//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???  (Read 68685 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #105 on: 29 September 2010, 09:37:14 AM »
kita sedang membicarakan VINAYA Bro, Ajaran Sang Buddha dalam dirangkum menjadi SILA, SAMADHI, dan PANNA. apa yang anda uraikan di atas saya setujui sepenuhnya, dan memang demikianlah yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam konteks SAMADHI (Pikiran yang lebih tinggi), tapi di sini kita sedang membicarakan mengenai aspek SILA(moralitas) dalam hal ini VINAYA. bisakah anda membedakan?

Terlebih lagi, apa yg ada dalam pikiran seseorang mustahil dapat kita perdebatkan di sini, bahkan seandainya ada di antara kita yg memiliki kesaktian membaca pikiran. Karena isi pikiran tidak bisa difoto dan ditampillkan di FB. tapi dari perilaku yg terdapat dalam foto, kita dapat menilai kurang lebih seperti apa pikiran ybs.
Suatu ketika, senior mendapat laporan bahwa di suatu pesta, terlihat seorang bhiksu menggendong wanita mabuk.
Senior: "Ngapain kamu ada di pesta?"
Junior: "Diundang umat boss, bukan kemauan saya."
Senior: "Lalu ngapain gendong cewek mabok?"
Junior: "Sekadar menolong, daripada cewek itu terkapar di lantai."
Senior: "Bukan karena nafsu?"
Junior: "Bukan."
Senior: "OK, kamu bebas sepenuhnya dari kesalahan."

3 bulan kemudian, terlihat 500 bhiksu di pesta sedang menggendong masing-masing cewek mabok. Ketika ditanya seniornya, semua menjawab alasan yang PERSIS sama. Dengan begitu, tidak ada vinaya yang dilanggar.


Disclaimer: ini adalah fiksi satir belaka, tidak ada hubungannya dengan kenyataan.

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #106 on: 29 September 2010, 10:25:38 AM »
Suatu ketika, senior mendapat laporan bahwa di suatu pesta, terlihat seorang bhiksu menggendong wanita mabuk.
Senior: "Ngapain kamu ada di pesta?"
Junior: "Diundang umat boss, bukan kemauan saya."
Senior: "Lalu ngapain gendong cewek mabok?"
Junior: "Sekadar menolong, daripada cewek itu terkapar di lantai."
Senior: "Bukan karena nafsu?"
Junior: "Bukan."
Senior: "OK, kamu bebas sepenuhnya dari kesalahan."

3 bulan kemudian, terlihat 500 bhiksu di pesta sedang menggendong masing-masing cewek mabok. Ketika ditanya seniornya, semua menjawab alasan yang PERSIS sama. Dengan begitu, tidak ada vinaya yang dilanggar.


Disclaimer: ini adalah fiksi satir belaka, tidak ada hubungannya dengan kenyataan.

Kok terkesan seperti cerita-cerita bhiksu shaolin junior yang sedang diinterogasi bhiksu senior yang berjanggut panjang yah...
« Last Edit: 29 September 2010, 10:32:43 AM by upasaka »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #107 on: 29 September 2010, 10:29:17 AM »
Kok terkesan seperti cerita-cerita bhikhu shaolin junior yang sedang diinterogasi bhiksu senior yang berjanggut panjang yah...
Memang ini cerita junior diinterogasi senior. Kalau masalah janggut panjang, itu terserah kreativitas pembaca. :D

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #108 on: 29 September 2010, 10:33:47 AM »
Memang ini cerita junior diinterogasi senior. Kalau masalah janggut panjang, itu terserah kreativitas pembaca. :D

Untung bukan cerita bhiksu shaolin popeye versi Bobo Ho...

Offline wen78

  • Sebelumnya: osin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.014
  • Reputasi: 57
  • Gender: Male
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #109 on: 29 September 2010, 12:10:22 PM »
seseorang boleh saja berpikir untuk melakukan pembunuhan terhadap orang lain, dan itu bukanlah pelanggaran vinaya selama belum diwujudkan dalam perbuatan. vinaya baru bertugas setelah adanya perbuatan. seorang bhikkhu juga boleh saja berpikir untuk bermain gitar, piano, atau apapun, dan itu bukanlah pelanggaran vinaya, hanya setelah pikiran itu diwujudkan dalan perbuatan, saat itulah pelanggaran terjadi.

pelanggaran mungkin masih bisa ditoleransi seandainya dalam kasus menolong nyawa seseorang, tapi hanya demi bersenang2 dengan sekelompok anak muda, saya kira sama sekali tidak ada alasan untuk itu, mungkin Bro Wen jika mengenal ybs membantu menanyakan alasannya agar kita bisa menyelesaikan pelomik ini dalam tingkat forum DC.

saya hanya menambahkan,

sang Buddha mengajarkan agar selalu sadar atas apa yg timbul dan lenyap pada pikiran, baik pikiran baik maupun pikiran buruk, yg dipengaruhi oleh faktor seperti keinginan, ego, dll. ketika sadar apa yg ada dipikiran adalah pikiran buruk, maka pikiran kembali akan memberikan nilai/label bahwa ini adalah pikiran tidak baik yg tidak boleh dipikirkan/diikuti terus dan harus dilepaskan.
jadi pada tahap pikiran, sebenarnya sudah diajarkan apa yg seharusnya dan yg tidak seharusnya ada dalam pikiran.



saya tidak mengenal ybs, dan bila kenalpun, saya tidak berani menanyakan alasannya.
bagi saya, sebenarnya tidak terjadi polemik, hanya terjadi perbedaan pendapat dan sedikit perdebatan.

kita sedang membicarakan VINAYA Bro, Ajaran Sang Buddha dalam dirangkum menjadi SILA, SAMADHI, dan PANNA. apa yang anda uraikan di atas saya setujui sepenuhnya, dan memang demikianlah yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam konteks SAMADHI (Pikiran yang lebih tinggi), tapi di sini kita sedang membicarakan mengenai aspek SILA(moralitas) dalam hal ini VINAYA. bisakah anda membedakan?

