tanpa maksud negatif, hanya sebagai bahan renungan belaka agar lebih peka bukan terpancing (link didapat dari salah satu temanan di FB)
http://www.mediaumat.com/siyasah-syariyyah/2182-44-mendirikan-tempat-ibadah-non-muslim-di-negeri-islam.htmlOleh: Hafidz Abdurrahman,
Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI
Kisruh pendirian tem-pat ibadah non-Muslim yang diha-dapi oleh umat Islam di Indonesia bukan-lah fenomena tunggal, tetapi hampir terjadi di negeri-negeri kaum Muslim yang lain. Meski di Indonesia telah dibuat aturan hukumnya, yaitu Peraturan Ber-sama Menteri (PBM) atau sering dikenal seba-gai Surat Ketentuan Bersama (SKB) tentang pendirian tempat ibadah, nyatanya keten-tuan hukum tersebut tidak bisa menyelesaikan masalah, sehing-ga mendorong sebagian pihak menuntut dicabutnya SKB terse-but.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa aturan hukum tersebut tidak bisa menyelesai-kan masalah? Jawabannya, kare-na pijakan yang dijadikan dasar penyusunannya adalah pluralis-me, kebebasan beragama dan HAM. Sesuatu yang nota bene tidak mempunyai standar baku. Akibatnya, produk hukumnya pun digugat juga atas nama pluralisme, kebebasan beragama dan HAM. Karena itu, jika dasar yang sama masih digunakan, maka umat Islam akan selalu menghadapi masalah yang sa-ma. Selain itu, baik dasar maupun produk hukum seperti ini jelas bertentangan dengan Islam.
Para ulama dahulu telah membahas masalah pendirian tempat ibadah non-Muslim di negeri Islam. Pandangan mereka telah dihimpun oleh Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshari dalam kitabnya, Hukm Bina' al-Kana'is wa al-Ma'abid as-Syirkiy-yah fi Bilad al-Muslimin. Secara umum, bisa dipilah menjadi dua:
Mendirikan Tempat Ibadah di Jazirah Arab
Jazirah Arab mempunyai hukum yang khas menyangkut orang Kafir dan tempat per-ibadatan mereka. Nabi bersabda, “Tidak boleh ada dua agama berkumpul di Jazirah Arab.” (Hr. Malik dari Ibn Syihab). Dalam hadits yang lain, Nabi menyata-kan, “Usirlah Yahudi dari Hijaz, dan penduduk Najran (kr****n) dari Jazirah Arab.” (Hr. ad-Darimi dari Abu 'Ubaidah al-Jarrah). Bahkan, dalam riwayat lain, Nabi dengan tegas menyatakan, “Saya pasti akan usir orang Yahudi dan Nasrani dari Jazirah Arab, sehing-ga saya tidak akan membiarkan tinggal di sana, kecuali hanya orang Islam.” (Hr. Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ah-mad). Dalam sabdanya yang lain, Nabi juga menyatakan, “Jangan-lah kalian mendirikan satu pun gereja di dalam Islam, dan mem-perbarui apa yang telah rusak (tiada).” (Hr. Abu Muhammad dari 'Umar bin al-Khatthab).
Karena itu, baik hadits yang pertama maupun hadits kedua dan ketiga sama-sama dengan tegas melarang orang non-Muslim dan agama mereka ber-ada di Jazirah Arab. Sedangkan hadits yang keempat menyata-kan dengan tegas larangan mendirikan gereja baru dan memugar yang rusak maupun yang telah tiada. Berdasarkan hadits ini, juga nas-nas yang lain, para ulama sepakat, bahwa di Jazirah Arab tidak boleh ada gereja, sinagog, pura maupun tempat-tempat peribadatan orang non-Muslim yang lain. Mereka juga tidak boleh men-dirikannya. Kalau pun ada, maka tempat-tempat peribadatan itu harus dihancurkan, sebagai-mana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Jazirah Arab itu sendiri adalah wilayah yang kini meliputi sejumlah negara, yaitu Arab Saudi, Kuwait, Yaman, Oman dan Uni Emirat Arab.
