//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Thich Nhat Hahn urges parliaments, corporations, schools and families to adopt 5  (Read 17711 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
ada artikel menarik sehubungan dengan hal ini

The So-Called Lay "Sangha" in America
by Ronald Epstein (Upasaka I Guorong)
Originally published in Vajra Bodhi Sea, v. 16, ser. 38, no. 188, Jan. 1986, p. 18.
(Chinese translation published in Wan-fo Ch'eng, Sept. 1985, p. 18.)

Many of America's new Buddhists are spreading the idea that they are a "sangha" and that their lay "sangha" movement is the correct adaptation of Buddhism to the American scene. Where does this peculiar and dangerous idea come from?

Traditionally the Sangha is considered the third of the Three Jewels---Buddha, Dharma, and Sangha--which are the foundation of Buddhism. Sangha refers to the community of fully ordained monks (Bhikshus) and nuns (Bhikshunis) who de-vote their lives, full-time, to the Buddhist Path. In both Northern (Mahayana) and Southern (Theravada) Buddhism, the moral relations governing the life of the Sangha community are practically identical. They insure a lifestyle that is pure, celibate, and free from worldly desires. In both Northern and Southern Buddhism, the great teachers and enlight-ened masters have come almost exclusively from the Sangha. There have been a few enlightened Buddhist laymen and laywomen in the past, but not one of them failed to wholeheartedly support the Sangha as the foundation of the larger Buddhist community.

How can laypeople constitute a "sangha"? This is a case of a little knowledge being a dangerous thing. They hear that the Sanskrit word sangha means community and say to themselves: we are a community, so we should call ourselves "sangha."

Why do they ignore the traditional meaning of Sangha within Buddhism? Why do they try to usurp the roles of the monks and nuns without taking on their commitment, vows, and responsibilities? This is a case of an initially valid insight leading to wrong conclusions because of lack of correct information.

Most of those in the lay "sangha" movement were introduced to Buddhism through American Zen Centers that see themselves in the tradition of the Japanese Zen schools, which belong to Northern, Mahayana, Buddhism. They see that the teachers in those schools, both Japanese and American, are married and in many cases lead lives that are far from being austere and pure. It strikes them that there is no reason for them to support these so-called "priests" or "monks" whose way of life is not really superior or more laudable than their own. That makes sense. But then, instead of supporting a real Sangha, they set them-selves up as "sangha." They don't realize that their own Japanese Zen tradition was derived from Chinese Ch'an (Zen being the Japanese pronunciation) and that the lineages of Chinese Ch'an are traced back to India and ultimately to the Buddha. They don't know that all the great Japanese Zen masters strongly supported the monastic traditions as they existed in India and China as being absolutely essential to the survival of the Japanese Zen tradition. They don't realize that it was only in 1868, a little over a hundred years ago, that the Japanese government closed all Buddhist monasteries and sent all the monks and nuns back to lay life. The reason for abolishing the real Sangha in Japan was political, and no one in Japan has ever tried to justify it on religious grounds. The Sangha was simply never reestablished there.

Most of the people in the lay "sangha" movement are well-meaning, thinking that they are building a truly American Buddhism. Unfortunately, they are unaware that, throughout history, wherever the Sangha has been strong and pure, Buddhism has flourished, and wherever the Sangha is weakened and corrupt, Buddhism decays. By setting themselves up as "sangha," instead of encouraging, aiding, and supporting the real Sangha, they are not only failing to help build American Buddhism, but are directly opposing and undermining it. These well-meaning people should educate themselves about their own traditions, so that they can understand the harm they are doing, change their ways, and enter the right Path.
Ngga tepat juga kalau dikatakan monastik jepang baru menikah setelah Restorasi Meiji, kenyataannya ini telah berlangsung cukup lama dalam sekte Jodo Shinshu.

Monastics in Japan are particularly exceptional in the Buddhist tradition because the monks and nuns can marry after receiving their higher ordination. This idea is said to be introduced by Saichō, the founder of the Tendai school, who preferred ordaining monks under the Bodhisattva vows rather than the traditional Vinaya. There had long been many instances of Jōdo Shinshū priests and priestesses marrying, influenced by the sect's founder Shinran, but it was not predominant until a government Nikujiku Saitai Law (肉食妻帯) was passed during the Meiji Restoration that monks or priests of any Buddhist sect are free to seek wives.
wiki
appamadena sampadetha

Offline luis

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 118
  • Reputasi: 22
  • Gender: Male
dan gerakan ini juga sudah masuk ke indonesia. dan hal ini menimbulkan efek negatif yg cukup mengkhawatirkan, karena kesetaraan Sangha "monastic" dan "lay" ini, ada "biku" yg malah berperilaku selayaknya umat awam.

Betul, tanpa menarik garis yang jelas antara kewajiban sebagai bhikkhu dengan kewajiban umat awam, maka akan menimbulkan kerancuan. Umat awam berdandan dan berlagak sebagai bhikkhu, bhikkhu berperilaku seperti umat awam, hangout di cafe, ikut acara api unggun muda mudi, berjualan patung, barang antik, jimat bahkan mungkin punya keluarga yg disembunyikan di kota lain.

Kalau sudah rancu seperti itu, makin banyak pemalas yang tidak mau bekerja keras akanmemasuki arena Buddhism dengan tujuan cari uang gampang, dihormati umat, hidup santai.

Dan kita yang mengungkapkan hal hal ini akan dicap sebagai kolot , ketinggalan jaman .

Yup, saya setuju memang tanda2 Dhamma-ending-age sudah kelihatan, yang perlu kita lakukan adalah bagaimana cara memperlambatnya.

Gak cuma di Indonesia, di negara lain seperti Singapore dan Malaysia pun, masalah anggota monastik yang berlaku seperti umat awam pun cukup serius. Selain memang anggota monastik tersebut yang "bersalah", kesalahan juga di-share oleh lembaga yang melindungi anggota tersebut dan juga para umat yang men-supportnya. Yang ingin saya highlight, kebanyakan umat yang men-support adalah mereka yang tidak tahu kalau tindakan itu salah atau mereka yang lebih "menghormat" pada individu anggota monastik tersebut (orientasi pada kharisma) ketimbang pada Dhamma dan Vinaya.

Kalau mau jujur, banyak umat yang tidak tahu mengenai isi vinaya sehingga berakibat mereka menganggap apa yang dilakukan oleh anggota monastik tersebut tidak salah. Salah satu kunci untuk mengatasi masalah ini, menurut saya, adalah dengan mendidik mereka mengenai Dhamma dan Vinaya. Semakin banyak orang yang mengerti, semakin bertambah fungsi kontrol sosial terhadap para anggota monastik yang "bersalah" ini. Salah satunya adalah lewat yang teman2 sudah suarakan melalui forum ini :)

Memang betul, tidak semua orang bisa dan mau dididik, yang berpandangan bahwa menyuarakan hal2 seperti ini adalah tindakan yang kolot pasti banyak. Tetapi jangan lupa, banyak orang2 dengan pikiran dan hati yang terbuka juga menjadi sadar akan pengetahuan ini, dan mulai menyuarakan hal yang sama. Dengan begitu, tentu saja pelan2 dukungan sosial terhadap fenomena ini juga akan semakin bertambah.

