//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan  (Read 586561 times)

0 Members and 3 Guests are viewing this topic.

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #165 on: 30 July 2009, 11:59:57 AM »
Kalau dalam Buddhisme, yang menentukan suatu hal "salah" adalah pikiran dan niat, bukan tindakan. Kalau ia mengusir ibunya demi keselamatan diri dan negaranya, bukan karena memang ingin mencelakai ibunya, saya rasa merupakan hal yang wajar.
Kerugian tindakan tersebut adalah ia tidak punya kesempatan membahagiakan dan membimbing ibunya.

Bagaimana dengan kasus terpaksa aborsi demi menyelamatkan nyama sang Ibu?
Dan juga berbohong demi kebaikan?

sama aja yah berarti? kalo didasari dengan niat menyelamatkan nyawa sang ibu atau boongnya untuk menyelamatkan orang lain, itu bisa dianggap "tidak salah" ?
saudara hokkben,
saya pernah diberikan pertanyaan oleh seorang bikkhu,
jika anda bikkhu, sedang duduk dibawah pohon, kemudian ada pencuri sedang lari dan tiba-tiba,
sujud dan minta izin mau sembunyi di belakang pohon tersebut,
dan berpesan pada bikkhu, apabila ada orang yg bertanya ttg saya maupun ciri-ciri saya, mohon bikkhu jangan beritahukan, saya bisa mati di keroyok.

kemudian datang segerombolan massa membawa golok ,pisau,[sajam], terus bertanya pada ANDA[bikkhu]
ada liat orang yang lari lewat sini tidak?

jika anda[bikkhu] apa yang anda jawab?
melihat situasi massa yang begitu emosi dan panas......seperti ingin membunuh..

1.menjawab jujur sama saja mengizinkan terjadi nya pembunuhan.
2.menjawab tidak jujur, maka bisa-bisa melanggar sila...
3.menasehati massa, [ seperti biasa orang  yg emosi tidak mungkin bisa di nasehati ]
4.dijawab dengan diam saja...[ mungkin ini terbaik ]
-------

kadang suatu hal, dimana kita tidak memungkinkan untuk berbuat baik secara UTUH.
pasti ada pihak yang tdk senang dengan apapun jawaban kita.....
ketika kita bisa memilih mana terbaik saat itu, maka jalankan saja......keputusan tepat dan salah bukan di nilai "dimasa depan" tapi di nilai "saat ini."

karena kalau memakai patokan masa depan, semua nya menjadi abu-abu,karena masa depan merupakan ketidakpastian, dan ketidakpastian adalah hal pasti.

metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline N1AR

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 930
  • Reputasi: 22
  • Yui
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #166 on: 30 July 2009, 12:32:22 PM »
kalau mencoba kan gak salah yah

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #167 on: 30 July 2009, 02:02:05 PM »
Bagaimana dengan kasus terpaksa aborsi demi menyelamatkan nyama sang Ibu?
Untuk ini, saya tidak punya jawaban langsung. Tergantung keadaan.


Quote
Dan juga berbohong demi kebaikan?
Contohnya bagaimana?


Quote
sama aja yah berarti? kalo didasari dengan niat menyelamatkan nyawa sang ibu atau boongnya untuk menyelamatkan orang lain, itu bisa dianggap "tidak salah" ?
Bukan tidak salah. Pembunuhan tetap pembunuhan, namun pembunuhan karena benci dan pembunuhan karena terpaksa, dalam agama Buddha tidak sama.

Offline HokBen

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.525
  • Reputasi: 100
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #168 on: 30 July 2009, 04:09:01 PM »
Quote
Dan juga berbohong demi kebaikan?
Contohnya bagaimana?

contohnya misal seperti yg ditulis oleh bro marcedes...
seorang biku yang ditanya oleh sekawanan orang yg sedang emosi mengenai orang yg bersembunyi. sedangkan biku yang bersangkutan tau lokasi persembuyian orang tsb.

