidak tertarik atau bebas dari nafsu (viraga), ia pun akan terbebas (vimutti). Ia akan terbebas dari segala bentuk kemelekatan. Kitab komentar menyebutkan bahwa vimutti di sini mengacu kepada pembebasan melalui pencapaian buah kearahatan (arahattaphalavimutti). Ketika seseorang mencapai arahattaphala, pengetahuan tentang lenyapnya kekotoran batin (āsavakkhayañāṇa), tanpa dielakkan, akan muncul. Kitab komentar menyebutkan bahwa āsavakkhañāna adalah paccavekhaṇañāna (pengetahuan untuk melihat kembali). Dalam hal ini, paccavekhaṇañāṇa adalah pengetahuan untuk melihat kembali pengalaman arahattaphala. Dalam urutan ñāna dalam vipassana, memang paccavekhaṇañāna muncul setelah phala.

Dengan kata lain: Keyakinan dalam Buddha,Dhamma,Sangha menyebabkan seseorang menjalankan praktek Dhamma,salah satunya melatih sila. Dg sila yg sempurna,ia menjadi gembira dalam praktek Dhamma. Dg kesempurnaan sila tsb ia menjalankan meditasi. Dalam meditasi ia mencapai tingkat pemusatan pikiran tertentu (jhana) di mana kegiuran muncul dan dapat dirasakan. Karena timbulnya kegiuran maka timbul ketenangan dalam meditasi. Ketenangan ini memberikan rasa kebahagiaan tertentu walaupun kebahagiaan ini bukan kebahagiaan sejati karena bisa lenyap dg lenyapnya kekuatan jhana. Dg berusaha menemukan kebahagiaan yg lebih tinggi, ia terus mengembangkan samadhi hingga mencapai tingkatan jhana yg lebih tinggi. Dengan bermodalkan pencapaian jhana ini, seseorang bisa mengembangkan vipassana dg melatih pandangan atas segala sesuatu sebagaimana adanya,dst sampai dg tercapainya asavakkhaya-nana sesuai dg penjelasan berdasarkan komentar di atas.

Ulasan/penjelasan sutta ini secara lengkap bisa dibaca di http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/bodhi/wheel277.html

Semoga bermanfaat dan bisa menginspirasi kita semua
_/\_

100
Bhikkhu S. Dhammika menulis dalam blog-nya http://sdhammika.blogspot.com/2012/06/why-one-and-not-other.html, bukan sebab dari luar (invasi Is***m) tetapi karena faktor dr dalam Buddhisme lenyap dari India dibandingkan dg saudara dekatnya Jainisme, yaitu:

1. Pada masa awal Buddhisme, Buddha sudah didewakan, bahkan bermunculan para Bodhisattva yang didewakan shg mudah sekali diserap ke dalam Hinduisme. Sedangkan Jainisme tidak mendewakan Mahavira maupun Titankara lainnya.
2. Teks2 Buddhis kebanyakan berisi filosofis yang mendalam, yang hanya bisa dicerna para bhikkhu yang intelek, sulit dipahami oleh umat awam. Sedikit sekali teks yang berorientasi pada umat awam dalam Buddhisme. Sedangkan Jainisme menghasilkan banyak sekali teks yang berisi ajaran untuk umat awamnya.
3. Ketika Hinduisme bangkit dengan munculnya epik Mahabharata dan Ramayana, Buddhisme meng-copy epik ini [spt yg kita tahu kisah Mahabharata dan Ramayana jg terdpt dlm kisah Jataka], sedangkan Jainisme menyusun epik mereka sendiri yang bisa menandingi epik Hinduisme. Selain itu Buddhisme menciptakan Bodhisattva dari para dewa Hindu sehingga seseorang tidak dapat membedakan Avalokitesvara dan Vishnu, bahkan tata cara puja-nya sama.
4. Sangha Buddhis tidak banyak men-support komunitas umat awamnya, kalaupun ada hanya sedikit. Sedangkan komunitas sramana Jain lebih men-support komunitas umat awamnya. Jika Sangha Buddhis hanya menjadi objek penerima dana bagi umat awam Buddhis, sramana Jain menjadi media support dan pengajaran bagi umat awam Jain.

Menariknya menurut Bhikkhu Dhammika, fenomena ini masih terlihat pada Buddhisme modern saat ini....

Tanya kenapa???

