balik lagi ke diskusi mengenai pandangan benar / right view / sammaditthi...Ya, intinya 'kan kalau mengaju pada Brahmajalasutta, kita masih muter2 di samsara karena berpandangan salah. Ini bisa diterima. Tapi untuk niyata-micchaditthi (yaitu 3 pandangan di atas) yang katanya jika pada saat kematian masih dipegang, memiliki tujuan pasti niraya/binatang. Ini yang bikin saya bertanya-tanya.
singkatnya, saya berpendapat pandangan itu bukan pengertian secara intelektual, juga bukan keimanan pada paham atau doktrin buddhis. selama belom suci, baik itu buddhis (yang percaya pada doktrin buddhis) maupun bukan buddhis, dua2nya berpandangan salah karena tidak mengerti, tidak menyelami dan tidak menembus kebenaran mulia...
1. jika saat kematiannya pandagan ini di gengam erat..(artinya muncul saat kematian) maka hasilnya adalah lahir di alam binatang/neraka, tentu dalam 1 kehidupan ada banyak pandagan bagi seseorg... jika pandagan salah yg muncul saat kematiannya..maka hasilnya yah alam neraka/binatang, tp jika muncul pandagan benar yg lain saat kematiannya..maka masilnya juga beda.. misal sorg yg memiliki pandagan bahwa saat kematian tidak ada apa2, tp saat kematian..yg muncul adalah pandagannya yg lain..yaitu moralitas adalah hal yg baik... maka walau tidak meninggalkan pandagan salahnya..dia terlahir akibat pandagan nya yg lain (kebetulan ini atheis..yg menjunjung tinggi moralitas..humanisme..dll)
Pertanyaan saya adalah:
1. Apakah bagi mereka yang memeluk "niyata-micchaditthi" ini dan memandang hidup saat ini bagi diri sendiri dan orang lain harus dihargai dan dijalani sebaik-baiknya, ketika meninggal tanpa meninggalkan pandangannya, menurut pendapat member di sini akan terlahir di neraka/alam binatang?
2. Sebetulnya yang menentukan kelahiran seseorang adalah akibat dari perbuatan ataukah pandangannya?
niyata-micchaditthi taken from Ditthikathā.-Second chapter of the Mahāvagga of the Patisambhidāmagga. Ps.i.135-62.Thanks. :jempol:
1. jika saat kematiannya pandagan ini di gengam erat..(artinya muncul saat kematian) maka hasilnya adalah lahir di alam binatang/neraka, tentu dalam 1 kehidupan ada banyak pandagan bagi seseorg... jika pandagan salah yg muncul saat kematiannya..maka hasilnya yah alam neraka/binatang, tp jika muncul pandagan benar yg lain saat kematiannya..maka masilnya juga beda.. misal sorg yg memiliki pandagan bahwa saat kematian tidak ada apa2, tp saat kematian..yg muncul adalah pandagannya yg lain..yaitu moralitas adalah hal yg baik... maka walau tidak meninggalkan pandagan salahnya..dia terlahir akibat pandagan nya yg lain (kebetulan ini atheis..yg menjunjung tinggi moralitas..humanisme..dll)
2. jawabannya ada di mahakamma vibhanga sutta... (jawaban simplenya tergantung mana yg muncul saat kematian...)
http://dhammacitta.org/dcpedia/MN_136:_Mahākammavibhanga_Sutta (http://dhammacitta.org/dcpedia/MN_136:_Mahākammavibhanga_Sutta)
Dari MN 60 Apannaka Sutta (http://dhammacitta.org/dcpedia/MN_60:_Apa%E1%B9%87%E1%B9%87aka_Sutta) dikatakan bahwa penganut ketiga pandangan salah tsb memiliki perilaku, ucapan dan pikiran salah sehingga terlahir di alam menderita bahkan neraka:Nah, ini juga sebetulnya salah satu yang ingin saya bahas. Perhatikan di awal kutipan sutta disebutkan penganut pandangan itu terlahir di neraka karena perbuatan salahnya, bukan karena menganut pandangannya. Kemudian diberikan uraian logis bahwa orang yang berpandangan demikian, kecenderungan logisnya adalah demikian. Kecenderungan, bukan secara mutlak. Berlaku pula sebaliknya, penganut Buddhisme, misalnya, berpandangan demikian, maka kecenderungannya adalah demikian.
