//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda  (Read 7743 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline marioteguh

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 285
  • Reputasi: 15
Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« on: 21 April 2013, 12:36:43 PM »
Quote
Kartini ‘Bikinan’ Belanda
dari: Zen RS Blog


Sebagai narasi, Kartini memang dibikin oleh orang-orang Belanda. Dan inilah salah satu soal (atau "sial"?) utama yang merongrong narasi Kartini. Apa bisa kita kenal Kartini jika Belanda tak membuatkan narasi tentangnya?

Kartini sudah dikenal oleh banyak orang Belanda sebelum ajal menjemputnya pada 17 September 1904. Pembicaraan tentangnya sudah muncul sejak dia mulai menulis di beberapa surat kabar — tentu saja dalam bahasa Belanda.

Ketika dia meninggal, beberapa surat kabar memberitakannya. Bagaimanapun, Kartini sudah menjadi figur. Setidaknya dia adalah istri seorang bupati — istri utama Raden Djojoadiningrat, tapi bukan istri yang pertama. Tapi waktu itu belum ada gelagat Kartini akan menjadi sebuah narasi yang menonjol. Beberapa surat kabar hanya menulis ala kadarnya tentang kematian Kartini.

Saya ambil contoh berita di surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad dan Het Niuews van den Dag voor Nederlandsch-Indie. Pada hari yang sama, 31 Desember 1904, dua surat kabar itu menurunkan daftar orang-orang yang meninggal di tahun 1904. Di situ Kartini disebut dengan nama "Raden Ajoe Djojo Adiningrat Kartini, echgenoote van den Regent van Rembang".

Narasi Kartini mulai dianyam canggih menyusul penerbitan surat-surat Kartini yang diterbitkan oleh JH Abendanon pada 1911. Surat-surat itu diterbitkan di Belanda di bawah judul "Door Duisternis Tot Licht".

Buku itu dengan cepat direspons publik, mula-mula di Belanda lalu merembet ke Hindia-Belanda. Ulasan buku itu banyak ditulis di surat kabar di Belanda, iklan-iklan tentang buku itu tersebar di banyak surat kabar. Saya menemukan sepucuk iklan yang menjual buku Kartini di surat kabar De Tijd (The Times) pada Juni 1911.

Respons positif atas penerbitan buku itu bisa dirangkum dalam kalimat: "Lihatlah, kami orang Belanda juga bisa melahirkan pribadi pintar dan tercerahkan". Belanda memang berkepentingan memunculkan pribadi maju dari negeri jajahan demi kepentingan kampanye politik etis mereka, untuk membuktikan bahwa pemerintah kolonial mereka tidak kalah dengan Inggris di India dalam hal memajukan rakyat terjajah.

Itulah sebabnya, dua tahun sejak penerbitan surat-surat Kartini, orang-orang Belanda yang sedang giat-giatnya mempromosikan gerakan memajukan rakyat terjajah melalui pendidikan segera membuat Yayasan Kartini, yang salah satu proyeknya adalah mendirikan sekolah Kartini di Semarang. Dan peristiwa itu diliput secara besar-besaran oleh surat kabar bergengsi di Belanda.

Saya menemukan arsip surat kabar Der Leeuwarder Courant (surat kabar yang terbit sejak 1752) yang melaporkan tentang Sekolah Kartini pada edisi Minggu, 21 Juli 1913. Tak tanggung-tanggung, laporan berjudul "Kartini Scholen" itu nyaris memakan satu halaman penuh — dan itu diterbitkan di halaman muka. Di sana dituliskan betapa Yayasan Kartini akan menjadi organisasi menyebar di seluruh negeri untuk memajukan pendidikan di negeri terjajah.

Sejak itulah Kartini sebagai narasi mulai mencuat. Buku surat-surat Kartini diterbitkan terus-menerus dan juga terus diperbincangkan. Yayasan Kartini di Belanda bekerja dengan bagus untuk mempopulerkan narasi tentang Kartini ini.

Dan "wabah narasi Kartini" pun dengan cepat menyebar ke Hindia Belanda, tanah kelahiran Kartini. Saya menemukan secarik iklan di surat kabar De Sumatra Post edisi 28 Januari 1914 yang berisi promosi berbagai jenis kalender. Salah satu kalender yang dijual adalah "Raden Kartini Kalender" yang dijual seharga 1,75 gulden.

Jadi, jauh sebelum artis-artis cantik nan molek (kadang dalam pose seksi di atas motor/mobil) dijadikan model kalender seperti yang sering kita lihat sekarang, Kartini sudah lebih dulu muncul dalam kalender.

