menurut saya bukan itu tujuan dari bertapa.
tujuan hidup bertapa adalah untuk mendapatkan kebahagian, bukan untuk menyiksa diri.
Apakah 'tidak bermain gitar' adalah suatu bentuk penyiksaan diri?
Bagaimana dengan sila 'tidak mendengarkan nyanyian atau melihat tarian/hiburan'? Apa sebabnya disarankan suatu latihan untuk menghindari tarian dan nyanyian atau hiburan2 lainnya?
Saya jawab saja langsung, krn sudah pernah juga dibahas di thread lainnya:
Jawabannya klise dan sangat sederhana: "kita dirundung dukkha karena memanjakan panca indera kita", contoh: seks, makanan yg enak2, shopping, maen game, mabuk2an, drugs, judi, dsbnya.. Aktifitas memanjakan panca indera ini akan menimbulkan suatu 'kemelekatan'. Krn tujuan Ajaran Buddha adalah untuk terbebas dari dukkha, maka hal2 yg memanjakan panca indera harus kita latih untuk dikurangi sehingga pada akhirnya kemelekatan kita berkurang.
Salah satu bentuk latihan yg cukup ringan adalah 'menghindari tari2an, nyanyian dan hiburan2 ringan lainnya'. Kalau bisa hal ini dilatih setiap hari, namun klu tidak, cukuplah dihari2 tertentu saja. Namun, untuk praktikal yg serius (mis: petapa, Bhikkhu, dll) tentu harus dijalankan setiap saat, ketat dan tidak boleh longgar.
Nah, logikanya: 'mendengarkan' saja sudah harus dihindari, apalagi 'memainkannya' kan?
Bertekad untuk tidak mendengarkan lagu2an, apa masuk diakal jika memainkannya? Memainkannya bukankah mendengar juga? Kecuali memakai penutup telinga saat bermain gitar (maksa nyari 'pembenaran')...
Saya ingat cerita riwayat hidup buddha, Siddharta tidak akan pernah jadi Buddha, kalau tidak mendengarkan lagu/nyanyian dari pemusik di pinggir sungai. Jadi, sama sekali tidak ada salahnya musik yang indah, yang membawa kita ke kesadaran, bukan yang sebaliknya.
Jika Siddharta saat itu menikmati lagu sitar tsb, ikut bergoyang2, niscaya Ia takkan sempat merenungkan ke-ekstriman setelan dawai. Bukan menikmati lagunya, namun 'renungannya akan setelan dawai' lah yg membawa manfaat bagiNya.
Jika menikmati alunan musik itu bisa bermanfaat, bukankah lebih baik Ia tinggal diistana saja, tanpa perlu meninggalkan keluarganya dan setiap hari menikmati musik dan nyanyian? Kenapa Ia mesti meninggalkan musik, nyanyian dan tari2an tsb?
Dan apakah mengekspresikan keindahan Dharma dan keagungan Buddha, melalui lagu, tarian dan puisi adalah pelanggaran? Coba baca lebih jelas, apa bunyi winaya itu. Pelanggaran apa yang sudah dilakukan?
Tentu tidak ada 'pelanggaran' dalam Ajaran Buddha. Yg ada adalah 'bermanfaat' atau 'tidak bermanfaat' untuk pengembangan batin.
Demikian juga bagi praktikal Vinya, menyadari bahwa aturan2 tsb ditujukan sebagai suatu bentuk latihan yg bermanfaat bagi batin. Jika dibedah kalimat perkalimat, tentu bisa saja dicari celahnya dan akan memperoleh suatu pembenaran, namun apakah itu tujuannya masuk jalur Ke-bhikkhuan?
Terakhir, untuk meng-ekspresikan keindahan Dhamma, sah2 saja melalui lagu, tarian atau puisi. Namun, sebutan untuk orang ini adalah: Seniman (menikmati / mengekspresikan keindahan).
Sepengetahuan saya, dijalur kebhikkhuan tidak diajarkan (dan tidak dianjurkan) untuk 'mengekspresikan keindahan'.
::