//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku SEBELAS  (Read 3640 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
ANGUTTARA NIKAYA buku SEBELAS
« on: 10 October 2013, 10:48:11 AM »
[311]BUKU KELOMPOK SEBELAS

Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant,
Yang Tercerahkan Sempurna

« Last Edit: 13 October 2013, 03:11:25 PM by Shinichi »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEBELAS
« Reply #1 on: 10 October 2013, 10:48:57 AM »
I. KEBERGANTUNGAN

1 (1) Tujuan Apakah? <2199>

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

(1) “Bhante, Apakah tujuan dan manfaat dari perilaku bermoral yang bermanfaat?”

(2) “Ānanda,  tujuan dan manfaat dari perilaku bermoral yang bermanfaat adalah ketidak-menyesalan.”

(3) “Dan apakah, Bhante, tujuan dan manfaat dari ketidak-menyesalan?”

“Tujuan dan manfaat dari ketidak-menyesalan adalah kegembiraan.”

(4) “Dan apakah, Bhante, tujuan dan manfaat dari kegembiraan?”

“Tujuan dan manfaat dari kegembiraan adalah sukacita.”

(5) “Dan apakah, Bhante, tujuan dan manfaat dari sukacita?”

“Tujuan dan manfaat dari sukacita adalah ketenangan.”

(6) “Dan apakah, Bhante, tujuan dan manfaat dari ketenangan?”

“Tujuan dan manfaat dari ketenangan adalah kenikmatan.”

(7) “Dan apakah, Bhante, tujuan dan manfaat dari kenikmatan.”

“Tujuan dan manfaat dari kenikmatan [2] adalah konsentrasi.”

(8 ) “Dan apakah, Bhante, tujuan dan manfaat dari konsentrasi?”

“Tujuan dan manfaat dari konsentrasi adalah pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya.”

(9) “Dan apakah, Bhante, tujuan dan manfaat dari pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya?”

“Tujuan dan manfaat dari pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya adalah kekecewaan.”

(10) Dan apakah, Bhante, tujuan dan manfaat dari kekecewaan?”

“Tujuan dan manfaat dari kekecewaan adalah kebosanan.” [312]

(11) Dan apakah, Bhante, tujuan dan manfaat dari kebosanan?”

“Tujuan dan manfaat dari kebosanan adalah pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan.”

“Demikianlah, Ānanda, (1)-(2) tujuan dan manfaat dari perilaku bermoral yang bermanfaat adalah ketidak-menyesalan; (2) tujuan dan manfaat dari ketidak-menyesalan adalah kegembiraan; (4) tujuan dan manfaat dari kegembiraan adalah sukacita; (5) tujuan dan manfaat dari sukacita adalah ketenangan; (6) tujuan dan manfaat dari ketenangan adalah kenikmatan; (7) tujuan dan manfaat dari  kenikmatan adalah konsentrasi; (8 ) tujuan dan manfaat dari konsentrasi adalah pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya; (9) tujuan dan manfaat dari pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya adalah kekecewaan; (10) tujuan dan manfaat dari kekecewaan adalah kebosanan; dan (11) tujuan dan manfaat dari kebosanan adalah pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Demikianlah, Ānanda, perilaku bermoral yang bermanfaat secara bertahap mengarah pada yang terunggul.”

(2) Kehendak <2200>

(1)-(2) “Para bhikkhu, bagi seorang yang bermoral, seorang yang perilakunya bermoral, tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga ketidak-menyesalan muncul padaku.’ Adalah sewajarnya bahwa ketidak-menyesalan muncul pada seorang yang bermoral, seorang yang perilakunya bermoral.

(3) “Bagi seorang yang tanpa penyesalan tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga kegembiraan muncul padaku.’ Adalah sewajarnya bahwa kegembiraan muncul pada seorang yang tanpa penyesalan.

(4) “Bagi seorang yang bergembira tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga sukacita muncul padaku.’ Adalah sewajarnya bahwa sukacita muncul pada seoarang yang bergembira.

(5) “Bagi seorang yang bersukacita tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga jasmaniku menjadi tenang.’ Adalah sewajarnya bahwa jasmani seorang yang bersukacita menjadi tenang.

(6) “Bagi seorang yang tenang dalam jasmani tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga aku merasakan kenikmatan.’ Adalah sewajarnya bahwa seorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan.

(7) “Bagi seorang yang merasakan kenikmatan tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga pikiranku terkonsentrasi.’ Adalah sewajarnya bahwa pikiran seorang yang merasakan kenikmatan menjadi terkonsentrasi.

(8 ) “Bagi seorang yang terkonsentrasi tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga aku mengetahui dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.’ Adalah sewajarnya [313] bahwa seorang yang terkonsentrasi mengetahui dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.

(9) “Bagi seorang yang mengetahui dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga aku menjadi kecewa.’ Adalah sewajarnya bahwa seorang yang mengetahui dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya menjadi kecewa.

(10) “Bagi seorang yang kecewa tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga aku menjadi bosan.’ Adalah sewajarnya bahwa seorang yang kecewa menjadi bosan.

(11) “Bagi seorang yang bosan tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga aku merealisasikan pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan.’ Adalah sewajarnya bahwa seorang yang bosan merealisasikan pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan.

“Demikianlah, para bhikkhu, (11)-(10) pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan adalah tujuan dan manfaat dari kebosanan; (9) kebosanan adalah tujuan dan manfaat dari kekecewaan; (8 ) kekecewaan adalah tujuan dan manfaat dari pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya; (7) pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya adalah tujuan dan manfaat dari konsentrasi; (6) konsentrasi adalah tujuan dan manfaat dari kenikmatan; (5) kenikmatan adalah tujuan dan manfaat dari ketenangan; (4) ketenangan adalah tujuan dan manfaat dari sukacita; (3) sukacita adalah tujuan dan manfaat dari kegembiraan; (2) kegembiraan adalah tujuan dan manfaat dari ketidak-menyesalan; (1) ketidak-menyesalan adalah tujuan dan manfaat dari perilaku bermoral.

“Demikianlah, para bhikkhu, satu tahap mengalir menuju tahap berikutnya, satu tahap mengisi tahap berikutnya, untuk pergi dari pantai sini ke pantai seberang.”

3 (3) Penyebab Terdekat (1) <2201>

“Para bhikkhu, (1) pada seorang yang tidak bermoral, pada seorang yang tidak memiliki  perilaku bermoral, maka (2) ketidak-menyesalan tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada ketidak-menyesalan, pada seorang tidak memiliki ketidak-menyesalan, maka (3) kegembiraan tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada kegembiraan, pada seorang yang tidak memiliki kegembiraan, maka (4) sukacita tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada sukacita, pada seorang yang tidak memiliki sukacita, maka (5) ketenangan tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada ketenangan, pada seorang yang tidak memiliki ketenangan, [314] maka (6) kenikmatan tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada kenikmatan, pada seorang yang tidak memiliki kenikmatan, maka (7) konsentrasi benar tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada konsentrasi benar, pada seorang yang tidak memiliki konsentrasi benar, maka (8 ) pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seorang yang tidak memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, maka (9) kekecewaan tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada kekecewaan, pada seorang yang tidak memiliki kekecewaan, maka (10) kebosanan tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada kebosanan, pada seorang yang tidak memiliki kebosanan, maka (11) pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.

“Misalkan ada sebatang pohon yang tidak memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tidak tumbuh sempurna; kulit kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tidak tumbuh sempurna. Demikian pula, pada seorang yang tidak bermoral, seorang yang tidak memiliki perilaku bermoral, maka ketidak-menyesalan tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada ketidak-menyesalan,… maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.

“Para bhikkhu, (1) pada seorang yang bermoral, pada seorang yang perilakunya bermoral, maka (2) ketidak-menyesalan memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada ketidak-menyesalan, pada seorang yang memiliki ketidak-menyesalan, maka (3) kegembiraan memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada kegembiraan, pada seorang yang memiliki kegembiraan, maka (4) sukacita memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada sukacita, pada seorang yang memiliki sukacita, maka (5) ketenangan memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada ketenangan, pada seorang yang memiliki ketenangan, maka (6) kenikmatan memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada kenikmatan, pada seorang yang memiliki kenikmatan, maka (7) konsentrasi benar memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada konsentrasi benar, pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, maka (8 ) pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seorang yang memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, maka (9) kekecewaan memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada kekecewaan, pada seorang yang memiliki kekecewaan, maka (10) kebosanan memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada kebosanan, pada seorang yang memiliki kebosanan, maka (11) pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.

“Misalkan ada sebatang pohon yang memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tumbuh sempurna; kulit kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tumbuh sempurna. Demikian pula, pada seorang yang bermoral, seorang yang perilakunya bermoral, maka ketidak-menyesalan memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada ketidak-menyesalan,… maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.” [315]

4 (4) Penyebab Terdekat (2)

Di sana Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:

[Identik dengan 11:3, tetapi dibabarkan oleh Sāriputta.] [316]

5 (5) Penyebab Terdekat (3)

Di sana Yang Mulia Ānanda berkata kepada para bhikkhu:

[Identik dengan 11:3, tetapi dibabarkan oleh Ānanda.] [317]

6 (6) Bencana <2202>

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu adalah seorang yang menghina dan meremehkan teman-temannya para bhikkhu, seorang pencela para mulia, adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa ia tidak akan mengalami paling sedikit satu di antara sebelas bencana ini. Apakah sebelas ini? (1) Ia tidak mencapai apa yang belum ia capai. (2) ia jatuh dari apa yang telah ia capai. (3) kualitas-kualitas baiknya tidak dipoles.<2203> (4) Ia menilai terlalu tinggi kualitas-kualitas baiknya, atau (5) menjalani kehidupan spiritual dengan tidak puas, [318] atau (6) melakukan pelanggaran kotor tertentu, atau (7) menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan yang lebih rendah, (8 ) atau mengidap penyakit parah, atau (9) menjadi gila dan kehilangan akal sehat. (10) Ia meninggal dunia dalam kebingungan. (11) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan kelahiran yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ketika seorang bhikkhu adalah seorang yang menghina dan meremehkan teman-temannya para bhikkhu, seorang pencela para mulia, adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa ia tidak akan mengalami paling sedikit satu di antara sebelas bencana itu.”