Iklan ini jelas menunjukkan narasi Kartini sudah hadir bukan hanya secara tekstual, tapi juga visual. Soal kalender Kartini inilah yang luput dari penelitian Petra Mahy, peneliti dari Monash University yang melacak narasi Kartini dalam media cetak. Narasi Kartini secara visual sudah ada sejak 1914.

Dan itu terus berlanjut. Pada parade perayaan 50 tahun Ratu Wilhelmina, organisasi pemuda Jong Java menampilkan episode Kartini di sebuah truk/gerobak besar dengan Sujatin Kartowijono (aktivis perempuan yang kelak ikut menginisiasi Kongres Perempuan pertama) memerankan sosok Kartini. Sujatin saat itu mengenakan kebaya dan sanggul, seperti potret Kartini yang kita kenal sekarang, dan itulah barangkali awal mula citra Kartini sebagai perempuan Jawa dimulai secara visual.

Sejak itu, dalam semua perayaan mengenang Kartini di tahun-tahun berikutnya, potret besar Kartini yang berkebaya dan bersanggul tak pernah absen dipajang.

Narasi Kartini semakin kokoh dalam tatanan sosial pada 1929. Tahun itu tepat 50 tahun kelahiran Kartini. Dan untuk merayakannya banyak sekali acara mengenang Kartini. Di Sekolah Perempuan van Deventer di Solo, acara itu dihadiri oleh banyak pejabat penting. Di Purworejo, seperti dilaporkan surat kabar Bataviasch Nieuwhblad edisi 16 April 1929, organisasi Wanito Oetomo menggelar acara mengenang 50 tahun Kartini. Salah satu acaranya adalah dengan mengheningkan cipta selama semenit.

Perayaan 60 tahun Kartini pada 1939 juga dirayakan, kali ini bahkan di luar Jawa. Organisasi Kaoetamaan Istri di Medan menggelar acara yang sama. Seperti ditunjukkan Petra Mahy, organisasi Kaoetamaan Istri bahkan menerbitkan majalah edisi khusus yang membahas Kartini dan mengklaim bahwa perayaan Hari Kartini sudah dirayakan di mana-mana.

Surat kabar De Indische Courant edisi 25 April 1939 menurunkan laporan berjudul "Kartini Herdenking" (Perayaan Kartini). Perayaan 60 tahun Kartini disebut-sebut disokong oleh pemerintah kolonial dengan gegap gempita.

Kilas balik kemunculan dan penahbisan Kartini sebagai narasi yang saya lakukan ini bisa menjelaskan bagaimana Kartini adalah "anak kesayangan semua orang" bahkan sejak era kolonial Belanda.

Parafrase "anak kesayangan semua orang" ini perlu digarisbawahi untuk menegaskan kekhususan posisi Kartini dalam historiografi Indonesia.

Kenapa? Karena setelah Indonesia merdeka, narasi ketokohan Kartini yang dibikin Belanda ini tidak dihapuskan oleh para intelektual Indonesia. Tidak banyak sosok yang dipuji dan disokong sedemikian rupa oleh pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia merdeka sekaligus.

Padahal, salah satu fase penting dalam perkembangan ilmu sejarah di Indonesia adalah proyek nasionalisasi historiografi. Dalam proyek ini, dekonstruksi terhadap sejarah Hindia Belanda dilakukan. Apa yang dulu dalam sejarah kolonial dianggap sebagai pengacau dan perusuh (misalnya Diponegoro), dalam proyek nasionalisasi historiografi ini diputarbalikkan sedemikian rupa menjadi para pahlawan penuh jasa dan sarat pahala.

Tetapi Kartini berbeda. Kartini tetap diperlakukan secara hormat walau pun semua tahu narasi Kartini ini juga dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial dalam kampanye keberhasilan politik etis mereka.
 
Yang dilakukan oleh para intelektual Indonesia pasca-kolonial bukan menghapuskan narasi Kartini, tapi mengambilalihnya, lantas memodifikasi sedemikian rupa dan ujung-ujungnya sama: Kartini semakin kokoh sebagai narasi.

Inilah Kartini yang dibentuk, disunting dan direka-ulang oleh mereka yang merasa berkepentingan terhadapnya. Dan Kartini tak bisa melawan atau menanggapi pembentukan narasi tentangnya. Dia sudah terbujur kaku di kuburnya. Yang tersisa tinggal cerita — dan dalam hal Kartini, ini jenis cerita yang belum usai.