7. (A.i) “Sekarang, para perumah-tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Tidak ada yang diberikan ... tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain,’ dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi bermanfaat ini, yaitu, perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar, dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat, yaitu, perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu tidak melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka tidak melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.
[....]
9. (A.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini telah membuat dirinya cukup aman.[6] Tetapi jika ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.
klo gitu sutta ini http://dhammacitta.org/dcpedia/MN_71:_Tevijjavacchagotta_Sutta#13 (http://dhammacitta.org/dcpedia/MN_71:_Tevijjavacchagotta_Sutta)
13. “Guru Gotama, adakah Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan?”[5]
“Vaccha, tidak ada Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan.”
14. “Guru Gotama, adakah Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah pergi ke alam surga?”
“Ketika aku mengingat kembali hingga sembilan puluh satu kappa yang lalu, Vaccha, Aku tidak ingat ada Ājivaka yang pada saat hancurnya jasmani telah pergi ke alam surga, dengan satu pengecualian, dan ia menganut doktrin efektivitas perbuatan bermoral, doktrin efektivitas tindakan.”[6]
Para Ājīvaka atau Ājīvika, adalah aliran saingan yang ajarannya menekankan pada praktik keras berdasarkan pada filosofi yang berbatasan dengan fatalisme. Baca Basham, History and Doctrines of the Ājivikas.Di MN 71 ini juga hanya sepintas saja disebutkan tidak ada yang mengakhiri penderitaan atau ke alam surga (kecuali 1 orang) tapi tidak disebutkan kepastian ke neraka atau binatang, juga tidak dijelaskan apakah pandangannya atau praktik perbuatannya (karena mereka juga dikenal dengan tradisi 'bunuh diri' jika menganggap fisik & mentalnya mengalami penurunan) yang menyebabkannya tidak terlahir di alam baik, dst.
↑ Karena Ājivaka ini percaya pada efektivitas perbuatan bermoral, maka ia tidak mungkin menganut filosofi fatalisme ortodoks dari para Ājivaka yang menyangkal efektivitas peran kamma dan perbuatan-perbuatan kehendak dalam mengubah takdir manusia. MA mengidentifikasikan Ājivaka ini sebagai Sang Bodhisatta dalam kehidupan sebelumnya.
Intermezzo saja, Ajivaka tidak memiliki catatan sejarah sendiri sehingga penjelasan tentang mereka hanya dari teks-teks Buddhis dan Jain. Satu hal yang menarik adalah Ashokavadana menceritakan Ashoka -yang terkenal dengan avihimsa-nya setelah memeluk agama Buddha- mengeluarkan titah menghabisi Ajivaka yang mengakibatkan kematian sekitar 18.000 Ajivaka. Di lain waktu juga membakar hidup-hidup seorang penganut Jain dan keluarganya serumah, dan memberikan bayaran 1 koin perak untuk setiap kepala "penganut sesat". Pemicunya adalah lukisan yang menggambarkan Buddha bersujud pada Nigantha.sungguh buas ya perilaku mereka demi memberantas ajaran sesat...
Nah, ini juga sebetulnya salah satu yang ingin saya bahas. Perhatikan di awal kutipan sutta disebutkan penganut pandangan itu terlahir di neraka karena perbuatan salahnya, bukan karena menganut pandangannya. Kemudian diberikan uraian logis bahwa orang yang berpandangan demikian, kecenderungan logisnya adalah demikian. Kecenderungan, bukan secara mutlak. Berlaku pula sebaliknya, penganut Buddhisme, misalnya, berpandangan demikian, maka kecenderungannya adalah demikian.
Meski begitu, pada kenyataannya yang semua kembali lagi pada orang per orang, berpandangan demikian belum tentu semua jahat (seperti pola pikir Richard Dawkins di video itu), dan Buddhis belum tentu semua baik. Sampai sini, sutta itu juga masih tetap konsisten, karena memang tidak memberikan kepastian "berpandangan x, lahir di y".
Menjadi pertanyaan kemudian ketika muncul prinsip niyata-micchaditthi ini di mana dikatakan yang menganut pandangan demikian memiliki kepastian tujuan kelahiran berikutnya, terlepas dari pola pikir serta perbuatannya.
Jadi dari yang saya tangkap:
-Jika mengikuti pola MN 60 ini, yang menentukan tujuan kelahiran tetap adalah perbuatan (pikiran, ucapan, jasmani), pandangan hanyalah mengarahkan kecenderungan saja, sehingga penganut nihilisme sekalipun, jika menjalankan hidup dengan perbuatan baik, tidak akan jatuh pada neraka/alam binatang.
