//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Empat Kediaman Luhur - Ven. Pandita Gunasiri Mahathera  (Read 4208 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Empat Kediaman Luhur - Ven. Pandita Gunasiri Mahathera
« on: 05 December 2008, 11:49:47 PM »
Empat Kediaman Luhur

Oleh: Ven. Pandita Gunasiri Mahathera

Istilah Pali untuk Empat Kesunyataan Luhur adalah Catur Brahma Vihara. Kata "luhur" tidak mempunyai arti teologika apapun; cuma berarti "unik" yang merupakan arti kata "brahma" dalam konteks ini. Brahma Vihara atau "Kediaman Luhur" adalah empat sifat yang dikembangkan oleh umat Buddha secara umum.

Keempat sifat tersebut adalah: metta (cinta kasih), karuna (belas kasih), mudita (simpati atas kebahagiaan orang lain), dan upekkha (keseimbangan). Mengembangkan keempat sifat ini dapat mengangkat seseorang ke tingkat sosial yang amat tinggi, sehingga ia akan menjadi berkah yang nyata bukan hanya bagi dirinya dan keluarganya sendiri, tetapi juga masyarakat luas.

Dengan kata lain, kita yang sungguh-sungguh mengembangkan metta, karuna, mudita dan upekkha akan tetap menyatu dengan dunia, karena semua perbedaan geografis dan fisik dunia akan tenggelam dan sebuah kesatuan dari semua akan muncul dalam dirinya. Sang Buddha dan murid-murid-Nya adalah pengejawantahan sifat-sifat luhur ini, sebab hidup mereka adalah teladan dan inspirasi bagi pengikut mereka.

Kita, sebagai umat Buddha Dhamma, tentunya berkewajiban untuk memahami kebajikan ini dengan pandangan yang benar dan mempraktikkannya semampu kita.

Asal Mula

Kata metta berasal dari kata mitta, sama dengan kata mitra dalam bahasa Sansekerta yang berarti "sahabat". Jadi istilah metta berarti "perasaan bersahabat" atau cinta kasih yang harus dikembangkan terhadap semua makhluk hidup. Obyeknya adalah "semua makhluk hidup". Karuna, dari akar kata kir, berarti simpati atau kasih sayang kita terhadap orang yang mengalami penderitaan. Jadi, tidak seperti metta, obyek karuna hanyalah pada makhluk yang menderita.

Mudita berasal dari kata modati, yang berarti "kegembiraan". Mudita berarti memberikan simpati atas kebahagiaan orang lain. Yang terakhir dari keempat sifat, tapi bukan berarti yang terendah, adalah upekkha: keseimbangan terhadap semua makhluk. Ini adalah yang tertinggi dari semua perasaan yang dialami oleh Yang Agung. Empat sifat ini mencakup semua perasaan baik dan semua sila yang menjaga kehidupan bhikkhu dan umat awam. Marilah kita bahas empat sifat ini secara mendetil.

Metta mengendalikan perasaan tidak senang terhadap makhluk lain. Kebencian, kedengkian, iri hati dan perasaan buruk lainnya tidak mendapat tempat dalam diri orang yang pikirannya telah menyerap prinsip luhur ini. Dalam hal ini akan muncul kesabaran, toleransi dan kebajikan.

Metta berperang melawan semua pikiran jahat dan menjaga kesadaran, serta mengusir itikad jahat dari pikiran.
Untuk mulai melatih sifat ini, pertama-tama kita harus menjadi seorang silavanta yaitu orang yang menjalankan sila, yang berbudi luhur. Seorang bhikkhu yang mempraktekkan metta akan memurnikan sila dalam kehidupan silanya. Sedangkan umat awam paling sedikit harus melaksanakan Lima Aturan (Pancasila) dan dengan demikian menjadi seorang silavanta. Sila atau moralitas adalah landasan bagi semua umat Buddha.