Terlebih lagi, apa yg ada dalam pikiran seseorang mustahil dapat kita perdebatkan di sini, bahkan seandainya ada di antara kita yg memiliki kesaktian membaca pikiran. Karena isi pikiran tidak bisa difoto dan ditampillkan di FB. tapi dari perilaku yg terdapat dalam foto, kita dapat menilai kurang lebih seperti apa pikiran ybs.

yg biru,
ini berarti kembali lagi kesebelumnya bahwa menilai sebuah perilaku, tanpa menilai alasannya, yg berarti memisahkan perilaku dan alasan.

yg hijau,
benar, isi pikiran tidak bisa difoto, sehingga tidak ada yg tau isi pikiran ybs. jadi untuk apa dibahas dan diperdebatkan?
ini sama halnya seperti menilai sebuah buku tanpa melihat isinya. menilai kelakuan seorang bhikku tanpa melihat alasannya.

seperti yg sebelumnya yg saya katakan, bagi saya ini sudah terjadi persidangan. namun bila suara mayoritas mengatakan tidak, ya gpp juga.. saya hanya mengikuti suara mayoritas.




kita sedang membicarakan VINAYA Bro, Ajaran Sang Buddha dalam dirangkum menjadi SILA, SAMADHI, dan PANNA. apa yang anda uraikan di atas saya setujui sepenuhnya, dan memang demikianlah yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam konteks SAMADHI (Pikiran yang lebih tinggi), tapi di sini kita sedang membicarakan mengenai aspek SILA(moralitas) dalam hal ini VINAYA. bisakah anda membedakan?

Terlebih lagi, apa yg ada dalam pikiran seseorang mustahil dapat kita perdebatkan di sini, bahkan seandainya ada di antara kita yg memiliki kesaktian membaca pikiran. Karena isi pikiran tidak bisa difoto dan ditampillkan di FB. tapi dari perilaku yg terdapat dalam foto, kita dapat menilai kurang lebih seperti apa pikiran ybs.
Suatu ketika, senior mendapat laporan bahwa di suatu pesta, terlihat seorang bhiksu menggendong wanita mabuk.
Senior: "Ngapain kamu ada di pesta?"
Junior: "Diundang umat boss, bukan kemauan saya."
Senior: "Lalu ngapain gendong cewek mabok?"
Junior: "Sekadar menolong, daripada cewek itu terkapar di lantai."
Senior: "Bukan karena nafsu?"
Junior: "Bukan."
Senior: "OK, kamu bebas sepenuhnya dari kesalahan."

3 bulan kemudian, terlihat 500 bhiksu di pesta sedang menggendong masing-masing cewek mabok. Ketika ditanya seniornya, semua menjawab alasan yang PERSIS sama. Dengan begitu, tidak ada vinaya yang dilanggar.


Disclaimer: ini adalah fiksi satir belaka, tidak ada hubungannya dengan kenyataan.


baik, hanya ingin melihat dari vinaya secara baku? silahkan ke
http://dhammacitta.org/perpustakaan/peraturan-kedisiplinan-bhikkhu-panduan-untuk-umat-awam/
ke halaman 4, bagian Sanghādisesa, peraturan ke-2.
"Larangan melakukan kontak fisik dengan seorang wanita dengan niat penuh gairah. Karena peraturan inilah maka seorang bhikkhu menghindari kontak  fisik  dengan  seorang  wanita,  terutama  ketika  makanan,  minuman  atau apapun diberikan secara langsung kepada seorang bhikkhu. "

IMO, cerita fiksi diatas adalah cerita yg terlalu dipaksakan dan IMO, sebuah contoh dimana senior tidak memiliki kecerdasan dan tidak memiliki otak untuk berpikir, dan adalah seorang senior yg hanya menelan bulat semua jawaban senior tanpa dicerna terlebih dahulu.















all:

sang Buddha mengatakan:
 "Ananda, sebagai seorang bhikkhu janganlah kau melihat wanita. Jika kondisi mengharuskan melihat wanita, maka janganlah berbicara dengan wanita. Jika kondisi mengharuskan berbicara dengan wanita, maka kau harus menjaga kewaspadaanmu."

dan dalam vinaya dikatakan/diartikan/ditafsirkan menjadi:
"Larangan melakukan kontak fisik dengan seorang wanita dengan niat penuh gairah. Karena peraturan inilah maka seorang bhikkhu menghindari kontak  fisik  dengan  seorang  wanita,  terutama  ketika  makanan,  minuman  atau apapun diberikan secara langsung kepada seorang bhikkhu. "

sehingga, mohon gunakan kebijaksanaan dalam menelaah kalimat sang Buddha yang mengatakan:
"aku bertekad untuk tidak menikmati musik, tarian, dan hiburan-hiburan lainnya."



sekian dan terima kasih
segala post saya yg tidak berdasarkan sumber yg otentik yaitu Tripitaka, adalah post yg tidak sah yg dapat mengakibatkan kesalahanpahaman dalam memahami Buddhism. dengan demikian, mohon abaikan semua statement saya di forum ini, karena saya tidak menyertakan sumber yg otentik yaitu Tripitaka.