Mendirikan Tempat Ibadah di Negeri Muslim Lain
Adapun ketentuan hukum untuk negeri Muslim lain, secara umum telah ditegaskan oleh Umar bin al-Khatthab. Abu Ubaid, dalam kitab al-Amwal, menuturkan, bahwa Umar ber-kata, “Tidak boleh ada gereja di dalam Islam dan tempat bertapa (tahannuts).” Kemudian diperte-gas dengan syarat dzimmah yang diberikan kepada orang non-Muslim, “Agar mereka tidak memperbarui di kota-kota Islam dan sekitarnya gereja, hermitage dan menara.” (as-Subki, al-Fata-wa, juz II/400). Syarat yang ditetapkan oleh Umar ini dikutip oleh para fuqaha dari berbagai mazhab, yang juga mereka guna-kan sebagai hujah tentang status pendirian tempat peribadatan tersebut.
Para ulama kemudian membagi negeri kaum Muslim menjadi dua: Pertama, negeri yang dibangun oleh kaum Mus-lim, seperti Baghdad, Samara dan sebagainya, maka Ahli Dzimmah yang ada di sana tidak boleh mendirikan gereja dan menara. Jika mereka melakukannya, ma-ka dzimmah mereka harus di-batalkan, dan gerejanya harus dihancurkan. Kedua, jika negeri tersebut milik kaum Kafir, kemu-dian mereka diperintah dengan pemerintahan kaum Muslim, maka bisa dipilah menjadi dua: Jika negeri tersebut ditaklukkan kaum Muslim dengan paksa dan mereka menguasai semua ba-ngunan, tanah dan seisinya, ma-ka gereja, sinagog dan lain-lain yang ada di dalamnya harus dihilangkan, baik secara fisik ataupun fungsinya. Artinya, se-cara fisik masih, tetapi fungsinya diubah menjadi masjid. Namun, jika negeri tersebut ditaklukkan dengan perjanjian damai, maka Khalifah (kepala negara) di-perbolehkan untuk membiarkan mereka dan gereja (tempat peribadatan) mereka, dengan ketentuan dan syarat sebagai-mana yang diajukan oleh Abdul-lah bin Ghanam. Gereja diper-bolehkan tetap ada, tetapi tidak boleh digunakan untuk melaku-kan kr****nisasi, memprovokasi dan memata-matai umat Islam, bahkan identitas dan lonceng-nya pun tidak boleh ditam-pakkan, kecuali di lingkungan internal mereka. Jika gereja tersebut rusak atau roboh, tidak boleh diperbaiki, dan begitu seterusnya. Tentu saja, mereka tidak boleh mendirikan gereja atau tempat peribadatan baru.
Inilah ketentuan umum yang disepakati oleh para fuqaha dari berbagai mazhab. Keten-tuan ini menyangkut negeri-negeri Islam, baik yang berstatus sebagai tanah 'Usyriyyah seperti Indonesia dan Malaysia, maupun tanah Kharajiyyah seperti Irak, Syam, Afganistan, India, Pakistan, Spanyol dan sebagainya. Hanya saja, ketentuan ini tidak bisa diterapkan di negeri-negeri Islam tersebut, karena posisi umat Islam lemah. Mereka lemah karena dipimpin oleh para pe-nguasa boneka yang mengabdi untuk kepentingan majikan dan penjajah, bukan untuk kepen-tingan Islam dan umatnya. Karena itu, meski jumlah non-Muslim di negeri-negeri Islam itu minoritas, tetapi mereka sangat arogan dan berkuasa, karena negara yang dipimpin oleh para boneka itu kalah dengan mereka.
Inilah musibah yang diha-dapi oleh umat Islam, yang menjadikan mereka terus-me-nerus hina dan dihinakan, kalah dan dikalahkan. Wallahu a'lam.