101
Diskusi Umum / Jati Diri Menurut Ajaran Buddha
« on: 03 May 2012, 07:48:03 AM »
Bagaimana pandangan Buddhis terhadap jati diri? Apakah bertentangan dg ajaran Anatta?

Utk pengertian jati diri menurut pandangan umum bisa dilihat di http://andriewongso.com/artikel/catatan_andrie_wongso/4215/Mengenal_Jati_Diri_Kita_Sebagai_Manusia/

102
Sutta Vinaya / Abhi?ha Paccavekkhitabba?h?na Sutta
« on: 20 April 2012, 08:10:38 PM »
Anguttara Nikaya 5.6.7
Abhiṇha Paccavekkhitabbaṭhāna Sutta
Perenungan yang Terus-Menerus Dilakukan

Lima Perenungan

“Para bhikkhu, lima hal ini seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian. Apakah kelima hal ini?

(1) ‘Aku akan mengalami usia tua. Aku belum melampaui usia tua’, ini seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian.

(2) ‘Aku akan mengalami sakit. Aku belum melampaui penyakit’, ini seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian.

(3) ‘Aku akan mengalami kematian. Aku belum melampaui kematian’, ini seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian.

(4) ‘Semua orang yang dekat dan yang kusayangi akan berubah dan lenyap’, ini seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian.

(5) ‘Aku pemilik perbuatanku sendiri, pewaris perbuatanku sendiri, berasal dari perbuatanku sendiri, berhubungan dengan perbuatanku sendiri, dan berlindung dalam perbuatanku sendiri. Apa pun perbuatan yang kulakukan, baik atau buruk, akan menjadi warisanku’, ini seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian.”

Tujuan Perenungan

(1) “Para bhikkhu, untuk alasan apakah ‘Aku akan mengalami usia tua. Aku belum melampaui usia tua’ seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian?

Para bhikkhu, bagi makhluk-makhluk terdapat kemabukan akan kemudaan[1], mabuk sehingga mereka berbuat salah melalui tubuh, ucapan dan pikiran. Bagi seseorang yang secara terus-menerus merenungkan ‘Aku akan mengalami usia tua. Aku belum melampaui usia tua’, kemabukan akan kemudaan ketika masih muda sepenuhnya lenyap atau berkurang. Para bhikkhu, karena alasan ini ‘Aku akan mengalami usia tua. Aku belum melampaui usia tua’ seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian.”

(2) “Para bhikkhu, untuk alasan apakah ‘Aku akan mengalami sakit. Aku belum melampaui penyakit’ seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian?

Para bhikkhu, bagi makhluk-makhluk terdapat kemabukan akan kesehatan, mabuk sehingga mereka berbuat salah melalui tubuh, ucapan dan pikiran. Bagi seseorang yang secara terus-menerus merenungkan ‘Aku akan mengalami sakit. Aku belum melampaui penyakit’, kemabukan akan kesehatan sepenuhnya lenyap atau berkurang. Para bhikkhu, karena alasan ini ‘Aku akan mengalami sakit. Aku belum melampaui penyakit’ seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian.”

(3) “Para bhikkhu, untuk alasan apakah ‘Aku akan mengalami kematian. Aku belum melampaui kematian’ seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian?

Para bhikkhu, bagi makhluk-makhluk terdapat kemabukan akan kehidupan, mabuk sehingga mereka berbuat salah melalui tubuh, ucapan dan pikiran. Bagi seseorang yang secara terus-menerus merenungkan ‘Aku akan mengalami kematian. Aku belum melampaui kematian’, kemabukan akan kesehatan sepenuhnya lenyap atau berkurang. Para bhikkhu, karena alasan ini ‘Aku akan mengalami kematian. Aku belum melampaui kematian’ seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian.”

(4) “Para bhikkhu, untuk alasan apakah ‘Semua orang yang dekat dan yang kusayangi akan berubah dan lenyap’ seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian?

Para bhikkhu, bagi makhluk-makhluk terdapat keterikatan dan nafsu terhadap orang-orang yang dekat dan disayanginya, menyenanginya sehingga mereka berbuat salah melalui tubuh, ucapan dan pikiran. Bagi seseorang yang secara terus-menerus merenungkan ‘Semua orang yang dekat dan yang kusayangi akan berubah dan lenyap’, keterikatan dan nafsu terhadap orang-orang yang dekat dan disayangi sepenuhnya lenyap atau berkurang. Para bhikkhu, karena alasan ini ‘Semua orang yang dekat dan yang kusayangi akan berubah dan lenyap’ seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian.”