Selanjutnya, kita harus memahami kerugian dari membenci dan perasaan sejenisnya, seperti kedengkian. Banyak manfaat yang bisa kita peroleh dari pembahasan hal khusus ini. Kita cenderung merasa jengkel kalau kita tidak suka terhadap sesuatu. Inilah dosa, salah satu dari enam hetu atau penyebab kamma yang tercantum dalam Abhidhamma.

Kecenderungan ini hanya bisa dibasmi semuanya kalau kita sudah mencapai kesucian tingkat ketiga, yang disebut anagamimagga. Dosa bersama-sama moha, ahirika dan anotappa, serta uddhacca (berturut-turut: ketidaktahuan, tak ada rasa malu berbuat kejahatan, tak ada ketakutan akibat dari kejahatan, dan keragu-raguan) yang disebut sebagai empat subbha-akusala-sadha-rana-cetasika yang pertama, muncul dalam bentuk kesadaran yang amoral, dan saat mereka bergabung lebih jauh dengan kesadaran yang dikuasai oleh dosa, pikiran akan menghasilkan kodha, kemarahan.

Jika kodha tidak segera dikendalikan, ia akan menguat menjadi vera, rasa permusuhan, yang selanjutnya akan berkobar menjadi upanaha, rasa permusuhan yang lebih hebat. Orang bodoh seperti Devadatta akan membawa sifat jelek ini sampai kelahiran yang berikutnya dan bahkan pada beberapa kelahiran selanjutnya. Dengan metta kita bisa mengendalikan rangkaian sifat jelek, menahan amarah, menjinakkannya sehingga menjadi seperti seekor ular berbisa tanpa taring.

Visuddhi magga
, salah satu naskah yang paling dikenal dalam Buddha Dhamma, menjelaskan poin ini secara mendetil. Kita dapat memikirkan kerugian akibat menuruti nafsu amarah sebagai berikut: kalau membiarkan diri dikuasai oleh kebencian, kita gampang menjadikan orang lain sebagai korban kebencian kita dan pikiran kita akan terobsesi dengan kebencian ini. Kalau begini, kita sangat mungkin menyakiti orang lain atau bahkan membunuh sanak keluarga sendiri, sehingga kita akan menjadi sampah masyarakat.

Lewat amarah, individu bermusuhan dengan individu, keluarga bermusuhan dengan keluarga, negara bermusuhan dengan negara, sebagai akibatnya akan terjadi perselisihan, kekejaman, dan bencana lainnya. Nafsu amarah dan pertikaian yang tak terkendali akan membawa peperangan dalam batin, yang dengan cepat akan meruntuhkan kebudayaan dan peradaban manusia.

Anatthajanano kodho, kemarahan menghasilkan kebencian, sabda Sang Guru.
Bila pikiran manusia sudah diliputi oleh kebencian, hubungan antarmanusia akan dirusaknya, di sinilah motif keegoisan muncul dengan dituntun keserakahan dan itikad buruk. Lewat itikad buruklah manusia bermusuhan satu sama lain. Hal ini berlaku baik pada tingkat pribadi maupun internasional. Manusia mengikis rasa perikemanusiaannya dan melupakan bahwa dirinya adalah makhluk yang berakal budi, sehingga ia akan menggeram, menggigit, merangkak bahkan mengibaskan ekor bila perlu.

Demikianlah, walaupun telah digariskan oleh agama, ia tetap tidak dapat menjaga hubungan antarmanusia baik bagi kebaikannya sendiri maupun bagi masyarakat umum.

Berlawanan dengan hukum yang berkenaan dengan alam fisika di mana yang tidak sejenis akan tarik-menarik, dalam kegiatan batin, yang sejenis akan menarik yang sejenis. Hasil yang tidak terelakkan adalah bahwa manusia akan menarik bentuk pikiran apa pun untuk menguasai dirinya. Kadang-kadang ini bisa berupa kebencian yang kronis, atau dendam kesumat yang lama terpendam. Kedengkian, kemarahan, dan kebencian yang bermunculan dalam diri dapat menyalakan kemurkaan yang menyebabkan kita kehilangan keseimbangan. Singkatnya, tidak ada yang lebih berbahaya daripada dosa, sang angkara murka.