Hanya saja, dalam melakukan "pendidikan" ini kita juga musti mindful ... jangan sampai cara kita menyuarakan menimbulkan kesan2 yang bertentangan dengan kualitas praktisi Buddhis yang "hidup sesuai Dhamma". Misalnya dengan berkata2 kasar, memaksakan pendapat dst. Menurut saya, dalam memperjuangkan hal ini, apa yang kita suarakan dan lakukan juga musti sesuai dengan Dhamma dan Vinaya (baca: Sila). Saya rasa apabila kita menyuarakan dengan tepat, dan tingkah laku kita mencerminkan orang yang hidup sesuai Dhamma, orang2 yang "mengerti dan berpartisipasi" akan menjadi semakin banyak dan orang2 yang "antipati" akan jadi semakin sedikit.

Memang tidak mudah ... tapi kita tetap terus belajar dan berusaha :) at least sesuai dengan kemampuan kita saat ini. Saya pribadi bukan tipe orang yang bisa bersuara lantang dalam mengkritisi hal2 ini, tetapi saya melakukan dengan pertama2 membatasi pergaulan saya dengan komunitas "yang bersalah" tersebut, dan lebih memfokuskan memberikan pengertian pada mereka yang mau dengar. Biasanya setelah mereka mengerti, fungsi sosial ini semakin bertambah karena mereka akan memberikan pengertian yang sama juga kepada lingkungan mereka.

Tapi ini saja tentu tidak cukup :D saya hanya berkontribusi sedikit sekali (kalaupun ada). Tetap diperlukan teman2 yang memiliki gaya yang lebih lantang supaya amplifier nya makin kenceng hehehehehe.

Semoga semua makhluk berbahagia.

Mettacittena,
Luis
Do not blame nor criticise anyone, as there is no one to blame in the first place.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male

Tapi ini saja tentu tidak cukup :D saya hanya berkontribusi sedikit sekali (kalaupun ada). Tetap diperlukan teman2 yang memiliki gaya yang lebih lantang supaya amplifier nya makin kenceng hehehehehe.

Semoga semua makhluk berbahagia.

Mettacittena,
Luis


mau yg lantang? di sini banyak http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=18087.msg303984;topicseen#msg303984

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Yup, menurut saya juga juga definisi "Sangha" beliau berbeda dengan definisi Sangha umumnya dalam Buddhism.

Sebelum jaman Sang Buddha, Sangha memang berarti "komunitas" secara umum. Kalau tidak salah, arti harafiah nya sama dengan "Republik". Tetapi pada jaman Sang Buddha dan setelahnya, Sangha memiliki penyempitan makna menjadi "komunitas monastik". Jadi dalam literatur Buddhism, arti Sangha secara "otomatis" mengacu pada "komunitas monastik".

Tentunya istilah "Ariya Sangha" memiliki makna yang lebih "khusus" lagi ... yang mengacu pada 8 makhluk suci (dari sotapanna-magga sampai Arahat-phala). Di sini maknanya bukan lagi pada "komunitas monastik", tetapi pada semua makhluk suci tersebut baik monastik maupun non-monastik.

Untuk istilah komunitas para praktisi (monks, nuns, upasaka, upasika), biasanya disebut dengan parisa (atau assembly). Kelihatannya definisi "Sangha" menurut Thay TNH mengacu pada parisa ini. Tanpa mengurangi hormat saya kepada beliau sebagai Guru Dharma yang handal, saya pribadi lebih cenderung menempatkan istilah "parisa" dan "Sangha" pada konteks yang sesuai. Men-generalisasi "parisa" sebagai "Sangha" akan menimbulkan kerancuan istilah dan makna.

Semoga semua makhluk berbahagia.

Mettacittena,
Luis



setuju bro, sy sependapat dg anda.

mettacittena,

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
menurut saya saṃghaṃ sobheti di atas merujuk pada "komunitas" dalam kelompoknya masing-masing, jadi bukan keempat kelompok itu semuanya memperindah Sangha para bhikkhu

interpretasi saya kurang lebih sbb:

para bhikkhu yang bermoral, terpelajar ... memperindah komunitas para bhikkhu
para bhikkhuni yang bermoral, terpelajar ... memperindah komunitas para bhikkhuni
para upasaka yang bermoral, terpelajar ... memperindah komunitas para upasaka
para upasika yang bermoral, terpelajar ... memperindah komunitas para upasika.

_/\_
CMIIW.


Terima kasih, interpretasi yang sangat menarik :) membaca sutta ini, kesan yang saya dapatkan adalah "Sangha" di sini mengacu pada Ariya Sangha. Jadi keempat kategori tersebut "memperindah" komunitas para Ariya (Sotapanna-magga sampai Arahat-phala). Yang membuat saya memiliki kesan tersebut adalah bait selanjutnya:

A bhikkhu who is virtuous, a learned bhikkhuni,

A male lay disciple and a female lay disciple with faith

They are adornments to the Community
[/i]

Berhubung kalimat dalam kutipan di atas tidak terdapat bahasa pali nya di post Bro Indra sebelumnya, saya tidak tahu kalimat pali dari "a male lay disciple and a female lay disciple with faith". Tapi dari istilah "with faith", saya mengasosiasikannya dengan Saddha-nusari, yang dalam Okkanti Samyutta (SN 25) dikatakan "tidak mungkin meninggal tanpa merealisasikan sotapanna-phala" (dengan kata lain, sotapattana-magga)

Abhabbo tam kammam katum yam kammam katva nirayam va tiracchana,yonim va petti,visayam va uppajjeyya.
Abhabbo ca tava kalam katum yava na sotapatti,phalam sacchikaroti.

He is incapable of doing any intentional deed by which he might be reborn in hell, or in the animal birth, or in the ghost realm.
He is incapable of dying without having attained the fruit of streamwinning.


Ngintip di thread sebelah (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=16277.msg263193#msg263193), Samanera Peacemind mengatakan bahwa kitab sub-komentar untuk sutta di atas menyebutkan "keempat kelompok manusia di atas adalah mereka yang telah menembus kebenaran (saccapaṭivedha). Artinya, mereka setidaknya telah mencapai kesucian sotapanna". Sementara kalau menurut interpretasi saya di atas, tidak perlu telah merealisasikan sotapanna-phala, tetapi bisa masih berada dalam sotapanna-magga sebagai Saddha-nusari (walaupun dalam Abhidhamma dikatakan bahwa realisasi magga dan pala hanya berbeda 1 momen). Tetapi apapun itu, keduanya mengacu pada konteks "Sangha" sebagai "Ariya Sangha"

CMIIW too :)

Mettacittena,
Luis

setuju bro...sory baru baca thread ini, jadi baru tahu ada postingan ini...nambahin dikit boleh? itu yg sy beri tanda bold biru, tidak hanya saddhanusari saja tp dhammanusari pun udah pemasuk arus...stream winner...tdk akan terjatuh kealam rendah...max 7 kali kelahiran.

mettacittena,
« Last Edit: 18 October 2010, 09:57:11 PM by pannadevi »

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
ada artikel menarik sehubungan dengan hal ini

The So-Called Lay "Sangha" in America
by Ronald Epstein (Upasaka I Guorong)
Originally published in Vajra Bodhi Sea, v. 16, ser. 38, no. 188, Jan. 1986, p. 18.
(Chinese translation published in Wan-fo Ch'eng, Sept. 1985, p. 18.)

