From: "Michael suswanto" <msuswanto [at] ...>
www.samaggi-phala.or.idForum Tanya Jawab
Dari: Sugi, Semarang
Namo Buddhaya, Namo Buddhaya,
Bhante, di Agama Buddha kan ada 2 latihan meditasi Samatha dan Vipassana
Bhavana. Apakah perlu setelah mencapai Jhana lewat samatha baru seseorang
meditator Buddhist baru berlanjut ke Vipassana atau apakah boleh langsung
saja melatih Vipassana? Sebagai umat awam, apa saran metoda meditasi dari
Bhante untuk kita melatih meditasi tiap hari di rumah?
Anumodana
Jawaban:
Mengembangkan Vipassana dapat dikerjakan tanpa harus mencapai Jhana
terlebih dahulu. Namun, kalau seseorang hendak mencapai kesucian, maka
hendaknya ia mengembangkan Jhana terlebih dahulu sebelum Vipassana. Uraian
tentang hal ini dapat dijumpai pada kotbah Sang Buddha yang terdapat dalam
Mahamalunkhyaputtasuttam.
Sebagai seorang umat awam yang tinggal dalam masyarakat, ia sebaiknya
mengembangkan latihan konsentrasi setiap pagi dan sore dengan menggunakan
obyek pernafasan. Kemudian, sepanjang hari hendaknya selalu melatih
kesadaran dengan selalu mengucapkan pertanyaan dalam hati: SAAT INI SAYA
SEDANG APA? Dengan demikian, ia akan selalu menyadari pada saat bekerja,
berjalan, berbicara dan sebagainya.
Semoga saran ini dapat memberikan manfaat.
Salam metta,
B. Uttamo
===================================
HUDOYO:
Michael, tanpa mengurangi hormat saya pada YM Bhante Uttamo, saya tidak
sependapat dengan cara beliau yang mengacu pada SATU sutta saja, dari
seluruh isi Tipitaka Pali dan kitab-kitab Komentarnya, untuk memahami
ajaran Sang Buddha tentang meditasi untuk mencapai pembebasan. Apalagi
dalam masalah perlu-tidaknya jhana untuk mencapai pembebasan; kita sudah
tahu bahwa para bhikkhu guru meditasi sendiri berbeda pendapat mengenai
masalah ini sejak ribuan tahun.
Di dalam Maha-malunkyaputta-sutta, Majjhima-nikaya, Sang Buddha menguraikan
kepada YM Ananda & bhikkhu-bhikkhu lain cara mencapai pembebasan dari
kelima belenggu pertama (menjadi Anagami). Jalannya ialah: sila -> jhana 1
-> patahnya kelima belenggu pertama (menjadi Anagami). Bisa juga melalui
jhana 2 mencapai patahnya kelima belenggu pertama (menjadi Anagami); atau
melalui jhana 3, ... dst ... sampai jhana 7, untuk mencapai patahnya kelima
belenggu pertama (menjadi Anagami).
Sutta ini sering dipakai oleh guru vipassana yang menyatakan bahwa jhana
(sekurang-kurangnya jhana pertama) perlu untuk mencapai pembebasan. Namun
jangan lupa, di akhir sutta itu ada satu paragraf yang sering orang
kelewatan tidak membacanya. Dalam paragraf terakhir itu, YM Ananda bertanya
kepada Sang Buddha:
"Venerable sir, when this is the path and the method for the destruction of
the five lower bonds for the sensual world, why does a certain bhikkhu talk
of a release of mind and a release through wisdom? Ananda, that is the
difference in the maturity of the mental faculties."
("Bhante, bila ini jalan dan cara untuk memusnahkan kelima belenggu pertama
dari alam indra, mengapa ada bhikkhu yang bicara tentang pembebasan batin
(ceto-vimutti) dan pembebasan melalui kearifan (pannya-vimutti)? Ananda,
itulah perbedaan di dalam kematangan daya-daya batin.")