Melenyapkan Kemarahan

Rasa metta mengajarkan untuk melupakan, memaafkan, dan melenyapkan kemarahan. Sang Buddha adalah orang pertama yang memberikan sumbangan pada etika manusia, metta, cinta kasih universal, yang melampaui semua batasan.

Beliau berkata:
Na hi vereni verani sammant'idha kudacananam
Averena ca sammanti esa dhammo sanantano

Kebencian tidak akan berakhir dengan kebencian, kebencian hanya akan berakhir dengan tidak membenci, inilah hukum yang abadi.

Lebih lanjut Sang Buddha berkata:
khanti paramam tapo titikkha
Kesabaran adalah praktik spiritual yang tertinggi.

Sekarang, marilah kita memperdebatkan poin ini dengan cara lain. Berbuat kebajikan bahkan terhadap musuh sekalipun adalah ciri seorang manusia yang luhur. Dalam pengertian ini, berbuat baik kepada musuh sama dengan menarik kebaikan dari musuh, sedangkan berbuat jahat pada musuh sama dengan membangkitkan kekuatan jahat dari musuh. Bentuk-bentuk pikiran juga suatu kekuatan. Karena itu, ia yang membenci orang lain laksana orang yang menaburkan debu pada saat angin bertiup ke arahnya.

Tam eva balam pacceti papam
Sukhumo rajo pativatam va khitto

Kejahatan akan berbalik pada orang yang tidak bijaksana seperti debu yang ditabur melawan angin.

Demikianlah, para umat yang mulai mempraktekkan metta seharusnya melihat dahulu manfaat toleransi dan kesabaran, jalan kebencian menuntun kepada perbudakan dan kesengsaraan, sedangkan kesabaran menuntun kepada kebahagiaan, kedamaian dan keamanan. Namun, tanpa adanya suatu tingkat pendahuluan, metta tidak bisa dikembangkan. Kita harus mencoba setiap metoda untuk membawa pikiran menuju ke keadaan yang seimbang. Membalas kejahatan dengan kejahatan dan membalas dendam dengan dendam hanya akan menghasilkan lingkaran setan.

Contohnya, rasa sakit yang dirasakan seorang musuh hanyalah hasil perbuatan buruknya di masa lampau, bekas luka kesalahannya yang terdahulu menemukan kesempatan untuk bermanifestasi dalam dirinya. Jika kita memperdalam luka ini dan mengulangi kesalahan yang telah dilakukan, pada diri kita akan timbul suatu hutang baru yang pada gilirannya harus dilunasi kelak. Oleh karena itu, memaafkan dan melupakan selalu merupakan yang terbaik.

Mempelajari secara teoritis dari mana metta harus dimulai adalah perbuatan yang sia-sia, kecuali kalau pengetahuan itu dipraktikkan. Orang yang mempraktikkan metta akan selalu mengucapkan: sabbe satta sukhi hontu (Semoga semua makhluk berbahagia). Ia harus merenungkan ucapan tersebut dan menyerap artinya secara total. Kepada siapakah seharusnya metta dipancarkan terlebih dahulu? Visuddhimagga memberikan metodanya.

Ada empat individu yang seharusnya tidak menjadi objek pancaran cinta kasih terlebih dahulu, yaitu: orang yang secara alamiah tidak disukai, orang yang sangat dicintai dan disayangi, orang yang netral dan orang yang dimusuhi. Metta juga tidak seharusnya dikembangkan kepada lawan jenis atau kepada orang yang telah meninggal.

