//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - Rico Tsiau

Pages: 1 2 [3]
31
Budhisme adalah salah satu agama utama dunia dalam hal penganut, penyebaran geografis dan pengaruh sosio-budaya. Sekalipun umumnya masih berupa agama “Timur”, Budhisme makin populer dan berpengaruh di dunia Barat. Agama ini adalah agama dunia yang unik, meskipun memiliki banyak kesamaan dengan Hinduisme di mana keduanya mengajarkan tentang karma (etika sebab akibat), Maya (natur alam yang adalah ilusi), dan Samsara (lingkaran reinkarnasi). Para penganut Budha percaya bahwa tujuan hidup yang utama adalah untuk mencapai “pencerahan” sebagaimana yang mereka pahami.

Pendiri Budhisme, Siddhartha Gautama, lahir dalam keluarga bangsawan di India sekitar 600 S.M. Menurut cerita, dia hidup dalam kemewahan, tidak banyak tahu dunia luar. Orangtuanya menginginkan supaya dia tidak terkena pengaruh agama dan terlindung dari kesakitan dan penderitaan. Namun demikian, bentengnya dengan cepat ditembus, dia melihat orang tua, orang sakit dan jenazah. Penglihatannya yang keempat adalah seorang pertapa asketis (seseorang yang menolak kemewahan dan kenyamanan) yang penuh kedamaian. Melihat kedamaian si pertapa, dia memutuskan untuk menjadi seorang asketis. Dia meninggalkan hidup dalam kekayaan dan kelimpahan untuk mencari pencerahan melalui kesederhanaan. Dia menjadi ahli dalam menyakiti diri sendiri dan dalam meditasi yang dalam. Dia adalah pemimpin di antara rekan-rekannya. Pada akhirnya, upayanya berpuncak dalam sebuah langkah terakhir. Dia “memanjakan" dirinya dengan semangkok nasi dan kemudian duduk di bawah sebatang pohon ara (yang juga disebut pohon Bodhi) untuk bermeditasi sampai dia mendapat “pencerahan” atau mati. Sekalipun harus menghadapi berbagai pencobaan, pada paginya, dia mencapai pencerahan. Karena itu dia digelari “Yang Dicerahkan” atau “Budha.” Dia membawa realisasi baru ini dan mulai mengajar pertapa-pertapa lainnya yang memang sangat tunduk kepadanya. Lima rekannya menjadi murid-muridnya yang pertama.

Apa yang ditemukan oleh Gautama? Pencerahan terletak pada “jalan tengah,” bukan melalui kemewahan atau penyiksaan diri. Lagipula, dia mendapatkan apa yang kemudian dikenal sebagai “Empat Kebenaran Mulia” – 1) hidup adalah penderitaan (Dukha), 2) penderitaan adalah karena keinginan (Tanha, atau “keterikatan”), 3) seseorang dapat menghapus penderitaan dengan menghapus keterikatan, dan 4) hal ini dicapai dengan mengikuti jalan mulia delapan unsur. "Kedelapan unsur” terdiri dari memiliki 1) pemahaman yang benar, 2) itikad yang benar, 3) perkataan yang benar, 4) perbuatan yang benar, 5) hidup yang benar (menjadi pertapa), 6) upaya yang benar (mengarahkan tenaga secara pantas), 7) perhatian yang benar (meditasi), dan 8) konsentrasi yang benar (fokus). Pengajaran-pengajaran Budha dikumpulkan dalam Tripitaka atau “tiga keranjang.”

Di balik pengajaran-pengajaran tersohor ini adalah pengajaran-pengajaran yang sama dengan Hinduisme, yaitu reinkarnasi, karma, Maya, dan kecenderungan untuk melihat realita secara panteistik. Budhisme juga memiliki teologia yang rumit mengenai berbagai illah dan makhluk-makhluk suci. Namun, sama seperti Hinduisme, pandangan Budhisme mengenai Allah bisa sulit untuk disarikan. Beberapa aliran Budhisme dapat secara sah disebut ateistik, sementara lainnya dapat dikatakan panteistik, sementara lainnya adalah teistik, seperti Budha Tanah Murni. Budha klasik cenderung diam mengenai realita illahi dan karena itu dipandang sebagai teistik.