-Jika mengikuti prinsip niyata-micchaditthi, maka terlepas perbuatan seseorang, ketika menganut nihilisme, tujuannya sudah pasti neraka/alam binatang.
IMO, saya lebih sepaham dengan pola MN 60 bahwa berpandangan salah cenderung juga akan berperilaku, ucapan dan pikiran salah. Hal ini juga sejalan dengan MN 117 bahwa pandangan benar adalah yang mengawali keseluruhan faktor JMB8 lainnya (dengan demikian, pandangan salah akan mengarah pada faktor-faktor JMB8 yang salah).MN 117 membahas konteks berbeda karena membandingkan "pandangan benar vs salah" dalam konteks "nibbana vs samsara". Dalam konteks ini, bhikkhu puthujjana dengan jhana 4 dan penghuni Avici adalah dalam kelompok yang sama, yaitu yang berpandangan salah sehingga terlahir kembali. (Ini juga serupa dengan konteks Brahmajalasutta.) Saya tidak bahas dalam konteks lokuttara ini.
sungguh buas ya perilaku mereka demi memberantas ajaran sesat...Di mana ada fundamentalis, kebuasan adalah hal wajar.
Asokavadana adalah teks Sarvastivada yang belakangan dan cenderung menggambarkan Asoka sekejam mungkin, misalnya dikatakan Raja Asoka memiliki tempat penahanan para penjahat/orang-orang yang menentangnya di mana siksaannya dibuat seperti di neraka, padahal menurut prasasti peninggalan sejarahnya Raja Asoka malah mengizinkan para tahanan dibebaskan sementara agar dapat bertemu dengan keluarganya. Sama halnya Mahavamsa, teks Pali yang belakangan, yang menggambarkan Raja Asoka dengan kejam membunuh semua saudaranya untuk mendapatkan tahta, namun berdasarkan prasastinya Raja Asoka memiliki saudara-saudara kandung maupun tiri yang masih hidup sewaktu ia berkuasa. Jadi, masih agak diragukan kebenaran kisah-kisah kekejaman tersebut, walaupun bukan berarti tidak mungkin.Ya, teks ini juga merupakan literatur sektarian dari Mula-sarvastivada. Saya pikir selain catatan di mana Arahant menganggap non-Buddhis sama seperti binatang, tidak ada salahnya melihat-lihat catatan lain. Tentu saja dengan catatan tidak mengambil kesimpulan terlalu cepat bahwa literatur yang manapun adalah yang benar.
MN 117 membahas konteks berbeda karena membandingkan "pandangan benar vs salah" dalam konteks "nibbana vs samsara". Dalam konteks ini, bhikkhu puthujjana dengan jhana 4 dan penghuni Avici adalah dalam kelompok yang sama, yaitu yang berpandangan salah sehingga terlahir kembali. (Ini juga serupa dengan konteks Brahmajalasutta.) Saya tidak bahas dalam konteks lokuttara ini.
Yang saya bahas di sini masih seputar samsara/kelahiran kembali, dan sesuai pandangan moralitas: jika seseorang berbuat yang bermanfaat maka akan terlahir di alam bahagia, dan sebaliknya. Tapi ada muncul prinsip yang mengatakan orang berpandangan "sesat" tertentu, pasti bertujuan neraka/binatang.
Jadi saya beri contoh nyata yang simple saja seperti dalam cuplikan di atas, seseorang yang berpandangan "sesat", yang dari pandangan "sesat"-nya itu ia berpikiran untuk menghargai hidup satu-satunya dan meningkatkan kualitasnya. Apakah menurut bro Shinichi dan member lain, sesuai dengan prinsip niyatamicchaditthi, orang berpandangan seperti Richard Dawkins itu akan terlahir di neraka/alam binatang?
Ya, teks ini juga merupakan literatur sektarian dari Mula-sarvastivada. Saya pikir selain catatan di mana Arahant menganggap non-Buddhis sama seperti binatang, tidak ada salahnya melihat-lihat catatan lain. Tentu saja dengan catatan tidak mengambil kesimpulan terlalu cepat bahwa literatur yang manapun adalah yang benar.