(5) “Para bhikkhu, untuk alasan apakah ‘Aku pemilik perbuatanku sendiri, pewaris perbuatanku sendiri, berasal dari perbuatanku sendiri, berhubungan dengan perbuatanku sendiri, dan berlindung dalam perbuatanku sendiri. Apa pun perbuatan yang kulakukan, baik atau buruk, akan menjadi warisanku’ seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian?

Para bhikkhu, bagi makhluk-makhluk terdapat perbuatan salah melalui tubuh, ucapan dan pikiran. Bagi seseorang yang secara terus-menerus merenungkan ‘Aku pemilik perbuatanku sendiri, pewaris perbuatanku sendiri, berasal dari perbuatanku sendiri, berhubungan dengan perbuatanku sendiri, dan berlindung dalam perbuatanku sendiri. Apa pun perbuatan yang kulakukan, baik atau buruk, akan menjadi warisanku’, perbuatan salah melalui tubuh, ucapan dan pikiran sepenuhnya lenyap atau berkurang. Para bhikkhu, karena alasan ini ‘Aku pemilik perbuatanku sendiri, pewaris perbuatanku sendiri, berasal dari perbuatanku sendiri, berhubungan dengan perbuatanku sendiri, dan berlindung dalam perbuatanku sendiri. Apa pun perbuatan yang kulakukan, baik atau buruk, akan menjadi warisanku’ seharusnya direnungkan secara terus-menerus oleh seorang wanita, seorang pria, seorang perumah tangga, atau seorang yang telah meninggalkan keduniawian.”

Manfaat Perenungan

(1) “Para bhikkhu, seorang siswa mulia merenungkan: ‘Tidak hanya aku, yang akan mengalami usia tua dan belum melampauinya, tetapi juga semua makhluk yang telah datang, pergi, lenyap dan muncul akan mengalami usia tua dan belum melampauinya.’ Bagi seseorang yang terus-menerus merenungkan hal ini, sang jalan muncul. Kemudian ia mengembangkan sang jalan dan terus-menerus melatihnya[2] dan semua belenggunya[3] ditinggalkan dan kecenderungan latennya[4] akan lenyap.”

(2) “Para bhikkhu, seorang siswa mulia merenungkan: ‘Tidak hanya aku, yang akan mengalami sakit dan belum melampauinya, tetapi juga semua makhluk yang telah datang, pergi, lenyap dan muncul akan mengalami sakit dan belum melampauinya.’ Bagi seseorang yang terus-menerus merenungkan hal ini, sang jalan muncul. Kemudian ia mengembangkan sang jalan dan terus-menerus melatihnya dan semua belenggunya ditinggalkan dan kecenderungan latennya akan lenyap.”

(3) “Para bhikkhu, seorang siswa mulia merenungkan: ‘Tidak hanya aku, yang akan mengalami kematian dan belum melampauinya, tetapi juga semua makhluk yang telah datang, pergi, lenyap dan muncul akan mengalami kematian dan belum melampauinya’. Bagi seseorang yang terus-menerus merenungkan hal ini, sang jalan muncul. Kemudian ia mengembangkan sang jalan dan terus-menerus melatihnya dan semua belenggunya ditinggalkan dan kecenderungan latennya akan lenyap.”

(4) “Para bhikkhu, seorang siswa mulia merenungkan: ‘Tidak hanya orang-orang yang dekat dan yang kusayangi, yang akan berubah dan lenyap, tetapi juga orang-orang yang dekat dan disayangi semua makhluk yang telah datang, pergi, lenyap dan muncul akan berubah dan lenyap’. Bagi seseorang yang terus-menerus merenungkan hal ini, sang jalan muncul. Kemudian ia mengembangkan sang jalan dan terus-menerus melatihnya dan semua belenggunya ditinggalkan dan kecenderungan latennya akan lenyap.”