Budhisme zaman sekarang amat beranekaragam. Ajaran ini dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu Theravada (kendaraan kecil) dan Mahayana (kendaraan besar). Theravada adalah bentuk monastik yang mengajarkan bahwa hanya para rahib yang mendapat pencerahan tertinggi dan nirvana, sementara mahayana memungkinkan tujuan pencerahan ini dicapai juga oleh orang-orang biasa, yaitu yang bukan rahib. Dalam kategori-kategori ini dapat ditemukan berbagai cabang, termasuk di antaranya Tendai, Vajrayana, Nichiren, Shingo, Tanah Murni, Zen dan Ryobu. Karena itu penting untuk orang-orang luar yang berusaha memahami Budhisme untuk tidak menganggap tahu semua detil mengenai aliran Budhisme tertentu ketika yang dipelajari hanyalah Budhisme klasik yang historis.

Budha tidak pernah menganggap dirinya sebagai allah atau dewa apa pun. Sebaliknya, dia memandang dirinya sebagai “penunjuk jalan” bagi orang-orang lain. Hanya setelah kematiannya barulah dia diangkat menjadi allah oleh beberapa pengikutnya, meskipun tidak semua pengikutnya melihat dia sedemikian. Sebaliknya, dalam kekr****nan, dikatakan dengan jelas sekali dalam Alkitab bahwa Yesus adalah Anak Allah (Matius 3:17: “lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan") dan bahwa Dia dan Allah adalah satu (Yohanes 10:30). Seseorang tidak bisa memandang dirinya sebagai orang kr****n tanpa percaya kepada Yesus sebagai Allah.

Yesus mengajarkan bahwa Dia adalah jalan dan bukan sekedar seseorang yang menunjukkan jalan, sebagaimana yang ditegaskan oleh Yohanes 14:6: “Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Ketika Gautama meninggal dunia, Budhisme sudah merupakan pengaruh besar di India; tiga ratus tahun kemudian, Budhisme telah mencakup sebagian besar Asia. Kitab-kitab suci dan perkataan-perkataan yang dikaitkan dengan sang Budha ditulis sekitar empat ratus tahun setelah kematiannya.

Dalam Budhisme, dosa umumnya dipandang sebagai ketidaktahuan. Walaupun dosa dimengerti sebagai “kekeliruan moral,” "kejahatan" dan "kebaikan" dipahami dalam konteks amoral. Karma dipahami sebagai keseimbangan alam dan bukan yang diterapkan secara pribadi. Alam bukan moral; karena itu, karma bukanlah aturan moral, dan dosa pada dasarnya bukanlah tidak bermoral. Karena itu dapatlah kita katakan, berdasarkan pemikiran Budha, bahwa kesalahan kita bukanlah masalah moral karena pada dasarnya itu bukanlah kesalahan antar pribadi. Konsekuensi pemahaman yang demikian amatlah merusak. Untuk orang Budha, dosa lebih serupa dengan salah langkah dan bukannya pelanggaran terhadap natur Allah yang suci. Pemahaman sedemikian akan dosa tidak sejalan dengan kesadaran naluri moral bahwa manusia bersalah di hadapan Allah yang suci karena dosa mereka (Roma 1-2).

Karena Budha menganggap bahwa dosa bukan bersifat pribadi dan adalah kekeliruan yang dapat diperbaiki, Budhisme tidak menerima doktrin kejatuhan, doktrin dasar dalam kekr****nan. Alkitab memberitahu kita bahwa dosa manusia adalah masalah kekal yang berdampak kekal. Dalam Budhisme tidak diperlukan juruselamat untuk menyelamatkan orang dari dosa yang mencelakakan. Bagi orang kr****n, Yesus adalah satu-satunya jalan untuk selamat dari hukuman kekal. Untuk orang Budha, yang ada hanyalah hidup secara etis dan bermeditasi kepada dewa dewi dengan harapan dapat memperoleh pencerahan dan Nirvana. Mungkin sekali seseorang harus mengalami sejumlah reinkarnasi untuk melunasi hutang karma yang begitu bertumpuk. Untuk pengikut Budhisme yang sejati, agama itu adalah sebuah filsafat moral dan etis, yang dibungkus dalam penyangkalan terhadap diri sendiri seumur hidup. Dalam Budhisme, realita bukan bersifat pribadi dan bukanlah berdasarkan hubungan; dan karena itu, bukan dalam kasih. Allah bukan saja dipandang sebagai ilusi, namun, dengan melarutkan dosa menjadi kekeliruan bukan moral, dan dengan menolak semua realita materi sebagai sekedar maya (“ilusi”), diri kita sendiri pun kehilangan “diri.” Kepribadian menjadi ilusi.