Quote
sama aja yah berarti? kalo didasari dengan niat menyelamatkan nyawa sang ibu atau boongnya untuk menyelamatkan orang lain, itu bisa dianggap "tidak salah" ?
Bukan tidak salah. Pembunuhan tetap pembunuhan, namun pembunuhan karena benci dan pembunuhan karena terpaksa, dalam agama Buddha tidak sama.

berarti karma buruk dari perbuatan membunuhnya tetap ada, tetapi mungkin buahnya akan berbeda?

Thx

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #169 on: 08 August 2009, 02:57:12 PM »
contohnya misal seperti yg ditulis oleh bro marcedes...
seorang biku yang ditanya oleh sekawanan orang yg sedang emosi mengenai orang yg bersembunyi. sedangkan biku yang bersangkutan tau lokasi persembuyian orang tsb.

Dalam sila dilarang untuk berbohong, tetapi tidak ada larangan untuk bersikap diam ketika ditanya. Ini adalah pilihan pertama. Lainnya adalah tergantung kemampuan dan kebijaksanaan si bhikkhu itu sendiri untuk "mengelak" dari pertanyaan atau bernegosiasi. Sebetulnya banyak jalan selain berbohong, tetapi kalau memang karena keterbatasan dan kondisi, sebaiknya seseorang bisa memilih dengan bijak antara "sila" dan "kehidupan orang lain".


Quote
berarti karma buruk dari perbuatan membunuhnya tetap ada, tetapi mungkin buahnya akan berbeda?
Ya, tentu saja sangat berbeda. Buah kamma ditentukan oleh subjek (si pelaku) dan objek (si penderita).
Dari si pelaku, membunuh karena terpaksa dan karena untuk bersenang-senang, akibatnya adalah berbeda.
Dari si penderita, membunuh orang biasa dan orang suci, juga tentu hasilnya berbeda.


Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #170 on: 09 August 2009, 01:30:00 AM »
pada intinya...
di timbang [ pakai timbangan yang bagus alias kebijaksanaan ]

ke arah mana lebih baik ke arah baik atau ke arah buruk....itu saja...
kadang kita tidak bisa berbuat baik 100% benar dimata orang.....tetapi setidaknya baik dimata sendiri dan tidak merugikan orang lain.

metta
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline Shining Moon

  • Sebelumnya: Yuri-chan, Yuliani Kurniawan
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.148
  • Reputasi: 131
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #171 on: 09 August 2009, 01:37:12 AM »
Sebenarnya terjemahan Pancasila kan 'Aku bertekad untuk melatih diri ....', bukan 'tidak boleh...'?
Life is beautiful, let's rock and roll..

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #172 on: 09 August 2009, 01:40:35 AM »
Sebenarnya terjemahan Pancasila kan 'Aku bertekad untuk melatih diri ....', bukan 'tidak boleh...'?

meskipun benar tapi argumentasi ini bisa berbahaya, bisa diartikan tidak apa2.
"aku bertekad untuk melatih ..." kalau dilanggar berarti meninggalkan latihan, meninggalkan tekad.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #173 on: 10 August 2009, 11:10:23 AM »
Bagi Sangha, ADA aturan yang berlaku, maka ada larangan. Oleh karena itu, para bhikkhu mengucapkan "saya bertekad untuk tidak..." dan ketika mereka melanggar, maka ada hukumannya. Untuk kasus yang berat, bisa dikeluarkan dari sangha.

Berbeda dengan orang awam, tidak terikat aturan tertentu (kecuali hukum masyarakat & hukum negara), jika mereka melakukan pelanggaran sila, tidak menjadikannya "bukan Buddhis". Juga jika tertangkap melanggar sila, tidak ada aturan hukuman yang dijatuhkan padanya berdasarkan dhamma (misalnya jika orang ketahuan berbohong harus ditampar atau kena denda baca Metta Sutta 1000x). Paling-paling hanya berurusan dengan hukum masyarakat & negara. Oleh karena itu pengucapannya berupa "saya bertekad untuk melatih diri untuk tidak ...".