Offline hatRed

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.400
  • Reputasi: 138
  • step at the right place to be light
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #110 on: 29 September 2010, 12:28:55 PM »
dalam contoh foto bhikkhu bergitar di FB tersebut jelas2 di tulis bergitar bagi dia adalah hobi...

contoh alasan semacam apa yg terlihat dari foto tersebut dan juga dari profil FB nya, yg memungkinkan alasannya dapat dimaklumi?

Seingat saya memang,Cetana dalam ( Pikiran, Ucapan, dan Perbuatan) lah yang mempengaruhi kamma.

dalam Vinaya itu setahu saya mengatur perilaku2... entahlah apakah ada berapa yg mengatur Pikiran, berapa yg mengatur Ucapan dan berapa yg mengatur Perbuatan.

Kalau saya lihat Buddha Gotama sendiri menetapkan sebuah Vinaya adalah sebagai pedoman bagi para Bhikkhu dalam berperilaku.

yang efeknya tentu saja tidak hanya untuk bhikkhu itu sendiri, tapi kepada Sangha dan juga Masyarakat.

sekian, maaf kalo OOT :P
i'm just a mammal with troubled soul



Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #111 on: 29 September 2010, 12:34:37 PM »
Quote
"Ananda, sebagai seorang bhikkhu janganlah kau melihat wanita. Jika kondisi mengharuskan melihat wanita, maka janganlah berbicara dengan wanita. Jika kondisi mengharuskan berbicara dengan wanita, maka kau harus menjaga kewaspadaanmu."

kalau di ganti :
 "Ananda, sebagai seorang bhikkhu janganlah kau melihat gitar. Jika kondisi mengharuskan melihat gitar, maka janganlah bemain dengan gitar. Jika kondisi mengharuskan bemain dengan gitar, maka kau harus menjaga kewaspadaanmu."

i see i see i see

kalau di ganti :
"Ananda, sebagai seorang bhikkhu janganlah kau melihat wanita. Jika kondisi mengharuskan melihat wanita, maka janganlah koleksi foto wanita. Jika kondisi mengharuskan koleksi foto wanita, maka kau harus menjaga kewaspadaanmu."

i see isee isee
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #112 on: 29 September 2010, 12:40:13 PM »
seseorang boleh saja berpikir untuk melakukan pembunuhan terhadap orang lain, dan itu bukanlah pelanggaran vinaya selama belum diwujudkan dalam perbuatan. vinaya baru bertugas setelah adanya perbuatan. seorang bhikkhu juga boleh saja berpikir untuk bermain gitar, piano, atau apapun, dan itu bukanlah pelanggaran vinaya, hanya setelah pikiran itu diwujudkan dalan perbuatan, saat itulah pelanggaran terjadi.

pelanggaran mungkin masih bisa ditoleransi seandainya dalam kasus menolong nyawa seseorang, tapi hanya demi bersenang2 dengan sekelompok anak muda, saya kira sama sekali tidak ada alasan untuk itu, mungkin Bro Wen jika mengenal ybs membantu menanyakan alasannya agar kita bisa menyelesaikan pelomik ini dalam tingkat forum DC.

saya hanya menambahkan,

sang Buddha mengajarkan agar selalu sadar atas apa yg timbul dan lenyap pada pikiran, baik pikiran baik maupun pikiran buruk, yg dipengaruhi oleh faktor seperti keinginan, ego, dll. ketika sadar apa yg ada dipikiran adalah pikiran buruk, maka pikiran kembali akan memberikan nilai/label bahwa ini adalah pikiran tidak baik yg tidak boleh dipikirkan/diikuti terus dan harus dilepaskan.
jadi pada tahap pikiran, sebenarnya sudah diajarkan apa yg seharusnya dan yg tidak seharusnya ada dalam pikiran.



saya tidak mengenal ybs, dan bila kenalpun, saya tidak berani menanyakan alasannya.
bagi saya, sebenarnya tidak terjadi polemik, hanya terjadi perbedaan pendapat dan sedikit perdebatan.

kita sedang membicarakan VINAYA Bro, Ajaran Sang Buddha dalam dirangkum menjadi SILA, SAMADHI, dan PANNA. apa yang anda uraikan di atas saya setujui sepenuhnya, dan memang demikianlah yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam konteks SAMADHI (Pikiran yang lebih tinggi), tapi di sini kita sedang membicarakan mengenai aspek SILA(moralitas) dalam hal ini VINAYA. bisakah anda membedakan?

Terlebih lagi, apa yg ada dalam pikiran seseorang mustahil dapat kita perdebatkan di sini, bahkan seandainya ada di antara kita yg memiliki kesaktian membaca pikiran. Karena isi pikiran tidak bisa difoto dan ditampillkan di FB. tapi dari perilaku yg terdapat dalam foto, kita dapat menilai kurang lebih seperti apa pikiran ybs.

yg biru,
ini berarti kembali lagi kesebelumnya bahwa menilai sebuah perilaku, tanpa menilai alasannya, yg berarti memisahkan perilaku dan alasan.

yg hijau,
benar, isi pikiran tidak bisa difoto, sehingga tidak ada yg tau isi pikiran ybs. jadi untuk apa dibahas dan diperdebatkan?
ini sama halnya seperti menilai sebuah buku tanpa melihat isinya. menilai kelakuan seorang bhikku tanpa melihat alasannya.

seperti yg sebelumnya yg saya katakan, bagi saya ini sudah terjadi persidangan. namun bila suara mayoritas mengatakan tidak, ya gpp juga.. saya hanya mengikuti suara mayoritas.




kita sedang membicarakan VINAYA Bro, Ajaran Sang Buddha dalam dirangkum menjadi SILA, SAMADHI, dan PANNA. apa yang anda uraikan di atas saya setujui sepenuhnya, dan memang demikianlah yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam konteks SAMADHI (Pikiran yang lebih tinggi), tapi di sini kita sedang membicarakan mengenai aspek SILA(moralitas) dalam hal ini VINAYA. bisakah anda membedakan?