Ketika ditanya bagaimana asal mula dunia, siapa/apa yang menciptakan alam semesta, dikatakan bahwa Budha tetap diam karena di dalam Budhisme tidak ada awal dan akhir. Sebaliknya yang ada hanyalah siklus lahir dan mati yang tidak berkesudahan. Orang bisa bertanya pribadi seperti apa yang menciptakan kita untuk hidup dan mengalami penderitaan serta kepahitan yang begitu luar biasa dan kemudian mati berulang-ulang? Hal itu bisa membuat orang merenung, apa artinya, mengapa peduli? Orang kr****n mengetahui bahwa Allah mengutus anak-Nya untuk mati bagi kita, sekali, supaya kita tidak perlu menderita secara kekal. Dia mengutus Anak-Nya supaya kita tahu bahwa kita tidak sendiri dan bahwa kita dikasihi. Kekr****nan mengetahui bahwa hidup itu bukan hanya penderitaan dan mati, “… dan yang sekarang dinyatakan oleh kedatangan Juruselamat kita Yesus Kristus, yang oleh Injil telah mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa” (2Tim 1:10)

Budhisme mengajarkan bahwa Nirvana adalah keberadaan tertinggi, suatu kondisi yang murni, dan itu dicapai dengan cara yang relatif terhadap orang itu. Nirvana tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan tatanan logis dan karena itu tidak dapat diajarkan, hanya direalisasikan. Sebaliknya, pengajaran Yesus mengenai surga amat jelas. Dia mengajarkan bahwa tubuh fisik kita akan mati, namun roh kita akan bersama dengan Dia di surga (Markus 12: [at] 5). Budha mengajarkan bahwa orang tidak memiliki jiwa secara pribadi, karena diri sendiri atau ego adalah ilusi belaka. Untuk seorang Budha, tidak ada Bapa surgawi yang berbelas kasihan yang mengutus Anak-Nya untuk mati bagi kita, untuk keselamatan kita, untuk menyediakan jalan bagi kita mencapai kemuliaan-Nya. Pada akhirnya, itu sebabnya Budhisme haruslah ditolak.

sumber : http://www.gotquestions.org/indonesia/Budhisme.html

32
judulnya serem keren ya  ;D

daerah asal saya memang penuh dengan tradisi Tionghoa yang masih mengakar kuat.
banyak macamnya, terlalu banyak malah.

tapi kali ini saya bercerita mengenai anak angkat Dewi Kwan Im

ehem...

ada seorang anak (bukan anak saya) dari keluarga baik2, lahir normal dan baik2 saja sampai berumur 2 tahunan.
namun ntah kenapa sejak menginjak umur 2 tahun, ini anak sering sakit2an.

cari dokter, dokter bilang cuman sakit biasa saja. cuman dikasih obat dalam bentuk sirup.
tapi ini anak tetap rewel dan sakit2an setelahnya.
berulang kali cari dokter ga ada perobahan pada kesehatan si anak.

cari orang pinter (bukan pinter dalam iptek lhoooo), katanya begini begitu, so dikasih syarat ini itu. trus jalanin petunjuk orang pinter tersebut, hasilnya sama saja. ini anak sakit2an juga.

kemudian ada tetangga yang sarankan coba bawa ke kelenteng yang kebetulan akan merayakan hari lahir Dewi Kwan Im (tanggal berapa ya? kok saya jadi lupa?)
hari H sampe lah siorang tua sama anaknya di kelenteng dimaksud, setelah pasang hio dan bakar kimcoa dan lainnya.. tibalah giliran seorang "tang ki" ato "kitong" (ini istilah di daerah saya, gak tau didaerah lain) menjalankan perannya.
"tang ki" ini sudah dirasuki ato menjadi perantara Dewi Kwan Im (elo percaya gak sih?) dan bertugas memberikan petunjuk. so you boleh bertanya dan menceritakan kesusahan you dan si perantara akan menyampaikan pesan dan petunjuk dari Dewi Kwan Im.
nah si anak yang sedang sakit ini dibawa kehadapan "tang ki", si orang tua bercerita mengenai anaknya yang sakit2an dan memohon petunjuk sama Dewi Kwan Im.
so si orang tua dikasih tau bahwa ini anak lahir tanpa keberuntungan berumur panjang.. sakit2annya adalah awal dari takdir usia pendeknya, karena pada kehidupan lalu kurang berbuat baik.
trus di kasih "Hu" dan beberapa petunjuk yang harus dilakukan si orang tua.