7 (7) Persepsi <2204>

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, dapatkah seorang bhikkhu mencapai suatu keadaan konsentrasi di mana (1) ia tidak menyadari tanah sehubungan dengan tanah; (2) tidak menyadari air sehubungan dengan air; (3) tidak menyadari api sehubungan dengan api; (4) tidak menyadari udara sehubungan dengan udara; (5) tidak menyadari landasan ruang tanpa batas sehubungan dengan landasan ruang tanpa batas; (6) tidak menyadari landasan kesadaran tanpa batas sehubungan dengan landasan kesadaran tanpa batas; (7) tidak menyadari landasan kekosongan sehubungan dengan landasan kekosongan; (8 ) tidak menyadari landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sehubungan dengan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi; (9) tidak menyadari dunia ini sehubungan dengan dunia ini; (10) tidak menyadari dunia lain sehubungan dengan dunia lain; (11) tidak menyadari apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, tetapi ia masih sadar?”

“Dapat, Ānanda.” [319]

“Tetapi bagaimanakah, Bhante, ia dapat mencapai keadaan konsentrasi demikian?”

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu mempersepsikan sebagai berikut: ‘Ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala aktivitas, lepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna.’ Dengan cara inilah, Ānanda, seorang bhikkhu dapat mencapai keadaan konsentrasi demikian di mana ia tidak menyadari tanah sehubungan dengan tanah … ia tidak menyadari apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, tetapi ia masih sadar.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda, setelah merasa puas dan gembira mendengar pernyataan Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, [320] mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan mendatangi Yang Mulia Sāriputta.<2205> Ia saling bertukar sapa dengan Yang Mulia Sāriputta, dan ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya:

“Teman, Sāriputta, dapatkah seorang bhikkhu mencapai suatu keadaan konsentrasi di mana ia tidak menyadari tanah sehubungan dengan tanah … tidak menyadari apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran tetapi ia masih sadar?”

“Dapat, teman Ānanda.”

“Tetapi bagaimanakah, teman Sāriputta, ia dapat mencapai keadaan konsentrasi demikian?”

“Di sini, teman Ānanda, seorang bhikkhu mempersepsikan sebagai berikut: ‘Ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala aktivitas, lepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna.’ Dengan cara inilah, Ānanda, seorang bhikkhu dapat mencapai keadaan konsentrasi demikian di mana ia tidak menyadari tanah sehubungan dengan tanah … ia tidak menyadari apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, tetapi ia masih sadar.”

“Menakjubkan dan mengagumkan, teman, bahwa makna dan kata-kata baik dari guru maupun siswa persis sama dan selaras satu sama lain dan tidak menyimpang sehubungan dengan keadaan terunggul.<2206> Baru saja, teman, aku mendatangi Sang Bhagavā [321] dan menanyakan kepada Beliau tentang persoalan ini. Sang Bhagavā menjawab dengan kata-kata dan frasa-frasa yang persis sama dengan yang diucapkan oleh Yang Mulia Sāriputta. Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, teman, bahwa makna dan kata-kata baik dari guru maupun siswa persis sama dan selaras satu sama lain dan tidak menyimpang sehubungan dengan keadaan terunggul.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEBELAS
« Reply #2 on: 10 October 2013, 10:49:20 AM »
8 (8 ) Perhatian

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, dapatkah seorang bhikkhu memperoleh suatu keadaan konsentrasi di mana ia tidak memperhatikan mata dan bentuk-bentuk, telinga dan suara-suara, hidung dan bau-bauan, lidah dan rasa kecapan, badan dan objek-objek sentuhan; di mana (1) ia tidak memperhatikan tanah,<2207> (2) air, (3) api, (4) atau udara; (5) ia tidak memperhatikan landasan ruang tanpa batas, (6) landasan kesadaran tanpa batas, (7) landasan kekosongan, (8 ) landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi; (9) ia tidak memperhatikan dunia ini; (10) ia tidak memperhatikan dunia lain; (11) ia tidak memperhatikan apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, tetapi ia masih penuh perhatian?”

“Dapat, Ānanda.” [322]

“Tetapi bagaimanakah, Bhante, ia dapat memperoleh keadaan konsentrasi demikian?”

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu mempersepsikan sebagai berikut: ‘Ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala aktivitas, lepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna.’ Dengan cara inilah, Ānanda, seorang bhikkhu dapat memperoleh keadaan konsentrasi demikian di mana ia tidak memperhatikan mata dan bentuk-bentuk, telinga dan suara-suara, hidung dan bau-bauan, lidah dan rasa kecapan, badan dan objek-objek sentuhan; di mana ia tidak memperhatikan tanah, air, api, atau udara; ia tidak memperhatikan landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan kekosongan, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi; ia tidak memperhatikan dunia ini; ia tidak memperhatikan dunia lain; ia tidak memperhatikan apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, tetapi ia masih penuh perhatian.”

9 (9) Sandha

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nadika [323] di aula bata. Kemudian Yang Mulia Sandha<2208> mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Bermeditasilah seperti seekor kuda berdarah murni, Sandha, bukan seperti seekor anak kuda liar. Dan bagaimanakah seekor anak kuda liar bermeditasi? Ketika seekor anak kuda liar diikat di dekat palung makanan ia bermeditasi: ‘Makanan, makanan!’ Karena alasan apakah? Karena ketika seekor anak kuda liar diikat di dekat palung makanan, ia tidak bertanya kepada diri sendiri: ‘Sekarang tugas apakah yang akan diberikan oleh pelatihku hari ini? Apakah yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Dengan terikat di dekat palung makanan, ia hanya bermeditasi: ‘Makanan, makanan!’ Demikian pula, Sandha, seseorang yang seperti anak kuda liar, ketika telah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, ia berdiam dengan pikiran dikuasai dan diserang oleh nafsu indria, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari nafsu indria yang telah muncul. Dengan memendam nafsu dalam pikiran, ia bermeditasi, berpikir, menimbang-nimbang, dan merenung.<2209> Ia berdiam dengan pikiran dikuasai dan diserang oleh niat buruk … oleh ketumpulan dan kantuk … oleh kegelisahan dan penyesalan … oleh keragu-raguan, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari keragu-raguan yang telah muncul. Dengan memendam keragu-raguan dalam pikiran, ia bermeditasi, berpikir, [324] menimbang-nimbang, dan merenung.

“Ia bermeditasi (1) dengan bergantung pada tanah, (2) dengan bergantung pada air, (3) dengan bergantung pada api, (4) dengan bergantung pada udara, (5) dengan bergantung pada landasan ruang tanpa batas, (6) dengan bergantung pada landasan kesadaran tanpa batas, (7) dengan bergantung pada landasan kekosongan, (8 ) dengan bergantung pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, (9) dengan bergantung pada dunia ini, (10) dengan bergantung pada dunia lain, (11) dengan bergantung pada apa yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran. Demikianlah meditasi dari seorang yang seperti anak kuda liar.

“Dan bagaimanakah, Sandha, seekor kuda berdarah murni bermeditasi? Ketika seekor kuda berdarah murni yang baik diikat di dekat palung makanan ia tidak bermeditasi: ‘Makanan, makanan!’ Karena alasan apakah? Karena ketika seekor kuda berdarah murni yang baik diikat di dekat palung makanan, ia bertanya kepada diri sendiri: ‘Sekarang tugas apakah yang akan diberikan oleh pelatihku hari ini? Apakah yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Dengan terikat di dekat palung makanan, ia tidak bermeditasi: ‘Makanan, makanan!’ Karena seekor kuda berdarah murni yang baik menganggap penggunaan tongkat kendali sebagai hutang, ikatan, kerugian, dan kegagalan. Demikian pula, seorang berdarah murni yang baik, ketika telah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, ia tidak berdiam dengan pikiran dikuasai dan diserang oleh nafsu indria, dan ia memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari nafsu indria yang telah muncul. Ia tidak berdiam dengan pikiran dikuasai dan diserang oleh niat buruk … oleh ketumpulan dan kantuk … oleh kegelisahan dan penyesalan … oleh keragu-raguan, dan ia memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari keragu-raguan yang telah muncul.

“Ia tidak bermeditasi (1) dengan bergantung pada tanah, (2) dengan bergantung pada air, (3) dengan bergantung pada api, (4) dengan bergantung pada udara, (5) dengan bergantung pada landasan ruang tanpa batas, (6) dengan bergantung pada landasan kesadaran tanpa batas, (7) dengan bergantung pada landasan kekosongan, (8 ) dengan bergantung pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, [325] (9) dengan bergantung pada dunia ini, (10) dengan bergantung pada dunia lain, (11) dengan bergantung pada apa yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, namun ia bermeditasi.

“Ketika ia bermeditasi demikian, para deva bersama dengan Indra, Brahmā, dan Pajāpati menyembah orang berdarah murni yang baik itu dari kejauhan, dengan berkata:

   “‘Hormat kepadamu, O orang berdarah murni yang baik!
   Hormat kepadamu, O orang yang mulia!
   Kami sendiri tidak memahami
   Dengan bergantung pada apakah engkau bermeditasi.’”<2210>

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sandha berkata kepada Sang Bhagavā: “Tetapi bagaimanakah, Bhante, seorang berdarah murni yang baik bermeditasi? Jika ia tidak bermeditasi dengan bergantung pada tanah … dengan bergantung pada apa yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, namun ia bermeditasi, bagaimanakah ia bermeditasi sehingga para deva … menyembah orang berdarah murni yang baik itu dari kejauhan, dengan berkata:

   “‘Hormat kepadamu, O orang berdarah murni yang baik! …
   Dengan bergantung pada apa engkau bermeditasi’?”

“Di sini, Sandha, pada seorang berdarah murni yang baik, persepsi tanah telah lenyap sehubungan dengan tanah,<2211> persepsi air telah lenyap sehubungan dengan air, persepsi api telah lenyap sehubungan dengan api, persepsi udara telah lenyap sehubungan dengan udara, persepsi landasan ruang tanpa batas telah lenyap sehubungan dengan landasan ruang tanpa batas, persepsi landasan kesadaran tanpa batas telah lenyap sehubungan dengan landasan kesadaran tanpa batas, [326] persepsi landasan kekosongan telah lenyap sehubungan dengan landasan kekosongan, persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi telah lenyap sehubungan dengan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, persepsi dunia ini telah lenyap sehubungan dengan dunia ini, persepsi dunia lain telah lenyap sehubungan dengan dunia lain, persepsi telah lenyap sehubungan dengan apa yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran.

