Sambungan:
Loka
Kata Pali Anicca atau Sanskrit Anitya adalah lawan kata dari Nicca (Nitya) yang berarti kekal. Penyelidikan terhadap kata Anicca seperti yang digunakan dalam sutta-sutta dari Tipitaka, dengan jelas menunjukkan bahwa ia digunakan dalam pengertian yang sama dengan Sunna – yang berarti kosong dari kekekalan apa pun. Berdasarkan sutta-sutta awal, dunia ini disebut dunia (loka) karena ia tunduk pada kehancuran (lujjatiti loko). Demikianlah kehancuran, pemisahan, kelenyapan adalah ciri dari Anicca. Loka Sutta dari Samyuttanikaya menyatakan hal ini dengan jelas:
“Kemudian seseorang bhikkhu tertentu mendekati Sang Bhagava... dan berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, dikatakan: ‘dunia, dunia’. Dalam cara bagaimanakah, Yang Mulia, dikatakan: ‘dunia, dunia’?’ ‘Ia mengalami kehancuran, oleh sebab itu ia disebut dunia (Lujjati’ti loko bhikkhu tasma loko’ti vuccati)
Dan apakah yang mengalami kehancuran? Mata (cakkhu), Oh bhikkhu, mengalami kehancuran, bentuk (rupa) mengalami kehancuran, kesadaran mata mengalami kehancuran, kontak-mata mengalami kehancuran, dan apa pun perasaan yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisi... itu juga mengalami kehancuran....”
Dengan demikian, kehancuran juga suatu ciri ketidakkekalan, suatu tanda perubahan, dan oleh sebab itu, ia berarti ketiadaan apa pun yang kekal, bahwa dunia adalah kosong dari substansi apa pun yang kekal. Penggambaran apa dunia itu sendiri menggemakan gagasan Sunna. Demikianlah dalam Samyuttanikaya dikatakan:
“Apakah, teman, yang di dunia di mana seseorang yang adalah seorang yang mengetahui dunia, seorang yang memahami dunia? Mata adalah yang di dunia di mana seseorang yang adalah seorang yang mengetahui dunia, seorang yang memahami dunia. Telinga... hidung... lidah... tubuh... pikiran adalah yang di dunia di mana seseorang yang adalah seorang yang mengetahui dunia, seorang yang memahami dunia. Itulah di dunia di mana seseorang yang adalah seorang yang mengetahui dunia, seorang yang memahami dunia – itu disebut dunia dalam Disiplin Orang Mulia”.
Penggambaran tentang dunia ini menjelaskan bahwa dunia adalah “Sunna” dari apa pun yang tidak berubah. Ia adalah hasil dari persepsi melalui indera-indera, konsepsi melalui pikiran, dan oleh sebab itu, kosong (Sunna) dari substansi apa pun yang kekal, tidak berubah. Dua karakteristik lainnya, yaitu Dukkha dan Anatta juga, ditemukan dalam sifat utama ketidakkekalan (Aniccata). Dikatakan bahwa apa yang adalah Anicca adalah Dukkha (Yadaniccam tam dukkham), dan apa yang adalah Dukkha adalah tanpa suatu diri (Yadaniccam tadanatta). Tujuan mengembangkan suatu pandangan-dunia yang berdasarkan Sunna adalah agar dapat benar-benar memahami sifat dunia dan menyadari bahwa ia adalah “kosong” dari apa pun yang kekal yang kita lekati.
Terdapat banyak contoh lain dalam sutta-sutta awal itu sendiri yang dengan jelas menunjukkan bahwa Sang Buddha sangat banyak menggunakan istilah Sunna kapan pun diperlukan. Sebagai contoh, sutta kepada Dhammadinna adalah contoh yang bagus untuk menggambarkan kenyataan ini. Sutta ini menyatakan bagaimana suatu ketika Sang Buddha berada di Taman Rusa di Isipatana, seorang umat awam bernama Dhammadinna bersama dengan lima ratus orang lainnya mendekati Beliau dan berkata kepada-Nya: “Semoga Sang Bhagava menasehati dan mengajarkan kami dalam suatu cara sehingga dapat membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan kami untuk waktu yang lama.” Atas hal ini Sang Buddha menjawab:
“Dhammadinna, engkau seharusnya melatih dirimu sebagai berikut: dari waktu ke waktu kami akan memasuki dan berdiam dalam kotbah-kotbah yang diucapkan oleh Sang Tathagata yang mendalam (Gambhira), mendalam dalam makna (Gambhirattha), melampaui duniawi (Lokottara), berhubungan dengan kekosongan (Sunnatapatisamyutta). Dengan cara demikian engkau seharusnya melatih dirimu.”