next...

ajaib

si orang tua menjalankan petunjuk. dan hampir dalam kurun waktu singkat si anak sudah baikan. lebih sehat, ceria, dll
betapa bersukurnya si orang tua.
tiap ce it cap go, gak pernah alpa ke kelenteng tempat altar Dewi Kwan Im tersebut. mempersembahkan buah2 segar, pasang hio, gak lupa banyak kimcoa.
trus klo ada rezeki lebih suka berdana ke kelenteng.

sampai sini sih oke2 saja ya... ?

hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun berlalu, si anak sekarang sudah berumur 6 tahun.
cantik pinter rajin dan baik.

tapi suatu peristiwa terjadi, si anak kembali sakit2an. karena kasusnya mirip sama waktu usia 2 tahun. si orang tua ga pake ke dokter dulu, gak pake ke orang pinter lagi. langsung ke kelenteng minta Hu.
di kasih Hu, sembuh....
sakit lagi, ke kelenteng lagi, di kasih Hu, sembuh lagi
tapi kok setelah itu sakit lagi?

yach... pengurus kelenteng bilang, harus undang Dewi Kwan Im untuk diberi petunjuk.
"tang ki" kembali di minta bantuannya.

yang datang bukan Dewi Kwan Im, tapi dewa lain (saya lupa ceritanya yang datang dewa apa)
yah gak apa2 juga lah... pokoknya petunjuk dari Dewa/Dewi.
trus di kasih tau bahwa ini anak berumur pendek (sama donk sama petunjuk lalu)
trus ditanya jalan keluarnya gimana ato apa yang harus kami lakukan sebagai orang tua?
dikasih tau, ini anak harus menjadi anak angkat dewi Kwan Im supaya bisa dilindungi dan bisa menjalankan hidup dengan normal.
trus ditanya apa harus dewi Kwan Im, gak bisa Dewa/Dewi lain?
dikasih tau, ya harus dewi Kwan Im, dewa dewi lain gak ada jodoh yang terikat dengan anak ini.
trus tanya lagi, kapan waktu yang tepat?
dikasih tau, waktu yang tepat adalah pada saat Kwan Im sii (tanggal kelahiran Dewi Kwan Im, sori TS lupa tanggalnya berapa)

and then, hari H
ini adalah cerita lama, so saya agak lupa ritualnya sampe menjadi anak angkat Dewi Kwan Im itu seperti apa.
hmmm...
singkat cerita, si anak menjadi anak angkat Dewi Kwan Im.

ajaib
si anak jadi baikan lhoooo......
sekarang dah dewasa dan sudah menikah dan punya anak.
hidup berbahagia dalam keluarga kecil yang sederhana namun penuh kehangatan kasih sayang dimana ketentraman menghampiri setiap hari tidak kurang sandang pangan sehat terpuji sikap dan perilaku di mata masyarakat sekitar
(heheheh..... yang ini sedikit bumbu cerita dari TS)

orang tua si anak sampe pasang altar Dewi Kwan Im dirumah, trus mewajibkan si anak pasang hio setiap pagi dan sore. setiap ce it cap go mempersembahkan buah2an tak lupa kimcoa.
setiap hari lahir Dewi kwan Im pasti sembahyang besar, itu buah2an sampe hampir gak muat di meja, bertumpuk kimcoa, biasanya pake hio kecil ini hari pake hio khusus yang besar dan harumnya nomer 1

nah..

anda boleh percaya dan boleh tidak pada cerita diatas.
TS tidak mengarang, namun mungkin salah urutan dan istilah dan mungkin juga karena dengar dari mulut ke mulut jadinya banyak bumbu-bumbu pemanis. dan mungkin juga TS salah mengerti cerita yang TS dengar, namun TS yakin ceritanya tidak jauh dari peristiwa nyata yang ada.

cerita seperti ini ada banyak sih, terlalu banyak bahkan.
di kampung klo dah malam2 gak ada kerjaan ya para locianpwe bercerita hal-hal seperti ini.
kami yang bocah2 sangat senang mendengarkannya.
habis apa lagi? tipi kagak ada, penerangan jangan harap berasal dari lampu pijar, pake minyak lampu.

bagaimana tanggapan anda pada cerita diatas?