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Teori & Praktek: Guyonan Khas Komunitas Buddhis
« Reply #174 on: 31 August 2009, 11:29:06 AM »
Entah bagaimana mulanya komunitas Buddhis cenderung membagi sikap dhamma ke dalam "Praktek" dan "Teori", dan kalau satu hal dilakukan, berarti "praktek", sementara kalau dibicarakan, berarti "teori". Dari sini kemudian berkembang pemikiran kalau teoritis, berarti NATO (No Action Talk Only).

Suatu saat, saya pernah bertemu orang yang katanya tidak mau bicara dhamma, karena itu semua teori. Ia hanya mau praktek saja. Menarik sekali sikap demikian. Jika bertemu lubang, tidak perlu teori, masuki saja lubang tersebut (praktek dengan pengalaman pribadi). Berarti kalau dalam perjalanan bertemu 100 macam lubang, dia perlu terperosok minimal 100x untuk mencapai tujuan. Sungguh ide 'cemerlang'.

Jadi apakah teori dan praktek?
-Ketika tukang pikul berkeliling membawa bebannya, ia tahu untuk menghemat energi harus memberi beban yang seimbang di kedua ujung pikulan dan mengangkatnya di pundak. Apakah berarti ia sedang praktek tuas-pengungkit dan mekanika tulang-otot tubuh?
-Ketika seorang arsitek merancang bangunan, ia tahu di mana harus meletakkan tiang penyangga, tahu jenis bahan yang digunakan dan beban yang bisa ditahan, tetapi ia belum tentu mampu membangunnya sendiri. Apakah ini berarti ia teoritis?

Berbicara ilmu (juga dhamma), adalah berbicara mengenai pemahaman/pengertian.
Teori adalah suatu pemahaman yang dikomunikasikan secara teratur, sistematis dan terstruktur agar orang lain dapat memahami apa yang disampaikan. Dalam contoh tukang pikul, ia tahu bagaimana memikul yang efisien, tetapi ia tidak dapat menjelaskan kenapa demikian. Jika ia mampu menuangkan pengertiannya ke dalam satu penjelasan teratur, sistematis dan terstruktur agar orang lain dapat mengerti hal tersebut, maka ia dapat dikatakan teoritis. Berbeda definisi teoritis dalam artian "suka mengambil kesimpulan berdasarkan asumsi sendiri" atau definisi dalam artian "menafikan hal-hal praktikal".

Sedangkan Praktek adalah suatu perbuatan yang didasari dengan pengertian. Perbuatan berdasarkan pengertian tersirat tidak hanya dengan tubuh fisik, tetapi juga ucapan dan terutama adalah pikiran. Misalkan seorang dokter mengamati dan mendengar keluhan pasien, lalu ia mengenali gangguan pasien tersebut dan menulis resep, itu juga dikatakan berpraktek karena memang ia melakukan itu berdasarkan suatu pengertian.

Lalu mengapa saya sebut guyonan? Karena saya melihat komunitas Buddhis cenderung melihat orang yang kurang mampu komunikasi dan rajin malpraktek sebagai Praktisi tulen. Di lain pihak, Buddha adalah seorang "NATO" yang mengatakan bunuh orang tua adalah tidak bermanfaat dan bisa masuk Avici, padahal sendirinya belum praktek. Belum lagi banyak "omongan" lainnya di antara 84.000 sutta, yang belum dipraktekkan.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #175 on: 31 August 2009, 11:47:22 AM »
Ketika seseorang mulai memunculkan gagasan "ah, gue praktisi, ente teoris" atau "saya cuma tau teori, anda kan praktisi", nah saat itu sebenarnya sudah muncul keangkuhan, yang dipicu oleh sikap membanding2kan, sebagai buddhis hendaknya kita berusaha untuk menghindari ini.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #176 on: 31 August 2009, 01:01:09 PM »
MAHAVIYUHA SUTTA

Penyebab-penyebab Utama Perselisihan
 

Mereka yang amat melekati pandangan-pandangan mereka sehingga mengatakan: 'Hanya inilah yang merupakan kebenaran', akan menyebabkan dirinya disalahkan atau akan memperoleh pujian karenanya.