Many of America's new Buddhists are spreading the idea that they are a "sangha" and that their lay "sangha" movement is the correct adaptation of Buddhism to the American scene. Where does this peculiar and dangerous idea come from?

Traditionally the Sangha is considered the third of the Three Jewels---Buddha, Dharma, and Sangha--which are the foundation of Buddhism. Sangha refers to the community of fully ordained monks (Bhikshus) and nuns (Bhikshunis) who de-vote their lives, full-time, to the Buddhist Path. In both Northern (Mahayana) and Southern (Theravada) Buddhism, the moral relations governing the life of the Sangha community are practically identical. They insure a lifestyle that is pure, celibate, and free from worldly desires. In both Northern and Southern Buddhism, the great teachers and enlight-ened masters have come almost exclusively from the Sangha. There have been a few enlightened Buddhist laymen and laywomen in the past, but not one of them failed to wholeheartedly support the Sangha as the foundation of the larger Buddhist community.

How can laypeople constitute a "sangha"? This is a case of a little knowledge being a dangerous thing. They hear that the Sanskrit word sangha means community and say to themselves: we are a community, so we should call ourselves "sangha."

Why do they ignore the traditional meaning of Sangha within Buddhism? Why do they try to usurp the roles of the monks and nuns without taking on their commitment, vows, and responsibilities? This is a case of an initially valid insight leading to wrong conclusions because of lack of correct information.

Most of those in the lay "sangha" movement were introduced to Buddhism through American Zen Centers that see themselves in the tradition of the Japanese Zen schools, which belong to Northern, Mahayana, Buddhism. They see that the teachers in those schools, both Japanese and American, are married and in many cases lead lives that are far from being austere and pure. It strikes them that there is no reason for them to support these so-called "priests" or "monks" whose way of life is not really superior or more laudable than their own. That makes sense. But then, instead of supporting a real Sangha, they set them-selves up as "sangha." They don't realize that their own Japanese Zen tradition was derived from Chinese Ch'an (Zen being the Japanese pronunciation) and that the lineages of Chinese Ch'an are traced back to India and ultimately to the Buddha. They don't know that all the great Japanese Zen masters strongly supported the monastic traditions as they existed in India and China as being absolutely essential to the survival of the Japanese Zen tradition. They don't realize that it was only in 1868, a little over a hundred years ago, that the Japanese government closed all Buddhist monasteries and sent all the monks and nuns back to lay life. The reason for abolishing the real Sangha in Japan was political, and no one in Japan has ever tried to justify it on religious grounds. The Sangha was simply never reestablished there.

Most of the people in the lay "sangha" movement are well-meaning, thinking that they are building a truly American Buddhism. Unfortunately, they are unaware that, throughout history, wherever the Sangha has been strong and pure, Buddhism has flourished, and wherever the Sangha is weakened and corrupt, Buddhism decays. By setting themselves up as "sangha," instead of encouraging, aiding, and supporting the real Sangha, they are not only failing to help build American Buddhism, but are directly opposing and undermining it. These well-meaning people should educate themselves about their own traditions, so that they can understand the harm they are doing, change their ways, and enter the right Path.
Ngga tepat juga kalau dikatakan monastik jepang baru menikah setelah Restorasi Meiji, kenyataannya ini telah berlangsung cukup lama dalam sekte Jodo Shinshu.

Monastics in Japan are particularly exceptional in the Buddhist tradition because the monks and nuns can marry after receiving their higher ordination. This idea is said to be introduced by Saichō, the founder of the Tendai school, who preferred ordaining monks under the Bodhisattva vows rather than the traditional Vinaya. There had long been many instances of Jōdo Shinshū priests and priestesses marrying, influenced by the sect's founder Shinran, but it was not predominant until a government Nikujiku Saitai Law (肉食妻帯) was passed during the Meiji Restoration that monks or priests of any Buddhist sect are free to seek wives.
wiki

memang aliran jepang ini yg bikin makin melenceng jauh dari ajaran yang benar. apa yg diramalkan sang Buddha bhw para bhikkhu/ni kelak hanya menggunakan pita kuning saja di lengan dan tidak mengikuti Vinaya yg asli. beberapa para Bhikkhu di srilanka pun sering juga membicarakan hal ini, sehingga mereka selalu menanyai yg "mata sipit dan berkulit kuning" dg pertanyaan anda dari jepang? jika iya, maka mereka segera akan menolak utk duduk bersama, krn mereka anggap itu umat yg pake jubah. di srilanka umat tidak boleh duduk, harus berdiri, wlu berjam2 hingga mau pingsan, tetap harus berdiri, selama ada anggota sangha yg duduk, kecuali ada tempat tersendiri yg disediakan utk umat, baru mrk akan disuruh duduk oleh anggota sangha baru mereka berani duduk, selama tdk ada "ijin" maka mrk akan berdiri terus selamanya (kasihan juga sering hati saya ga tega).

mettacittena,
« Last Edit: 18 October 2010, 10:08:14 PM by pannadevi »

Offline Sukma Kemenyan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.840
  • Reputasi: 109
semakin banyak organisasi buddhist,
semakin sulit mencari dhamma.

Semakin banyak yg gundul,
Semakin banyak yg rancu.

Ini yg salah apa?


koq rasa2nya standardnya semakin sepele?
atau... memang tidak ada standard lagi?


Ujung2 kita juga yg bingung, mana yg bener.
Masih seger diingatan, gw menertawakan sangha = organisasi.
Haruskah aku menertawakan TNH juga?

Kemana para sangha sbenernya?
apa tanggapan mereka?
atau... hal ini hanya terjadi ketika masa vassa?

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
bro Glomod yg baik,
saya secara pribadi setuju dg Dhamma Vinaya yang asli, saya merasa banyak sekali terjadi penyimpangan, oleh karena itu saya belajar dhamma mencari yang BENAR, saya masih amat jauh dari sempurna, saya masih butuh belajar yang panjang.

So dhammam passati so mam passati. hanya dhamma guru kita saat ini, karena Sang Buddha telah parinibbana. maka sangat BAHAYA sekali membelokkan dhamma. marilah kita tingkatkan pengetahuan dhamma kita sehingga tidak mudah dijerumuskan oleh pandangan salah. spt yg sy tulis diatas "dhammanusari" juga pemasuk arus, jadi bagi member yg memiliki pengetahuan DHAMMA dg benar, maka dialah dhammanusari, bukan asal main2 aja sang Buddha membabarkan dhamma, sehingga kitapun juga bisa bermain2 mengartikan dhamma seenak dan sesuai dg kita.

menurut saya saṃghaṃ sobheti di atas merujuk pada "komunitas" dalam kelompoknya masing-masing, jadi bukan keempat kelompok itu semuanya memperindah Sangha para bhikkhu

interpretasi saya kurang lebih sbb:

para bhikkhu yang bermoral, terpelajar ... memperindah komunitas para bhikkhu
para bhikkhuni yang bermoral, terpelajar ... memperindah komunitas para bhikkhuni
para upasaka yang bermoral, terpelajar ... memperindah komunitas para upasaka
para upasika yang bermoral, terpelajar ... memperindah komunitas para upasika.