Gambhira dan Gambhirattha
Ini sangat penting karena sutta-sutta yang berhubungan dengan Sunnata (kekosongan) digambarkan sebagai mendalam (Gambhira) dengan makna yang mendalam (Gambhirattha) dan juga melampaui duniawi (Lokottara). Ini menyatakan bahwa sementara Anatta adalah istilah yang lebih nyaman, yang lebih umum daripada Sunna, walaupun maknanya sama, yang lebih mendalam secara filosofis dan epistemologis. Dengan demikian, ini adalah contoh yang baik untuk menunjukkan bahwa sutta-sutta awal telah menggunakan istilah ini dalam makna filosofisnya yang paling mendalam. Tetapi tampaknya dari sisa sutta itu bahwa ajaran yang mendalam demikian agaknya melampaui pemahaman orang-orang biasa yang juga menjadi salah satu alasan Sang Buddha memilih untuk menggunakan istilah Anatta ini, alih-alih Sunna. Sunna yang berarti kosong ini lebih sulit dipahami daripada istilah Anatta.
Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, atta, diri, adalah istilah yang familiar bagi orang-orang. Oleh sebab itu, istilah lawannya lebih mudah dipahami dan para pendengarnya tidak menganggapnya sangat mendalam atau berhubungan dengan apa pun yang melampaui duniawi (lokuttara). Ini mungkin menjadi salah satu alasan Sang Buddha menggunakan istilah ini lebih sering dalam kotbah-kotbahnya daripada istilah Sunna. Sutta yang kita bahas saat ini menunjukkan bahwa Dhammadinna tidak bergembira atas nasehat Sang Buddha ini. Ia mengatakan:
“Yang Mulia, tidaklah mudah bagi kami – yang berdiam dalam sebuah rumah yang ramai dengan anak-anak, menikmati kayu cendana Kasi, memakai kalungan bunga, wewangian dan salep, menerima emas dan perak – dari waktu ke waktu memasuki dan berdiam dalam kotbah-kotbah yang diucapkan Sang Tathagata yang mendalam, mendalam dalam makna, melampaui duniawi, berhubungan dengan kekosongan. Karena kami berkembang dalam lima aturan pelatihan (Sikkhapada), semoga Sang Bhagava mengajarkan kami Dhamma lebih lanjut.”
Maka Sang Buddha setelah mendengarkan tanggapan Dhammadinna mengatakan: “Oleh sebab itu, Dhammadinna, engkau seharusnya melatih dirimu sebagai berikut: ‘Kami akan memiliki keyakinan penuh kepada Buddha, Dhamma, Sangha. Kami akan memiliki kebajikan yang disenangi orang-orang mulia (Ariya), yang tidak terputus... yang membawa pada konsentrasi.”
Cetovimutti
Dalam Godatta Sutta dari Nikaya yang sama (S. IV,296f) Sang Buddha menjelaskan suatu metode pengembangan pikiran yang disebut pembebasan pikiran melalui kekosongan (Sunnatacetovimutti). Ini dijelaskan sebagai: “Di sini seorang bhikkhu, yang pergi ke dalam hutan atau akar sebatang pohon atau sebuah gubuk kosong merenungkan sebagai berikut: Kosong adalah diri ini atau apa yang menjadi milik diri (Sunnamidam attena va attaniyena va’ti). Ini disebut pembebasan pikiran melalui kekosongan.” Tampaknya ungkapan Sunnatacetovimutti ini digunakan untuk menunjuk pada pandangan terang (Vipassana) ke dalam sifat tanpa-diri dari semua fenomena. Ini disebutkan sebelum istilah “Animitta” yang berarti “tanpa-tanda” yang juga mengandung makna yang sama dengan Sunna.
Animitta-cetovimutti
Sutta yang sama menunjuk pada jenis pembebasan yang lain, Animitta-cetovimutti, pembebasan pikiran yang tanpa-tanda. Ini juga dicapai dengan mempersepsi ketiadaan “tanda” (nimitta), kekekalan (nicca), kebahagiaan (sukha) dan diri (atta) yang dengan kata lain persepsi atas segala sesuatu sebagai sepenuhnya kosong (sunna) dari apa pun yang hakiki.