(5) “Para bhikkhu, seorang siswa mulia merenungkan: ‘Tidak hanya aku, yang adalah pemilik perbuatanku sendiri, mewarisinya, berasal darinya, berhubungan dengannya dan berlindung di dalamnya, apa pun yang kuperbuat, baik atau buruk, akan menjadi warisanku, tetapi juga semua makhluk yang telah datang, pergi, lenyap dan muncul adalah pemilik perbuatannya masing-masing, mewarisinya, berasal darinya, berhubungan dengannya dan berlindung di dalamnya, apa pun yang diperbuatnya, baik atau buruk, akan menjadi warisan mereka’. Bagi seseorang yang terus-menerus merenungkan hal ini, sang jalan muncul. Kemudian ia mengembangkan sang jalan dan terus-menerus melatihnya dan semua belenggunya ditinggalkan dan kecenderungan laten akan lenyap.”

Usia tua, penyakit dan kematian, hal-hal yang tidak terhindarkan ini orang-orang biasa tidak menyenanginya.
Tidak sesuai bagiku, yang berdiam [dalam perenungan yang] demikian untuk membenci hal-hal ini.
Aku memahami tentang kemabukan atas kesehatan, kemudaan dan kehidupan ini
Dan melihat ketenangan dalam melepaskan hal-hal ini, sekarang aku tidak dapat menikmati kesenangan indera.
Aku tidak akan berhenti sampai akhir kehidupan suci tercapai.

Catatan Kaki:

1. Yobbane yobbana mado, secara harfiah “mabuk karena kemudaan”. Namun bukan hanya orang-orang muda yang terlena oleh usia muda, kesehatan dan kehidupan, tetapi orang-orang yang sudah tua dan orang sakit pun lebih menginginkan usia muda dan kesehatan.

2. Menurut Anguttara Nikaya buku pertama (ekanipata) ini dilakukan dengan mengembangkan perhatian terhadap tubuh (kayagatasati), yaitu mengamati 32 bagian tubuh atau melakukan meditasi dengan objek pengamatan terhadap tubuh (kayanupassana), misalnya meditasi pernapasan (anapanasati).

3. Belenggu (samyojana) ada 10: pandangan akan diri (sakkayaditthi), keragu-raguan (vicikiccha), kemelekatan pada upacara dan ritual (silabbataparamasa), nafsu indera (kamaraga), kebencian (vyapada), keinginan akan alam berbentuk (ruparaga), keinginan akan alam tak berbentuk (aruparaga), kesombongan (mana), kegelisahan (uddhacca) dan ketidaktahuan (avijja).

4. Kecenderungan laten (anusaya) ada 7: keinginan indera (kamacchanda), kejijikan (patigha), pandangan salah (ditthi), keragu-raguan (vicikiccha), kesombongan (mana), keinginan akan kehidupan (bhavaraga), dan ketidaktahuan (avijja).

103
Diskusi Umum / Kehidupan Seorang Umat Awam Buddhis
« on: 08 April 2012, 02:44:37 PM »

Inilah seorang siswa Sang Buddha, yang tinggal di rumah. Ia memiliki keyakinan terhadap pencerahan Sang Buddha. Ia melatih dirinya untuk memurnikan perbuatan dan ucapannya. Ia mengembangkan kedermawanan, belajar untuk berkorban dan melepas. Dan inilah praktek yang ia lakukan: ia mengambil kesempatan untuk mendengarkan Dhamma – kata-kata Sang Buddha, para bhikkhu dan bhikkhuni yang telah tercerahkan. Tetapi itu belum semuanya. Ia bertekad untuk mengingat Dhamma yang ia dengar. Ia berusaha mengingatnya, menyimpannya dalam pikirannya. Karena ia mengetahui bahwa dengan demikian ia akan memikirkannya, melihatnya, menyelidikinya, memahaminya dengan mendalam. Kemudian, dengan praktek yang demikian, ia mengetahui inilah hukum alamiah, kehidupannya pasti akan mengikutinya.

Perlahan tetapi pasti seluruh kehidupannya akan tersentuh dan berubah oleh keajaiban yang adalah mukjizat Dhamma: Dalam pekerjaannya ia tekun, pekerja keras, dan rajin. Dalam urusan keuangan ia bermurah hati, menghindari hutang, mengetahui manfaat dari berhemat dan ia tidak pernah lupa untuk memikirkan keluarga dan teman-temannya. Ia merawat dengan baik kedua orang tuanya di mana ia menerima pendidikan dan bimbingan dalam kehidupan serta mengajarkan dan mendukung anak-anaknya dan teman-temannya, selalu berhati-hati untuk bergaul dengan orang-orang yang baik dan mulia. Demikianlah kehidupan duniawinya yang seimbang memungkinkan ia mengabdikan lebih banyak waktu dan kejernihan dalam kehidupan spiritualnya.

