(Komentar merekomendasikan Aggikkhandhopama Sutta, dan lainnya untuk merenungkan kerugian dari tidak memiliki moralitas, berikut ini adalah ringkasan dari Aggikkhandhopama Sutta seperti yang tertulis dalam Sattaka Nipàta, Anguttara Nikàya).
Pada suatu hari Buddha sedang berjalan-jalan di Negara Kosala disertai oleh banyak bhikkhu. Saat melihat kobaran api di suatu tempat, Beliau meninggalkan jalan raya dan duduk di atas tempat duduk yang dibuat dari jubah yang dilipat empat yang dipersiapkan oleh ânanda di bawah sebatang pohon.
Kemudian Buddha menasihati para bhikkhu:
(a) Para bhikkhu, mana yang lebih baik, duduk dan berbaring dalam pelukan kobaran api yang mengamuk, atau duduk dan berbaring dalam pelukan gadis ‘kelahiran’ yang memiliki tubuh yang halus, dan menyenangkan untuk disentuh. Para bhikkhu menjawab (dengan tidak bijaksana) bahwa tentu lebih baik duduk dan berbaring dalam pelukan gadis.
Buddha menjelaskan bahwa untuk seorang tidak bermoral, adalah lebih baik duduk dan berbaring dalam pelukan kobaran api yang mengamuk karena hanya akan menderita selama satu kehidupan sedangkan berbaring dalam pelukan gadis dapat membawa kepada kelahiran di alam-alam rendah.
Kemudian Buddha bertanya lagi kepada para bhikkhu:
(b) Mana yang lebih baik, disiksa oleh orang kuat yang menarik sebelah kaki ke atas dengan tali kulit hingga kulit, daging, otot, dan tulang semuanya hancur, atau merasa gembira karena dihormati orang yang berkeyakinan?
(c) Mana yang lebih naik, seseorang yang dadanya ditusuk oleh dengan tombak yang tajam atau karena dihormati orang yang berkeyakinan?
(d) Mana yang lebih baik, tubuhmu dibungkus dengan lempengan besi panas membara atau mengenakan jubah yang didanakan oleh orang yang berkeyakinan?
(e) Mana yang lebih baik, membuka mulutmu dan diganjal dengan tiang besi panas membara dan melemparkan sebongkah besi panas membara ke dalam mulutmu, sehingga membakar seluruh organ dalam tubuhmu (bibir, langit-langit mulut, lidah, tenggorokan, dada, perut, dan usus) sepanjang perjalanannya menuju anus atau memakan makanan yang dipersembahkan oleh orang yang berkeyakinan?
(f) Mana yang lebih baik, kepalamu atau bahumu ditangkap dengan erat dan dipaksa duduk atau berbaring di atas dipan besi yang panas membara atau menggunakan dipan yang dipersembahkan oleh orang yang berkeyakinan?
(g) Mana yang lebih baik, digantung terbalik dan dicelupkan ke dalam panci berisi besi yang mendidih atau tinggal di dalam vihàra yang dipersembahkan oleh orang yang berkeyakinan?
Terhadap keenam pertanyaan ini pun para bhikkhu menjawab (dengan tidak bijaksana) seperti jawaban pertama. Buddha menjawab dengan cara yang sama dengan yang pertama, yaitu, untuk seorang yang tidak bermoral, lebih baik sebelah kakinya dirobek dan hancur, lebih baik ditusuk dengan tombak tajam, dan seterusnya, karena akan menimbulkan penderitaan dalam satu kehidupan saja; sedangkan merasa gembira karena dihormati oleh orang yang berkeyakinan, dan seterusnya, akan membawa kepada kelahiran di alam sengsara yang penuh penderitaan terus-menerus dalam waktu yang sangat lama.
Buddha mengakhiri khotbah-Nya dengan kata-kata berikut:
Untuk memberikan manfaat tertinggi kepada para dermawan yang berkeyakinan, yang mempersembahkan kebutuhan dan membuat kehidupan yang berguna dalam Sangha, seorang bhikkhu harus menjalani Tiga Latihan (sikkha*), seorang bhikkhu yang menginginkan kesejahteraannya sendiri dan kesejahteraan makhluk lain harus selalu penuh perhatian dan tekun.
(*Catatan: sikkhà adalah latihan yang harus dijalankan oleh para siswa Buddha yang terdiri dari tiga jenis: latihan moralitas tinggi (adhisila sikkhà), semadi tinggi (adhicitta sikkhà), dan kebijaksanaan tinggi (adhipannà sikkhà). Tiga latihan ini membentuk tiga bagian dari Jalan Mulia Berfaktor Delapan, yaitu, Sila, Samàdhi, Panna.)
Pada akhir khotbah tersebut, enam puluh bhikkhu yang tidak bermoral memuntahkan darah panas; enam puluh bhikhhu yang melakukan pelanggaran ringan meninggalkan Sangha dan menjalani kehidupan berumah tangga; enam puluh bhikkhu yang menjalani kehidupan suci mencapai tingkat kesucian Arahatta.
(Ini adalah ringkasan dari Aggikkhandopama Sutta).
RAPB 1, pp. 104-107