33
Diskusi Umum / kompetisi olah raga
« on: 19 September 2011, 12:38:10 AM »
saya ingin sedikit bercerita.

saya dan teman saya punya hobi sama, suka nonton bola
kebetulan klub idola kami sama (asee.....ekkkk)

permasalahannya adalah jika tim idola kami menang kami senang sekali, tapi jika kalah kami jadi kecewa.
kami juga sangat marah dan sarat akan emosi jika terjadi kekalahan atas tim idola kami yang ternyata disebabkan oleh blunder dari 1 ato 2 pemain yang mengakibatkan kerugian bagi seluruh tim. bahkan keluar kata makian karena saking emosinya.

marah dan memaki bukankah itu sudah sangat tidak bijak?
kami sempat berdiskusi, tidak seharusnya kami marah apalagi sampai memaki-maki
harusnya kami melihat itu sebagai sebuah kompetisi dan berlapang dada andai tim idola kami kalah, harusnya kami juga melihat itu sebagai hanya sebuah pertandingan sepak bola, menikmati keindahan dan teknik yang dipertontonkan pemain, bukan malah menjadi marah dan kecewa jika hasil yang dicapai tidak sesuai harapan kami.

nah sesungguhnya bagaimana pandangan umat budhist pada kompetisi olah raga?
karena disadari atau tidak, emosi para pelaku olah raga dan juga orang yang mendukung akan tertuju penuh pada kompetisi yang berjalan.
senang, sedih, gembira, marah, dll
bangga berlebihan jika timnya menang, malu jika timnya kalah.
bahkan kita juga sering melihat berita2 di televisi dimana terjadi tindakan brutal para pendukungnya jika timnya kalah. sampai ada yang menjadi korban kematian.
dan dalam skala kecil maupun besar, kata2 makian merupakan kata yang paling sering kita dengar setelah hasil kompetisi tidak sesuai dengan harapan.

ternyata dalam sebuah kompetisi olah raga, pada batasan tertentu telah menjadi salah satu sumber penguat Lobha, Dosa dan Moha

jika tetangga sebelah mencekal penampilan goyang ngebor Inul Daratista (pada beberapa daerah)
nah apakah kita umat buddist harus atau perlu berpandangan seperti itu, dengan mengatakan kompetisi olah raga adalah salah satu sumber penguat Lobha, Dosa dan Moha

mari kita diskusikan, dan mohon para sesepuh memberikan pandangannya.

 _/\_ _/\_

34
Diskusi Umum / Pembahasan Lobha Dosa Moha
« on: 09 September 2011, 10:54:59 AM »
Lobha Dosa Moha (kita singkat LDM aja ya supaya memudahkan)

berangkat dari thread ini :
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=21056.0
yang awalnya membahas tentang sebuah tradisi, ujung2nya malah nyenggol mengenai LDM

makin dibahas kok rasanya topik LDM menjadi semakin menarik, seolah menjadi dasar atas setiap perbuatan.

mengutip pernyataan dari Senior Kelana
Menurut saya,
Hanya pikiran bersekutu dengan dosa (kebencian), loba (keserakahan), dan moha (kebodohan batin)  maka tindakan akan dikatakan perbuatan buruk.

Jika suatu tradisi hanya mewariskan hal yang tidak bermanfaat kepada generasi berikut mungkin akan mudah ditinggalkan, namun jika juga berdampak  menggerogoti kualitas mental?

Sungguh ironis, kadang kita ingin memberikan pandangan benar kepada anak kita, namun justru kita menjejelnya juga dengan suatu hal yang membebani mental mereka.