Dalam sutta lain dari Nikaya yang sama (S. II. 226f) terdapat suatu petunjuk Sang Buddha mengajarkan Dhamma yang berhubungan dengan Sunnata (kekosongan). Ini juga penting untuk memahami bagaimana sulitnya para pendengar menerima ajaran ini. Sutta ini dimulai dengan suatu perumpamaan pendek: Suatu ketika di masa lampau penduduk Dasaraha (suku Khattiya) memiliki genderang belanga bernama Pemanggil (Anaka). Ketika genderang ini rusak penduduk Dasaraha memasukkan pasak lainnya. Akhirnya ini terjadi sedemikian sehingga kepala genderang aslinya lenyap dan hanya sekumpulan pasak yang tersisa. Sutta itu mengatakan:
“Demikian juga, hal yang sama akan terjadi dengan para bhikkhu di masa yang akan datang. Ketika kotbah-kotbah yang diucapkan oleh Sang Tathagata yang mendalam, mendalam dalam makna, melampaui duniawi, berhubungan dengan kekosongan, dibacakan, mereka tidak ingin mendengarnya, atau memasang telinga untuk mendengarnya, atau mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya, dan mereka tidak akan menganggap ajaran-ajaran itu seharusnya dipelajari dan dikuasai. Tetapi ketika kotbah-kotbah yang hanyalah syair-syair yang digubah oleh para penyair, indah dalam kata-kata dan ungkapan, yang diciptakan oleh orang-orang luar, diucapkan oleh para siswa (Sravaka bhasita) dibacakan, mereka mau mendengarkannya, akan memasang telinga untuk mendengarnya, akan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; dan mereka akan menganggap ajaran-ajaran itu seharusnya dipelajari dan dikuasai. Dengan cara ini kotbah-kotbah yang diucapkan Sang Tathagata yang mendalam, mendalam dalam makna, melampaui duniawi, berhubungan dengan kekosongan (Sunnattapatisamyutta) akan lenyap.”
Oleh karenanya, Sang Budha mendorong pada bhikkhu untuk memfokuskan dan memberikan perhatian lebih pada ajaran yang mendalam tentang Sunyata. Ini sangat baik menunjukkan bagaimana Sang Buddha memperhatikan ajaran tentang Sunnata. Beliau mengetahui bahwa ini sulit ditangkap dan dipahami, para siswa-Nya akan cenderung pada ajaran-ajaran yang lebih sederhana. Walaupun Sang Buddha mendorong mereka memahami pentingnya konsep Sunnata terhadap segala sesuatu, kebanyakan mereka tampaknya gagal menangkapnya. Jadi, ini alasannya mengapa Sang Buddha lebih suka menggunakan istilah alternatif “Anatta” dalam sutta-sutta awal, alih-alih istilah Sunna.
Dalam Komentar Pali
Situasinya berubah kemudian, dan bahkan Buddhisme Pali harus mengadopsi Sunna lebih sering dalam penjelasannya tentang sifat sejati hal-hal. Pada masa literatur paska kanon dan komentar penggunaan istilah Sunna menjadi lebih mengemuka. Patisambhidamagga menggunakan istilah Sunna dalam hampir 25 konteks yang berbeda. Ini ditemukan dalam pembahasan komentar terhadap sutta dari Samyuttanikaya (IV,54) yang dikutip di atas. Dalam komentar ini Patisambhidamagga memberikan 25 cara yang berbeda tentang konsep Sunna. Ini disajikan dalam bagian yang disebut “Sunnata Katha” yang muncul dalam “Yuganaddhavagga”. Dua puluh lima cara itu adalah:
Dua Puluh Lima Jenis Kekosongan
1. Sunna-sunna
2. Sankhara-sunna
3. Vaparinama-sunna
4. Agga-sunna
5. Lakkhana-sunna
6. Vikkhambane sunna
7. Tadanga-sunna
8. Sumuccheda-sunna
9. Patipassaddhi-sunna
10. Nissarana-sunna
11. Ajjatta-sunna
12. Bahiddha-sunna
13. Dubhato-sunna
14. Sabhaga-sunna
15. Visabhaga-sunna
16. Esana-sunna
17. Pariggaha-sunna
18. Patilabha-sunna
19. Pativedha-sunna
20. Ekatta-sunna
21. Anatta-sunna
22. Khanti-sunna
23. Adhittana-sunna
24. Pariyogahana-sunna
25. Paramattha-sunna
Ini menunjukkan bagaimana konsep Sunna yang berkembang pada waktu itu tidak diragukan lagi disebabkan oleh pengaruh dari perkembangan pemikiran Buddhis dari aliran Buddhis lain seperti Sarvastivada dan Sautrantika. Prof. W. S. Karunaratne menyatakan: “Jika daftar ini dibandingkan dengan apa yang diberikan dalam teks-teks Mahayana, akan ditemukan bahwa kebanyakan item dalam yang terakhir telah ditemukan dalam teks-teks Theravada.” Dengan demikian, ia menunjukkan bahwa di sini terdapat tidak hanya suatu hubungan dalam gagasan tetapi juga suatu hubungan dalam penggunaan istilah. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa konsep Sunna sangat berkembang dalam Buddhisme Pali sebelum ia menemukan referensi dalam teks-teks Mahayana dan Madhyamaka.