“Dengan bermeditasi demikian, Sandha, seorang berdarah murni yang baik tidak bermeditasi dengan bergantung pada tanah, dengan bergantung pada air, dengan bergantung pada api, dengan bergantung pada udara, dengan bergantung pada landasan ruang tanpa batas, dengan bergantung pada landasan kesadaran tanpa batas, dengan bergantung pada landasan kekosongan, dengan bergantung pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, dengan bergantung pada dunia ini, dengan bergantung pada dunia lain; dengan bergantung pada apa yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran namun ia bermeditasi.<2212> Dan ketika ia bermeditasi demikian, para deva bersama dengan Indra, Brahmā, dan Pajāpati menyembah orang berdarah murni yang baik itu dari kejauhan, dengan berkata:

   “‘Hormat kepadamu, O orang berdarah murni yang baik!
   Hormat kepadamu, O orang yang mulia!
   Kami sendiri tidak memahami
   Dengan bergantung pada apa engkau bermeditasi.’”

10 (10) Taman Suaka Merak <2213>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di taman pengembara, taman suaka merak. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah mencapai akhir yang tertinggi, telah memenangkan keamanan tertinggi dari belenggu, telah menjalani kehidupan spiritual yang tertinggi, dan telah mendapatkan kesempurnaan tertinggi. Apakah tiga ini? (1) Kelompok perilaku bermoral dari seorang yang melampaui latihan, (2) kelompok konsentrasi dari seorang yang melampaui latihan, (3) kelompok kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan. Dengan memiliki ketiga kualitas ini, seorang bhikkhu [327] adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah … mendapatkan kesempurnaan tertinggi.

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas lainnya, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah … mendapatkan kesempurnaan tertinggi. Apakah tiga ini? (4) Keajaiban kekuatan batin, (5) keajaiaban membaca pikiran, dan (6) keajaiban pengajaran. Dengan memiliki ketiga kualitas ini, seorang bhkkhu bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah … mendapatkan kesempurnaan tertinggi.

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas lainnya, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah … mendapatkan kesempurnaan tertinggi. Apakah tiga ini? (7) Pandangan benar, (8 ) pengetahuan benar, dan (9) kebebasan benar. Dengan memiliki ketiga kualitas ini, seorang bhkkhu bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah … mendapatkan kesempurnaan tertinggi.

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas lainnya, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah … mendapatkan kesempurnaan tertinggi. Apakah dua ini? (10) Pengetahuan sejati dan (11) perilaku. Dengan memiliki kedua kualitas ini, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah mencapai akhir yang tertinggi, telah memenangakn keamanan tertinggi dari belenggu, telah menjalani kehidupan spiritual yang tertinggi, dan telah mendapatkan kesempurnaan tertinggi.

“Brahma Sanaṃkumāra juga, mengucapkan syair ini:

   “’Khattiya adalah yang terbaik di antara manusia
   Bagi mereka yang acuannya adalah kasta,
   Tetapi seorang yang sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku
   Adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia.’

“Syair ini, para bhikkhu, dilafalkan dengan baik oleh Brahmā Sanaṃkumāra, bukan dilafalkan dengan buruk; diucapkan dengan baik, bukan diucapkan dengan buruk; [328] ini bermanfaat, bukan berbahaya, dan Aku menyetujuinya. Aku juga mengatakan demikian:

   “’Khattiya adalah yang terbaik di antara manusia
   Bagi mereka yang acuannya adalah kasta,
   Tetapi seorang yang sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku
   Adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia.’”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEBELAS
« Reply #3 on: 10 October 2013, 10:49:44 AM »
II. PENGINGATAN

11 (1) Mahānāma (1) <2214>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara para penduduk Sakya Di Kapilavatthu di Taman Pohon Banyan.  Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang membuat jubah untuk Sang Bhagavā, dengan berpikir bahwa setelah jubah selesai, di akhir tiga bulan [masa kediaman musim hujan], Sang Bhagavā akan melakukan perjalanan. Mahānāma orang Sakya yang mendengar hal ini mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:

“Bhante, aku mendengar: ‘Sejumlah bhikkhu sedang membuat jubah untuk Sang Bhagavā, dengan berpikir bahwa setelah jubah selesai, di akhir tiga bulan [masa kediaman musim hujan], Sang Bhagavā akan melakukan perjalanan.’ Bhante, dengan segala kesibukan kami, bagaimanakah kami harus berdiam?”<2215> [329]

“Bagus, bagus, Mahānāma! Adalah selayaknya bagimu seorang anggota keluarga untuk mendatangi Sang Tathāgata dan bertanya: ‘Bhante, dengan segala kesibukan kami, bagaimanakah kami harus berdiam?’

(1) “Mahānāma, seorang yang berkeyakinan berhasil, bukan seorang yang tanpa keyakinan. (2) Seorang yang bersemangat berhasil, bukan seorang yang malas. (3) Seorang yang dengan perhatian ditegakkan berhasil, bukan seorang yang berpikiran-kacau. (4) Seorang yang terkonsentrasi berhasil, bukan seorang yang tidak terkonsentrasi. (5) Seorang yang bijaksana berhasil, bukan seorang yang tidak bijaksana. setelah menegakkan kelima kualitas ini dalam dirimu, engkau lebih jauh lagi harus mengembangkan enam hal.

(6) “Di sini, Mahānāma, engkau harus mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada Sang Tathāgata. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus mendapatkan inspirasi dalam makna, mendapatkan inspirasi dalam Dhamma, mendapatkan kegembiraan yang terhubung dengan Dhamma. Ketika ia gembira, maka sukacita muncul. Pada seorang yang pikirannya bersukacita, jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dalam keseimbangan di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa menderita di tengah-tengah populasi yang menderita. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada Sang Buddha.

(7) “Kemudian, Mahānāma, engkau harus mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Dhamma, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, [330] kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada Dhamma. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus mendapatkan inspirasi dalam makna, mendapatkan inspirasi dalam Dhamma, mendapatkan kegembiraan yang terhubung dengan Dhamma. Ketika ia gembira, maka sukacita muncul. Pada seorang yang pikirannya bersukacita, jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dalam keseimbangan di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa menderita di tengah-tengah populasi yang menderita. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada Dhamma.

(8 ) Kemudian, Mahānāma, engkau harus mengingat Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ ’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Saṅgha, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada Saṅgha. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus mendapatkan inspirasi dalam makna, mendapatkan inspirasi dalam Dhamma, mendapatkan kegembiraan yang terhubung dengan Dhamma. Ketika ia gembira, maka sukacita muncul. Pada seorang yang pikirannya bersukacita, jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dalam keseimbangan di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa menderita di tengah-tengah populasi yang menderita. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada Saṅgha.

(9) “Kemudian, Mahānāma, engkau harus mengingat perilaku bermoralmu sendiri sebagai tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Ketika seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau [331] delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada perilaku bermoral. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus mendapatkan inspirasi dalam makna, mendapatkan inspirasi dalam Dhamma, mendapatkan kegembiraan yang terhubung dengan Dhamma. Ketika ia gembira, maka sukacita muncul. Pada seorang yang pikirannya bersukacita, jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dalam keseimbangan di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa menderita di tengah-tengah populasi yang menderita. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada perilaku bermoral.

(10) “Kemudian, Mahānāma, engkau harus mengingat kedermawananmu sendiri sebagai berikut: ‘Sungguh keberuntungan dan nasib baik bagiku bahwa dalam populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam pelepasan, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada kedermawanan. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus mendapatkan inspirasi dalam makna, mendapatkan inspirasi dalam Dhamma, mendapatkan kegembiraan yang terhubung dengan Dhamma. Ketika ia gembira, maka sukacita muncul. Pada seorang yang pikirannya bersukacita, jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dalam keseimbangan di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa menderita di tengah-tengah populasi yang menderita. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada kedermawanan.

(11) “Kemudian, Mahānāma, engkau harus mengingat para dewata sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva, para deva Tāvatiṃsa, para deva Yāma, para deva Tusita, para deva yang bersenang dalam penciptaan, para deva yang mengendalikan ciptaan para deva lain, para deva kumpulan Brahmā, dan para deva yang lebih tinggi daripada para deva ini. Dalam diriku juga terdapat keyakinan seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, [332] mereka terlahir kembali di sana; dalam diriku juga terdapat perilaku bermoral … pembelajaran … kedermawanan … kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata itu, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada para dewata. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus mendapatkan inspirasi dalam makna, mendapatkan inspirasi dalam Dhamma, mendapatkan kegembiraan yang terhubung dengan Dhamma. Ketika ia gembira, maka sukacita muncul. Pada seorang yang pikirannya bersukacita, jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dalam keseimbangan di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa menderita di tengah-tengah populasi yang menderita. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada para dewata.”

12 (2) Mahānāma (2)

[Pembukaan seperti pada 11:11, hingga:] [333]

setelah menegakkan kelima kualitas ini dalam dirimu, engkau lebih jauh lagi harus mengembangkan enam hal.

(6) “Di sini, Mahānāma, engkau harus mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah … Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada Sang Tathāgata. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus mendapatkan inspirasi dalam makna, mendapatkan inspirasi dalam Dhamma, mendapatkan kegembiraan yang terhubung dengan Dhamma. Ketika ia gembira, maka sukacita muncul. Pada seorang yang pikirannya bersukacita, jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Mahānāma, engkau harus mengembangkan pengingatan pada Sang Buddha ini ketika sedang berjalan, berdiri, duduk, dan berbaring. Engkau harus mengembangkannya ketika sedang melakukan pekerjaan dan ketika sedang berada di rumah yang penuh dengan anak-anak. [334]

(7) “Kemudian, Mahānāma, engkau harus mengingat Dhamma … (8 ) … Saṅgha … (9) … perilaku bermoralmu sendiri … (10) … kedermawananmu sendiri … (11) … para dewata sebagai berikut … Ketika seorang siswa mulia mengingat keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata itu, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada para dewata. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus mendapatkan inspirasi dalam makna, mendapatkan inspirasi dalam Dhamma, mendapatkan kegembiraan yang terhubung dengan Dhamma. Ketika ia gembira, maka sukacita muncul. Pada seorang yang pikirannya bersukacita, jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Mahānāma, engkau harus mengembangkan pengingatan pada para dewata ini ketika sedang berjalan, berdiri, duduk, dan berbaring. Engkau harus mengembangkannya ketika sedang melakukan pekerjaan dan ketika sedang berada di rumah yang penuh dengan anak-anak.