Terus terang, saya melihat topik ini berdasarkan pada kekhawatiran TS pada menjalankan tradisi orang tua, apakah nanti kalau tidak diikuti akan berakibat buruk atau tidak, serta “kutukan-kutukan” orang tua menyelimuti tradisi tesebut. Semua inilah yang saya sebut sebagai warisan. Saya tidak tahu apakah anda juga akan memaki dan mengutuk anak anda sebagai anak durhaka jika anak anda tidak melakuan tradisi yang sama.

Sekali lagi, tidak ada yang bisa melarang anda melakukan tradisi.

dan

Pertama, saya tidak yakin cetak buku agama adalah tradisi khas Buddhis, karena agama lain juga melakukannya, meskipun ya ada dalam literatur yang disebut sutra.
Tradisi adalah perbuatan atau tindakan yang menjadi kebiasaan. Dan perbuatan selalu diawali dengan niat. Niat inilah yang berhubungan dengan dosa, lobha, dan moha. Jika di awali dengan niat yang bersekutu dengan LDM dan diteruskan, maka akan menjadi kebiasaan/tradisi yang tentunya tidak baik. Dan tentu saja cara dalam melakukan perbuatan juga membentuk sifat dari perbuatan itu sendiri, baik atau buruk.

Apa sih esensi awal terbentuknya tradisi cetak buku agama ini? Apa sih tujuan/niat awal dari melakukan cetak buku agama/sutra? Inilah yang perlu dikaji. Saat ini saya tidak pada posisi mengkajinya karena cakupannya cukup luas, Sdr. Ryu. Jadi harap maklum.

dan

Sebuah perbuatan buruk bisa diawali dengan dosa saja, lobha saja, moha saja, atau rangkaian dua di antaranya, ataupun rangkaian ketiganya. Jadi saat moha muncul pada pikiran meskipun sendiri maka bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak baik. Bahkan dari apa yang pernah saya dengar (cmiiw), moha adalah kekotoran batin yang paling sulit dibanding dengan lobha dan dosa, karena dalam moha seseorang tidak lagi bisa melihat dan menilai baik sebagai baik dan buruk sebagai buruk, kadang menjadi seseorang yang keras kepala.

Sebagai orang awam yang senior-senior di DC menyebutnya sebagai puthujjana, kadang kala kita tidak menyadari bahwa kita sedang membenci/tidak menyukai sesuatu dengan menutupinya dengan melakukan perbuatan yang kelihatannya tidak membenci. Salah satu kasusnya dapat terjadi pada euthanasia. Seseorang memutuskan melakukan eutanasia kepada kerabatnya yang koma berbulan-bulan karena merasa kasihan, tidak tega kerabatnya menderita sakit terus. Sepertinya ini adalah perbuatan baik dimana membantu orang lain agar tidak menderita lagi. Padahal dibalik itu semua ada rasa benci, ketidaksukaan terhadap kondisi yang terjadi pada kerabatnya. Ia tidak suka kerabatnya menahan sakit, ia tidak suka melihat kerabatnya diinfus, bahkan tidak suka dengan bayaran tagihan rumah sakit yang membengkak.

Kita tidak suka anak kita nanti jatuh, kita tidak suka nanti anak kita sakit, tidak suka anak kita menangis pada malam hari, dst, bahkan tidak suka dimarahi orang tua dan dianggap anak durhaka. Berusaha menutupi ketidaksukaan ini kita melakukan perbuatan yang dianggap dapat melindungi anak dari jatuh, sakit dan menangis, dan dapat menghindar dari omelan orang tua, dalam hal ini kita melakukan tradisi pai cheng bu.

Jika bukan berlandaskan pada rasa tidak suka anak kita nanti jatuh, sakit dan menangis serta omelan orang tua, lalu apa dasarnya melakukan pai cheng bu? Apakah untuk mendapatkan pengakuan/penghargaan karena telah melakukan pelestarian budaya? Ini ujung-ujungnya adalah lobha, kehausan akan penghargaan dan kehormatan.

Inilah dosa, lobha dan moha yang terselubung, yang sebagai puthujjana kadang kala kita tidak melihatnya. Hanya para Arya saja yang telah bebas dari LDM. Untuk pembahasan LDM lebih mendalam saya persilahkan untuk menanyakannya pada senior-senior.