Terlebih lagi, apa yg ada dalam pikiran seseorang mustahil dapat kita perdebatkan di sini, bahkan seandainya ada di antara kita yg memiliki kesaktian membaca pikiran. Karena isi pikiran tidak bisa difoto dan ditampillkan di FB. tapi dari perilaku yg terdapat dalam foto, kita dapat menilai kurang lebih seperti apa pikiran ybs.
Suatu ketika, senior mendapat laporan bahwa di suatu pesta, terlihat seorang bhiksu menggendong wanita mabuk.
Senior: "Ngapain kamu ada di pesta?"
Junior: "Diundang umat boss, bukan kemauan saya."
Senior: "Lalu ngapain gendong cewek mabok?"
Junior: "Sekadar menolong, daripada cewek itu terkapar di lantai."
Senior: "Bukan karena nafsu?"
Junior: "Bukan."
Senior: "OK, kamu bebas sepenuhnya dari kesalahan."

3 bulan kemudian, terlihat 500 bhiksu di pesta sedang menggendong masing-masing cewek mabok. Ketika ditanya seniornya, semua menjawab alasan yang PERSIS sama. Dengan begitu, tidak ada vinaya yang dilanggar.


Disclaimer: ini adalah fiksi satir belaka, tidak ada hubungannya dengan kenyataan.


baik, hanya ingin melihat dari vinaya secara baku? silahkan ke
http://dhammacitta.org/perpustakaan/peraturan-kedisiplinan-bhikkhu-panduan-untuk-umat-awam/
ke halaman 4, bagian Sanghādisesa, peraturan ke-2.
"Larangan melakukan kontak fisik dengan seorang wanita dengan niat penuh gairah. Karena peraturan inilah maka seorang bhikkhu menghindari kontak  fisik  dengan  seorang  wanita,  terutama  ketika  makanan,  minuman  atau apapun diberikan secara langsung kepada seorang bhikkhu. "

IMO, cerita fiksi diatas adalah cerita yg terlalu dipaksakan dan IMO, sebuah contoh dimana senior tidak memiliki kecerdasan dan tidak memiliki otak untuk berpikir, dan adalah seorang senior yg hanya menelan bulat semua jawaban senior tanpa dicerna terlebih dahulu.















all:

sang Buddha mengatakan:
 "Ananda, sebagai seorang bhikkhu janganlah kau melihat wanita. Jika kondisi mengharuskan melihat wanita, maka janganlah berbicara dengan wanita. Jika kondisi mengharuskan berbicara dengan wanita, maka kau harus menjaga kewaspadaanmu."

dan dalam vinaya dikatakan/diartikan/ditafsirkan menjadi:
"Larangan melakukan kontak fisik dengan seorang wanita dengan niat penuh gairah. Karena peraturan inilah maka seorang bhikkhu menghindari kontak  fisik  dengan  seorang  wanita,  terutama  ketika  makanan,  minuman  atau apapun diberikan secara langsung kepada seorang bhikkhu. "

sehingga, mohon gunakan kebijaksanaan dalam menelaah kalimat sang Buddha yang mengatakan:
"aku bertekad untuk tidak menikmati musik, tarian, dan hiburan-hiburan lainnya."



sekian dan terima kasih

Bro Wen,

kami tidak mengetahui niat seseorang, tapi kami tau perilakunya, Bro Upasaka pernah memberikan contoh mengenai Arahat Anuruddha yg melakukan pelanggaran walaupun tidak diniatkan olehnya, namun dalam kasus itu pelanggaran adalah pelanggaran. apa yg ada dalam pikiran adalah diluar konteks vinaya, apa yg diperbuat itulah yg harus sesuai vinaya.

Intinya: Silahkan menggunakan pembenaran dalam melakukan pelanggaran tapi bersiaplah menerima konsekuensinya.

Offline yasavaddhano

  • Teman
  • **
  • Posts: 84
  • Reputasi: 7
  • Gender: Male
  • Ini pun akan berubah
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #113 on: 29 September 2010, 12:41:34 PM »
Bhikkhu bergitar maupun bersentuhan dengan wanita, selama dalam keadaan sadar, tetap dikatakan melanggar vinaya meskipun dilakukan dengan niat baik. Sebaliknya kalau dalam keadaan hilang kesadaran, tidak dikatakan melanggar vinaya.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #114 on: 29 September 2010, 12:43:21 PM »
baik, hanya ingin melihat dari vinaya secara baku? silahkan ke
http://dhammacitta.org/perpustakaan/peraturan-kedisiplinan-bhikkhu-panduan-untuk-umat-awam/
ke halaman 4, bagian Sanghādisesa, peraturan ke-2.
"Larangan melakukan kontak fisik dengan seorang wanita dengan niat penuh gairah. Karena peraturan inilah maka seorang bhikkhu menghindari kontak  fisik  dengan  seorang  wanita,  terutama  ketika  makanan,  minuman  atau apapun diberikan secara langsung kepada seorang bhikkhu. "
Kalau tidak menyentuhkan fisik dengan wanita, walaupun pikiran penuh gairah, tidak melanggar vinaya. Bukankah berarti vinaya mengatur perilaku bukannya pikiran?