_/\_
CMIIW.


Terima kasih, interpretasi yang sangat menarik :) membaca sutta ini, kesan yang saya dapatkan adalah "Sangha" di sini mengacu pada Ariya Sangha. Jadi keempat kategori tersebut "memperindah" komunitas para Ariya (Sotapanna-magga sampai Arahat-phala). Yang membuat saya memiliki kesan tersebut adalah bait selanjutnya:

A bhikkhu who is virtuous, a learned bhikkhuni,

A male lay disciple and a female lay disciple with faith

They are adornments to the Community
[/i]

Berhubung kalimat dalam kutipan di atas tidak terdapat bahasa pali nya di post Bro Indra sebelumnya, saya tidak tahu kalimat pali dari "a male lay disciple and a female lay disciple with faith". Tapi dari istilah "with faith", saya mengasosiasikannya dengan Saddha-nusari, yang dalam Okkanti Samyutta (SN 25) dikatakan "tidak mungkin meninggal tanpa merealisasikan sotapanna-phala" (dengan kata lain, sotapattana-magga)

Abhabbo tam kammam katum yam kammam katva nirayam va tiracchana,yonim va petti,visayam va uppajjeyya.
Abhabbo ca tava kalam katum yava na sotapatti,phalam sacchikaroti.

He is incapable of doing any intentional deed by which he might be reborn in hell, or in the animal birth, or in the ghost realm.
He is incapable of dying without having attained the fruit of streamwinning.


Ngintip di thread sebelah (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=16277.msg263193#msg263193), Samanera Peacemind mengatakan bahwa kitab sub-komentar untuk sutta di atas menyebutkan "keempat kelompok manusia di atas adalah mereka yang telah menembus kebenaran (saccapaṭivedha). Artinya, mereka setidaknya telah mencapai kesucian sotapanna". Sementara kalau menurut interpretasi saya di atas, tidak perlu telah merealisasikan sotapanna-phala, tetapi bisa masih berada dalam sotapanna-magga sebagai Saddha-nusari (walaupun dalam Abhidhamma dikatakan bahwa realisasi magga dan pala hanya berbeda 1 momen). Tetapi apapun itu, keduanya mengacu pada konteks "Sangha" sebagai "Ariya Sangha"

CMIIW too :)

Mettacittena,
Luis

setuju bro...sory baru baca thread ini, jadi baru tahu ada postingan ini...nambahin dikit boleh? itu yg sy beri tanda bold biru, tidak hanya saddhanusari saja tp dhammanusari pun udah pemasuk arus...stream winner...tdk akan terjatuh kealam rendah...max 7 kali kelahiran.

mettacittena,
mettacittena,
« Last Edit: 18 October 2010, 11:01:53 PM by pannadevi »

Offline wen78

  • Sebelumnya: osin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.014
  • Reputasi: 57
  • Gender: Male
ada artikel menarik sehubungan dengan hal ini

The So-Called Lay "Sangha" in America
by Ronald Epstein (Upasaka I Guorong)
Originally published in Vajra Bodhi Sea, v. 16, ser. 38, no. 188, Jan. 1986, p. 18.
(Chinese translation published in Wan-fo Ch'eng, Sept. 1985, p. 18.)

Many of America's new Buddhists are spreading the idea that they are a "sangha" and that their lay "sangha" movement is the correct adaptation of Buddhism to the American scene. Where does this peculiar and dangerous idea come from?

Traditionally the Sangha is considered the third of the Three Jewels---Buddha, Dharma, and Sangha--which are the foundation of Buddhism. Sangha refers to the community of fully ordained monks (Bhikshus) and nuns (Bhikshunis) who de-vote their lives, full-time, to the Buddhist Path. In both Northern (Mahayana) and Southern (Theravada) Buddhism, the moral relations governing the life of the Sangha community are practically identical. They insure a lifestyle that is pure, celibate, and free from worldly desires. In both Northern and Southern Buddhism, the great teachers and enlight-ened masters have come almost exclusively from the Sangha. There have been a few enlightened Buddhist laymen and laywomen in the past, but not one of them failed to wholeheartedly support the Sangha as the foundation of the larger Buddhist community.

How can laypeople constitute a "sangha"? This is a case of a little knowledge being a dangerous thing. They hear that the Sanskrit word sangha means community and say to themselves: we are a community, so we should call ourselves "sangha."

Why do they ignore the traditional meaning of Sangha within Buddhism? Why do they try to usurp the roles of the monks and nuns without taking on their commitment, vows, and responsibilities? This is a case of an initially valid insight leading to wrong conclusions because of lack of correct information.

Most of those in the lay "sangha" movement were introduced to Buddhism through American Zen Centers that see themselves in the tradition of the Japanese Zen schools, which belong to Northern, Mahayana, Buddhism. They see that the teachers in those schools, both Japanese and American, are married and in many cases lead lives that are far from being austere and pure. It strikes them that there is no reason for them to support these so-called "priests" or "monks" whose way of life is not really superior or more laudable than their own. That makes sense. But then, instead of supporting a real Sangha, they set them-selves up as "sangha." They don't realize that their own Japanese Zen tradition was derived from Chinese Ch'an (Zen being the Japanese pronunciation) and that the lineages of Chinese Ch'an are traced back to India and ultimately to the Buddha. They don't know that all the great Japanese Zen masters strongly supported the monastic traditions as they existed in India and China as being absolutely essential to the survival of the Japanese Zen tradition. They don't realize that it was only in 1868, a little over a hundred years ago, that the Japanese government closed all Buddhist monasteries and sent all the monks and nuns back to lay life. The reason for abolishing the real Sangha in Japan was political, and no one in Japan has ever tried to justify it on religious grounds. The Sangha was simply never reestablished there.

Most of the people in the lay "sangha" movement are well-meaning, thinking that they are building a truly American Buddhism. Unfortunately, they are unaware that, throughout history, wherever the Sangha has been strong and pure, Buddhism has flourished, and wherever the Sangha is weakened and corrupt, Buddhism decays. By setting themselves up as "sangha," instead of encouraging, aiding, and supporting the real Sangha, they are not only failing to help build American Buddhism, but are directly opposing and undermining it. These well-meaning people should educate themselves about their own traditions, so that they can understand the harm they are doing, change their ways, and enter the right Path.
Ngga tepat juga kalau dikatakan monastik jepang baru menikah setelah Restorasi Meiji, kenyataannya ini telah berlangsung cukup lama dalam sekte Jodo Shinshu.