Hasil dari pujian itu sangat kecil dan tidak cukup untuk menghasilkan ketenangan. Aku nyatakan ada dua akibat perselisihan [yaitu menang atau kalah]. Setelah melihat hal ini, hendaknya tak seorang pun berselisih, demi untuk mewujudkan Nibbana di mana tidak ada perselisihan.

Orang bijaksana tidak memeluk erat-erat semua pandangan yang telah muncul di antara orang-orang duniawi. Apakah orang yang telah terbebas dari pandangan harus merasa gembira karena apa yang dilihat dan didengar, dan tetap tergantung pada pandangan-pandangan itu?

Mereka yang menganggap bahwa praktek-praktek moral merupakan yang tertinggi akan mengatakan: 'Kesucian datang melalui pengendalian diri. Setelah menjalani praktek kesucian, marilah kita berlatih di dalamnya. Dari situlah kesucian muncul.' Tetapi mereka yang disebut ahli itu pun masih tetap terbenam dalam Samsara.

Jika dia menyeleweng dari perilaku moral dan praktek kesucian, dia gemetar karena telah gagal dalam tindakannya. Di sini dia merindukan kesucian bagaikan musafir yang kehilangan karavan ketika sedang bepergian dari rumahnya.

Setelah sepenuhnya meninggalkan praktek-praktek keagamaan dan tindakan-tindakan yang 'baik' dan 'buruk', serta tidak lagi merindukan 'kesucian' atau pun 'ketidakmurnian', dia berkelana sendiri tanpa melakukan kedua hal itu, tanpa melekati ekstrim yang mana pun.

Dengan mempraktekkan penyiksaan-penyiksaan diri yang menjijikkan atau melekati apa yang telah didengar, dilihat, atau dipikirkan, orang-orang itu memuji-muji kemurnian dengan suara lantang. Tetapi mereka belum terbebas dari nafsu keinginan untuk terlahir kembali.

Bagi orang yang bernafsu, akibatnya adalah lebih banyak nafsu; dia gemetar karena dikuasai kebodohan lewat pandangan-pandangan khayal. Bagi orang yang telah menaklukkan kematian dan kelahiran, mengapa dia harus gemetar dan apa pula yang dia rindukan?

Apa yang dianggap oleh beberapa orang sebagai pandangan tertinggi, oleh orang lain dianggap sebagai tak bernilai. Namun mereka semuanya menyatakan sebagai ahli. Yang mana dari mereka yang sungguh-sungguh benar?

Setiap orang menyatakan bahwa pandangannya sendirilah yang sempurna sedangkan kepercayaan orang lain lebih rendah. Dengan begitu, mereka masuk ke dalam perselisihan. Demikianlah masing-masing menyatakan bahwa pandangan mereka sendirilah yang benar.

Jika suatu pandangan menjadi tak berharga karena dikecam oleh orang lain, maka semuanya tak ada bedanya karenaa masing-masing bersikukuh menganggap pandangan orang lain sebagai yang rendah dan pandangan mereka sendirilah yang dianggap benar.

Seperti halnya mereka meninggikan pandangan-pandangan mereka, demikian pula mereka memuji-muji cara-cara mereka. Jika semua pandangan mereka benar, maka kemurnian mereka juga harus khusus bagi mereka saja.

Orang bijaksana tidak dipimpin orang lain, tidak mengukuhi pandangan-pandangan setelah menyelidikinya. Akibatnya, dia telah melampaui perselisihan karena dia tidak melihat pandangan orang lain sebagai yang terbaik.

'Saya mengetahui dan melihat, ini hanyalah demikian' -dengan berkata demikian, beberapa orang menyatakan kesucian melalui pandangan itu. Apa gunanya mengatakan bahwa seseorang telah 'melihat' (kebenaran) ketika pandangan-pandangan lawan dikemukakan?