13 (3) Nandiya

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Sakya di Kapilavatthu di Taman Pohon Banyan. Pada saat itu Sang Bhagavā hendak memasuki masa kediaman musim hujan di Sāvatthī. Nandiya orang Sakya mendengar hal ini kemudian [335] ia berpikir: “Aku juga akan memasuki masa kediaman musim hujan di Sāvatthī.<2216> Di sana aku akan melakukan urusan-urusanku dan dari waktu ke waktu pergi mengunjungi Sang Bhagavā.”

Kemudian Sang Bhagavā memasuki masa kediaman musim hujan di Sāvatthī. Nandiya orang Sakya juga memasuki masa kediaman musim hujan di Sāvatthī, di mana ia melakukan urusan-urusannya dan dari waktu ke waktu pergi mengunjungi Sang Bhagavā. Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang membuat jubah untuk Sang Bhagavā, dengan berpikir bahwa setelah jubah selesai, di akhir tiga bulan [masa kediaman musim hujan], Sang Bhagavā akan melakukan perjalanan. Nandiya orang Sakya yang mendengar hal ini mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:

“Bhante, aku mendengar: ‘Sejumlah bhikkhu sedang membuat jubah untuk Sang Bhagavā, dengan berpikir bahwa setelah jubah selesai, di akhir tiga bulan [masa kediaman musim hujan], Sang Bhagavā akan melakukan perjalanan.’ Bhante, dengan segala kesibukan kami, bagaimanakah kami harus berdiam?”

“Bagus, bagus, Nandiya! Adalah selayaknya bagimu seorang anggota keluarga untuk mendatangi Sang Tathāgata dan bertanya: ‘Bhante, dengan segala kesibukan kami, bagaimanakah kami harus berdiam?’

(1) “Nandiya, seorang yang berkeyakinan berhasil, bukan seorang yang tanpa keyakinan. (2) Seorang yang bermoral berhasil, bukan seorang yang tidak bermoral. (3) Seorang yang bersemangat berhasil, bukan seorang yang malas. (4) Seorang yang dengan perhatian ditegakkan berhasil, bukan seorang yang berpikiran-kacau. (5) Seorang yang terkonsentrasi berhasil, bukan seorang yang tidak terkonsentrasi. (6) Seorang yang bijaksana berhasil, bukan seorang yang tidak bijaksana. setelah menegakkan keenam kualitas ini dalam dirimu, engkau lebih jauh lagi harus menegakkan perhatian secara internal sehubungan dengan lima hal.

(7) “Di sini, Nandiya, engkau harus mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: [336] ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Demikianlah engkau harus menegakkan perhatianmu secara internal berdasarkan pada Sang Tathāgata.

(8 ) “Kemudian, Nandiya, engkau harus mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Demikianlah engkau harus menegakkan perhatianmu secara internal berdasarkan pada Dhamma.

(9) Kemudian, Nandiya, engkau harus mengingat teman-teman baik sebagai berikut: ‘Sungguh keberuntungan dan nasib baik bagiku bahwa aku memiliki teman-teman baik yang berbelas kasihan padaku, yang menginginkan kebaikanku, yang menasihati dan mengajariku.’ Demikianlah engkau harus menegakkan perhatianmu secara internal berdasarkan pada teman-teman baik.

(10) “Kemudian, Nandiya, engkau harus mengingat kedermawananmu sendiri sebagai berikut: ‘Sungguh keberuntungan dan nasib baik bagiku bahwa dalam populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam pelepasan, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi.’ Demikianlah engkau harus menegakkan perhatianmu secara internal berdasarkan pada kedermawanan.

(11) “Kemudian, Nandiya, engkau harus mengingat para dewata sebagai berikut: ‘Para dewata itu yang telah terlahir kembali dalam tubuh ciptaan-pikiran dalam kumpulan para deva yang melampaui mereka yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan tidak melihat apa pun dalam diri mereka yang masih harus dilakukan atau [apa pun yang perlu] ditingkatkan atas apa yang telah dilakukan,<2217>demikianlah para dewata itu yang telah terlahir kembali dalam tubuh ciptaan-pikiran dalam kumpulan para deva yang melampaui mereka yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan.’<2218> [337] Demikianlah engkau harus menegakkan perhatianmu secara internal berdasarkan pada para dewata itu.

“Nandiya, seorang siswa mulia yang memiliki kesebelas kualitas ini meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat dan tidak mengambilnya. Seperti halnya sebuah kendi yang dibalikkan tidak menerima kembali air yang telah dituang ke luar, dan seperti halnya api yang  tidak terkendali<2219> membakar hutan kayu yang kering dan tidak mengembalikan apa yang telah dibakar, demikian pula, seorang siswa mulia yang memiliki kesebelas kualitas ini meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat dan tidak mengambilnya.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEBELAS
« Reply #4 on: 10 October 2013, 10:50:48 AM »
14 (4) Subhūti

Yang Mulia Subhūti bersama dengan Bhikkhu Saddha mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Subhūti:

“Siapakah nama bhikkhu ini, Subhūti?”

“Namanya adalah Saddha, Bhante. Ia adalah putra seorang umat awam laki-laki yang memiliki keyakinan,<2220> dan ia telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah karena keyakinan.”

“Kuharap putra umat awam laki-laki yang memiliki keyakinan ini, Bhikkhu Saddha ini, yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah karena keyakinan, memperlihatkan manifestasi keyakinan.”<2221>

“Sekaranglah waktunya, Bhagavā! Sekaranglah waktunya, Yang Berbahagia! Sudilah Sang Bhagavā menjelaskan manifestasi keyakinan. Sekarang aku akan mengetahui apakah bhikkhu ini memperlihatkan manifestasi keyakinan atau tidak.”

“Kalau begitu dengarkanlah, Subhūti, dan perhatikanlah dengan seksama. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Subhūti menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: [338]

(1) “Di sini, Subhūti, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Ini adalah satu manifestasi keyakinan pada seorang yang memiliki keyakinan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, dilafalkan secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan. Ini juga, adalah satu manifestasi keyakinan pada seorang yang memiliki keyakinan.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik, sahabat-sahabat yang baik, kawan-kawan yang baik. Ini juga, adalah satu manifestasi keyakinan pada seorang yang memiliki keyakinan.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu mudah dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah dikoreksi; ia sabar dan menerima ajaran dengan hormat. Ini juga, adalah satu manifestasi keyakinan pada seorang yang memiliki keyakinan.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu terampil dan rajin dalam melakukan berbagai tugas yang harus dilakukan demi teman-temannya para bhikkhu; ia memiliki penilaian benar sehubungan dengan tugas-tugas itu agar dapat menjalankan dan mengurusnya dengan benar. Ini juga, adalah satu manifestasi keyakinan pada seorang yang memiliki keyakinan. [339]
 
(6) “Kemudian, seorang bhikkhu menyukai Dhamma dan menyenangkan dalam pernyataan-pernyataannya, penuh dengan kegembiraan luhur sehubungan dengan Dhamma dan disiplin. Ini juga, adalah satu manifestasi keyakinan pada seorang yang memiliki keyakinan.

(7) “Kemudian, seorang bhikkhu telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat; ia kuat, teguh dalam pengerahan usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ini juga, adalah satu manifestasi keyakinan pada seorang yang memiliki keyakinan.

(8 ) “Kemudian, seorang bhikkhu mencapai sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan keberdiaman yang nyaman dalam kehidupan ini. Ini juga, adalah satu manifestasi keyakinan pada seorang yang memiliki keyakinan.

(9) “Kemudian, seorang bhikkhu mengingat banyak kehidupan lampauNya … [seperti pada 6:2 §4] … Demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampauNya dengan aspek-aspek dan rinciannya. [340] Ini juga, adalah satu manifestasi keyakinan pada seorang yang memiliki keyakinan.

(10) “Kemudian, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, seorang bhikkhu melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin … [seperti pada 6:2 §5] … dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka. Ini juga, adalah satu manifestasi keyakinan pada seorang yang memiliki keyakinan.

(11) “Kemudian, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasikan untuk diriNya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini juga, adalah satu manifestasi keyakinan pada seorang yang memiliki keyakinan.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Subhūti berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, manifestasi keyakinan pada seorang yang memiliki keyakinan seperti yang dibabarkan oleh Sang Bhagavā terlihat pada bhikkhu ini, dan ia memang memperlihatkannya.

(1) “Bhikkhu ini, Bhante, bermoral … [341] ia berlatih di dalamnya.

(2) “Ia telah banyak belajar … dan menembusnya dengan baik melalui pandangan.

(3) “Ia memiliki teman-teman yang baik, sahabat-sahabat yang baik, kawan-kawan yang baik.

(4) “Ia mudah dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah dikoreksi; ia sabar dan menerima ajaran dengan hormat.

(5) “Ia terampil dan rajin … agar dapat menjalankan dan mengurusnya dengan benar.

(6) “Ia menyukai Dhamma … sehubungan dengan Dhamma dan disiplin.

(7) “Ia telah membangkitkan kegigihan … tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat.

(8 ) “Ia mencapai sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna … dalam kehidupan ini.

(9) “Ia mengingat banyak kehidupan lampauNya … dengan aspek-aspek dan rinciannya.

(10) “Ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali … dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka.

(11) “Dengan hancurnya noda-noda, bhikkhu ini telah merealisasikan untuk diriNya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Bhante, manifestasi keyakinan pada seorang yang memiliki keyakinan seperti yang dibabarkan oleh Sang Bhagavā terlihat pada bhikkhu ini, dan ia memang memperlihatkannya.