Kemudian apakah seorang yang menempuh kehidupan petapa akan mencari-cari alasan untuk pegang-pegang wanita? Kembali lagi, untuk apa jadi petapa kalau masih mo pegang-pegang wanita?
Anda ragu vinaya dibuat untuk dipatuhi 100%, sementara saya sendiri ragu petapa yang cari-cari alasan melanggar vinaya memiliki tekad yang baik.


Quote
IMO, cerita fiksi diatas adalah cerita yg terlalu dipaksakan dan IMO, sebuah contoh dimana senior tidak memiliki kecerdasan dan tidak memiliki otak untuk berpikir, dan adalah seorang senior yg hanya menelan bulat semua jawaban senior tanpa dicerna terlebih dahulu.
Bukan hanya dipaksakan, tetapi sangat dilebih-lebihkan. Biasanya cerita seperti itu saya buat untuk orang yang kurang peka. Dan benar anda kurang peka. Yang saya maksudkan adalah "pikiran orang tidak bisa diketahui (kecuali dengan kesaktian tertentu), maka vinaya dibutuhkan untuk menjaga kepantasan perilaku seorang petapa." Ternyata anda melihat cerita itu hanya dari sisi "ketololan si senior" yang memang sudah jelas.


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #115 on: 29 September 2010, 12:55:04 PM »
Quote
"Ananda, sebagai seorang bhikkhu janganlah kau melihat wanita. Jika kondisi mengharuskan melihat wanita, maka janganlah berbicara dengan wanita. Jika kondisi mengharuskan berbicara dengan wanita, maka kau harus menjaga kewaspadaanmu."

kalau di ganti :
 "Ananda, sebagai seorang bhikkhu janganlah kau melihat gitar. Jika kondisi mengharuskan melihat gitar, maka janganlah bemain dengan gitar. Jika kondisi mengharuskan bemain dengan gitar, maka kau harus menjaga kewaspadaanmu."

i see i see i see

kalau di ganti :
"Ananda, sebagai seorang bhikkhu janganlah kau melihat wanita. Jika kondisi mengharuskan melihat wanita, maka janganlah koleksi foto wanita. Jika kondisi mengharuskan koleksi foto wanita, maka kau harus menjaga kewaspadaanmu."

i see isee isee
Nanti transformasi lagi: "Ananda, selama kau menjaga kewaspadaanmu, tidak apa bicara dengan wanita (main gitar), apalagi sekadar melihat."

Ini akan jadi permulaan hancurnya vinaya.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #116 on: 29 September 2010, 12:56:37 PM »
75  Māgandiya Sutta
Kepada Māgandiya

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Kuru di mana terdapat sebuah pemukiman Kuru bernama Kammāsadhamma, di atas hamparan rumput di dalam kamar perapian seorang brahmana dari suku Bhāradvāja.

2. Kemudian pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Kammāsadhamma untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Kammāsadhamma dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau pergi ke suatu hutan untuk melewatkan hari. Setelah memasuki hutan, Beliau duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. [502]

3. Kemudian Pengembara Māgandiya, sewaktu berjalan-jalan untuk berolah-raga, mendatangi kamar perapian si brahmana dari suku Bhāradvāja. Di sana ia melihat hamparan rumput yang telah dipersiapkan dan bertanya kepada si brahmana: “Untuk siapakah hamparan rumput ini dipersiapkan di dalam kamar perapian Tuan Bhāradvāja? Seperti tempat tidur seorang petapa.”

4. “Guru Māgandiya, ada Petapa Gotama, putera Sakya, yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya. Sekarang suatu berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Tempat tidur ini dipersiapkan untuk Guru Gotama.”

5. “Sungguh, Guru Bhāradvāja, suatu pemandangan buruk yang kami lihat ketika kami melihat tempat tidur si perusak kemajuan itu,  Guru Gotama.”

“Hati-hati dengan apa yang engkau katakan, Māgandiya, hati-hati dengan apa yang engkau katakan! Banyak para mulia terpelajar, para brahmana terpelajar, para perumah tangga terpelajar, dan para petapa terpelajar yang berkeyakinan penuh pada Guru Gotama, dan telah didisiplinkan oleh Beliau dalam jalan sejati yang mulia, dalam Dhamma yang bermanfaat.”

“Guru Bhāradvāja, bahkan jika kami berhadapan muka dengan Guru Gotama, kami akan mengatakan kepadanya: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan.’ Mengapakah? Karena hal itu telah diturunkan dalam khotbah-khotbah kita.”

“Jika Guru Māgandiya tidak keberatan, bolehkah aku mengatakan hal ini kepada Guru Gotama?”

“Jangan khawatir Guru Bhāradvāja. Beritahukanlah kepadaNya tentang apa yang telah kukatakan.”

6. Sementara itu, dengan telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā mendengarkan percakapan antara brahmana dari suku Bhāradvāja dengan Pengembara Māgandiya ini. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi, pergi ke kamar perapian si brahmana, dan duduk di atas hamparan rumput yang telah dipersiapkan. Kemudian si brahmana dari suku Bhāradvāja mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Bhāradvāja, apakah engkau berbincang-bincang dengan Pengembara Māgandiya [503] tentang hamparan rumput ini?”

Ketika hal ini dikatakan, si brahmana, terkejut dan dengan merinding, menjawab: “Kami hendak memberitahukan kepada Guru Gotama tentang hal ini, namun Guru Gotama telah mendahului kami.”