Monastics in Japan are particularly exceptional in the Buddhist tradition because the monks and nuns can marry after receiving their higher ordination. This idea is said to be introduced by Saichō, the founder of the Tendai school, who preferred ordaining monks under the Bodhisattva vows rather than the traditional Vinaya. There had long been many instances of Jōdo Shinshū priests and priestesses marrying, influenced by the sect's founder Shinran, but it was not predominant until a government Nikujiku Saitai Law (肉食妻帯) was passed during the Meiji Restoration that monks or priests of any Buddhist sect are free to seek wives.
wiki

memang aliran jepang ini yg bikin makin melenceng jauh dari ajaran yang benar. apa yg diramalkan sang Buddha bhw para bhikkhu/ni kelak hanya menggunakan pita kuning saja di lengan dan tidak mengikuti Vinaya yg asli. beberapa para Bhikkhu di srilanka pun sering juga membicarakan hal ini, sehingga mereka selalu menanyai yg "mata sipit dan berkulit kuning" dg pertanyaan anda dari jepang? jika iya, maka mereka segera akan menolak utk duduk bersama, krn mereka anggap itu umat yg pake jubah. di srilanka umat tidak boleh duduk, harus berdiri, wlu berjam2 hingga mau pingsan, tetap harus berdiri, selama ada anggota sangha yg duduk, kecuali ada tempat tersendiri yg disediakan utk umat, baru mrk akan disuruh duduk oleh anggota sangha baru mereka berani duduk, selama tdk ada "ijin" maka mrk akan berdiri terus selamanya (kasihan juga sering hati saya ga tega).

mettacittena,

saya ingin menanyakan, aliran yg mana yg anda maksudkan? sebab yg anda quote terdapat 2 aliran yaitu Zen dan Tendai.
dan bisakah anda jabarkan secara jelas dan terperinci dimanakah letak kesalahannya?
segala post saya yg tidak berdasarkan sumber yg otentik yaitu Tripitaka, adalah post yg tidak sah yg dapat mengakibatkan kesalahanpahaman dalam memahami Buddhism. dengan demikian, mohon abaikan semua statement saya di forum ini, karena saya tidak menyertakan sumber yg otentik yaitu Tripitaka.

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Ah.. Apa bedanya yang baru dimulai oleh TNH dengan yang udah lama ada dalam tubuh Buddhisme? Dalam Tibetan Buddhisme, aliran Nyingmapa juga ada toh Sangha berjubah putih, yang ngga ada bedanya dengan umat awam berjubah Sangha, apalagi mereka tidak menjalankan hidup selibat. Lantas, apa bedanya dengan Upasaka-Upasika yang dinamakan Sangha juga? Kemudian dalam Tibetan Buddhisme juga ada fenomena Sangha berbaju awam toh?
Kerancuan yang ada sekarang, jelas bukan hal yang baru tapi sudah cukup lama mengakar dalam Buddhisme aliran tertentu.

appamadena sampadetha

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
 [at] Bro Wen
Buddhisme di Jepang secara umum sudah terdistorsi sedemikian jauhnya dibanding di belahan-belahan dunia lain tempat Buddhisme berkembang. Monastik di Jepang kebanyakan telah menikah dan makan daging, entah dari aliran apa saja tak terkecuali Zen. Memang tidak semuanya demikian dan mungkin masih ada beberapa yang bertahan dengan idealisme mereka. Tapi banyak yang sudah tidak lagi. Apalagi gencarnya Kriting-nisasi di Jepang terhadap umat awam, dan konon per tahun ratusan kuil (termasuk kuil-kuil Shinto) terpaksa tutup, yang memaksa para Bhiksu di Jepang untuk melakukan manuver-manuver demi mempertahankan umat dan kuil mereka. Di salah satu video yang pernah saya post kemarin, ada Bhiksu Zen yang membuka Bar dan menjadi master merangkap bartendernya.
Bahkan ada kritik dari beberapa guru Zen Jepang masa kini terhadap Zen Jepang, misalnya:
Quote
Some contemporary Japanese Zen teachers, such as Daiun Harada and Shunryu Suzuki, have criticized Japanese Zen as being a formalized system of empty rituals in which very few Zen practitioners ever actually attain realization. They assert that almost all Japanese temples have become family businesses handed down from father to son, and the Zen priest's function has largely been reduced to officiating at funerals.
Demikian yang Samaneri maksud dengan kalimat: "memang aliran jepang ini yg bikin makin melenceng jauh dari ajaran yang benar." Setidaknya demikian interpretasi saya. CMIIW.

be happy
_/\_
appamadena sampadetha

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Spoiler: ShowHide
dan gerakan ini juga sudah masuk ke indonesia. dan hal ini menimbulkan efek negatif yg cukup mengkhawatirkan, karena kesetaraan Sangha "monastic" dan "lay" ini, ada "biku" yg malah berperilaku selayaknya umat awam.

Betul, tanpa menarik garis yang jelas antara kewajiban sebagai bhikkhu dengan kewajiban umat awam, maka akan menimbulkan kerancuan. Umat awam berdandan dan berlagak sebagai bhikkhu, bhikkhu berperilaku seperti umat awam, hangout di cafe, ikut acara api unggun muda mudi, berjualan patung, barang antik, jimat bahkan mungkin punya keluarga yg disembunyikan di kota lain.

Kalau sudah rancu seperti itu, makin banyak pemalas yang tidak mau bekerja keras akanmemasuki arena Buddhism dengan tujuan cari uang gampang, dihormati umat, hidup santai.

Dan kita yang mengungkapkan hal hal ini akan dicap sebagai kolot , ketinggalan jaman .

Yup, saya setuju memang tanda2 Dhamma-ending-age sudah kelihatan, yang perlu kita lakukan adalah bagaimana cara memperlambatnya.

Gak cuma di Indonesia, di negara lain seperti Singapore dan Malaysia pun, masalah anggota monastik yang berlaku seperti umat awam pun cukup serius. Selain memang anggota monastik tersebut yang "bersalah", kesalahan juga di-share oleh lembaga yang melindungi anggota tersebut dan juga para umat yang men-supportnya. Yang ingin saya highlight, kebanyakan umat yang men-support adalah mereka yang tidak tahu kalau tindakan itu salah atau mereka yang lebih "menghormat" pada individu anggota monastik tersebut (orientasi pada kharisma) ketimbang pada Dhamma dan Vinaya.

Kalau mau jujur, banyak umat yang tidak tahu mengenai isi vinaya sehingga berakibat mereka menganggap apa yang dilakukan oleh anggota monastik tersebut tidak salah. Salah satu kunci untuk mengatasi masalah ini, menurut saya, adalah dengan mendidik mereka mengenai Dhamma dan Vinaya. Semakin banyak orang yang mengerti, semakin bertambah fungsi kontrol sosial terhadap para anggota monastik yang "bersalah" ini. Salah satunya adalah lewat yang teman2 sudah suarakan melalui forum ini :)


Memang betul, tidak semua orang bisa dan mau dididik, yang berpandangan bahwa menyuarakan hal2 seperti ini adalah tindakan yang kolot pasti banyak. Tetapi jangan lupa, banyak orang2 dengan pikiran dan hati yang terbuka juga menjadi sadar akan pengetahuan ini, dan mulai menyuarakan hal yang sama. Dengan begitu, tentu saja pelan2 dukungan sosial terhadap fenomena ini juga akan semakin bertambah.