"Ceto vimutti" (pembebasan batin) adalah ungkapan baku untuk menyatakan
pembebasan melalui jhana, sedangkan "pannya-vimutti" (pembebasan melalui
kearifan) adalah ungkapan baku untuk menyatakan pembebasan melalui
vipassana murni (tanpa melalui jhana). Ternyata bahwa perbedaan pendapat
mengenai perlu-tidaknya jhana untuk mencapai pembebasan telah ada sejak
zaman Majjhima-nikaya dihafalkan orang. Di situ Sang Buddha tidak
membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain, melainkan beliau
menjelaskan sebab sampai terjadi perbedaan pendapat tersebut, ialah karena
manusia berbeda 'daya-daya batinnya' (yang dimaksudkan di sini ialah
kemampuan mencapai jhana). Tetapi tidak adanya penyangkalan dari Sang
Buddha menyiratkan bahwa ketidakmampuan mencapai jhana bukan menjadi
penghalang untuk mencapai pembebasan melalui kearifan (pannya-vimutti).
Demikianlah terbukti bahwa perbedaan paham tentang perlu-tidaknya jhana
untuk mencapai pembebasan telah ada sejak zaman Sang Buddha, atau
setidak-tidaknya sejak Mahamalunkyaputta-sutta dihafalkan dan diterima
secara luas.
~~~~~~
Sebaliknya, para guru vipassana yang mengajarkan bahwa, sekalipun
konsentrasi perlu, tapi jhana tidak diperlukan untuk mencapai pembebasan,
pun mengacu pada sutta-sutta tertentu dari Tipitaka Pali. Di sini akan saya
ajukan beberapa saja, kebanyakan dari Samyutta-nikaya:
*** (1) Bhikkhu-sutta, Ambapaa.li-vagga, Satipa.t.thaana-sa.myutta,
Sa.myutta-nikaaya:
"Tasmaatiha tva.m bhikkhu aadimeva visodhehi kusalesu dhammesu. Ko ca aadi
kusalaana.m dhammaana.m: siila~nca suvisuddha.m, di.t.thi ca ujukaa. Yato
kho te bhikkhu, siila.m suvisuddha.m bhavissati, di.t.thi ca ujukaa, tato
tva.m bhikkhu, siila.m nissaaya siile pati.t.thaaya cattaaro
satipa.t.thaane tividhena bhaveyyaasi. [...] A~n~nataro ca pana so bhikkhu
arahata.m ahosiiti."
("O, bhikkhu, sempurnakanlah akar-akar kebaikan. Dan apakah akar-akar
kebaikan? Itulah siila yang benar-benar murni, serta pandangan benar. Para
bhikkhu, bila siila kalian telah murni, serta pandangan kalian benar,
setelah itu, para bhikkhu, dengan bertopang pada siila, berlandaskan siila,
kalian dapat mengembangkan empat landasan perhatian (cattaaro
satipa.t.thanaa). [...] Dan bhikkhu itu pun menjadi satu lagi di antara
para Arahat.")
Di sini sama sekali tidak disebut-sebut tentang jhana! Dan juga tidak
disebut-sebut tentang ketiga tingkat pembebasan sebelum Arahat.
*** (2) Uttiya-sutta, Naalanda-vagga, Satipa.t.thaana-sa.myutta,
Sa.myutta-nikaaya:
"Tasmaatiha tva.m, Uttiya, aadimeva visodhehi kusalesu dhammesu. Kocaadi
kusalaana.m dhammaana.m: siila~nca suvisuddha.m, di.t.thi ca ujukaa. Yato
kho te, Uttiya, siila~nca suvisuddha.m bhavissati, di.t.thi ca ujukaa. Tato
tva.m, Uttiya, siila.m nissaaya siile pati.t.thaaya cattaaro
satipa.t.thaane bhaaveyyaasi. [...] A~n~nataro ca panaayasmaa Uttiyo
arahata.m ahosiiti."