Offline marioteguh

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 285
  • Reputasi: 15
Re: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« Reply #1 on: 21 April 2013, 12:37:38 PM »
Selamat Hari Kartini bagi semua sahabat-sahabat wanita saya di Dhammacitta.  ;D

Offline neutral

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.510
  • Reputasi: 89
  • Gender: Female
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« Reply #2 on: 21 April 2013, 01:09:13 PM »
kampanye belanda? gpp deh, yg penting semangatnya  ;D

tp sebenarnya jauh sblm inspirasi dr Ibu Kartini, sudah banyak wanita yg bisa mewakili bangkitnya dan emansipasi wanita..tp efek kampanye dan promosi emang lebih membahana  ;D

btw, terima kasih om mario atas sharing-nya dan selamat hari kartini for u :hammer:

smoga narasi "Kartini" tidak hanya makin kokoh setaon sekali, tp setiap harinya.

hidup kartini!
Be it one day or a hundred day..Say good bye..it's hearbeat..no one ever prepared

Offline marioteguh

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 285
  • Reputasi: 15
Re: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« Reply #3 on: 21 April 2013, 01:13:01 PM »
Artikel sambungannya oleh penulis yang sama

Quote
Kartini Sebagai "Kuntilanak Wangi"
dari Zen RS Blog


Tidak ada kalimat "ibu kita Kartini" dalam lirik lagu yang ditulis oleh WR. Soepratman.

Setelah meliput Kongres Perempuan I yang digelar di Yogyakarta pada 1928, WR. Soepratman terinspirasi untuk menulis lagu tentang Kartini. Soepratman menulis lirik yang bunyinya (dan judulnya) "Raden Ajeng Kartini....", bukan "Ibu kita Kartini...".

Di masa Sukarno, judul dan lirik itu diubah menjadi "Ibu kita Kartini". Pengubahan judul dan lirik lagu itu tak lain dan tak bukan untuk menghilangkan elemen feodalisme dari narasi Kartini -- dan dengan itulah sebenarnya dilakukan sebentuk kekerasan terhadap kisah hidup Kartini.

Feodalisme dan kolonialisme adalah dua simpul yang jadi lawan utama gerakan-gerakan kiri pasca Indonesia merdeka sampai kejatuhan Soekarno. Menghapuskan embel-embel Raden Ajeng pada Kartini adalah bagian dari pertarungan politik dan ideologi di masa itu (lihat bagian ketiga artikel saya).

Yang tidak pernah diduga oleh Sukarno dan gerakan-gerakan kiri di masa itu adalah Orde Baru dengan tidak kalah canggihnya mengambil-oper dan memodifikasi narasi "ibu kita Kartini" ini untuk mengkreasi tafsir mereka terhadap Kartini dan perempuan Indonesia.

Perlu dicatat lebih dulu bahwa Sukarno dan gerakan kiri di masa itu juga berkepentingan dengan wacana "ibu". Di tengah kampanye anti-nekolim yang jadi kosa kata utama Sukarno masa itu, "ibu" diletakkan sebagai bagian dari gerakan revolusioner yang bukan hanya sangat sadar politik, tapi juga progresif.

Lagi-lagi Pramoedya ambil bagian dalam pertarungan politik-ideologi ini. Pada 1956, dia menerjemahkan dan menerbitkan novel Maxim Gorky yang berjudul "Ibunda". Novel ini menceritakan seorang janda yang anaknya menjadi aktivis bawah tanah. Alih-alih melarang, sang ibu malah menyokong kegiatan anaknya dan bahkan ikut terlibat dalam aktivitas revolusioner.

Novel ini bisa menggambarkan bagaimana bandul politik saat itu memandang peran ibu: sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan menuntaskan revolusi yang belum selesai. Ibu yang mau ke luar dari kasur, dapur dan sumur untuk ikut memanggul tugas revolusi.

Orde Baru tidak menghapus konsep "ibu" dari narasi Kartini, tapi memodifikasinya sedemikian rupa dengan cara mengirim "ibu" dan Kartini kembali ke dalam rumah, fokus mengurus kasur, dapur, sumur, dan mendampingi anak dan suami. Jika pun harus ke luar rumah untuk beraktivitas/berorganisasi, itu harus bersama organisasi PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) atau Dharma Wanita.

Tidak ada alternatif lain. Gerwani sudah dihancurkan secara fisik maupun organisasi. Secara fisik anggotanya ditangkap, dipenjara dan banyak mengalami pelecehan seksual di dalam tahanan. Secara organisasi dilarang dan dicitrakan sebagai lonte-lonte tak tahu adat.