“Bagus, bagus, Subhūti! Kalau begitu, Subhūti, engkau boleh berdiam bersama dengan Bhikkhu Saddha ini, dan ketika engkau hendak bertemu dengan Sang Tathāgata, engkau boleh mengajarknya bersama.” [342]

15 (5) Cinta-Kasih <2222>

“Para bhikkhu, ketika kebebasan pikiran melalui cinta-kasih ditekuni, dikembangkan, dan dilatih, dan dijadikan kendaraan dan landasan, dijalankan, dikokohkan, dan dilaksanakan dengan benar, maka sebelas manfaat ini menanti. Apakah sebelas ini?

(1) “Seseorang tidur dengan nyenyak; (2) ia terjaga dengan bahagia; (3) ia tidak bermimpi buruk; (4) ia disukai manusia; (5) ia disukai makhluk halus; (6) para dewata melindunginya; (7) api, racun, dan senjata tidak dapat melukainya; (8 ) pikirannya dengan cepat dapat terkonsentrasi; (9) raut wajahnya tenang; (10) ia meninggal dunia dengan tidak bingung; dan (11) jika ia tidak menembus lebih jauh, maka ia mengembara menuju alam brahmā.<2223>

“Ketika, para bhikkhu, kebebasan pikiran melalui cinta-kasih ditekuni, dikembangkan, dan dilatih, dan dijadikan kendaraan dan landasan, dijalankan, dikokohkan, dan dilaksanakan dengan benar, maka sebelas manfaat ini menanti.”

16 (6) Dasama <2224>

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Beluvagāmaka di dekat Vesālī. Pada saat itu perumah tangga Dasama dari Aṭṭhakanagara<2225> telah tiba di Pāṭaliputta untuk suatu urusan. Kemudian ia mendatangi seorang bhikkhu tertentu di Taman Ayam dan bertanya: “Bhante, di manakah Yang Mulia Ānanda berada sekarang? Aku ingin bertemu dengannya.”

“Ia sedang sedang menetap di Beluvagāmaka di dekat Vesālī, perumah tangga.”

Ketika perumah tangga Dasama telah menyelesaikan urusannya di Pāṭaliputta, ia mendatangi Yang Mulia Ānanda di Beluvagāmaka di dekat Vesālī. Ia bersujud pada Yang Mulia Ānanda, duduk di satu sisi, [343] dan berkata kepadanya:

“Bhante Ānanda, adakah satu hal yang dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna yang mengetahui dan melihat, bahwa jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun dan bersungguh-sungguh di dalamnya, maka pikirannya yang tidak terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai?”

“Ada, perumah tangga.”

“Dan apakah itu?”

(1) “Di sini, perumah tangga, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan. Ia mempertimbangkan ini dan memahaminya sebagai berikut: ‘Jhāna pertama ini dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam ini, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena nafsu pada Dhamma itu, karena kesenangan di dalam Dhamma itu,<2226> maka dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia akan menjadi seorang yang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa kembali dari alam itu.

“Ini adalah satu hal yang dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna yang mengetahui dan melihat, bahwa jika seorang bhikkhu berdiam di dalamnya dengan rajin, tekun dan bersungguh-sungguh di dalamnya, maka pikirannya yang tidak terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang masih belum dicapai. [344]

(2) “Kemudian, perumah tangga, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … (3) … jhāna ke tiga … (4) … jhāna ke empat … Ia mempertimbangkan ini dan memahaminya sebagai berikut: ‘Jhāna ke empat ini dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam ini, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena nafsu pada Dhamma itu, karena kesenangan di dalam Dhamma itu, maka dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia akan menjadi seorang yang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna yang mengetahui dan melihat, bahwa jika seorang bhikkhu berdiam di dalamnya … ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang masih belum dicapai.

(5) “Kemudian, perumah tangga, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia mempertimbangkan ini dan memahaminya sebagai berikut: ‘Kebebasan pikiran melalui cinta-kasih ini dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam ini, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena nafsu pada Dhamma itu, karena kesenangan di dalam Dhamma itu, maka dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia akan menjadi seorang yang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, [345] Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna yang mengetahui dan melihat, bahwa jika seorang bhikkhu berdiam di dalamnya … ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang masih belum dicapai.

(6) “Kemudian, perumah tangga, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasihan … (7) … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik … (8 ) … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia mempertimbangkan ini dan memahaminya sebagai berikut: ‘Kebebasan pikiran melalui keseimbangan ini dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam ini, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena nafsu pada Dhamma itu, karena kesenangan di dalam Dhamma itu, maka dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia akan menjadi seorang yang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna yang mengetahui dan melihat, bahwa jika seorang bhikkhu berdiam di dalamnya … ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang masih belum dicapai.

(9) “Kemudian, perumah tangga, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ia mempertimbangkan ini dan memahaminya sebagai berikut: ‘Pencapaian landasan ruang tanpa batas ini dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam ini, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak [346] mencapai hancurnya noda-noda karena nafsu pada Dhamma itu, karena kesenangan di dalam Dhamma itu, maka dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia akan menjadi seorang yang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna yang mengetahui dan melihat, bahwa jika seorang bhikkhu berdiam di dalamnya … ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang masih belum dicapai.

(10) “Kemudian, perumah tangga, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas … (11) … dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ia mempertimbangkan ini dan memahaminya sebagai berikut: ‘Pencapaian landasan kekosongan ini dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam ini, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena nafsu pada Dhamma itu, karena kesenangan di dalam Dhamma itu, maka dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia akan menjadi seorang yang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna yang mengetahui dan melihat, bahwa jika seorang bhikkhu berdiam di dalamnya dengan rajin, tekun dan bersungguh-sungguh di dalamnya, maka pikirannya yang tidak terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang masih belum dicapai.”<2227>

Ketika hal ini dikatakan, perumah tangga Dasama dari Aṭṭhakanagara berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Bhante Ānanda, seperti halnya jika seseorang yang mencari pintu masuk menuju pusaka tersembunyi menemukan sekaligus tujuh pintu masuk menuju harta pusaka itu, demikian pula, selagi aku sedang mencari satu pintu menuju keabadian, aku telah sekaligus mendengarkan sebelas pintu menuju keabadian.<2228> Seperti halnya seseorang yang memiliki rumah dengan sebelas pintu [347] dan ketika rumah itu terbakar, ia dapat melarikan diri ke tempat aman melalui salah satu di antara sebelas pintu itu, demikian pula aku dapat melarikan diri ke tempat aman melalui salah satu di antara sebelas pintu menuju keabadian ini. Bhante, anggota-anggota sekte lain menuntut bayaran untuk guru-guru mereka, jadi mengapa aku tidak memberikan persembahan kepada Yang Mulia Ānanda?”

Kemudian perumah tangga Dasama dari Aṭṭhakanagara mengumpulkan Saṅgha para bhikkhu dari Pāṭaliputta dan Vesālī, dan dengan tangannya sendiri ia melayani dan memuaskan mereka dengan berbagai jenis makanan baik. Ia mempersembahkan sepasang jubah kepada masing-masing bhikkhu dan tiga jubah kepada Yang Mulia Ānanda. Dan ia membangun sebuah tempat tinggal bernilai lima ratus<2229> untuk Yang Mulia Ānanda.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEBELAS
« Reply #5 on: 10 October 2013, 10:51:36 AM »
17 (7) Penggembala Sapi <2230>

“Para bhikkhu, dengan memiliki sebelas faktor, seorang penggembala sapi tidak mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi. Apakah sebelas ini? Di sini, (1) seorang penggembala sapi tidak memiliki pengetahuan akan bentuk; (2) ia tidak terampil dalam hal karakteristik; (3) ia gagal menyingkirkan telur lalat; (4) ia gagal merawat luka; (5) ia gagal mengasapi kandang; (6) ia tidak mengetahui sumber air; (7) ia tidak mengetahui apa yang harus diminumkan; (8 ) ia tidak mengetahui jalan; (9) ia tidak terampil dalam hal padang rumput; (10) ia memerah susu sampai kering; dan (11) ia tidak memberikan penghormatan lebih pada sapi-sapi jantan itu yang merupakan induk dan pemimpin kelompok. Dengan memiliki sebelas faktor, seorang penggembala sapi tidak mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki sebelas kualitas, seorang bhikkhu tidak mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan pemenuhan dalam Dhamma dan disiplin ini. Apakah sebelas ini? [348] Di sini, (1) seorang bhikkhu tidak memiliki pengetahuan akan bentuk; (2) ia tidak terampil dalam hal karakteristik; (3) ia gagal menyingkirkan telur lalat; (4) ia gagal merawat luka; (5) ia gagal mengasapi kandang; (6) ia tidak mengetahui sumber air; (7) ia tidak mengetahui apa yang harus diminumkan; (8 ) ia tidak mengetahui jalan; (9) ia tidak terampil dalam hal padang rumput; (10) ia memerah susu sampai kering; dan (11) ia tidak memberikan penghormatan lebih pada para bhikkhu senior itu yang telah lama meninggalkan keduniawian yang merupakan para ayah dan para pemimpin Saṅgha.

(1) “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak memiliki pengetahuan akan bentuk? Di sini seorang bhikkhu tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Segala bentuk dari jenis apapun juga adalah empat unsur utama dan bentuk itu diturunkan dari empat unsur utama.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak memiliki pengetahuan akan bentuk.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal karakteristik? Di sini seorang bhikkhu tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Seorang dungu dikarakteristikkan oleh perbuatannya; seorang bijaksana dikarakteristikkan oleh perbuatannya.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal karakteristik.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu gagal menyingkirkan telur lalat? Di sini, seorang bhikkhu mentolerir pikiran keinginan indria yang telah muncul; ia tidak meninggalkannya, tidak menghalaunya, tidak menghentikannya, dan tidak melenyapkannya. Ia mentolerir pikiran niat buruk yang telah muncul ... pikiran mencelakai yang telah muncul ... kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat kapan pun munculnya; ia tidak meninggalkannya, tidak menghalaunya, tidak menghentikannya, dan tidak melenyapkannya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu gagal menyingkirkan telur lalat.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu gagal merawat luka? Di sini, setelah melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Walaupun, ketika ia membiarkan indria mata tanpa terjaga, kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan mungkin menyerangnya, ia tidak berlatih mengendalikannya; ia tidak menjaga indria mata; ia tidak menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengar suara dengan telinga ... [349] ...Setelah mencium bau-bauan dengan hidung ... Setelah mengecap rasa kecapan dengan lidah ... Setelah menyentuh objek-sentuhan dengan badan ... Setelah mengenali fenomena-pikiran dengan pikiran, ia menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Walaupun, ketika ia membiarkan indria pikiran tanpa terjaga, kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan mungkin menyerangnya, ia tidak berlatih mengendalikannya; ia tidak menjaga indria pikiran; ia tidak menjalankan pengendalian indria pikiran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu gagal merawat luka.