Sekurang-kurangnya sekali dalam seminggu, berpakaian putih yang melambangkan kemurnian, ia menikmati satu hari keheningan dan perenungan. Ia memutuskan untuk menginvestasikan diri dalam pelatihan tubuh, ucapan dan pikiran yang mulia ini. Ia mengetahui, satu hari yang demikian dihabiskan dengan mengikuti jejak para Arahat, pada hari-hari duniawinya, lebih berharga dari kekayaan apa pun dalam rekening banknya. Hari itu, ia mengingatkan dirinya sendiri akan Dhamma yang ia pelajari, ia dapat berpuasa pada hari itu juga, menjaganya agar tetap ringan dan sederhana, merenungkan kata-kata Sang Buddha. Ia dapat merenungkan sifat-sifat Sang Buddha, apa yang menjadikan seorang Yang Tercerahkan, ia dapat merenungkan Dhamma dan Sangha. Ia dapat merenungkan sifat-sifat para dewa dengan mengetahui bahwa kehidupannya jika dimurnikan dengan cara ini akan membawa menuju pada keadaan pikiran yang demikian dan tidak ada tempat tujuan yang lain.

Setiap hari, ia memulai paginya dengan lima perenungan yang bermanfaat. Setiap pagi ia dapat menguatkan kembali keyakinannya kepada Sang Guru, Pertapa Gotama dan pembabaran Dhamma-Nya serta sekelompok siswa yang telah mengikuti jalan ini dengan sungguh-sungguh. Setiap pagi ia dapat merenungkan kebajikan yang ia tekadkan untuk diwujudkan dalam kehidupannya dan ia dapat memikirkan bagaimana ia dapat menjalankan kedermawan pada hari itu. Setiap hari, ia dapat bertekad untuk meningkatkan ingatannya terhadap ajaran Sang Buddha, dengan membacakan kata-kata Yang Tercerahkan dari ingatannya. Setiap hari anda dapat menemukannya dengan tenang merenungkan makna Dhamma yang ia pelajari. Orang lain menyebutnya meditasi, ia menyebutnya sammā samādhi dan bhāvanā atau pengembangan [batin], karena ia mengetahui ini bagaikan sebuah tumbuhan, yang memerlukan perhatian yang berkelanjutan dan penanganan yang cermat agar ia tumbuh kuat untuk menghasilkan buah.

Ia mengetahui bahwa dari keyakinan muncul ketenangan dan dari ketenangan muncul kegembiraan. Bahwa kegembiraan dari dalam akan membawanya lebih sering masuk ke dalam kediaman yang tenang dari empat jhāna. Ia mengetahui bagaimana menggunakan ketenangan sempurna dan keseimbangan dari jhana keempat untuk mengingat kembali kehidupan lampaunya, ya, ia dapat menguasai kemampuan yang sama demikian, tetapi melampaui itu semua, ia mengetahui tidak ada kegembiraan yang lebih tinggi daripada merenungkan ketidakkekalan enam indera, dengan mengamati gejolak timbul dan lenyapnya; ketika kebijaksanaanya tumbuh, [ia] mengetahui tidak ada kegembiraan yang lebih tinggi daripada mengamati lima kelompok kehidupan yang timbul dan lenyap, dengan merenungkan sebab akibat yang saling bergantungan yang membawa pada pengetahuan mendalam dan memurnikan kebijaksanaan.


Ketika hari-hari meditasi mingguannya (Uposatha) tumbuh dengan mendalam, dibimbing dan selaras dengan kata-kata Sang Buddha yang ia hargai bagaikan harta karun kuno, kemampuannya dalam memperdalam pencerahannya melalui penerapan meditasi seperti yang dijelaskan Sang Buddha menjadi lebih mendalam. Ia, masih dengan mengenakan pakaian putih, tinggal bersama istri dan anak-anak, menjaga pikirannya kokoh menjalankan perhatian terhadap tubuh, atau empat satipatthana, atau meditasi pernapasan, yang membawa pada pengetahuan mendalam dan kebijaksanaan serta buah pemasuk arus (Sotapanna), yang kembali sekali (Sakadagami) dan yang tidak akan kembali (Anagami). Inilah yang ia ketahui sebagai jalan menuju Nibbana seperti yang ditunjukkan oleh Yang Tercerahkan.