Mengapa begitu? Amatlah mengesalkan bila kita menempatkan orang yang tidak disukai sebagai orang yang disenangi. Sama mengesalkannya kalau kita harus menempatkan orang yang sangat dicintai sebagai orang yang netral. Amatlah melelahkan menempatkan orang yang netral sebagai orang yang dihormati atau disayangi. Juga masih ada kemungkinan bagi kemarahan untuk masuk saat metta ditujukan kepada musuh. Saat kita memancarkan metta terhadap lawan jenis, ada suatu kecenderungan untuk berkembang menjadi cinta yang penuh nafsu, yang pada gilirannya akan melahirkan kesedihan dan ketakutan. Pemato jayanti soko pemato jayanti bhayam, sabda Sang Buddha.

Mempraktekkan metta terhadap orang yang telah meninggal tidak ada gunanya karena “obyek”-nya tidak ada sebab suatu “obyek” sangat diperlukan bagi pengembangan metta. “Awal yang baik berarti setengah telah dikerjakan”, begitulah bunyi peribahasa. Cara yang biasa dan paling benar adalah terlebih dahulu mempraktekkan metta terhadap diri sendiri. Melakukannya secara berulang-ulang seperti berikut ini: aham avero homi abyapajjho homi anigho homi sukhi attanam pariharami (semoga diriku terbebas dari permusuhan, kemalangan dan kecemasan; semoga diriku dapat hidup bahagia!) Demikianlah metta yang dikembangkan akan murni dan kuat. Lalu meditator akan menyadari bahwa metta telah mencapai puncaknya. Hal ini disabdakan dalam Udana:
Sabda disa anuparigamma cetasa
navajjhaga piyataramattana kvaci
evampiyo puthu atta paresam
tasma na himse param attakamo
.
“Setelah menyelidik seluruh dunia dengan mata batinKu, Aku tidak melihat adanya sesuatu yang lebih berharga bagi seseorang daripada dirinya sendiri. Hidup adalah hal yang paling berharga bagi seorang manusia, oleh karena itu, menggantikan orang lain dengan diri sendiri tidaklah menyebabkan kerugian bagi orang lain.”

Pada keadaan ini, meditator yang telah memiliki gelombang pikiran sebagai kendarannya, siap dan layak untuk menyebarluaskan metta, memahami dengan baik apa yang ia utarakan. Ia ibarat riak air di kolam yang tenang dan jernih, yang secara perlahan-lahan timbul dan menyebar sampai ke tepian. Tetapi tidak seperti yang menghilang setelah mencapai tepian, riak metta akan menyentuh semua makhluk dan kembali lagi kepada si pemancar untuk diperkuat dan memulai gerakan lagi dan lagi sampai seluruh dunia menyatu dengannya dan ia menyatu dengan seluruh jagat raya.

Obyek metta adalah satta-pannatti, yaitu semua bentuk kehidupan tanpa kecuali, bahkan dampai ke bentuk kehidupan makhluk bersel satu yang mikroskopik sekalipun. Demikianlah cinta kasih melingkupi dunia, dimulai dari diri sendiri lalu kepada orang yang disayangi, lalu kepada yang netral dan terakhir kepada musuh walau bagaimana jahat dan dengkinya mereka. Meditator menemukan dirinya dalam lingkungan yang begitu damai, sehingga ia tidak membenci siapa pun, dan tak seorang pun yang membencinya. Tak seorang pun yang takut kepadanya dan ia pun tidak merasa takut pada siapapun.

Tahap ini digambarkan dalam syair berikut ini:
Na man koci uttasati napiham bhayami kassaci
Mettabalenapatthaddho ramami pavane sadda


Ini adalah metoda khusus dalam memancarkan cinta kasih. Di samping itu masih ada metoda lain tapi prinsip dasarnya sama saja. Kita bisa duduk di tempat yang tenang dan sunyi untuk membangkitkan metta seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, membawa semua makhluk ke dalam meditasi kita dan menyebutkan mereka dalam kategori berikut: makhluk di timur, barat, selatan dan utara, yang dibedakan menjadi 10 arah dan menyebut sabbe satta sabba pana kepada semua makhluk, semua benda hidup, yang berarti menekankan pencakupan pada semua bentuk kehidupan.