(5) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu gagal mengasapi kandang? Di sini seorang bhikkhu tidak mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengarkan dan ia pelajari. Dengan cara inilah seorang bhikkhu gagal mengasapi kandang.

(6) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak mengetahui sumber air? Di sini seorang bhikkhu tidak dari waktu ke waktu mengunjungi para bhikkhu yang telah banyak belajar, para pewaris warisan, para ahli Dhamma, para ahli disiplin, dan para ahli kerangka, dan ia tidak bertanya kepada mereka: ‘Bagaimanakah ini, Bhante, apakah artinya ini?’ Karena itu para mulia ini tidak mengungkapkan kepadanya apa yang belum terungkap, tidak menjelaskan apa yang belum jelas, dan tidak melenyapkan keragu-raguannya mengenai banyak hal yang meragukan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak mengetahui sumber air.

(7) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak mengetahui apa yang harus diminumkan? Di sini, ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, seorang bhikkhu tidak memperoleh inspirasi dalam makna, tidak memperoleh inspirasi dalam Dhamma, tidak memperoleh kegembiraan yang terhubung dengan Dhamma. Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak mengetahui apa yang harus diminumkan.

(8 ) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak mengetahui jalan? Di sini seorang bhikkhu tidak memahami Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagaimana adanya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak mengetahui jalan.

(9) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal padang rumput? [350] Di sini, seorang bhikkhu tidak memahami empat penegakan perhatian sebagaimana adanya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal padang rumput.<2231>

(10) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memerah susu sampai kering? Di sini, ketika seorang perumah-tangga yang berkeyakinan mengundang seorang bhikkhu untuk menerima jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit, bhikkhu itu menerimanya secara berlebihan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu memerah susu sampai kering.

(11) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak memberikan penghormatan lebih pada para bhikkhu senior itu yang telah lama meninggalkan keduniawian yang merupakan para ayah dan para pemimpin Saṅgha? Di sini, seorang bhikkhu tidak menjaga perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Saṅgha. Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha.

“Dengan memiliki kesebelas kualitas ini, seorang bhikkhu tidak mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan pemenuhan dalam Dhamma dan disiplin ini.

“Para bhikkhu, dengan memiliki sebelas faktor, seorang penggembala sapi mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi. Apakah sebelas ini? Di sini, (1) seorang penggembala sapi memiliki pengetahuan akan bentuk; (2) ia terampil dalam hal karakteristik; (3) ia menyingkirkan telur lalat; (4) ia merawat luka; (5) ia mengasapi kandang; (6) ia mengetahui sumber air; (7) ia mengetahui apa yang harus diminumkan; (8 ) ia mengetahui jalan; (9) ia terampil dalam hal padang rumput; (10) ia tidak memerah susu sampai kering; dan (11) ia memberikan penghormatan lebih pada sapi-sapi jantan itu yang merupakan induk dan pemimpin kelompok. Dengan memiliki sebelas faktor, seorang penggembala sapi mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki sebelas kualitas, seorang bhikkhu mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan pemenuhan dalam Dhamma dan disiplin ini. Apakah sebelas ini? [351] Di sini, (1) seorang bhikkhu memiliki pengetahuan akan bentuk; (2) ia terampil dalam hal karakteristik; (3) ia menyingkirkan telur lalat; (4) ia merawat luka; (5) ia mengasapi kandang; (6) ia mengetahui sumber air; (7) ia mengetahui apa yang harus diminumkan; (8 ) ia mengetahui jalan; (9) ia terampil dalam hal padang rumput; (10) ia tidak memerah susu sampai kering; dan (11) ia memberikan penghormatan lebih pada para bhikkhu senior itu yang telah lama meninggalkan keduniawian yang merupakan para ayah dan para pemimpin Saṅgha.

(1) “Bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki pengetahuan akan bentuk? Di sini seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Segala bentuk dari jenis apapun juga adalah empat unsur utama dan bentuk itu diturunkan dari empat unsur utama.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu memiliki pengetahuan akan bentuk.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu terampil dalam hal karakteristik? Di sini seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Seorang dungu dikarakteristikkan oleh perbuatannya; seorang bijaksana dikarakteristikkan oleh perbuatannya.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu terampil dalam hal karakteristik.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menyingkirkan telur lalat? Di sini, seorang bhikkhu tidak mentolerir pikiran keinginan indria yang telah muncul; ia meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ia tidak mentolerir pikiran niat buruk yang telah muncul ... pikiran mencelakai yang telah muncul ... kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat kapan pun munculnya; ia meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu menyingkirkan telur lalat.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu merawat luka? Di sini, setelah melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tanpa terjaga, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan mungkin menyerangnya, ia berlatih mengendalikannya; ia menjaga indria mata; ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengar suara dengan telinga...Setelah mencium bau-bauan dengan hidung ... Setelah mengecap rasa kecapan dengan lidah ... Setelah menyentuh objek-sentuhan dengan badan ... Setelah mengenali fenomena-pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tanpa terjaga, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan mungkin menyerangnya, [352] ia berlatih mengendalikannya; ia menjaga indria pikiran; ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu merawat luka.

(5) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu mengasapi kandang? Di sini seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengarkan dan pelajari. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mengasapi kandang.

(6) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu mengetahui sumber air? Di sini seorang bhikkhu dari waktu ke waktu mengunjungi para bhikkhu yang telah banyak belajar, para pewaris warisan, para ahli Dhamma, para ahli disiplin, dan para ahli kerangka, dan ia bertanya kepada mereka: ‘Bagaimanakah ini, Bhante, apakah artinya ini?’ Karena itu para mulia ini mengungkapkan kepadanya apa yang belum terungkap, menjelaskan apa yang belum jelas, dan melenyapkan keragu-raguannya mengenai banyak hal yang meragukan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mengetahui sumber air.

(7) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu mengetahui apa yang harus diminumkan? Di sini, ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, seorang bhikkhu memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang terhubung dengan Dhamma. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mengetahui apa yang harus diminumkan.

(8 ) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu mengetahui jalan? Di sini seorang bhikkhu memahami Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagaimana adanya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mengetahui jalan.

(9) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu terampil dalam hal padang rumput? Di sini, seorang bhikkhu memahami empat penegakan perhatian sebagaimana adanya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal padang rumput.

(10) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak memerah susu sampai kering? Di sini, ketika seorang perumah-tangga yang berkeyakinan mengundang seorang bhikkhu untuk menerima jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit, bhikkhu itu menerimanya secukupnya. [353] Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak memerah susu sampai kering.

(11) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memberikan penghormatan lebih pada para bhikkhu senior itu yang telah lama meninggalkan keduniawian yang merupakan para ayah dan para pemimpin Saṅgha? Di sini, seorang bhikkhu menjaga perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Saṅgha. Dengan cara inilah seorang bhikkhu menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha.

“Dengan memiliki kesebelas kualitas ini, seorang bhikkhu mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan pemenuhan dalam Dhamma dan disiplin ini.”

18 (8 ) Konsentrasi (1)

Sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:<2232>

“Bhante, dapatkah seorang bhikkhu mencapai suatu keadaan konsentrasi di mana (1) ia tidak menyadari tanah sehubungan dengan tanah; (2) tidak menyadari air sehubungan dengan air; (3) tidak menyadari api sehubungan dengan api; (4) tidak menyadari udara sehubungan dengan udara; (5) tidak menyadari landasan ruang tanpa batas sehubungan dengan landasan ruang tanpa batas; (6) tidak menyadari landasan kesadaran tanpa batas sehubungan dengan landasan kesadaran tanpa batas; (7) tidak menyadari landasan kekosongan sehubungan dengan landasan kekosongan; (8 ) tidak menyadari landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sehubungan dengan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi; (9) tidak menyadari dunia ini sehubungan dengan dunia ini; (10) tidak menyadari dunia lain sehubungan dengan dunia lain; (11) tidak menyadari apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, tetapi ia masih sadar?”

“Dapat, para bhikkhu.” [354]

“Tetapi bagaimanakah, Bhante, ia dapat mencapai keadaan konsentrasi demikian?”

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu mempersepsikan sebagai berikut: ‘Ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala aktivitas, lepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna.’ Dengan cara inilah, para bhikkhu, seorang bhikkhu dapat mencapai keadaan konsentrasi demikian di mana ia tidak menyadari tanah sehubungan dengan tanah; tidak menyadari air sehubungan dengan air; tidak menyadari api sehubungan dengan api; tidak menyadari udara sehubungan dengan udara; tidak menyadari landasan ruang tanpa batas sehubungan dengan landasan ruang tanpa batas; tidak menyadari landasan kesadaran tanpa batas sehubungan dengan landasan kesadaran tanpa batas; tidak menyadari landasan kekosongan sehubungan dengan landasan kekosongan; tidak menyadari landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sehubungan dengan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi; tidak menyadari dunia ini sehubungan dengan dunia ini;  tidak menyadari dunia lain sehubungan dengan dunia lain; tidak menyadari apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, tetapi ia masih sadar.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEBELAS
« Reply #6 on: 10 October 2013, 10:52:41 AM »
19 (9) Komsentrasi (2)

Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

”Para bhikkhu, dapatkah seorang bhikkhu bhikkhu mencapai suatu keadaan konsentrasi di mana (1) ia tidak menyadari tanah sehubungan dengan tanah [355] … (11) tidak menyadari apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, tetapi ia masih sadar?”

“Bhante, ajaran kami berakar pada Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari pernyataan ini. Setelah mendengarnya dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Kalau begitu, dengarkanlah, para bhikkhu, dan perhatikanlah dengan seksama. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu dapat mencapai keadaan konsentrasi demikian di mana ia tidak menyadari tanah sehubungan dengan tanah … ia tidak menyadari apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, tetapi ia masih sadar.”

“Tetapi bagaimanakah, Bhante, ia dapat mencapai keadaan konsentrasi demikian?”

