Keberadaan umat dan Vihara agama Buddha di Tanjung Balai sudah menunjukkan kebebasan beragama. Yang jadi masalah adalah kebebasan memasang patung raksasa di atap, bukan kebebasan beragama. Apakah Buddha pernah mengajarkan agar patung gambar diri beliau harus dipasang tinggi2 di atap?
Tampaknya anda masih tidak sadar apa yang sedang kita hadapi sekarang. Jika sekarang hanya patung Buddha, kelak keberadaan vihara pun akan dipermasalahkan sebagaimana yang dialami oleh HKBP. Masih segar dalam ingatan, Vihara Dhammadipa Arama di Batu pernah juga dilempar bom oleh para ekstrimis. Sekali saya katakan lagi, soal ini bukan skadar soal patung belaka, tetapi tentang Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di negara ini yang sedang di ujung tanduk.
Saya bukan orang fanatik yang melihat patung Buddha adalah Buddha itu sendiri atau memuja-puja patung sebagai berhala. Saya mellihat Patung Buddha di Tanjung Balai adalah simbol eksistensi keberadaan umat Buddha di Indonesia. Jika Pemerintah dan Rakyat Indonesia bisa menerima Agama Buddha sebagai salah satu agama formal/resmi dalam negara, tapi mengapa simbol-simbolnya di depan publik harus diberangus hanya karena sekelompok orang yang mengatasnamakan agama lain tidak menyukainya? Apakah agama yang formal/resmi diakui oleh negara harus melakukan ibadahnya dengan diam-diam dalam ruang tertutup tanpa label serta tidak diijinkan memasangkan atribut yang terlalu menonjolkan identitasnya sebagai Buddhis??? Apa salahnya dengan identitas Buddhis yang terlalu menonjol? Apa yang harus dianggap memalukan? Apa haknya Umat agama lain ikut campur tangan menolak identitas itu? Coba anda pikirkan. Jangan2 anda termasuk orang yang malu menjadi Buddhis di negara ini?