Hanya saja, dalam melakukan "pendidikan" ini kita juga musti mindful ... jangan sampai cara kita menyuarakan menimbulkan kesan2 yang bertentangan dengan kualitas praktisi Buddhis yang "hidup sesuai Dhamma". Misalnya dengan berkata2 kasar, memaksakan pendapat dst. Menurut saya, dalam memperjuangkan hal ini, apa yang kita suarakan dan lakukan juga musti sesuai dengan Dhamma dan Vinaya (baca: Sila). Saya rasa apabila kita menyuarakan dengan tepat, dan tingkah laku kita mencerminkan orang yang hidup sesuai Dhamma, orang2 yang "mengerti dan berpartisipasi" akan menjadi semakin banyak dan orang2 yang "antipati" akan jadi semakin sedikit.

Memang tidak mudah ... tapi kita tetap terus belajar dan berusaha :) at least sesuai dengan kemampuan kita saat ini. Saya pribadi bukan tipe orang yang bisa bersuara lantang dalam mengkritisi hal2 ini, tetapi saya melakukan dengan pertama2 membatasi pergaulan saya dengan komunitas "yang bersalah" tersebut, dan lebih memfokuskan memberikan pengertian pada mereka yang mau dengar. Biasanya setelah mereka mengerti, fungsi sosial ini semakin bertambah karena mereka akan memberikan pengertian yang sama juga kepada lingkungan mereka.

Tapi ini saja tentu tidak cukup :D saya hanya berkontribusi sedikit sekali (kalaupun ada). Tetap diperlukan teman2 yang memiliki gaya yang lebih lantang supaya amplifier nya makin kenceng hehehehehe.

Semoga semua makhluk berbahagia.

Mettacittena,
Luis


Bicara soal yang saya bold merah di atas, berikut ini kutipan bagian kesimpulan dari artikel mengenai "Skandal dalam Kebangkitan Buddhisme Barat" terkait tulisan Ko Luis di atas mengenai orientasi pada karisma ketimbang Dhamma-Vinaya dan juga beberapa hal lainnya.

Spoiler: ShowHide
CONCLUSIONS

Many Buddhist movements in the West, including those described here, were founded during the second half of the twentieth century by charismatic leaders, assisted by an initially small group of devoted followers. It is typical that as a movement expands this group evolves into an inner circle, "a charismatic aristocracy," that stands between the growing membership and the leader. Increased numbers of the students mean that over time certain members of the inner circle also become meditation teachers and candidates for succession to the leadership. The founder, as in the current examples, may nominate a successor who, in adopting the mantle of charismatic authority, becomes remote from the other members of the inner circle who were once his peers. This happened to Richard Baker and to Osel Tendzin.

Once separated from former peers by being raised above them, a new leader can easily lose the sense of how his power depends on others, for as Weber describes it "the effectiveness of charisma lies in the faith of the ruled." The high-handedness that Richard Baker and Osel Tendzin displayed toward their critics suggests that they misunderstood the source of their own power. As Lindholm points out, "Charisma is, above all, a relationship, a mutual mingling of the inner selves of leader and follower." But, according to his own admission, Baker became blinded to the needs of others by his "self-importance" and lack of  "empathy." Osel Tendzin became so deluded as to believe that he possessed supernatural protection that could prevent HIV from conquering "his bory or the extended social body that trusted him." It may be that as Buddhist organizations mature and move away from charismatic leadership toward rationalized and democratically structured models of authority--what Gordon Melton has described as board leadership--there will be fewer events like those that occured at Zen Center and Vajradhatu during the 1980s. Melton has proposed that corporate structures, imposed for tax purposes within new religious movements in the United States, have "given new religious groups an additional stability that no single leader could bequeath." The routinization of charisma into more bureaucratic forms of organization is also mirrored in the management of spiritual hierarchies. For example, resident students at the Zen Center must now hava a practice advisor, a senior practitioner whom they have a hand in selecting. Moreover, students can change practice advisors if they wish to do so. Par of Vajradhatu's transformation into Shambala has involved less focus on devotion to the guru in favor of training workshops, with input from a range of teachers and facilitators.

Nevertheless, in most Buddhist organizations the teacher/student relationship continues to be a central factor, and without careful management there is always a danger of manipulation of the student by the teacher, or that the teacher will succumb to sexually flirtatious students. Devotion to the teacher is encouraged in Buddhism, but devotion readily entails idealization. Such idealization often leads a student to experience strong emotional attachment, with feelings that parallel those associated in Western culture with romantic love and its stress on self-abandonment and glorification of the other.

Mark Epstein, a Buddhist and a psychiatrist, identifies these feelings as stemming from the nature of the spiritual exercise in which the practitioner is engaged:
The pressure to cast off attachment to one's own ego generates a confusion between the compassion that is supposed to grow out of egolessness, the so-called bodhicitta, with its more primitive over-identification with the glorified other [the teacher]. Meditators with this misunderstanding are vulnerable to a kind of eroticized attachment to teachers, gurus or other intimates, towards whom they direct their desires to be released into "into abandon." More often than not they also remain masochistically entwined with the figures to whom they are trying to surrender.

Certain characteristics that are inherent in the conduct of the relationship, such as privacy and confidentiality, make it additionally prone to romantic and erotic overtones. For example, in order to discuss the progress of meditation practice with their (usually) male teacher, both male and female students are likely to refer to their closest personal relationships and to unearth their deepest feelings. This is a form of intimacy in which the student is exposed in a way that does not apply to the teacher. Such a confessional relationship is also at risk of falling prey to the processes of psychological transference familiar in psychotherapy, whereby the student may project his or her erotic desires onto the teachers.

People who join Buddhist groups are often seeking communitarian alternatives to what they perceive as egocentric, competitive values that prevail in capitalist market economies. However, competitiveness re-emerges within the group as people try to outdo one another in achieving reputations for spiritual attainment or in currying favor with those whose reputations are already established. Butler describes how senior students at the Zen Center "strove to outdo each other for approval of their insight." She quotes a senior monk as saying that when it came to confronting Baker about his behavior, he felt alone, because "you don't feel like the person you are competing with will support you." New students, too, are unlikely to be critical. Their familiar, commonsense understandings are often in a state of suspension as they try to establish their places within the new milieu by learning unfamiliar ways of thinking and behaving. There is no doubt that despite the rhetoric around the notion of community (Sangha), which is ubiquitous within Buddhist groups, people can feel isolated. This isolation is exaggerated when anxiety about being ostracized causes meditation students to refrain from challenging the behavior of others, particularly members of a charismatic aristocracy. To do so can feel like betraying the idealized notions of Sangha and spiritual friendship that attracted the person to the group in the first place.

Finally, there is the question of whether Buddhist movements that are afflicted with scandals can regain their reputations. The examples suggest that this is indeed possible, if disappointed members have a medium for venting their feelings and listening to one another. At the Zen Center, the formation of affinity groups and the opportunities for counseling constituted such a medium. At Vajradhatu, the creation of a temporary newsletter, entitled Sangha, provided an important outlet for disaffected members. In both examples, board leadership steered a course toward more accessible and open institutional forms, based on rationalized forms of organization. Charismatic authority remains, contained in the relationship between students and their meditation teachers. However, with the advent of more teachers and mentors, it is less concentrated and more readily distinguishable from matters of institutional leadership and governance.