(Teks ini persis sama seperti Bhikkhu-sutta di atas, hanya kata 'bhikkhu'
diganti dengan 'Uttiya' (nama seorang Arahat).)
Pola yang sama kita temukan pula dalam sutta-sutta berikut:
*** (3) Bahiya-sutta, Naalanda-vagga, Satipa.t.thaana-sa.myutta,
Sa.myutta-nikaaya;
*** (4) Duccarita-sutta, Amata-vagga, Satipa.t.thaana-sa.myutta,
Sa.myutta-nikaaya.
Jelas di sini, bahwa para guru vipassana yang mengajarkan bahwa jhana tidak
diperlukan untuk pembebasan pun menyandarkan pendapat mereka pada kitab
suci Tipitaka Pali sendiri.
~~~~~
Michael, mengapa saya tidak sependapat dengan cara YM Bhante Uttamo
menampilkan ajaran Sang Buddha tentang meditasi, khususnya mengenai masalah
perlu-tidaknya jhana untuk mencapai pembebasan?
Oleh karena di berbagai sutta kita melihat adanya variasi yang cukup besar
dalam ajaran--yang dipercaya berasal dari mulut Sang Buddha--tentang
meditasi. Ini akan menimbulkan kesimpulan yang simpang-siur dan
pertentangan yang tidak perlu apabila orang hanya mengacu pada satu-dua
sutta saja dari sekian banyak sutta yang membahas meditasi. Saya ambil tiga
contoh saja:
(1) Di dalam Mahamalunkyaputta-sutta, secara eksplisit dikatakan bahwa
tingkat Anagami dapat dicapai sekurang-kurangnya melalui jhana pertama.
Dapat pula dicapai melalui jhana-jhana di atasnya, sampai jhana ketujuh.
(2) Di dalam Samannaphala-sutta, ketika Sang Buddha menguraikan kelebihan
seorang samana (petapa), terdapat serangkaian tahapan latihan yang secara
implisit menyatakan bahwa pembebasan (Arahat) tercapai melalui kesaktian
keenam, yang disebut asavakkhaya-abhi~n~na. Tahapannya adalah sebagai berikut:
Sila -> menjaga indra -> perhatian penuh (sati-sampajanna = vipassana) ->
ketenteraman -> pembebasan dari kelima rintangan batin -> jhana pertama *
... sampai ... jhana keempat * -> pencerahan vipassana * -> kemampuan
menciptakan tubuh lain dengan pikiran * -> kemampuan gaib (memperbanyak
diri, melenyapkan diri, menembus dinding, gunung dsb, masuk ke dalam tanah,
terbang di angkasa, menyentuh bulan dan matahari, mencapai alam-alam Brahma
* -> telinga batin (mampu mendengar suara manusia dan dewa yang jauh maupun
dekat) * -> mampu mengetahui isi batin orang lain * -> mampu mengetahui
kehidupan-kehidupan yang lampau * -> mata batin (mampu melihat lahir dan
matinya makhluk-makhluk di berbagai alam * -> padamnya arus kotoran batin =
menjadi Arahat *. (Tanda
menunjukkan bahwa tahap yang bersangkutan
'lebih menyenangkan' dan 'lebih tinggi' daripada tahap sebelumnya.)
Di sini tidak dijelaskan secara eksplisit apa syarat minimal untuk mencapai
tingkat Arahat, tapi penyebutan 'asavakkhaya-abhi~n~na' untuk nibbana
secara implisit menunjukkan bahwa pembebasan terakhir itu adalah salah satu
bentuk kekuatan gaib (abhi~n~na) yang hanya bisa dicapai setelah
tercapainya jhana keempat.