Orang melihat batin dan materi, dan setelah melihat itu mereka menganggapnya kekal. Biarlah dia melihat sedikit atau banyak, karena para ahli tidak mengatakan: 'kesucian muncul lewat itu.'

Tidaklah mudah mendisiplinkan orang yang berpegang teguh pada dogma, yang mengatakan inilah kebenaran, padahal mereka disesatkan oleh pandangan-pandangan. Dengan mengatakan bahwa ada kebaikan dalam prasangka semacam ini, dia cenderung mengatakan bahwa kesucian bersifat pembawaan seperti yang telah dilihatnya.

Orang bijaksana yang telah memahami segala sesuatu melalui pengetahuan, tidak akan masuk ke dalam spekulasi. Setelah mempelajari berbagai teori yang telah muncul di antara orang-orang lain, dia tidak peduli terhadap teori-teori itu walaupun orang-orang lain bersusah payah mengukuhinya.

Orang bijaksana ini, karena telah terbebas dari ikatan-ikatan duniawi, tetap damai di antara mereka yang gelisah. Dia tidak peduli pada perselisihan sekte, dan tidak melekatinya walaupun orang-orang lain tetap melekat.

Setelah melenyapkan kekotoran-kekotoran batin yang dahulu ada, dan tidak menyebabkan timbulnya yang baru serta tidak menjadi pengikut, dia terbebas dari pandangan-pandangan dogmatis. Karena bijaksana, dia tidak melekat pada dunia, serta tidak menyalahkan diri sendiri.

Dengan mengatasi semua teori yang berdasar pada apa yang dilihat, didengar atau dipikirkan, dia menjadi orang bijaksana yang telah menaruh bebannya dan telah terbebas. Dia tidak berkhayal dalam pandangan-pandangan, tidak menginginkan apa pun juga -- demikianlah Sang Buddha berkata.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #177 on: 31 August 2009, 01:15:30 PM »
Saya hanya coba sharing mengenai artikel cerita saja ( karena hanya ini yang saya miliki ), karena pemahaman dhamma saya masih dalam proses belajar,  saya mulai belajar sesuatu yang saya anggap bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, minimal tidak merugikan orang lain, walaupun terkesan lamban, sehingga proses pembelajaran menjadi nyata dalam kehidupan. Semoga berkenan dengan artikel ini.

"Buddha Dhamma adalah sekotak harta karun, tetapi mempraktekkannya  adalah kuncinya."

"Sikap toleran hanya akan muncul jika anda mempraktekkannya, bukan saat anda membicarakannya."
 


Mahasiswa dan Pemburu

Pernah suatu ketika seorang dosen bercerita di kelas. Ceritanya tentang seorang teoritis (kita sebut saja Mahasiswa) dan seorang praktisi (kita sebut dengan pemburu). Begini ceritanya:

Ada seorang mahasiswa yang setiap harinya diisi dengan belajar berbagai disiplin ilmu. Pelajaran yang sangat disukainya adalah tentang berburu kijang. Begitu tekunnya sang mahasiswa sampai-sampai dia mengetahui untuk menembak seekor kijang jarak idealnya adalah x meter. Bagian tubuh yang paling tepat untuk dijadikan sasaran tembak pun diketahui di luar kepala. Intinya sang mahasiswa mengetahui apapun yang terbaik untuk berburu kijang. Tetapi dia jarang sekali (baca:malas) berlatih untuk menembak binatang buruannya.

Di sisi lain ada seorang pemburu. Setiap hari kerjanya hanya berburu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hewan yang paling sering diburu adalah kijang. Selain dagingnya enak dimakan, tanduk dan kulitnya dapat dijual dengan harga tinggi. Berbeda dengan mahasiswa, sang pemburu tak pernah belajar cara berburu yang terbaik untuk berburu seekor kijang. Semua ilmu diperolehnya melalui pengalaman. Bukan di bangku kuliah ataupun dalam pelatihan berburu kijang.