Telah ditunjukkan sebelumnya bahwa dalam sutta-sutta awal istilah Sunna atau Sunnata digunakan untuk menunjuk pada ketiadaan-substansialitas dari hal-hal. Dengan kata lain “hal-hal” adalah kosong dari nilai yang kita anggap sebagai sangat berharga dan jelas bagi kita. Kenyataannya, Sang Buddha menggunakan banyak istilah lain untuk menyampaikan makna ini. Sang Buddha menasehati para siswa untuk memperbaiki pandangan mereka sehubungan dengan sifat hal-hal dan bahwa mereka seharusnya dipandang sebagai berikut: “Pancakkhanda aniccato, dukkhato, rogato, gandato, sallato, aghato, abhadato, parato, palokato. Sunnato anattato yonisomanasikatabbo.” Ini berarti semua hal seharusnya direnungkan sebagai tidak kekal (Anicca), tidak memuaskan (Dukkha), sebagai penyakit (Roga), bisul (ganda), panah (salla), menyakitkan (aghata), sebagai cacat (abadha), sebagai bukan milik diri (para), sebagai tunduk pada kehancuran (aloka), sebagai kosong (sunna), dan tanpa suatu diri (anatta).
Walaupun tidak ada istilah-istilah ini yang secara etimologis berhubungan dengan kata Sunna, makna yang disampaikan adalah sama. Seperti halnya istilah Sunna berarti bahwa suatu hal adalah kosong dari substansialitas, dan oleh sebab itu, kosong dari inti apa pun, istilah-istilah deskriptif ini juga menyampaikan gagasan yang sama. Ketika sutta-sutta Pali awal menggunakan kata Sunna untuk membawakan ketiadaan jiwa atau apa pun yang berhubungan dengan jiwa, makna yang dinyatakan bahwa ia hanyalah kosong dan, karenanya, tidak memiliki nilai nyata di mana kita dengan sama meyakininya.
Dalam literatur komentar terdapat banyak kemunculan istilah Sunna dalam makna filosofisnya yang sangat berkembang. Ini disebabkan kenyataan bahwa pada masa ini istilah ini memperoleh makna penting dalam pemikiran filosofis Buddhis, bahkan melampaui kata Anatta. Ini terlihat dengan nilai penting yang ia mendapatkan dalam Visuddhimagga. Karya klasik Yang Mulia Buddhaghosa ini menjelaskan bagaimana Sunna dapat dipandang dari perspektif yang berbeda-beda. Apa yang penting bahwa dalam semua pandangan ini kepentingan etis adalah yang terkemuka. Demikianlah, Visuddhimagga menjelaskan Sunnata sebagai suatu ajaran universal, yang dapat diterapkan pada apa pun di alam semesta. Kemudian ia menggunakan konsep Sunnata dalam dua cara untuk menunjukkan bahwa segala sesuatu adalah kosong dari jenis substansi (atta) apa pun atau apa pun yang hakiki.
Empat Jenis Kekosongan
Visuddhimagga menyajikan perspektif lain tentang Sunnata bahwa terdapat empat jenis Sunnata: “tidak melihat substansi dalam diri seseorang (Nevakattaci atthanam passati), tidak melihat substansi dalam orang atau hal lain (Na ca kvacam? Parassa ca attanam kvaci passati), tidak memindahkan diri seseorang kepada orang lain (Na parassa kincanabhave upanetabbam passati), dan tidak membawakan diri orang lain ke dalam diri seseorang (Na parassa attanam attano kincanabhave upanetabbam passati).
Enam Jenis Kekosongan
Sunnata berjumlah enam jenis ketika ia diterapkan pada masing-masing dari enam alat indera, enam objek indera, dan enam kesadaran ketika mereka dipanda ng dari enam cara berikut: kosong dari substansi (atta), apa pun yang substansial (attaniya), kekal (nicca), tetap (dhuva), abadi (sassata) dan tidak bebas dari pemahaman perubahan (aviparinama dhamma).
Delapan Jenis Kekosongan
Ia berjumlah delapan ketika dipandang sebagai: tidak-esensial (asaram nissaram, sarapagatam nicca-saranam), secara esensial tidak stabil (dhuvasarasaram), secara esensial bersifat dukacita (sukhasarasaram), secara esensial tidak-esensial (attasarasaram), secara esensial tidak kekal (sunnam, niccena), secara esensial tidak-abadi (sunnam sassatena), dan tunduk pada perubahan (viparinama dhammam).