 _/\_
« Last Edit: 19 October 2010, 03:23:58 AM by Jerry »
appamadena sampadetha

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Nyontek dari mesin translatenya Bro Saceng, berikut terjemahan Indonya, resiko tanggung sendiri :P
Terjemahan google: ShowHide
KESIMPULAN

Banyak gerakan Buddha di Barat, termasuk yang dijelaskan di sini, didirikan pada paruh kedua abad kedua puluh oleh para pemimpin karismatik, dibantu oleh sebuah kelompok awalnya kecil pengikut setia. Sudah biasa bahwa sebagai sebuah gerakan memperluas grup ini berkembang menjadi sebuah lingkaran dalam, "sebuah aristokrasi karismatik," yang berdiri antara keanggotaan tumbuh dan pemimpin. Peningkatan jumlah siswa berarti bahwa dari waktu ke waktu anggota tertentu dari lingkaran dalam juga menjadi guru meditasi dan calon suksesi kepemimpinan. Pendiri, seperti pada contoh saat ini, dapat mengajukan pengganti yang, dalam mengadopsi jubah otoritas karismatik, menjadi jauh dari anggota lain dari lingkaran dalam yang pernah teman-temannya. Hal ini terjadi kepada Richard Baker dan Osel Tendzin.

Setelah dipisahkan dari rekan-rekan mantan dengan menjadi mengangkat atas mereka, pemimpin baru dapat dengan mudah kehilangan rasa bagaimana kekuasaan-Nya tergantung pada orang lain, sebagai Weber menjelaskan itu "efektivitas karisma terletak pada iman yang diperintah." The wenangan-tinggi yang Richard Baker dan Osel Tendzin ditampilkan terhadap kritik mereka menunjukkan bahwa mereka salah memahami sumber kekuatan mereka sendiri. Sebagai Lindholm menunjukkan, "adalah Charisma, di atas segalanya, hubungan, sebuah berbaur bersama dari dalam diri pemimpin dan pengikut." Tapi, menurut pengakuannya sendiri, Baker menjadi buta dengan kebutuhan orang lain dengan "self-penting" dan kurangnya "empati." Osel Tendzin menjadi begitu terperdaya untuk percaya bahwa ia memiliki perlindungan supranatural yang bisa mencegah HIV dari menaklukkan "Bory nya atau badan sosial menyampaikan bahwa mempercayainya." Ini mungkin bahwa sebagai organisasi Buddhis dewasa dan menjauh dari kepemimpinan karismatik terhadap model dirasionalisasi dan demokratis terstruktur otoritas - Gordon Melton apa yang telah digambarkan sebagai kepemimpinan board - akan ada acara sedikit seperti yang terjadi di Pusat Zen dan Vajradhatu selama 1980-an. Melton telah mengusulkan bahwa struktur perusahaan, dikenakan untuk tujuan pajak dalam gerakan keagamaan baru di Amerika Serikat, telah "diberikan kelompok agama baru sebuah stabilitas tambahan bahwa tidak ada pemimpin tunggal yang bisa diwariskan." The rutinisasi karisma ke dalam bentuk yang lebih birokratis organisasi ini juga tercermin dalam pengelolaan hirarki spiritual. Sebagai contoh, warga siswa di Pusat Zen sekarang harus Hava penasihat latihan, seorang praktisi senior yang mereka memiliki tangan dalam memilih. Selain itu, siswa dapat mengubah penasehat praktek jika mereka ingin melakukannya. Nominal transformasi Vajradhatu ke dalam Shambala telah melibatkan kurang fokus pada devosi kepada guru dalam mendukung lokakarya pelatihan, dengan masukan dari berbagai guru dan fasilitator.

Namun demikian, dalam sebagian besar organisasi Buddhis guru / hubungan siswa terus menjadi faktor utama, dan tanpa manajemen hati selalu ada bahaya manipulasi siswa oleh guru, atau bahwa guru akan menyerah pada seksual siswa genit. Pengabdian kepada guru didorong dalam Buddhisme, tetapi pengabdian mudah memerlukan idealisasi. idealisasi seperti itu sering menyebabkan seorang siswa untuk mengalami keterikatan emosional yang kuat, dengan perasaan yang paralel yang berhubungan dalam budaya Barat dengan cinta romantis dan stres pada diri ditinggalkan dan kemuliaan yang lain.

Mark Epstein, seorang Buddha dan seorang psikiater, mengidentifikasi perasaan ini sebagai berasal dari sifat latihan spiritual di mana praktisi bergerak:
Tekanan untuk membuang keterikatan pada ego sendiri menghasilkan kebingungan antara kasih sayang yang seharusnya tumbuh dari egolessness, yang disebut bodhicitta, dengan identifikasi yang lebih primitif yang over-dengan yang lain dimuliakan [guru]. Meditator dengan kesalahpahaman ini rentan terhadap jenis lampiran erotis untuk guru, guru atau kawan-kawan karib lainnya, terhadap siapa mereka langsung keinginan mereka untuk dilepas ke "menjadi meninggalkan." Lebih sering daripada tidak mereka juga tetap masochistically terjalin dengan tokoh-tokoh kepada siapa mereka mencoba untuk menyerah.

karakteristik tertentu yang melekat dalam melakukan hubungan, seperti privasi dan kerahasiaan, membuatnya tambahan rentan terhadap nada romantis dan erotis. Sebagai contoh, untuk membahas perkembangan praktek meditasi dengan (biasanya) guru laki-laki mereka, baik siswa laki-laki dan perempuan cenderung untuk merujuk kepada hubungan terdekat mereka pribadi dan untuk menggali perasaan mereka yang terdalam. Ini adalah bentuk keintiman di mana siswa menghadapi dengan cara yang tidak berlaku untuk guru. Seperti hubungan pengakuan juga berisiko terjerumus ke proses transferensi psikologis akrab di psikoterapi, dimana siswa dapat proyek keinginan erotis nya ke guru.

Orang yang bergabung dengan kelompok Buddhis sering mencari alternatif komunitarian untuk apa yang mereka anggap sebagai egosentris, nilai kompetitif yang berlaku dalam ekonomi pasar kapitalis. Namun, daya saing-ulang muncul dalam kelompok sebagai orang mencoba mengalahkan satu sama lain dalam mencapai reputasi untuk pencapaian spiritual atau dalam currying mendukung dengan reputasi mereka yang sudah ditetapkan. Butler menggambarkan bagaimana siswa senior di Pusat Zen "berusaha untuk mengalahkan satu sama lain untuk persetujuan wawasan mereka." Dia mengutip seorang biarawan senior mengatakan bahwa ketika datang untuk menghadapi Baker tentang perilaku, ia merasa sendirian, karena "Anda tidak merasa seperti orang yang Anda bersaing dengan akan mendukung Anda." Siswa baru juga, tampaknya tidak akan kritis. akrab mereka, pengertian akal sering dalam keadaan suspensi ketika mereka mencoba untuk mendirikan tempat mereka dalam lingkungan baru dengan belajar cara asing berpikir dan berperilaku. Tidak ada keraguan bahwa meskipun retorika sekitar gagasan masyarakat (Sangha), yang mana-mana dalam kelompok Buddha, orang bisa merasa terisolasi. Isolasi ini dibesar-besarkan ketika kecemasan tentang menjadi mahasiswa dikucilkan menyebabkan meditasi untuk menahan diri dari menantang perilaku orang lain, terutama anggota aristokrasi karismatik. Untuk melakukannya bisa merasa seperti mengkhianati gagasan ideal dari Sangha dan persahabatan spiritual yang menarik orang untuk kelompok di tempat pertama.