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu mempersepsikan sebagai berikut: ‘Ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala aktivitas, lepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna.’ Dengan cara inilah, para bhikkhu, seorang bhikkhu dapat mencapai keadaan konsentrasi demikian di mana ia tidak menyadari tanah sehubungan dengan tanah … [356] … ia tidak menyadari apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, tetapi ia masih sadar.”

20 (10) Konsentrasi (3)

Sejumlah bhikkhu mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta:

”Teman Sāriputta, dapatkah seorang bhikkhu bhikkhu mencapai suatu keadaan konsentrasi di mana (1) ia tidak menyadari tanah sehubungan dengan tanah … (11) tidak menyadari apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, tetapi ia masih sadar?”

[Begian selanjutnya identik dengan 11:18.] [357]

21 (11) Konsentrasi (4)

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

”Teman-teman, dapatkah seorang bhikkhu bhikkhu mencapai suatu keadaan konsentrasi di mana (1) ia tidak menyadari tanah sehubungan dengan tanah … (11) tidak menyadari apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, tetapi ia masih sadar?”

“Kami akan datang dari jauh, teman, untuk mempelajari makna pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarnya dari Yang Mulia Sāriputta, para bhikkhu akan mengingatnya


“Kalau begitu, teman-teman, dengarkanlah dan perhatikanlah dengan seksama. [358] Aku akan berbicara.”

“Baik, teman,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

[Begian selanjutnya identik dengan 11:19.] [359]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEBELAS
« Reply #7 on: 10 October 2013, 10:53:01 AM »
III. KEMIRIPAN
.
22(1)-29(8 ) Perenungan Ketidak-kekalan

“Para bhikkhu, dengan memiliki sebelas faktor, seorang penggembala sapi mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi. Apakah sebelas ini? Di sini, (1) seorang penggembala sapi tidak memiliki pengetahuan akan bentuk; (2) ia tidak terampil dalam hal karakteristik; (3) ia gagal menyingkirkan telur lalat; (4) ia gagal merawat luka; (5) ia gagal mengasapi kandang; (6) ia tidak mengetahui sumber air; (7) ia tidak mengetahui apa yang harus diminumkan; (8 ) ia tidak mengetahui jalan; (9) ia tidak terampil dalam hal padang rumput; (10) ia memerah susu sampai kering; dan (11) ia tidak memberikan penghormatan lebih pada sapi-sapi jantan itu yang merupakan induk dan pemimpin kelompok. Dengan memiliki sebelas faktor, seorang penggembala sapi tidak mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki sebelas kualitas, seorang bhikkhu tidak mampu berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan pada mata … tidak mampu berdiam dengan merenungkan bukan-aku pada mata … tidak mampu berdiam dengan merenungkan kehancurannya pada mata … tidak mampu berdiam dengan merenungkan lenyapnya pada mata … tidak mampu berdiam dengan merenungkan peluruhan pada mata … tidak mampu berdiam dengan merenungkan berhentinya pada mata … tidak mampu berdiam dengan merenungkan pelepasan pada mata …”

30 (9)-69 (48 )

“… pada telinga … pada hidung … pada lidah … pada badan … pada pikiran …”

70 (49)-117 (96)

“… pada bentuk-bentuk … pada suara-suara … pada bau-bauan … pada rasa-rasa kecapan … pada objek-objek sentuhan … pada fenomena-fenomena …”

118 (97)-165 (144)

“… pada kesadaran-mata … pada kesadaran-telinga … pada kesadaran-hidung … pada kesadaran-lidah … pada kesadaran-badan … pada kesadaran-pikiran …”

166 (45)-213 (192)

“… pada kontak-mata … pada kontak-telinga … pada kontak-hidung … pada kontak-lidah … pada kontak-badan … pada kontak-pikiran …”

214 (193)-261 (240)

“… pada perasaan yang muncul dari kontak-mata … pada perasaan yang muncul dari kontak-telinga … pada perasaan yang muncul dari kontak-hidung … pada perasaan yang muncul dari kontak-lidah … pada perasaan yang muncul dari kontak-badan … pada perasaan yang muncul dari kontak-pikiran …”

262 (241)-309(288 )

“… pada persepsi bentuk-bentuk … pada persepsi suara-suara … pada persepsi bau-bauan … pada persepsi rasa-rasa kecapan … pada persepsi objek-objek sentuhan [360] … pada persepsi fenomena-fenomena …”

310 (289)-367(336)

“… pada kehendak sehubungan dengan bentuk-bentuk … pada kehendak sehubungan dengan suara-suara … pada kehendak sehubungan dengan bau-bauan … pada kehendak sehubungan dengan rasa-rasa kecapan … pada kehendak sehubungan dengan objek-objek sentuhan … pada kehendak sehubungan dengan fenomena-fenomena …”

368 (337)-405(384)

“… pada ketagihan terhadap bentuk-bentuk … pada ketagihan terhadap suara-suara … pada ketagihan terhadap bau-bauan … pada ketagihan terhadap rasa-rasa kecapan … pada ketagihan terhadap objek-objek sentuhan … pada ketagihan terhadap fenomena-fenomena …”

406 (385)-453(432)

“… pada pemikiran tentang bentuk-bentuk … pada pemikiran tentang suara-suara … pada pemikiran tentang bau-bauan … pada pemikiran tentang rasa-rasa kecapan … pada pemikiran tentang objek-objek sentuhan … pada pemikiran tentang fenomena-fenomena …”

454 (433)-501(480)

“… pada pemeriksaan atas bentuk-bentuk … pada pemeriksaan atas suara-suara … pada pemeriksaan atas bau-bauan … pada pemeriksaan atas rasa-rasa kecapan … pada pemeriksaan atas objek-objek sentuhan … pada pemeriksaan atas fenomena-fenomena …”

502 (481)-981(960)

“Para bhikkhu, dengan memiliki sebelas faktor, seorang penggembala sapi mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi.<2233> Apakah sebelas ini? Di sini, (1) seorang penggembala sapi memiliki pengetahuan akan bentuk; (2) ia terampil dalam hal karakteristik; (3) ia menyingkirkan telur lalat; (4) ia merawat luka; (5) ia mengasapi kandang; (6) ia mengetahui sumber air; (7) ia mengetahui apa yang harus diminumkan; (8 ) ia mengetahui jalan; (9) ia terampil dalam hal padang rumput; (10) ia tidak memerah susu sampai kering; dan (11) ia memberikan penghormatan lebih pada sapi-sapi jantan itu yang merupakan induk dan pemimpin kelompok. Dengan memiliki sebelas faktor, seorang penggembala sapi mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki sebelas kualitas, seorang bhikkhu mampu berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan pada mata … [seluruhnya seperti di atas hingga:] … tidak mampu berdiam dengan merenungkan berhentinya pada mata … tidak mampu berdiam dengan merenungkan pelepasan pada pemeriksaan atas fenomena-fenomena …”

IV. RANGKAIAN PENGULANGAN NAFSU DAN SETERUSNYA<2234>

982 (1) <2235>

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka sebelas hal harus dikembangkan. Apakah sebelas ini? Jhāna pertama, jhāna ke dua, jhāna ke tiga, jhāna ke empat, kebebasan pikiran melalui cinta-kasih, kebebasan pikiran melalui belas kasihan, kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik, kebebasan pikiran melalui keseimbangan, landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, dan landasan kekosongan. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka kesebelas hal ini harus dikembangkan.”

983 (2)-991 (10)

“Para bhikkhu, demi pemahaman penuh pada nafsu … demi kehancuran sepenuhnya … demi meninggalkan … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya nafsu, maka kesebelas hal ini harus dikembangkan.” [361]

992 (11)-1151 (170)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung … demi pemahaman penuh … demi kehancuran total … demi meninggalkan … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya kebencian … delusi … kemarahan … permusuhan … sikap merendahkan … sikap kurang ajar … iri … kekikiran … kecurangan … muslihat … kekeras-kepalaan … sifat berapi-api … keangkuhan … kesombongan … kemabukan … kelengahan … maka kesebelas hal ini harus dikembangkan.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā



Buku Kelompok Sebelas selesai

 

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEBELAS
« Reply #8 on: 10 October 2013, 10:54:43 AM »
Catatan Kaki

2199 > Sebuah paralel yang diperluas dari 10:1. Perbedaannya hanya pada pemecahan kata majemuk “kekecewaan dan kebosanan” (nibbidāvirāga) menjadi dua.

2200 > Sebuah paralel yang diperluas dari 10:2.

2201 > Sebuah paralel yang diperluas dari 10:3.

2202 > Sebuah paralel yang diperluas dari 10:88.

2203 > Di sini, Ce dan Ee menuliskan kata kerja bentuk tunggal, vodāyati, bukan bentuk jamak seperti Be, vodāyanti. Ee menyebutkan dalam sebuah catatan bahwa semua naskah menuliskan vodāyanti. Baca p.1849, catatan 2108

2204 > Sebuah paralel yang diperluas dari 10:6, dengan penambahan pada bagian yang mana Ānanda mendiskusikan keadaan konsentrasi yang sama dengan Sāriputta dan menerima jawaban yang sama. Perhatikan, sementara dalam Kelompok Sepuluh, Sāriputta menjawab pertanyaan itu dengan cara berbeda daripada Sang Buddha (tetapi diduga merujuk pada keadaan konsentrasi yang sama), di sini jawabannya sama persis dengan jawaban Sang Buddha.

2205 > Ee memperlakukan kalimat-kalimat dari sini hingga akhir sebagai sutta terpisah, yang diberi nomor 8. dengan demikian dari sini dan seterusnya penomorannya lebih satu daripada penomoran Ce dan Be, yang menganggap dialog ini merupakan bagian dari 11:7. kalimat terakhir, yang memuji keselarasan antara penjelasan Sang Bdudha dan penjelasan Sāriputta menegaskan bahwa keduanya adalah bagian dari satu sutta. Sebaliknya, 10:6 dan 10:7, yang juga mengandung dialog tentang samādho berturut-turut antara Ānanda dengan Sang Buddha dan Ānanda dengan Sāriputta, tidak memiliki jembatan yang menghubungkannya.

2206 > Mp mengidentifikasi “keadaan terunggul” (aggapada) sebagai nibbāna.

2207 > Dengan menghitung organ-organ  indria dan objek-objeknya, sutta ini mengandung lebih dari sebelas hal. Tetapi untuk mempertahankan skema sebelas, maka saya menomorinya dimulai dari “tanah.”