Sepuluh Jenis Kekosongan
Ia berjumlah sepuluh ketika dipandang dalam perspektif: kosong (Ritta), tidak berguna (Tucca), kosong (Sunna), tidak-substansial (Anatta), tidak ada pemilik (Anissariya), tidak mampu bebas (Akamakari), tidak mampu memiliki (Alabhaniya), sebagai asing (Para), sebagai terasing (Vivitta).
Dua Belas Jenis Kekosongan
Dengan cara yang sama Sunna dapat dipahami dalam 12 cara yang berbeda ketika seseorang menganggap, sebagai contoh, Rupa sebagai tanpa makhluk (Satta), tanpa jiwa (Jivo), tanpa manusia (Naro), tanpa kemudaan (Manva), tanpa kewanitaan (Itthi), tanpa kepriaan (Puriso), tanpa diri (Atta), tidak berhubungan dengan diri (Attaniya), tanpa aku (Aham), bukan milikku (Mama), bukan milik orang lain (Annassa), bukan siapa pun (Kassaci).
Empat Puluh Jenis Kekosongan
Ia memberikan sebuah daftar dari empat puluh jenis bagaimana Sunna dari hal-hal dapat dilihat. Jadi semua hal dapat dilihat sebagai tidak kekal (Anicca), tidak memuaskan (Dukkha), berpenyakit (Roga), bisul (Ganda), jahat (salla), menyakitkan (Agha), sakit (Abadha), asing (Para), melapuk (Palika), menyebabkan tekanan (Ita), menekan (Upaddava), menakutkan (Bhaya), mengganggu (Upassaga), tidak tetap (Cala), hancur (Pabhanga), tidak stabil (Addhuva), tidak terlindung (Atara), tidak dilindungi (Alena), tidak berdaya (Asarana), tanpa perlindungan (Asaranabhuta), kosong (Tuccha), kosong (Rita), tidak menyenangkan (Anassada), tidak menguntungkan (Adinava), berubah-ubah (Viparinama dhamma), tanpa esensi (Asaraka), bermula dalam pasangan (Aghamula), menyiksa (Vadhaka), musnah (Vibhava), terkotori (Sasava), terbentuk (Sankhata), mengecewakan (Maramisa), cenderung untuk lahir (Jatidhamma), melapuk (Jaradhamma), menyebabkan dukacita dan ratapan (soka-parideva-dukkha-domanassa-upayaasa dhamma), dan lolos (Nissarana).
Dikatakan bahwa ketika apa pun atau apa pun dari kelompok unsur kehidupan (khandha) dipandang dengan cara ini, ini sama dengan melihat apa pun sebagai kosong. Inilah nasehat yang diberikan Sang Buddha kepada Mogharaja dalam Suttanipata. Penggunaan berbagai kata untuk membawakan berbagai makna yang berbeda dari istilah Sunna sangat jelas berasal dari hal ini. Dengan demikian Buddhisme tidak menganggap Sunna bermakna sejenis konsep anihilasionastik, yang berarti “tidak ada” (nothing). Ini lebih baik diterjemahkan sebagai “tidak-ada-hal” (no-thing). Inilah pengertian filosofis tertinggi yang dikandung oleh istilah Sunna / Sunyata, seperti yang digunakan oleh Acarya Nagarjuna. Dalam Buddhisme Pali berbagai usaha telah dibuat untuk membawakan makna filosofis penting dari istilah ini.
Mungkin bahwa dengan melakukan demikian Buddhisme Pali telah dipengaruhi oleh Buddhisme Sanskrit, terutama ajaran Madhyamaka dari Nagarjuna. Ini tidak berarti bahwa penjelasan Sunya dalam Mulamadhyamakakarika adalah sama dengan yang ditemukan dalam Visuddhimagga. Sementara penjelasan Madhyamaka jelas menekankan pada Dharmanairatmyata, ketiadaan esensi apa pun atau Svabhava dalam semua dharma, yang adalah faktor-faktor penyusun dari keberadaan, penjelasan Pali mengikuti tradisi yang lama disukai yang menyangga “Atta” menekankan Anatta atau Pudgalanairatmya.
Penjelasan di atas dengan jelas menyatakan bahwa konsep Sunya bukanlah suatu inovasi Acarya Nagarjuna, ia sangat baik dikenal dalam Buddhisme awal, walaupun karena alasan historis dan yang lainnya, Anatta mendapatkan lebih banyak popularitas dalam penggunaan dalam Buddhisme Pali.