Suatu ketika ada seseorang yang meminta sang mahasiswa bertarung dengan pemburu untuk menangkap seekor kijang dalam keadaan hidup. Sang mahasiswa tahu betul apa yang harus dilakukan. Dia tahu semua prosedur yang memungkinkannya untuk dapat menangkap kijang dengan cara yang sangat efektif. Sang pemburu tak mau kalah, dengan berbekal segudang pengalaman, dia pun maju untuk bertanding dengan mahasiswa tadi.

Pertandingan dimulai. Sesuai dugaan, sang pemburu berhasil menangkap kijang tetapi kijang sudah dalam keadaan mati dengan banyak luka tembak di sekujur tubuhnya. Akhirnya tidak ada yang memenangan pertandingan.

Ada beberapa hikmah yang dapat kita petik cerita di atas. Dalam kasus pertama sebenarnya sang mahasiswa begitu paham apa yang seharusnya ia lakukan untuk menangkap kijang itu dalam keadaan hidup. Tetapi ia tak bisa menembak. Kurang latihan adalah salah satu yang menjadi penghalangnya. Sedangkan pada kasus kedua, walaupun sang pemburu berhasil menangkap kijang, tetapi kijang sudah tidak dalam keadaan hidup lagi. Sang pemburu hanya mengandalkan pengalamannya saja. Tentu saja kita tidak dapat mengatakan bahwa belajar dari pengalaman itu tidak baik, tetapi bukanlah lebih bijaksana jika kita belajar dari pengalaman orang lain. Jika kita telah belajar dari pengalaman orang lain -bisa dengan bertanya ataupun membaca di buku- kita tidak perlu untuk selalu memulai pekerjaan dari tangga ke-nol.

Jika saja sang mahasiswa sering berlatih tentu dia akan dapat memenangkan pertandingan; dan jika saja sang pemburu mau belajar selain dari pengalamannya sendiri, tentu ia akan berburu dengan lebih efektif dan dapat menangkap kijang dalam keadaan hidup.

Kebanyakan kita adalah tipikal pemburu atau mahasiswa. Kita yang bertipe “mahasiswa” sering mengikuti berbagai pelatihan, mulai dari pelatihan publik speaking, pelatihan enterpreneur, dan banyak pelatihan lain. Tetapi begitu kita diminta ‘action’ kita tidak bisa banyak berbuat.

Adapun kita yang bertipe pemburu, kebanyakan kerja kita tidak baik dalam penyelesaian akhir. Memang kerjaan beres tetapi hasilnya tidak bisa disebut bagus (kalau tidak boleh disebut jelek).

Semoga mulai detik ini kita dapat melakukan segala sesuatu dengan arah yang benar dan prosedur yang benar. Tidak seperti mahasiswa dalam cerita ini dan tidak seperti pemburu dalam cerita ini juga tentunya; tetapi kita akan berusaha menjadi perpaduan antara kedua tokoh kita di atas.

Semoga Bermanfaat.