Sementara Perwari, organisasi yang dipimpin seorang progresif bernama Soejatin Kartowijono, yang sebelumnya sangat keras menentang poligami dan gigih berbicara tentang pemiskinan perempuan, pelan tapi pasti dimandulkan. Dan pada 1975, secara resmi Perwari "dikandangkan" dengan dijadikan organisasi di bawah Golkar.

Narasi Kartini pun mengalami penyuntingan untuk yang kesekian kalinya. Semua teks resmi negara, termasuk yang menjadi bahan ajar di sekolah, membabat habis kisah-kisah tragis Kartini. Tidak ada cerita tentang Kartini sebagai korban poligami. Di buku ajar saat itu, mustahil mendapatkan kisah bagaimana Kartini takluk secara tragis terhadap poligami ini.

Ini bisa dimaklumi karena Orde Baru, tentu saja berkat campur tangan Sang Nyonya Besar Siti Hartinah, sangat membenci poligami. Pemerintah mempersulit bagi pegawai pemerintah yang ingin berpoligami. Banyak syarat yang harus dipenuhi: mulai izin dari istri pertama, surat keterangan penghasilan dan izin dari pejabat serta atasan.

Maka membabat habis cerita Kartini sebagai korban poligami menjadi keharusan. Apa kata dunia jika pahlawan yang jadi simbol ibu yang sempurna itu justru menjadi korban poligami yang saat itu sangat dibenci Sang nyonya Besar?

Maka jika Gerwani dan organisasi Women's International Democratic Federation pernah menyandingkan potret Kartini dengan Clara Zetkin (perempuan komunis Jerman), di masa ini potret Kartini disandingkan dengan Sang Nyonya Besar.

Suharto menyempurnakan pensejajaran antara Kartini dengan istrinya itu pada 30 Juli 1996 dengan mengeluarkan Kepres yang menetapkan Siti Hartinah sebagai pahlawan nasional. Bayangkan: wafat pada 28 April 1996, 32 hari kemudian almarhum langsung jadi Pahlawan Nasional.

Inilah Kartini yang disunting dan dimodifikasi oleh Orde Baru. Kartini yang sepenuhnya diletakkan sebagai ibu", bukan perempuan. Dan dengan itulah posisi perempuan dikonstruksi semata sebagai pendamping lelaki/suami, sebagai pengasuh anak dan pengayom keluarga.

Tidak ada "perempuan", yang ada hanyalah "ibu" dan "istri". Maka perempuan yang baik haruslah "ibu yang baik" dan "istri yang setia". Perempuan yang berkeliaran di jalanan untuk menuntut hak adalah perempuan binal yang melanggar kodrat dan fitrahnya -- atau bahkan disudutkan sebagai penerus lonte-lonte Gerwani.

Inilah yang terjadi dengan Karlina Leksono, dkk., dari kelompok Suara Ibu Peduli yang berunjukrasa di Bunderan HI pada awal 1998. Mereka memprotes kenaikan harga sembako dan harga susu. Mereka ditangkap karena dianggap mengganggu ketertiban umum.

Julia Suryakusuma menyebut konsep perempuan ala Orde Baru ini sebagai "ibuisme negara". Dalam konsep ini, perempuan diletakkan melulu dalam fungsi "reproduksi" dan "melayani".

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) mengkanonisasi (standarisasi) perempuan itu berdasar 5 fungsi: meneruskan keturunan, sebagai ibu yang mendidik anak-anaknya, sebagai pengurus keluarga, penambah penghasilan suami, dan anggota masyarakat.

Fungsi kelima sebagai anggota masyarakat ini oleh Orde Baru distandarkan dengan keterlibatan dalam organisasi-organisasi resmi, seperti PKK dan Dharma Wanita. Dan dengan itulah, perempuan dan ibu dipaksa menjadi bagian operasi kekuasaan guna memobilisasi suara Golkar dalam Pemilu.

Di level elit, biasanya istri dari pejabat-pejabat tinggi, perempuan-perempuan ini menampilkan gaya hidup mewah, dengan pakaian dan perhiasan yang wah dan badan yang semerbak mewangi parfum dari luar negeri. Tiap kali suaminya yang pejabat tinggi bepergian, ke daerah atau ke luar negeri, istri-istri ini ikut wara-wiri. Saskia Weiringa, peneliti spesialis sejarah gerakan perempuan di Indonesia, mengungkapkan bagaimana orang-orang yang tak suka dengan polah itu menyindirnya dengan ejekan "kuntilanak wangi".