Dalam kaitan ini, kita bisa mengikuti metoda yang diberikan dalam Karaniya Metta Sutta, yang dalam segi tertentu adalah yang paling sering dipakai karena termuat dalam Tipitaka. Yang perlu diperhatikan adalah metta-kammatthan’a, meditasi metta yang tercakup dalam caturarakkha, Empat Perlindungan.

Manfaat

Manfaat melaksanakan metta meliputi hal yang bersifat duniawi maupun yang bersifat adiduniawi. Lewat metta kita dapat memperoleh metta cetovimutti, ketenangan mental, dan kemudian menjadikannya dasar pandangan terang untuk mencapai Nibbana. Ia yang mempraktekkan metta akan menikmati karunia metta di tempat ini pada saat ini juga. Mettanisamsa Sutta menyebutkan manfaat mettabhavana satu per satu, sebagai berikut:
1.   Sukham supati – tidur nyenyak.
2.   Sukham patibujjhati – bangun dengan perasaan segar.
3.   Napapakam supinam passati – tidak bermimpi buruk.
4.   Manussanam piyo hoti, amanussanam piyo hoti – disenangi manusia dan juga yang bukan manusia.
5.   Devata nam rakkhanti – dilindungi para dewa dari gangguan jahat.
6.   Na assa aggi visam vasattham va khamati – api, racun dan senjata tidak dapat mengganggunya.
7.   Tuvatam cittam samadhiyati – pikiran menjadi tenang.
8.   Mukhavananno vippasidati – raut muka menjadi cerah.
9.   Assamulho kalam karoti – meninggal tanpa menderita.
10.   Uttarim appativijjhanto brahmalokupago hoti – jika tidak mencapai kesucian yang lebih tinggi akan dilahirkan di alam Brahma.

Metode untuk mengembangkan karuna, mudita dan upekkha akan dipahami dari apa yang telah dirumuskan pada latihan metta. Masalahnya hanya menggantikan peranan metta seperti diuraikan di atas, dengan “belas kasih”, “simpati” atau “keseimbangan”. Empat Kediaman Luhur dapat dikembangkan secara terpisah atau bersamaan.

Brahmavihara Bhavana
yang luar biasa ini dapat dipraktekkan oleh siapa saja tanpa memandang kecenderungan bawaannya. Semua kebajikan yang lain berasal dari prinsip dasar ini tanpa melihat apakah kita umat Buddha atau bukan. Metta dan upekkha cukup penting dalam Sepuluh Paramita yang bisa membuat kita menjadi Buddha.

Karuna-lah yang menggerakkan Sumedha, yang kemudian menjadi Buddha Gotama, untuk menunda kebahagiaan Nibbana demi menolong sesama umat manusia yang diliputi oleh penderitaan dan terus berada dalam roda samsara, untuk mencapai Penerangan Sempurna. Mahakarunika adalah julukan yang sering ditujukan bagi Sang Buddha.

Marilah kita semua mempraktekkan Empat Kediaman Luhur ini dengan mengikuti contoh yang telah diberikan oleh Sang Guru Agung kita.

Sumber:
World Buddhism, XII, 5,
Des. 1963, Hal. 3-5
Pengalih bahasa: Yenny.

Diterbitkan oleh:
Ekayana
Edisi 3, Mei – Juni 1995
Hal. 23-31

mettacittena
_/\_
appamadena sampadetha

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Empat Kediaman Luhur - Ven. Pandita Gunasiri Mahathera
« Reply #1 on: 06 December 2008, 12:31:29 AM »
mantap ^ keren .....

Thanks .... Xuvie  _/\_

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

 

anything