2208 > Be menuliskan nama ini sebagai Saddha.

2209 > Jhāyati pajjhāyati nijjhāyati avajjhāyati. Seperti pada 6:46, III 354,8-10, dengan nuansa yang agak mengejek.

2210 > Yassa te nābhijānāma, yampi nissāya jhāyasi. Baca MN 22.36, I 140,1-7: “Ketika para deva bersama dengan Indra, Brahmā, dan Pajāpati, mencari seorang bhikkhu yang pikirannya terbebas demikian, mereka tidak menemukan dengan bergantung pada apakah kesadaran dari orang yang mencapai demikian. Mengapakah demikian? Aku katakan bahwa orang yang telah mencapai demikian tidak dapat dilacak bahkan dalam kehidupan ini” (evaṃ vimuttacittaṃ kho, bhikkhave, bhikkhuṃ sa-indā devā sabrahmakā sapajāpatikā anvesaṃ nādhigacchanti ‘idaṃ nissitaṃ tathāgatassa viññāṇan’ ti. Taṃ kissa hetu? Diṭṭh’evahaṃ, bhikkhave, dhamme tathāgataṃ ananuvijjo ti vadāmi).

2211 > Pathaviyaṃ paṭhavisaññā vibhūtā hoti. Mp mengemas vibhūta di sini sebagai “nyata” (pākaṭa), dengan menjelaskan: “Persepsi empat atau lima jhāna yang muncul dengan tanah, dan seterusnya, sebagai objek menjadi nyata … karena telah terlihat dengan pandangan terang sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri.” Mp mencoba mendukung interpretasi ini dengan sebuah kutipan yang dikatakan bersumber dari sebuah sutta: vibhūtā, bhante, rūpasaññā avibhūtā aṭṭhikasaññā. Akan tetapi, pencarian pada CST 4.0 tidak berhasil menemukan kata-kata ini di mana pun di dalam Nikāya-Nikāya. Sepengetahuan saya, dalam Nikāya-Nikāya, vibhūta selalu bermakna “hilang, lenyap.” Baca ungkapan vibhūtasaññī pada Sn 874, dan vibhūtarūpasaññissa pada Sn 1113, di mana dalam kedua kasus vibhūta hanya dapat berarti “lenyap.” Tampaknya tidak ada alasan untuk menerima makna belakangan di sini. Sebuah paralel China, SĀ 926 (pada T II 235c26-236b11), mendukung kesimpulan ini. Menganggap tanah sebagai sebuah contoh (pada II 236a27), tertulis: “Seorang bhikkhu mampu menekan persepsi tanah sehubungan dengan persepsi tanah” (比丘於地想能伏地想). Mungkinkah 想 yang di tengah di sini seharusnya tidak ada sehingga kita seharusnya membaca 比丘於地能伏地想?

2212 > Mp: “Ia bermeditasi melalui pencapaian buah yang dihasilkan setelah dengan cara ini melewati urut-urutan pandangan terang” (evaṃ vipassanāpaṭipāṭiya āgantvā uppāditāya phalasamāpattiyā jhāyanto).
 
2213 > Sutta ini menggabungkan 3:143-45 menjadi satu sutta dan menambahkan dyad tambahan untuk memperoleh sebelas hal. Dengan demikian dapat dianggap sebagai Sebelas Campuran. Formula untuk Arahant juga terdapat pada 7:61. Mp menjelaskan “akhir tertinggi” (accantaniṭṭho) sebagai berikut: “Nibbāna yang tak terhancurkan adalah akhirnya; disebut ‘tertinggi’ (accanta) karena melampaui akhir (antaṃ atītattā).”

2214 > Sebuah paralel sebagian dari 6:10.

2215 > Saya menerjemahkan ini secara bebas menurut gaya Bahasa Inggris yang sewajarnya. Secara lebih literal, ini seharusnya dibaca: “Bhante, di antara berbagai cara yang mana kami berdiam, bagaimanakah seharusnya kami berdiam?”

2216 > Brahmāli menulis: “perlu diperhatikan bahwa seorang awam mengatakan tentang memasuki masa kediaman musim hujan. Mungkin hal ini adalah fenomena biasa di India Utara, dan bukan hanya terbatas pada para samaṇa. mungkin karena secara umum terlalu sulit untuk melakukan perjalanan.”

2217 > Mp mengidentifikasikan asamayavimutto sebagai Arahant. Sehubungan dengan ungkapan 6:55, “tidak melihat dalam dirinya apa pun yang masih harus dilakukan atau [apa pun yang perlu] ditingkatkan atas apa yang telah dilakukan” (asamayavimutto karaṇiyaṃ attano na samanupassati katassa vā paticayaṃ), Mp mengemas paṭicayaṃ sebagai “kemajuan dengan berulang-ulang melakukan” (punappunaṃ karaṇena vaddhiṃ).

2218 > Baik Ce maupun Be tidak menggunakan ti untuk menandakan akhir dari kutipan langsung, dan dengan demikian dalam tulisannya tidak mudah untuk menentukan secara tepat di mana formula meditasi itu berakhir. Ee menambahkan ti di sini, yang meyiratkan bahwa formula itu berakhir di sini dan memasukkan perumpamaan dan pengulangan. Para deva yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan adalah bagian dari alam indria. Mereka yang terlahir kembali dalam tubuh ciptaan-pikiran adalah bagian dari alam berbentuk. Tidak jelas mengapa dikatakan bahwa mereka “tidak melihat apa pun dalam diri mereka yang masih harus dilakukan atau [apa pun yang perlu] ditingkatkan atas apa yang telah dilakukan” (tā karaṇīyaṃ attano na samanupassanti katassa vā paticayaṃ). Frasa ini biasanya ditujukan kepada Arahant. Saya hanya dapat menduga bahwa teks sedang menghubungkan dengan para deva itu yang telah mencapai Kearahattaan.

2219 > Bersama dengan Be dan Ee saya membaca aggi mutto; bukan seperti Ce aggimukko.

2220 > Saddhassa upāsakassa putto. Ini mungkin juga dapat diterjemahkan “putra dari umat awam laki-laki bernama Saddha,” dengan menganggap Saddha sebagai nama diri. Tetapi dalam kasus demikian saya mengharapkan pencantuman nāma. Be membaca sudattassa upāsakassa putto, “putra umat awam laki-laki Sudatta.” Sudatta adalah nama diri dari Anāthapiṇḍika, tetapi anak-anak Anāthapiṇḍika pasti telah dikenal baik oleh Sang Buddha dan dengan demikian pertanyaanNya tentang identitas bhikkhu tersebut tampaknya aneh. Lebih jauh lagi, kecuali dalam kondisi-kondisi yang jarang, Nikāya-Nikāya tidak merujuk Anāthapiṇḍika dengan nama aslinya.

2221 > Saddhāpadānesu. Mp: “Dalam manifestasi ini, karakteristik-karakteristik dari orang-orang yang memiliki keyakinan” (saddhaṃ puggalāanaṃ apadānesu lakkhaṇesu).

2222 > Sebuah paralel yang diperluas dari 8:1. Ini adalah versi yang biasanya dilafalkan sebagai khotbah perlindungan.

2223 > Sebelas manfaat ini dijelaskan secara terperinci pada Vism 311-14, Ppn 9.59-76.

2224 > Identik dengan MN 52.

2225 > Perumah tangga ini digambarkan sebagai gahapati aṭṭhakanāgara, di mana –nāgara berarti “seorang warga dari [suatu] kota.” Kata untuk kota itu sendiri adalah nagara. Ini serupa dengan menyebut seorang yang berasal dari New York sebagai New Yorker, seorang dari Paris sebagai Parisian, dan sebagainya.

2226 > Ten’eva dhammarāgena dhammanandiyā. Seperti pada 9:36; baca p.1827, catatan 1917. Mp: “Apa yang dimaksudkan dengan pasangan istilah ini adalah keinginan dan nafsu pada ketenangan dan pandangan terang, Karena jika seseorang mampu memadamkan semua keinginan dan nafsu pada ketenangan dan pandangan terang, maka ia menjadi seorang Arahant. Jika ia tidak dapat melakukannya, maka ia menjadi seorang yang-tidak-kembali. Karena ia belum meninggalkan keinginan dan nafsu pada ketenangan dan pandangan terang, melalui kehendak dari jhāna ke empat ia akan terlahir kembali di alam murni. Ini disebut penjelasan umum di antara guru-guru.”

2227 > Landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak dimasukkan karena dianggap terlalu halus bagi faktor-faktornya untuk digunakan sebagai objek perenungan.

2228 > Sebelas “pintu menuju keabadian,”adalah empat jhāna, empat tidak terbatas, dan tiga pencapaian tanpa bentuk yang lebih rendah. Hal-hal ini digunakan sebagai landasan untuk mengembangkan pandangan terang dan mencapai Kearahattaan.

2229 > Yaitu, lima ratus kahāpaṇa.

2230 > Identik dengan MN 33.

2231 > Pada SN 47:6, V 148,1-2, keempat penegakan perhatian disebut padang rumput (gocara) dari seorang bhikkhu, yaitu, bidang perhatiannya yang seharusnya.

2232 > Dialog di sini identik dengan bagian pertama dari 11:7.

2233 > Be tidak memasukkan rangkaian sutta ini, mungkin karena menganggapnya telah disiratkan dalam rangkaian sebelumnya. Ee memasukkannya hanya sebagai tiga bagian pendek di dalam sutta yang panjang tentang perumpamaan penggembala sapi.

2234 > Ee tidak menomori vagga ini. Baik Ce maupun Be menomorinya dengan 4.

2235 > Ce menomori sutta dalam vagga ini dengan dimulai dari 1 dan berakhir pada 170. Be menomorinya sebagai kelanjutan dari sutta-sutta dalam keseluruhan nipāta. Karena tidak memasukkan versi positif dari perumpamaan penggembala ini, maka Be memulai dari 502 dan berakhir dengan 671. saya mengguanakan kedua skema tetapi memulainya dengan angka absolut 982.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEBELAS
« Reply #9 on: 10 October 2013, 10:58:55 AM »
 :lotus: :lotus: :lotus: :lotus: :lotus:

ANGUTTARA NIKAYA
SELESAI
 <:-P <:-P :o) :o) <:-P <:-P