(3) Di dalam Culasaropama-sutta, Sang Buddha menguraikan tahap-tahap
pencapaian pembebasan, sebagai berikut:
Sila -> Konsentrasi (samadhi, tanpa menyebut jhana) -> pengetahuan &
pencerahan (nyana-dassanam) -> jhana pertama -> ... [dst sampai] ... jhana
kedelapan -> berhentinya persepsi dan perasaan (sannya-vedayitam-nirodham),
di atas jhana ke delapan -> asava parikkhina (berakhirnya asava = mencapai
Nibbana = Arahat).
Di sini secara eksplisit jelas dinyatakan bahwa Nibbana (Arahat) tercapai
melalui keadaan yang disebut berhentinya persepsi dan perasaan (disebut
juga nirodha-samapatti), yang baru bisa dialami setelah mencapai jhana
kedelapan!
(Catatan: Dalam salah satu posting dulu saya pernah menulis artikel yang
menampilkan dugaan saya bahwa Culasaropama-sutta merupakan rekayasa
bhikkhu-bhikkhu belakangan dan adanya petunjuk-petunjuk struktural bahwa
sutta itu merupakan gabungan dari dua sumber tradisi meditasi yang berbeda
di kalangan bhikkhu-bhikkhu Theravada. Pada akhir sutta ini secara
eksplisit disebut bahwa intisari kehidupan suci adalah 'ceto-vimutti',
istilah yang digunakan untuk menyatakan bahwa pembebasan tercapai melalui
jhana.)
~~~~~
Di lain pihak, di samping sutta-sutta yang menampilkan jhana sebagai salah
satu faktor pembebasan, di atas telah ditampilkan beberapa sutta yang
berasal dari Samyutta-nikaya, di mana jhana tidak disebut-sebut sebagai
faktor pembebasan. Bahkan di dalam Bahiya-sutta, Udana, Sang Buddha
mengajarkan vipassana murni kepada petapa Bahiya (yang bukan siswa beliau)
tanpa menyebut-nyebut Sila!
Suatu fakta menarik yang perlu dicatat, ialah bahwa sutta-sutta yang tidak
menyebutkan tentang jhana secara teknis pada umumnya berasal dari
sutta-sutta pendek dari Samyutta-nikaya, Udana dan Itivuttaka, yakni
kumpulan sutta yang pada umumnya berusia lebih tua daripada sutta-sutta
panjang di dalam Digha-nikaya dan Majjhima-nikaya. Di dalam sutta-sutta
pendek ini, pada umumnya belum ditemukan sistematika baku dari ajaran Sang
Buddha yang terperinci seperti Empat Kebenaran Suci, Jalan Suci Berunsur
Delapan, dan istilah-istilah teknis seperti jhana, paticcasamuppada, satta
bojjhanga, dasa samyojana, dsb dsb. Di sini kita bisa berspekulasi, apakah
sebenarnya yang diajarkan oleh Sang Buddha SEBELUM tersusunnya DOKTRIN
Agama Buddha baku yang kita kenal sekarang (Buddhisme pra-doktrinal). (Tapi
bagi seorang pemeditasi vipassana, spekulasi seperti itu tidak lagi
relevan, karena doktrin-doktrin agama apa pun, termasuk doktrin Agama
Buddha, harus dipahami sebagai tidak lebih dari 'bentuk-bentuk pikiran' dan
bukan kenyataan saat kini.)
Bagaimanakah sampai terjadi variasi yang begitu besar dalam "metode"
meditasi untuk mencapai pembebasan yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam
berbagai kesempatan? Saya pribadi berpendapat bahwa hal ini hanya bisa
dijelaskan apabila kita ingat bahwa:
(1) Sang Buddha mengajarkan meditasi sesuai dengan tingkat kematangan batin
pendengarnya, dengan demikian tidak bisa dihindarkan adanya "perbedaan"
ajaran meditasi yang diberikan dalam berbagai kesempatan;
(2) sejak awal agama Buddha telah ada dua tradisi meditasi vipassana yang
berbeda: yang satu berangkat dari pencapaian jhana, dan yang lain tidak
mengupayakan pencapaian jhana. Adanya dua tradisi kuno ini terlihat dari
adanya dua istilah kembar, 'ceto-vimutti' dan 'pannya-vimutti', yang sering
kali terdapat bersama-sama, namun dalam sutta-sutta tertentu hanya berdiri
sendiri.