KATA-KATA BIJAK DARI DALAI LAMA


1.   Kebahagian tidak terjadi begitu saja. Itu muncul dari hasil perbuatan kita.
2.   Jika Mampu, Tolong & Bantulah Orang Lain. Jika Tidak, Setidaknya jangan mencelakakan orang lain.
3.   Jika kamu ingin orang lain bahagia, praktekan welas asih. Jika kamu sendiri mau bahagia, praktekan welas asih.
4.   Agama saya sangat sederhana. Agama saya adalah Kebajikan.
5.   Ingat !!! Tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan, kadang-kadang adalah sebuah berkah.
6.   Kekuasaan utama mesti tidak mengutamakan alasan dan analisa kritis individu itu sendiri saja.
7.   Kita bisa hidup tanpa agama dan meditasi, tetapi kita tidak bisa hidup tanpa kasih sayang sesama manusia.
8.   Kita tidak akan pernah mendapatkan kedamaian diluar diri kita sendiri sampai kita damai dengan diri kita sendiri.
9.   Berbuat baiklah jika memungkinkan. Sebenarnya, Itu selalu mungkin.
10.   Jika kamu takut akan rasa sakit atau penderitaan, kamu seharusnya cari cara, apa yang dapat kamu lakukan untuk mengatasinya. Jika kamu bisa, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jika kamu tidak bisa berbuat banyak, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan juga.
11.   Jika kamu tidak mencintai dirimu sendiri, Kamu tidak akan bisa mencintai orang lain. Kamu tidak akan mampu. Jika kamu tidak punya welas asih terhadap dirimu sendiri, maka kamu tidak akan bisa mengembangkan welas asih terhadap orang lain.
12.   Potensi seluruh manusia adalah sama. Perasaan kamu yang bilang ” Aku tidak berharga” adalah salah. Salah sama sekali. Kamu menipu dirimu sendiri. Kita semua memiliki kekuatan dalam batin kita, jadi apa yang kurang ? Jika kamu punya tekad, kamu dapat mengubah apapun. Kamu adalah guru bagi dirimu sendiri.
13.   Kita mesti menyadari, Penderitaan satu orang atau satu bangsa adalah Penderitaan bagi seluruh umat manusia. Kebahagiaan satu orang atau satu bangsa adalah Kebahagiaan bagi seluruh umat manusia.
14.   Melalui kekerasan, kamu mungkin “mengatasi” masalah, Tetapi kamu telah “menanam” benih kemunculan masalah-masalah baru.
15.   Sebagaimana kita bisa hidup di zaman sekarang, maka kita mesti juga memikirkan generasi mendatang : Sebuah lingkungan yang bersih & sehat adalah layaknya seperti sebuah hak azasi. Merupakan tanggung jawab kita kepada generasi penerus untuk menjaga bumi, melestarikan lingkungan.
16.   Menaklukkan diri sendiri adalah lebih baik dari pada menaklukkan ribuan musuh dalam peperangan.
17.   Ada sebuah istilah di tibet, “Musibah seharusnya dimanfaatkan menjadi sumber kekuatan”. Tidak perduli seberapa kesulitan yang kita alami, betapa menyakitkkan keadaan tersebut, Jika kita sampai kehilangan harapan, maka itu benar-benar merupakan musibah.
18.   Makhluk apa pun yang berdiam di bumi, apakah manusia atau hewan, masing-masing memiliki peran, masing-masing dengan jalannya sendiri, untuk memperindah dan memperkaya dunia ini.
19.   Sebuah sendok tidak dapat merasakan nikmatnya makanan. Sebagaimana orang bodoh yang tidak mengerti kebijaksanaan seseorang, walapun dia bergaul dengan orang suci.
20.   Dalam memperjuangkan kebebasan, Kebenaran adalah satu-satunya senjata / pegangan.


Semoga Bermanfaat

 _/\_

Semoga Semua Makhluk Berbahagia

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #178 on: 31 August 2009, 03:01:50 PM »
Ketika seseorang mulai memunculkan gagasan "ah, gue praktisi, ente teoris" atau "saya cuma tau teori, anda kan praktisi", nah saat itu sebenarnya sudah muncul keangkuhan, yang dipicu oleh sikap membanding2kan, sebagai buddhis hendaknya kita berusaha untuk menghindari ini.

Ya, memunculkan ide "saya seorang intelektual/teoritis" atau "saya adalah orang lapangan/praktisi" sebetulnya adalah tidak tepat. Ketika seseorang memiliki pemahaman, maka pemahaman itu dengan sendirinya terintegrasi dengan dirinya. Ia tidak lagi melihat sesuatu hal sebagai teori atau praktik, tapi ia memandang hal tersebut sebagaimana adanya saja. Seperti perumpamaan tukang pikul sebelumnya, ia tidak melihat teori2 fisika dan hafalan biologi ketika memikul, juga tidak melihat dirinya sebagai praktisi biofisika yang benar. Ia hanya mengetahui sebagaimana adanya pikulan itu saja.