Ditulis berdasarkan sutta-sutta berikut:

• Mahanama Sutta, AN.8.25
• Vyagghapajja Sutta, AN 8.54
• Singalovada Sutta, DN 31
• Sakka Sutta, AN 10.46
• Muluposatha Sutta, AN 3.60
• Uposatha Sutta, AN 8.41
• Nandamata Sutta, AN 7. 5.10
• Cittasamyutta, SN 41
• Gihi Sutta, AN 5.179
• Anana Sutta, AN 4.62
• Nakula Sutta, AN 6.16
• Velama Sutta, AN 9.20
• Brahma Sutta, Itiv. 106
• Lima perenungan harian: Abhiṇha Paccavekkhitabbaṭhāna Suttaṃ, AN 5.6.7

Diterjemahkan dari: The Lay Disciple « Theravadin

104
Studi Sutta/Sutra / Dhammadayada Sutta vs Jalan Tengah
« on: 18 March 2012, 08:56:33 AM »
Dalam Dhammadayada Sutta (MN 3) dikatakan:

3. “Sekarang, para bhikkhu, misalkan aku telah makan, menolak makanan tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah memakan apa yang Kubutuhkan, dan ada makanan tersisa dan akan dibuang. Kemudian dua orang bhikkhu tiba [13] lapar dan lemah, dan Aku berkata kepada mereka: ‘Para bhikkhu, aku telah makan … telah memakan apa yang Kubutuhkan, tetapi masih ada makanan tersisa dan akan dibuang. Makanlah jika kalian menginginkan; jika kalian tidak memakannya maka Aku akan membuangnya ke mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan.’ Kemudian seorang bhikkhu berpikir: ‘Sang Bhagavā telah makan … telah memakan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang; jika kami tidak memakannya maka Sang Bhagavā akan membuangnya … Tetapi hal ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā: “Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi.” Sekarang, makanan ini adalah salah satu benda materi. Bagaimana jika seandainya tanpa memakan makanan ini aku melewatkan malam dan hari ini dalam keadaan lapar dan lemah.’  Dan tanpa memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu dalam keadaan lapar dan lemah. Kemudian bhikkhu ke dua berpikir: ‘Sang Bhagavā telah makan … telah memakan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang … Bagaimana jika seandainya aku memakan makanan ini dan melewatkan malam dan hari ini tanpa merasa lapar dan lemah. Dan setelah memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu tanpa  merasa lapar dan lemah. Sekarang walaupun bhikkhu itu dengan memakan makanan itu melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah, namun bhikkhu pertama lebih terhormat dan dipuji olehKu. Mengapakah? Karena hal itu dalam waktu lama akan berdampak pada keinginannya yang sedikit, kepuasan, pemurnian, kemudahan dalam disokong, dan membangkitkan kegigihannya.  Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir: ‘Bagaimanakah agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi?’”
[Sumber: http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17327.0]

Walaupun dikatakan bahwa ini dpt berdampak pada sedikit keinginan, kepuasan, pemurnian, kemudahan dalam disokong, dan membangkitkan kegigihannya, tetapi bukankah tindakan bhikkhu pertama yg tdk memakan makanan sisa dari Sang Buddha seakan2 penyiksaan diri? Dlm kotbah pertama Beliau, Dhammacakkappavattana Sutta, diajarkan ttg Jalan Tengah utk menghindari 2 ekstrem, yaitu pemuasan kesenangan indera yang rendah dan penyiksaan diri yang menyakitkan. Bukankah tindakan bhikkhu pertama ini merupakan penyiksaan diri yg termasuk salah satu ekstrem yg harus dihindari?

Ditambah lagi dlm Ovada Patimokkha (Dhammapada 185) dikatakan:

Tidak menghina, tidak menyakiti,
dapat mengendalikan diri sesuai dengan peraturan,
memiliki sikap madya dalam hal makan,
berdiam di tempat yang sunyi serta
giat mengembangkan batin nan luhur;
inilah ajaran para Buddha.

Jika demikian, sepertinya terlalu ekstrem Sang Buddha menyarankan para siswa-Nya menjadi pewaris-Nya dlm Dhamma dg tdk makan makanan sisa sekalipun utk mempertahankan kehidupan mereka. Ini sepertinya bukan sifat Sang Buddha yg mengajarkan Jalan Tengah....