Demikian Sdr. Rico. Dan saya rasa sudah cukup saya menyampaikan pendapat saya mengenai tradisi pai cheng bu yang dikaitkan dengan Buddhisme sesuai dengan yang ditanyakan TS pada awal topik.

evam

kemudian atas ketertarikan saya, maka saya buka topic ini untuk dibahas bersama

saya sungguh terkesan atas dhamma yang disebar oleh senior2 di DC ini, saya sungguh belajar makin banyak disini.

jadi back to LDM
apa pengertian dasar dari LDM?
apa yang mengkondisikan LDM?
apa yang mendasari? cetana? atau apa?

berangkat dari kutipan Senior Ryu mengenai Moha

tahu salah dilakukan juga
tahu salah tidak dilakukan
tahu benar tidak dilakukan
tahu benar langsung melaksanakan

mohon para senior dan teman2 sekalian memberikan sumbangsih dharma di topic ini.

 _/\_ _/\_

35
mohon bimbingan dari para senior.

saya seorang ayah, sekarang anak saya sudah genap berusia 1 tahun 1 bulan

menurut tradisi tionghoa, mama dan papa saya mengajarkan saya yang punya momongan untuk "pai cheng bu" pada setiap bulan tepat pada tanggal kelahiran anak saya.
menurut kepercayaan, "cheng bu" adalah pelindung, pembimbing yang menjaga bagi bayi kita. mungkin di dunia barat istilah "cheng bu" di namakan "ibu peri" (mohon koreksi bila salah)

jadi dimana pada tanggal kelahiran anak saya, maka saya akan "pai cheng bu"
tempat :
di kamar, tepatnya di kasur tempat biasa anak saya tidur.

1 lampu minyak (katanya ada yang pake lilin juga, tapi saya pake lampu minyak)
1 mangkuk nasi + telur
belasan lembar kimcoa + 3 batang hio
1 hiolo
1 kaleng tempat pembakaran kimcoa.

ucapannya kira2 gini :
cheng bu, ini hari 8 gwe 27, anak ini (nama anak saya) sudah berusia 1 tahun 1 bulan. sekarang ini anak semakin nakal, suka memanjat kursi, meja atau sesuatu yang tinggi. engkau harus lebih memperhatikan dan menjaga kala kami lengah.  jangan sampai ini anak jatuh dan terluka.
juga engkau harus jaga supaya ini anak bobo dengan nyenyak pada malam, dan bermain dengan gembira pada siang.
ini ada sedikit nasi, makan lah. juga ada sedikit kimcoa untuk engkau.

setelah itu bakar kimcoa, setelah kimcoa padam simpan nasi, lampu minyak dan hiolo.

dan sampai hari ini saya meyakininya, dan mempraktikkannya tanpa alpa.

sebagai informasi, dalam pai cheng bu kita tidak boleh meminta "po pi", lebih tepatnya kita menyuruh bukan memohon. konon katanya cheng bu adalah bertugas menjaga anak, jadi kita tidak memohon tapi mengingatkan. seperti ucapan saya diatas yang mengingatkan bahwa anak ini sudah pandai memanjat kursi, meja dan lainnya yang cukup berbahaya, jadi kita kudu ngingatkan pada cheng bu supaya lebih fokus buat jaga anaknya. anaknya? ya dalam pengertian disini anak kita juga adalah anaknya cheng bu. so kita tidak boleh memohon hanya mengingatkan.

mungkin bagi sebagian orang ini terdengar lucu, tapi jika anda tionghoa yang hidup di sekitar Provinsi Riau tentu sudah tidak asing lagi dengan ini. saya tidak tau kebiasaan atau kepercayaan atau tradisi ini ditempat lain apakah ada atau tidak?

pertanyaannya. bagaimanakah pandangan Buddhisme mengenai PAI CHENG BU ?
apakah dari para DC-ers pernah atau mengetahui mengenai tradisi ini? mohon sharenya.
lanjut, apa dengan tetap menjalankan tradisi pai cheng bu saya melenceng dari ajaran Buddha?

sekali lagi mohon bimbingan dari para senior
 _/\_ _/\_ _/\_ _/\_

36
Perkenalan / salam kenal ya....
« on: 24 August 2011, 04:28:08 PM »
salam kenal semua, mohon bimbingannya ya...

saya bernama asli : Rico a.k.a Tsiau Ming Chong
terdaftar di dahammacitta dengan nick : Rico Tsiau

 _/\_

Pages: 1 2 [3]