Perlawanan terhadap narasi Kartini ala Orde Baru ini bukannya tidak dilakukan. Menariknya, perlawanan ini seringkali mendompleng perayaan Hari Kartini. Saya akan contohkan beberapa.

Pertama, tulisan Prof. Harsja W. Bachtiar pada 1979, "Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita", bukan hanya menggugat penokohan dan mitologisasi Kartini, tapi juga menyebutkan nama-nama lain yang dianggapnya lebih layak: Ratu Tajul Alam Safiatun dari Aceh dan Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan.

Uraian Prof. Harsja itu sampai sekarang masih dikutip oleh siapa pun yang merasa tak setuju dengan penokohan, kepahlawan dan mitologisasi Kartini. Dan, perlu digaris-bawahi: tulisan Prof. Harsja itu diterbitkan dalam rangka mengenang 1 Abad Kartini.

Kedua, banyak demonstrasi dilakukan di akhir-akhir kekuasaan Soeharto dilakukan juga di Hari Kartini. Pada 21 April 1995, para aktivis perempuan berunjukrasa menuntut pembubaran Menteri Peranan Wanita yang dianggap tak berhasil membela kepentingan perempuan.

Pada 21 April 1998, sebulan jelang lengsernya Soeharto, demonstrasi meledak di mana-mana. Mahasiswa memanfaatkan momen Hari Kartini untuk memperluas jangkauan aksinya ke kaum ibu dan perempuan.

Dengan itulah, publik mencoba mengambil-alih monopoli atas narasi Kartini dari genggaman Orde Baru. Dan berhasil.

Itulah sebabnya saya bisa leluasa menulis artikel ini dan itu pula alasannya kenapa Anda, pembaca sekalian, bisa dengan bebas berpendapat tentang Kartini di kolom komentar artikel ini.

Offline shinchan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 507
  • Reputasi: 12
Re: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« Reply #4 on: 21 April 2013, 01:44:37 PM »
Biasanya kalo hari Kartini sekolah shinchan ngadain lomba baju daeerah kk.  ;D

Offline Piggy

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 2
  • Gender: Female
  • (^ .^) ~ salam k'nal.....
Re: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« Reply #5 on: 21 April 2013, 01:57:28 PM »
Selamat Hari Kartini bagi semua sahabat-sahabat wanita saya di Dhammacitta.  ;D

selamat hari kartini juga om super  :)
ngomongin topik ini piggy jadi keingetan lagu belanda "geef mij maar" yg diubah ke indo jadi lagu "nasi goreng"
menurut piggy tante lien adalah seorang perempuan yg mencerminkan teladan kartini  :D
kusala dan akusala citta datang silih berganti pd bathin seseorang bagaikan mendung dan cerah yg datang silih berganti, hal tersebut dapat diatasi dgn samadhi dan perhatian benar........satix3

Offline Sunyata

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.082
  • Reputasi: 52
Re: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« Reply #6 on: 21 April 2013, 01:58:06 PM »
Lalu, om shinchan pakai baju daerah mana?

Offline The Ronald

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.231
  • Reputasi: 89
  • Gender: Male
Re: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« Reply #7 on: 21 April 2013, 02:21:45 PM »
"Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI."

sumber..wiki...

kartini asli bikinan indo kok...
...

Offline sanjiva

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.091
  • Reputasi: 101
  • Gender: Male
Re: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« Reply #8 on: 21 April 2013, 07:07:29 PM »
Dulu pas masih sekolah, gw pernah baca bahwa Kartini itu ternyata cuma jadi istri kesekian dari pak bupati, meninggal sewaktu melahirkan anaknya. 

Juga katanya Kartini itu beragama Buddha, :o  seperti halnya Jendral Gatot Subroto.
«   Ignorance is bliss, but the truth will set you free   »

Offline sanjiva

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.091
  • Reputasi: 101
  • Gender: Male
Re: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« Reply #9 on: 21 April 2013, 07:20:51 PM »
"Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI."

sumber..wiki...

kartini asli bikinan indo kok...

Ga ada yg menulis Kartini itu anak Belanda koq. Tenang aja bro ;D

Yg gw tangkap, sesuai judul artikelnya Kartini 'Bikinan' Belanda (ada tanda kutipnya) adalah kalau Belanda tidak mengekpos surat2 Kartini, Kartini would be nothing.  Karena Belanda yg menerbitkannya menjadi bukulah maka Kartini kemudian dikenal dunia dan orang Indonesia sendiri.  Jaman itu Kartini itu apa sih?  Cuma istri kesekian seorang bupati, mati muda pula. Namanya siapa yg kenal selain ayah-ibunya.  Perang Dunia I aja belum terjadi.