Bagaimana pendapat teman2 se-Dhamma?

105
Saya dulu mengenal agama Buddha sejak SMP wkt pertama kali ikut kebaktian vihara aliran Mahayana. Lalu SMA mulai malas dan akhirnya gak pernah pergi vihara sama sekali. Menjelang lulus SMA ada keluarga yg ngajak ke vihara aliran Maitreya. Wkt itu gak tau ajaran Maitreya spt apa.

Krn udah lama jg gak aktif di vihara, maka saya ikut sidang Dharma 3 hari di sana. Lalu abis dr itu ikut kelas mereka setiap minggu. Hingga akhirnya waktu kuliah menyadari ketidaksesuaian ajaran mereka dg ajaran Buddha yg sebenarnya. Ada teman dekat yg satu kampus jg yg aktif di sana. Saat itu mulai2 tdk aktif lg di sana dan akhirnya tdk pergi lg ke sana sampai lulus kuliah. Sedangkan teman tsb udh jd penyebar ajaran Maitreya ke India.

Nah, wkt tahun baru Imlek kmrn, teman tsb pulang ke Indonesia & ada berkunjung ke rmh. Ia menanyakan mengapa tdk aktif ke vihara lg. Saya jawab dg tdk berkata sebenarnya bhw saya bnyk kerjaan dan kadang kala malas,apalagi gak ada teman baik lg spt dia. Tetapi sepertinya ia tahu alasan sebenarnya saya tdk ke sana lg. Mgkn dr FB jg krn saya sering posting kutipan2 dari sutta Pali. Ia mengatakan bhw smua aliran Buddhis sesungguhnya mengakui Maitreya sbg Buddha berikutnya dan aliran Maitreya merintis jalan bg kemunculan Maitreya tsb, jd gak bertentangan dg ajaran aliran Buddhis mana pun. Krn tdk bermaksud utk berdebat/mendiskusikan mana yg benar/salah, saya tdk bnyk menanggapinya,apalg suasananya msh sincia. Trus ia bertanya pendapatku: saat ia pergi ke Bodhgaya di India ia melihat 2 org bhikkhu, satu duduk bermeditasi di bawah pohon, satu lg setiap satu langkah menuju ke Mahabodhi bersujud 1 kali. Mana yg lbh baik di antara keduanya?
Saya jawab yg duduk bermeditasi. Tak kukira ternyata dia menyetujui hal ini (biasanya org2 Maitreya lbh mengutamakan ritual drpd meditasi), alasannya krn pembinaan org yg bermeditasi lbh tinggi drpd org yg melakukan ritual. Tampaknya ia berusaha melunakkan hatiku.

Akhirnya ketika ia akan berangkat ke India, ia berpesan agar kembali aktif ke vihara. Saya tersenyum sambil menjawab, "Akan kuusahakan la" (ini termasuk musavada kali ya?). Krn tdk mau menyinggung hatinya, apalagi jika bs berakibat pd putusnya persahabatan kami, saya tdk bisa mengatakan yg sebenarnya bhw saya merasa ajaran aliran Maitreya itu bukan Buddhis. Juga dlm keluarga kami ada paman yg menjd pandita di sana shg rasanya tdk etis mengatakan hal demikian (Sang paman jg menanyakan knp tdk dtg lg ke vihara wkt ia berkunjung ke rumah saat sincia).

Bagaimana saya hrs bersikap thd mereka, satu teman baik, satu keluarga sendiri?

Kemudian dlm wkt dekat mereka akan mengadakan bazar vegetarian dan membutuhkan bantuan tenaga. Biasanya tiap tahun saya bantu. Saya pikir ya utk membantu2 kegiatan mereka toh gak masalah. Tetapi dlm Dhammapada Atthakatha ada kisah ttg bhikkhu yg bergaul dg para pengikut Devadatta & sering mengunjungi vihara mereka; walau sang bhikkhu tdk menganut ajaran mereka, Sang Buddha tetap menegurnya dg alasan org2 akan menganggap bhikkhu tsb pengikut Devadatta. Bgmn menurut teman2 se-Dhamma? Apakah kita jg tdk boleh membantu kegiatan vihara mereka?

Pages: 1 2 3 4 5 6 [7] 8 9 10
anything