7. Tetapi diskusi antara Sang Bhagavā dan brahmana dari suku Bhāradvāja tidak selesai, karena kemudian Pengembara Māgandiya, sewaktu berjalan-jalan untuk berolah raga, datang ke kamar perapian si brahmana dan menghadap Sang Bhagavā. Ia bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan ketika ramah-tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya:

8. “Māgandiya, mata bergembira dalam bentuk-bentuk, menyenangi bentuk-bentuk, bersukacita dalam bentuk-bentuk; itu telah dijinakkan oleh Sang Tathāgata, dijaga, dilindungi, dan dikendalikan, dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mengendalikannya. Apakah sehubungan dengan hal ini maka engkau mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan’?”

“Adalah sehubungan dengan hal ini, Guru Gotama, maka aku mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan.’ Mengapakah? Karena itu tercatat dalam kitab kami.”

“Telinga bergembira dalam suara-suara … Hidung bergembira dalam bau-bauan … Lidah bergembira dalam rasa kecapan … Badan bergembira dalam obyek-obyek sentuhan … Pikiran bergembira dalam obyek-obyek pikiran, menyenangi obyek-obyek pikiran, bersukacita dalam obyek-obyek pikiran; itu telah dijinakkan oleh Sang Tathāgata, dijaga, dilindungi, dan dikendalikan, dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mengendalikannya. Apakah sehubungan dengan hal ini maka engkau mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan’?”

“Adalah sehubungan dengan hal ini, Guru Gotama, maka aku mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan.’ Mengapakah? Karena itu tercatat dalam kitab kami.”

9. “Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Di sini seseorang [504] sebelumnya menikmati bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Kemudian, setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk-bentuk. Ia mungkin meninggalkan keinginan akan bentuk-bentuk, melenyapkan demam terhadap bentuk-bentuk, dan berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Apakah yang akan engkau katakan kepadanya, Māgandiya?” – “Tidak ada, Guru Gotama.”

“Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Di sini seseorang sebelumnya menikmati suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan obyek-obyek sentuhan. Ia mungkin meninggalkan keinginan akan obyek-obyek sentuhan, melenyapkan demam terhadap obyek-obyek sentuhan, dan berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Apakah yang akan engkau katakan kepadanya, Māgandiya?” – “Tidak ada, Guru Gotama.”

10. “Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga, Aku menikmati, memiliki lima utas kenikmatan indria: dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Aku memiliki tiga istana, satu untuk musim hujan, satu untuk musim dingin, dan satu untuk musim panas. Aku menetap di istana musim hujan selama empat bulan musim hujan, menikmati para musisi, tidak ada yang laki-laki, dan Aku tidak turun ke istana yang lebih rendah.

“Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, Aku melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, dan Aku berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Aku melihat makhluk-makhluk lain yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, menuruti kenikmatan indria, dan Aku tidak iri pada mereka, juga tidak bergembira di dalamnya. Mengapakah? Karena ada, Māgandiya, kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, [505] yang bahkan melampaui kebahagiaan surgawi.  Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

11. “Misalkan, Māgandiya, seorang perumah tangga atau putera perumah tangga kaya, dengan banyak harta kekayaan, dan memiliki lima utas kenikmatan indria, ia menikmati bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Setelah berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mungkin muncul kembali di alam bahagia, di alam surga di antara para pengikut para dewa Tiga Puluh Tiga; dan di sana, dengan dikelilingi oleh sekelompok bidadari di Hutan Nandana, ia menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria surgawi. Misalkan ia melihat seorang perumah tangga atau putera perumah tangga menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria [manusia]. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah dewa muda itu yang dikelilingi oleh sekelompok bidadari di Hutan Nandana, yang menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria surgawi, iri pada perumah tangga atau putera perumah tangga atas lima utas kenikmatan indria manusia atau apakah ia akan tertarik pada kenikmatan indria manusia?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena kenikmatan indria surgawi adalah lebih unggul dan lebih luhur daripada kenikmatan indria manusia.”

12. “Demikian pula, Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga, Aku menikmati, memiliki lima utas kenikmatan indria: dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, Aku meninggalkan keinginan pada kenikmatan indria, Aku melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, dan Aku berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Aku melihat makhluk-makhluk lain yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, [506] menuruti kenikmatan indria, dan Aku tidak iri pada mereka, juga tidak bergembira di dalamnya. Mengapakah? Karena ada, Māgandiya, kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, yang bahkan melampaui kebahagiaan surgawi. Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

13. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib kepadanya. Tabib itu akan meracik obat untuknya, dan dengan obat itu orang itu menjadi sembuh dari penyakitnya dan menjadi pulih dan bahagia, tidak bergantung, menjadi majikan bagi dirinya sendiri, mampu bepergian kemanapun yang ia sukai. Kemudian ia mungkin melihat penderita penyakit kusta lainnya dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah orang itu iri pada penderita kusta itu karena lubang arang menyala atau pengobatannya?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena ketika ada penyakit, maka ada kebutuhan akan obat-obatan, dan ketika tidak ada penyakit, maka tidak ada kebutuhan akan obat-obatan.”

14. “Demikian pula, Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga … (seperti pada §12) … Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

15. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib kepadanya. Tabib itu akan membuatkan obat untuknya, dan dengan obat itu orang itu menjadi sembuh dari penyakitnya dan menjadi pulih dan bahagia, tidak bergantung, menjadi majikan bagi dirinya sendiri, mampu bepergian kemanapun yang ia sukai. Kemudian dua orang kuat menangkapnya pada kedua lengannya dan menariknya ke arah lubang arang menyala. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah orang itu akan menggeliatkan badannya ke sana dan ke sini?”

“Benar, Guru Gotama. Mengapakah? Karena api itu sungguh menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar.”

“Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah hanya pada saat ini api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar, atau sebelumnya juga api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar?”

“Guru Gotama, api itu pada saat ini  menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar, dan sebelumnya juga api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar. Karena ketika orang itu adalah seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, maka indria-indrianya terganggu; demikianlah, walaupun api itu sesungguhnya menyakitkan ketika disentuh, namun ia memperoleh persepsi salah sebagai menyenangkan.”

16. “Demikian pula, di masa lalu kenikmatan indria adalah menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar; di masa depan kenikmatan indria akan menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar; dan sekarang pada masa kini kenikmatan indria adalah menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar. Tetapi makhluk-makhluk ini yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, memiliki indria-indria yang telah rusak; demikiankah, walaupun kenikmatan indria sesungguhnya menyakitkan jika disentuh, namun mereka memperoleh persepsi keliru menganggapnya sebagai menyenangkan.

17. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala; semakin ia menggaruk bagian kulitnya yang melepuh dan semakin ia membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala, [508] maka luka-lukanya itu akan menjadi semakin membusuk, semakin bau, dan semakin terinfeksi, namun ia memperoleh suatu kepuasan dan kenikmatan dalam menggaruk luka-lukanya itu. Demikian pula, Māgandiya, makhluk-makhluk yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh masih menuruti kenikmatan indria; semakin makhluk-makhluk itu menuruti kenikmatan indria, maka semakin meningkat pula keinginan mereka akan kenikmatan indria dan semakin mereka terbakar oleh demam mereka terhadap kenikmatan indria, namun mereka memperoleh kepuasan dan kenikmatan dengan bergantung pada lima utas kenikmatan indria.

18. “Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Pernahkah engkau melihat atau mendengar seorang raja atau seorang menteri raja menikmati, dan memiliki lima utas kenikmatan indria yang, tanpa meninggalkan keinginan akan kenikmatan indria, tanpa melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, telah mampu berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai, atau yang mampu atau yang akan mampu berdiam demikian?” – “Tidak, Guru Gotama.”

“Bagus, Māgandiya, Aku juga belum pernah melihat atau mendengar seorang raja atau seorang menteri raja menikmati, dan memiliki lima utas kenikmatan indria yang, tanpa meninggalkan keinginann akan kenikmatan indria, tanpa melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, telah mampu berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai, atau yang mampu atau yang akan mampu berdiam demikian. Sebaliknya, Māgandiya, para petapa atau brahmana yang telah berdiam atau sedang berdiam atau akan berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai, semuanya melakukan demikian setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, dan adalah setelah meninggalkan keinginan akan kenikmatan indria dan melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria maka mereka telah berdiam atau sedang berdiam atau akan berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai.”

19. Kemudian pada titik ini Sang Bhagavā mengucapkan seruan kegembiraan:

   “Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi,
   Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan terbaik
   Karena jalan itu menuntun dengan selamat menuju Keabadian.”

Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Māgandiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Sungguh mengagumkan, Guru Gotama, sungguh menakjubkan, betapa tepatnya hal ini diungkapkan oleh Guru Gotama: [509]

   ‘Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi.’

Kemi juga pernah mendengar sebelumnya para pengembara yang adalah para guru dan guru-guru dari para guru mengatakan hal ini, dan ini selaras, Guru Gotama.”

“Tetapi, Māgandiya, ketika engkau mendengar sebelumnya para pengembara yang adalah para guru dan guru-guru dari para guru mengatakan hal ini, apakah kesehatan itu, apakah Nibbāna itu?”

Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Māgandiya mengusap bagian tubuhnya dengan tangannya dan berkata: “Ini adalah kesehatan itu, Guru Gotama, ini adalah Nibbāna itu; karena sekarang aku sehat dan bahagia dan tidak ada apapun yang menyengsarakan aku.”

20. “Māgandiya, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang, yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk berwarna biru, kuning, merah, atau merah muda, yang tidak dapat melihat apa yang rata dan tidak rata, yang tidak dapat melihat bintang-bintang atau matahari dan bulan. Ia mungkin mendengar seseorang yang berpenglihatan baik mengatakan: ‘Sungguh bagus, tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’ dan ia pergi mencari kain putih. Kemudian seseorang menipunya dengan kain usang yang kotor sebagai berikut: ‘Tuan, ini adalah kain putih untukmu, indah, tanpa noda, dan bersih.’ Dan ia menerimanya dan memakainya, dan dengan puas ia mengucapkan kata-kata kepuasan sebagai berikut: ‘Sungguh bagus, tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’ Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Ketika orang yang buta sejak lahir itu menerima kain usang yang kotor itu, memakainya, dan dengan puas ia mengucapkan kata-kata kepuasan sebagai berikut: ‘Sungguh bagus, tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’ – apakah ia melakukan itu karena mengetahui dan melihat, atau karena percaya pada orang yang berpenglihatan baik itu?”

“Yang Mulia, ia melakukan itu tanpa mengetahui dan tanpa melihat, [510] tetapi karena percaya pada orang yang berpenglihatan baik itu.”
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #117 on: 29 September 2010, 12:56:51 PM »
anjutan 75 Māgandiya Sutta
------------------------------------
21. “Demikian pula, Māgandiya, para pengembara sekte lain adalah buta dan tanpa penglihatan. Mereka tidak mengetahui kesehatan, mereka tidak melihat Nibbāna, namun mereka mengucapkan syair sebagai berikut:

   ‘Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi.’

Syair ini diucapkan oleh para Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna sebelumnya, sebagai berikut:

   ‘Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi,
   Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan terbaik
   Karena jalan itu menuntun dengan selamat menuju Keabadian.’

