Ok,thx atas penjelasan yg sangat jelas.
Dan selanjutnya,berarti ini mungkin yg anda maksudkan,bhw memang ada nasib yg jk kondisi udah memungkinkan..itu tidak bisa kita elakkan.
Seperti yg begitu mendengar dhama dari sang budha,ada yg langsung mendapat pencerahan menjadi arahat,terlahir dialam tusita,mencapai sotapana dll.Itu bukan karena keberuntungan dia bisa ketemu dengan sang buddha tapi karena memang sudah waktunya untuk dia mencapai tingkat tersebut.Sang budha cuma membuka kunci terakhir untuk takdirnya mencapai itu.
Dalam hal itu, bisa ya dan bisa tidak.
Ketika Sang Buddha membabarkan Dhamma, beberapa orang bisa mencapai tingkat-tingkat kesucian sesuai dengan Parami mereka masing-masing. Parami (perbuatan luhur) yang sudah ditimbun mereka, akan mengondisikan talenta mereka untuk merealisasi tingkat-tingkat kesucian. Oleh karena itu, ada 3 jenis manusia (siswa) di dunia ini:
- mereka yang bisa merealisasi tingkat-tingkat kesucian saat mendengar khtobah Dhamma
- mereka yang bisa merealisasi tingkat-tingkat kesucian setelah khotbah Dhamma selesai
- mereka yang bisa merealisasi tingkat-tingkat kesucian dengan melatih diri setelah mendengar khotbah Dhamma
Maksud saya, ada beberapa kasus dimana seseorang tidak bisa mengelak dari buah perbuatan lampunya (vipaka). Misalnya kasus Maha Moggallana. Karena jauh di kehidupan lampuanya beliau pernah membunuh kedua orangtuanya, kelak perbuatan ini akan memunculkan akibat. Di kelahirannya sebagai Maha Moggallana, dia sudah memiliki "garis hidup" bahwa dia akan mati dibunuh. Meskipun dia merealisasi tingkat Arahat, serta menjadi murid utama Sang Buddha; tetap saja dia tidak bisa mengelak akibat itu. Dalam hidup ini, Maha Moggallana tewas setelah dibunuh oleh para perampok.
Demikian pula "garis hidup" yang dimiliki Siddhattha Gotama sejak lahir. Bagi orang yang memiliki kemampuan untuk melihat ke masa depan, maka mereka bisa melihat bahwa seseorang telah memiliki nasib yang seolah sudah "ditentukan". Dalam agama lain, mungkin istilah ini seperti ditentukan oleh Tuhan. Namun dalam Buddhisme, istilah ini lebih akrab dijelaskan sebagai akibat perbuatan (vipaka) yang akan berbuah dalam kehidupan saat ini juga.