~~~~~
Jadi, jika kita ingin mengetahui meditasi bagaimana sebenarnya yang
diajarkan oleh Sang Buddha untuk mecapai pembebasan, kita tidak bisa hanya
bersandar pada satu-dua sutta tertentu saja, yang hanya akan menimbulkan
kesimpulan yang bias. Orang perlu mempelajari semua sutta yang relevan, dan
itu pun masih terbentur pada kajian kritis (scriptural criticism), yakni
mana-mana dari isi kitab suci yang benar-benar berasal dari mulut Sang
Buddha. Jadi sebenarnya bukan pekerjaan mudah bagi kita yang terpisah 2500
tahun dari zaman Sang Buddha.
Tetapi, selain kitab suci Tipitaka Pali, sebetulnya masih ada sumber lain
yang dapat dikaji pula, yakni kitab-kitab Komentar dan Sub-Komentar, antara
lain Visuddhi-magga. Sekalipun kitab-kitab ini berjarak sekitar 1000 tahun
dari zaman Sang Buddha, setidak-tidaknya menggambarkan apa yang dipahami
dan diyakini oleh para guru meditasi pada zaman itu yakni 1500 tahun lebih
dekat kepada zaman Sang Buddha daripada zaman kita.
Namun, sayang pada zaman modern ini, ada guru-guru meditasi tertentu yang
mengecilkan arti Visuddhi-magga dalam menjelaskan ajaran meditasi
Theravada. Ini disebabkan karena YM Buddhaghosa, yang telah mengkaji isi
Tipitaka Pali mungkin jauh lebih terperinci daripada yang bisa kita buat,
telah membuat skema latihan meditasi Theravada secara terperinci, di mana
dinyatakan bahwa orang bisa mencapai pembebasan DENGAN atau TANPA melalui
jhana. Mereka yang mencapai pembebasan dengan melalui jhana disebut
"samatha-yanika", sedangkan mereka yang mencapai pembebasan tanpa melalui
jhana disebut "vipassana-yanika" atau "suddha-vipassaka". Dengan demikian
ajaran Visuddhi-magga tidak sejalan dengan mereka yang berpendapat bahwa
jhana mutlak perlu untuk pembebasan.
~~~~~
Saya melihat kontroversi antara kedua sudut pandang ini paralel dengan
kontroversi antara sikap EKSKLUSIF dan sikap INKLUSIF dalam wacana
keagamaan. Yang eksklusif berkata: "Harus lewat sini, tidak ada jalan lain;
di luar ini tidak ada keselamatan!" Yang inklusif berkata: "Lewat jalan
mana pun bisa." Buktinya? Buktinya terletak di dalam pencapaian kita
masing-masing, bukan di dalam kitab suci, bukan di dalam ajaran guru-guru
meditasi; jadi bukan untuk dipertentangkan.
Salam,
Hudoyo
PS: Guru vipassana kenamaan, alm.YM Mahasi Sayadaw Agga Maha Pandita
bersama murid-murid beliau mengajarkan bahwa pembebasan dapat dicapai tanpa
melalui jhana. Begitu pula diajarkan oleh guru-guru meditasi kenamaan lain
yang telah wafat, seperti alm Ajahn Chah, alm. Buddhadasa Mahathera dll.
Sedangkan Meditasi Mengenal Diri (MMD) saya ajarkan mengikuti tradisi
Mahasi Sayadaw dengan pencerahan-pencerahan dari ajaran J Krishnamurti.