Sekarang syair ini perlahan-lahan menjadi umum di antara orang-orang biasa.  Dan walaupun jasmani ini, Māgandiya, adalah penyakit, tumor, anak panah, bencana, dan penderitaan, namun dengan merujuk pada jasmani ini engkau mengatakan: “’Ini adalah kesehatan itu, Guru Gotama, ini adalah Nibbāna itu.’ Engkau tidak memiliki penglihatan mulia, Māgandiya, yang dengannya engkau dapat mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna.”

22. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna.’”

“Māgandiya, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang … atau matahari dan bulan. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib untuk mengobatinya. Tabib itu akan meracik obat untuknya, namun dengan obat itu penglihatan orang itu tidak muncul atau tidak menjadi murni. Bagaimana menurutmu, Māgandiya, apakah tabib itu mendapatkan kelelahhan dan kekecewaan?” – “Benar, Guru Gotama.” – “Demikian pula, Māgandiya, jika Aku mengajarkan Dhamma kepadamu sebagai berikut: ‘Ini adalah kesehatan itu, ini adalah Nibbāna itu,’ engkau mungkin tidak mengetahui kesehatan atau tidak melihat Nibbāna, dan itu akan melelahkan dan menyusahkan Aku.” [511]

23. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna.’”

“Māgandiya, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang … atau matahari dan bulan. Ia mungkin mendengar seseorang yang berpenglihatan baik mengatakan: ‘Sungguh bagus, tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’ dan ia pergi mencari kain putih. Kemudian seseorang menipunya dengan kain usang yang kotor sebagai berikut: ‘Tuan, ini adalah kain putih untukmu, indah, tanpa noda, dan bersih.’ Dan ia menerimanya dan memakainya. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib untuk mengobatinya. Tabib itu akan meracik obat untuknya – obat pembuat muntah dan pencahar, salep dan salep-anti, dan terapi hidung – dan dengan obat-obatan itu penglihatan orang itu muncul dan menjadi murni. Bersamaan dengan munculnya penglihatannya, keinginan dan kesukaannya pada kain usang yang kotor itu menjadi ditinggalkan; kemudian ia mungkin terbakar oleh kemarahan dan permusuhan terhadap orang itu dan mungkin berpikir bahwa orang itu harus dibunuh sebagai berikut: ‘Sungguh, aku telah lama diperdaya, ditipu, dan dicurangi oleh orang itu dengan kain usang yang kotor ini ketika ia memberitahukan kepadaku: “Tuan, ini adalah kain putih untukmu, indah, tanpa noda, dan bersih.”’

24. “Demikian pula, Māgandiya, jika Aku mengajarkan Dhamma kepadamu sebagai berikut: ‘Ini adalah kesehatan itu, ini adalah Nibbāna itu,’ engkau mungkin mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna. Bersamaan dengan munculnya penglihatanmu, keinginan dan nafsumu akan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan dapat ditinggalkan. Kemudian mungkin engkau akan berpikir: ‘Sungguh, aku telah lama diperdaya, ditipu, dan dicurangi oleh pikiran ini. Karena ketika melekat, aku telah melekat hanya pada bentuk materi, aku telah melekat hanya pada perasaan, aku telah melekat hanya pada bentukan-bentukan, aku telah melekat hanya pada kesadaran.  Dengan kemelekatanku sebagai kondisi, maka muncul pula penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka muncul pula kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka muncul pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, [512] dan keputus-asaan. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’”

24. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat bangkit dari tempat duduk ini dengan kebutaanku menjadi sembuh’”

“Maka, Māgandiya, bergaullah dengan orang-orang sejati. Ketika engkau bergaul dengan orang-orang sejati, maka engkau akan mendengarkan Dhamma sejati. Ketika engkau mendengarkan Dhamma sejati, maka engkau akan berlatih sesuai dengan Dhamma sejati. Ketika engkau berlatih sesuai dengan Dhamma sejati, maka engkau akan mengetahui dan melihat untuk dirimu sendiri sebagai berikut: ‘Ini adalah penyakit-penyakit, tumor-tumor, dan anak panah-anak panah; tetapi di sini penyakit-penyakit, tumor-tumor, dan anak panah-anak panah itu lenyap tanpa sisa.  Dengan lenyapnya kemelekatan maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’”

26. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Māgandiya berkata: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita adalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, aku ingin menerima penahbisan penuh.”

27. “Māgandiya, seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan. Di akhir empat bulan itu, jika para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu. Tetapi Aku mengenali perbedaan-perbedaan individual dalam hal ini.”

“Yang Mulia, jika seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan, dan jika di akhir empat bulan itu para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu, maka aku akan menjalani masa percobaan selama empat tahun. Di akhir empat tahun itu jika para bhikkhu puas denganku, maka biarlah mereka memberikan kepadaku pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu.” [513]

28. “Kemudian Pengembara Māgandiya menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan penuh. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Māgandiya, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.” Dan Yang Mulia Māgandiya menjadi salah satu di antara para Arahant.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #118 on: 29 September 2010, 01:19:03 PM »
 [at]  ryu

Salah rujukan, ini board Tradisi Mahayana.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Tanya: Vinaya dalam Mahayana Bukan Kontrak Wajib???
« Reply #119 on: 29 September 2010, 01:20:42 PM »
[at]  ryu

Salah rujukan, ini board Tradisi Mahayana.
khan katanya tripitaka dengan tipitaka hampir sama semua isinya, gak mungkin sutta ini terlewat ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

 

anything