Sederhana sebetulnya, hanya sering dibuat ruwet.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #179 on: 31 August 2009, 03:35:10 PM »
Ada seorang mahasiswa yang setiap harinya diisi dengan belajar berbagai disiplin ilmu. Pelajaran yang sangat disukainya adalah tentang berburu kijang. Begitu tekunnya sang mahasiswa sampai-sampai dia mengetahui untuk menembak seekor kijang jarak idealnya adalah x meter. Bagian tubuh yang paling tepat untuk dijadikan sasaran tembak pun diketahui di luar kepala. Intinya sang mahasiswa mengetahui apapun yang terbaik untuk berburu kijang. Tetapi dia jarang sekali (baca:malas) berlatih untuk menembak binatang buruannya.

Di sisi lain ada seorang pemburu. Setiap hari kerjanya hanya berburu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hewan yang paling sering diburu adalah kijang. Selain dagingnya enak dimakan, tanduk dan kulitnya dapat dijual dengan harga tinggi. Berbeda dengan mahasiswa, sang pemburu tak pernah belajar cara berburu yang terbaik untuk berburu seekor kijang. Semua ilmu diperolehnya melalui pengalaman. Bukan di bangku kuliah ataupun dalam pelatihan berburu kijang.

Suatu ketika ada seseorang yang meminta sang mahasiswa bertarung dengan pemburu untuk menangkap seekor kijang dalam keadaan hidup. Sang mahasiswa tahu betul apa yang harus dilakukan. Dia tahu semua prosedur yang memungkinkannya untuk dapat menangkap kijang dengan cara yang sangat efektif. Sang pemburu tak mau kalah, dengan berbekal segudang pengalaman, dia pun maju untuk bertanding dengan mahasiswa tadi.

Pertandingan dimulai. Sesuai dugaan, sang pemburu berhasil menangkap kijang tetapi kijang sudah dalam keadaan mati dengan banyak luka tembak di sekujur tubuhnya. Akhirnya tidak ada yang memenangan pertandingan.

Ada beberapa hikmah yang dapat kita petik cerita di atas. Dalam kasus pertama sebenarnya sang mahasiswa begitu paham apa yang seharusnya ia lakukan untuk menangkap kijang itu dalam keadaan hidup. Tetapi ia tak bisa menembak. Kurang latihan adalah salah satu yang menjadi penghalangnya. Sedangkan pada kasus kedua, walaupun sang pemburu berhasil menangkap kijang, tetapi kijang sudah tidak dalam keadaan hidup lagi. Sang pemburu hanya mengandalkan pengalamannya saja. Tentu saja kita tidak dapat mengatakan bahwa belajar dari pengalaman itu tidak baik, tetapi bukanlah lebih bijaksana jika kita belajar dari pengalaman orang lain. Jika kita telah belajar dari pengalaman orang lain -bisa dengan bertanya ataupun membaca di buku- kita tidak perlu untuk selalu memulai pekerjaan dari tangga ke-nol.

Jika saja sang mahasiswa sering berlatih tentu dia akan dapat memenangkan pertandingan; dan jika saja sang pemburu mau belajar selain dari pengalamannya sendiri, tentu ia akan berburu dengan lebih efektif dan dapat menangkap kijang dalam keadaan hidup.

Cerita ini sekilas mirip dengan yang saya bicarakan, namun sebetulnya sedikit berbeda.
Dalam topik saya, yang dibahas adalah tentang pemahaman akan sesuatu.
Dalam cerita ini, ada dua hal yang dibahas, yaitu keahlian dan pemahaman. Keahlian didapat dengan latihan. Seperti menembak, berlari dan sebagainya, jika dilakukan berulang-ulang, maka tubuh melakukan penyesuaian terhadap aktifitas tersebut, sehingga seseorang menjadi mahir.
Pemahaman didapatkan dari penghayatan dan kematangan pikiran. Seseorang bisa mengulang rumus fisika sehari 1000x, namun belum tentu memahaminya. Mahasiswa dalam kisah ini memiliki pemahaman, namun tanpa keahlian. Ibaratnya software bagus, hardware jelek. Si pemburu sebaliknya memiliki keahlian, namun tidak punya pemahaman, ibarat hardware bagus, softwarenya ngaco.


 

anything