Akhirnya, ada pertanyaan apakah gerakan Buddhis yang menderita dengan skandal bisa mendapatkan kembali reputasi mereka. Contoh menunjukkan bahwa ini memang mungkin, jika anggota kecewa memiliki media untuk ventilasi perasaan mereka dan mendengarkan satu sama lain. Di Pusat Zen, pembentukan kelompok afinitas dan kesempatan untuk konseling merupakan seperti media. Pada Vajradhatu, penciptaan newsletter sementara, berjudul Sangha, memberikan outlet penting bagi anggota puas. Dalam kedua contoh, kepemimpinan papan kursus mengemudikan arah bentuk kelembagaan yang lebih mudah diakses dan terbuka, berdasarkan bentuk merasionalisasi organisasi. otoritas Karismatik tetap, yang terdapat dalam hubungan antara siswa dan guru meditasi mereka. Namun, dengan munculnya lebih banyak guru dan mentor, itu kurang terkonsentrasi dan lebih mudah dibedakan dari hal-hal kepemimpinan kelembagaan dan pemerintahan.
appamadena sampadetha

Offline wen78

  • Sebelumnya: osin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.014
  • Reputasi: 57
  • Gender: Male
sedikit pandangan saya mengenai yg dikatakan oleh Thich Nhat Hahn,

Ronald Epstein menjelaskan bahwa akan menjadi sebuah kesalahan fatal bila menyamakan sangha para umat dan sangha para bhikku, yg menjadikan seolah2 para umat adalah para bhikku.

This famed Zen Master said that it was possible for corporations or parliaments to cultivate happiness and compassion within. He explained that each of these institutions can be treated as Sangha, very much like the traditional community of monks and nuns.
Thich Nhat Hahn mengatakan instusi ini dapat diperlakukan sebagai sangha, hampir menyerupai komunitas tradisional bhikku atau bhikkuni.
jelas disini Thich Nhat Hahn sudah membedakan 2 jenis sangha yg sama penyebutannya namun beda pengartiannya, dimana yg 1 sangha diartikan sebagai sebuah komunitas awam/umat dan yg 1 nya lagi sangha diartikan sebagai komunitas bhikku/bhikkuni.
jika dilihat dari arti kata, sangha diartikan sebagai perkumpulan.
jika dilihat sejarah, perkumpulan Buddhism pertama diisi oleh para bhikku dan bhikkuni. sehingga kata sangha dianggap diartikan/memiliki image sebagai perkumpulan para bhikku/bhikkuni.

disini bagi saya sudah sangat jelas dimana hanya perbedaan arti dari kata sangha itu sendiri terletak pada penggunaan kata sangha itu sendiri.
bila Thich Nhat Hahn menggunakan kata "gathering", saya rasa tidak akan permasalahan seperti ini.
mungkin, Thich Nhat Hahn menggunakan kata sangha karena kata sangha "sudah milik"/memiliki image Buddhism yg berati perkumpulan.
mungkin sebagian besar menganggap, kata sangha hanya boleh digunakan dan diartikan sebagai perkumpulan para bhikku/bhikkuni.

[at] Bro Wen
Buddhisme di Jepang secara umum sudah terdistorsi sedemikian jauhnya dibanding di belahan-belahan dunia lain tempat Buddhisme berkembang. Monastik di Jepang kebanyakan telah menikah dan makan daging, entah dari aliran apa saja tak terkecuali Zen. Memang tidak semuanya demikian dan mungkin masih ada beberapa yang bertahan dengan idealisme mereka. Tapi banyak yang sudah tidak lagi. Apalagi gencarnya Kriting-nisasi di Jepang terhadap umat awam, dan konon per tahun ratusan kuil (termasuk kuil-kuil Shinto) terpaksa tutup, yang memaksa para Bhiksu di Jepang untuk melakukan manuver-manuver demi mempertahankan umat dan kuil mereka. Di salah satu video yang pernah saya post kemarin, ada Bhiksu Zen yang membuka Bar dan menjadi master merangkap bartendernya.
Bahkan ada kritik dari beberapa guru Zen Jepang masa kini terhadap Zen Jepang, misalnya:
Quote
Some contemporary Japanese Zen teachers, such as Daiun Harada and Shunryu Suzuki, have criticized Japanese Zen as being a formalized system of empty rituals in which very few Zen practitioners ever actually attain realization. They assert that almost all Japanese temples have become family businesses handed down from father to son, and the Zen priest's function has largely been reduced to officiating at funerals.
Demikian yang Samaneri maksud dengan kalimat: "memang aliran jepang ini yg bikin makin melenceng jauh dari ajaran yang benar." Setidaknya demikian interpretasi saya. CMIIW.

be happy
_/\_

terima kasih bro Jerry atas jawabannya, tapi tidak menjawab aliran mana yg dimaksud, yaitu aliran Zen di USA atau aliran Tendai(tepatnya Jodo Shinshu) atau Thich Nhat Hahn.

saya tidak akan memperdebatkan apakah telah makin melenceng jauh dari ajaran yang benar, atau tidak melenceng jauh dari ajaran yang benar.
saya hanya ingin tau aliran mana yg dimaksud telah makin melenceng jauh dari ajaran yang benar dan apa alasannya.
segala post saya yg tidak berdasarkan sumber yg otentik yaitu Tripitaka, adalah post yg tidak sah yg dapat mengakibatkan kesalahanpahaman dalam memahami Buddhism. dengan demikian, mohon abaikan semua statement saya di forum ini, karena saya tidak menyertakan sumber yg otentik yaitu Tripitaka.

Offline luis

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 118
  • Reputasi: 22
  • Gender: Male
setuju bro...sory baru baca thread ini, jadi baru tahu ada postingan ini...nambahin dikit boleh? itu yg sy beri tanda bold biru, tidak hanya saddhanusari saja tp dhammanusari pun udah pemasuk arus...stream winner...tdk akan terjatuh kealam rendah...max 7 kali kelahiran.

mettacittena,

Terima kasih atas tambahannya Samaneri _/\_ di post saya di atas saya hanya menuliskan saddha-nusari untuk mengacu pada istilah "with faith". Tapi benar sekali, Dhamma-nusari pun pasti termasuk di sana, karena pengembangan kebijaksanaan akan berdampak pada meningkatnya saddha pula. Kedua kategori ini dijelaskan dalam Okkanti Samyutta tidak akan meninggal tanpa merealisasikan sotapanna-phala.  Dalam sutta ini, secara spesifik aspek Dhamma yang difokuskan oleh saddhanusari maupun dhammanusari adalah fenomena ketidakekalan (anicca).

Mettacittena,
Luis
Do not blame nor criticise anyone, as there is no one to blame in the first place.