Alasan Belanda mengekpose dan 'mengorbitkan' Kartini sudah kita tahu, yaitu  agar mereka bisa berkata: "Lihatlah, kami orang Belanda juga bisa melahirkan pribadi pintar dan tercerahkan (dari pribumi yg kami jajah). Kamilah yang memberi mereka pendidikan." 

Ini adalah efek positif dari politik etis yang dilakukan Belanda pada waktu itu.  Juga diikuti dengan disekolahkannya anak2 priyayi ke Belanda yang kemudian berkembang menjadi Budi Utomo dan seterusnya.  Bagi yg belum belajar apa itu politik etis waktu sekolah, bisa googling atau cari ke wiki.
«   Ignorance is bliss, but the truth will set you free   »

Offline marioteguh

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 285
  • Reputasi: 15
Re: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« Reply #10 on: 22 April 2013, 01:32:28 PM »
Ga ada yg menulis Kartini itu anak Belanda koq. Tenang aja bro ;D

Yg gw tangkap, sesuai judul artikelnya Kartini 'Bikinan' Belanda (ada tanda kutipnya) adalah kalau Belanda tidak mengekpos surat2 Kartini, Kartini would be nothing.  Karena Belanda yg menerbitkannya menjadi bukulah maka Kartini kemudian dikenal dunia dan orang Indonesia sendiri.  Jaman itu Kartini itu apa sih?  Cuma istri kesekian seorang bupati, mati muda pula. Namanya siapa yg kenal selain ayah-ibunya.  Perang Dunia I aja belum terjadi.

Alasan Belanda mengekpose dan 'mengorbitkan' Kartini sudah kita tahu, yaitu  agar mereka bisa berkata: "Lihatlah, kami orang Belanda juga bisa melahirkan pribadi pintar dan tercerahkan (dari pribumi yg kami jajah). Kamilah yang memberi mereka pendidikan." 

Ini adalah efek positif dari politik etis yang dilakukan Belanda pada waktu itu.  Juga diikuti dengan disekolahkannya anak2 priyayi ke Belanda yang kemudian berkembang menjadi Budi Utomo dan seterusnya.  Bagi yg belum belajar apa itu politik etis waktu sekolah, bisa googling atau cari ke wiki.
Pak Sanjiva bisa menangkap apa yang dimaksudkan dalam dua artikel di atas.  Super sekali.

Offline shinchan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 507
  • Reputasi: 12
Re: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« Reply #11 on: 22 April 2013, 01:36:05 PM »
Lalu, om shinchan pakai baju daerah mana?
shinchan pakai baju kimono kk  :P

Offline marioteguh

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 285
  • Reputasi: 15
Re: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« Reply #12 on: 22 April 2013, 01:39:31 PM »
selamat hari kartini juga om super  :)
ngomongin topik ini piggy jadi keingetan lagu belanda "geef mij maar" yg diubah ke indo jadi lagu "nasi goreng"
menurut piggy tante lien adalah seorang perempuan yg mencerminkan teladan kartini  :D

Ternyata Ibu Piggy sudah seumuran saya.  Super sekali.

Offline neutral

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.510
  • Reputasi: 89
  • Gender: Female
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« Reply #13 on: 22 April 2013, 02:18:36 PM »
shinchan pakai baju kimono kk  :P

emangnya sinchan cewek? pake kimono?  :P
Be it one day or a hundred day..Say good bye..it's hearbeat..no one ever prepared

Offline marioteguh

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 285
  • Reputasi: 15
Re: Kartini ternyata ‘Bikinan’ Belanda
« Reply #14 on: 22 April 2013, 02:59:01 PM »
emangnya sinchan cewek? pake kimono?  :P

Ibu Neutral, yang saya tahu kimono bisa dipakai pria maupun wanita.  Di wiki pun menuliskan mengenai hal itu.

Quote
Kimono
From Wikipedia, the free encyclopedia
The kimono (着物?)[1] is a Japanese traditional garment worn by men, women and children. The word "kimono", which literally means a "thing to wear" (ki "wear" and mono "thing"),[2] has come to denote these full-length robes. The standard plural of the word kimono in English is kimonos,[3] but the unmarked Japanese plural kimono is also sometimes used.