Saya menyinggung teks ini juga untuk memberikan gambaran bagaimana kelompok Ajivaka yang malang ini tidak punya catatan sejarah sendiri dan hanya dikenal dari teks-teks kelompok lain yang cenderung antipati terhadap mereka. Betul ada beberapa tulisan yang mencurigakan dari teks ini yang berbau sektarian, namun untuk penganiayaan terhadap Jain dan Ajivaka oleh Ashoka yang notabene Buddhis, saya bertanya-tanya untuk apa dikarang? Di sini Mula-sarvastivada sendiri yang juga Buddhis tentu ikut dirugikan. Jika tujuannya adalah sektarian, saya tidak/belum menemukan teks itu mengasosiasikan Ashoka ke dalam sekte tertentu. Mungkin kalau ada infonya, bisa dibantu post.
Berarti kembali lagi ke kutipan MN 60 tadi bahwa pandangan salah tersebut memang berkecenderungan pada perbuatan, ucapan dan pikiran yang salah sehingga lebih berpotensi pada kelahiran kembali di alam rendah. IMO, utk orang atheis yang tidak pernah pada kehidupan setelah kematian ataupun kelahiran kembali, jika mereka memiliki perilaku, ucapan dan pikiran yang baik, maka bisa terhindar dari kelahiran kembali di alam rendah (tentunya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku spt dlm MN 136).Pandangan hidup memang pasti mempengaruhi kecenderungan pribadi seseorang, tapi jika sifat pandangan masih terlalu general, maka arahnya juga belum bisa dipastikan. Saya sering dengar generalisasi begini: "kalau orang tidak percaya sosok Tuhan yang selalu mengawasi perbuatan, maka akan cenderung tidak bermoral, berbuat semaunya, free sex, korupsi, dll. karena tidak ada yang mandorin." Saya pikir kebanyakan member di sini tidak akan kesulitan memahami bagaimana bodohnya pernyataan itu.
Btw, bagaimana dengan pendapat om KK sendiri? Kita belum tahu pandangan anda ttg hal ini... ;D
Saya rasa tidak mengherankan jika kekerasan terhadap non-Buddhis (bahkan sesama Buddhis tetapi berbeda pandangan) mendapatkan pembenaran dari teks-teks yang bersifat sektarian. Mungkin alasannya adalah mereka ingin menunjukkan bahwa tanpa kekerasan yang dibenarkan dan didukung oleh pihak yang berkuasa, Buddhisme tidak dapat bertahan lama.Oh, ada juga kisah Asoka berdana ke Ajivaka yah? Sip. Memang ada baiknya menampung info berbagai sumber berbeda.
Namun soal penganiayaan terhadap para Ajivaka (dan Nigantha) oleh Asoka masih meragukan kebenarannya karena menurut catatan sejarah Asoka pernah mendanakan beberapa gua kepada para Ajivaka. Tetapi lagi-lagi ini tidak bisa dipastikan juga kebenarannya.
Pandangan hidup memang pasti mempengaruhi kecenderungan pribadi seseorang, tapi jika sifat pandangan masih terlalu general, maka arahnya juga belum bisa dipastikan. Saya sering dengar generalisasi begini: "kalau orang tidak percaya sosok Tuhan yang selalu mengawasi perbuatan, maka akan cenderung tidak bermoral, berbuat semaunya, free sex, korupsi, dll. karena tidak ada yang mandorin." Saya pikir kebanyakan member di sini tidak akan kesulitan memahami bagaimana bodohnya pernyataan itu.
Untuk 3 pandangan salah Ajivaka tersebut, memang benar jika orang menganut tidak ada karma, maka bisa tidak takut berbuat jahat dan tidak bersemangat dalam kebaikan, namun itu satu sisi. Di sisi lain, orang berbuat jahat dan baik pertimbangannya bukan melulu hanya dari takut balasan karma dan serakah pahala, tapi bisa dari faktor lain-lain seperti misalnya belas kasih atau konsekwensi hukum. Ini hal alami yang umum yang bisa dialami semua orang terlepas dari agama dan kepercayaannya.
Jadi IMO, saya setuju dengan MN 60 yang menjelaskan pengaruh logis namun tidak bersifat absolut.
Tidak percaya perbuatan baik/buruk, dapat diharapkan tidak menghindari yang buruk dan tidak melakukan yang baik. Sama juga sebaliknya percaya pada perbuatan baik/buruk, dapat diharapkan menghindari yang buruk, dan melakukan yang baik. Namun itu hanya probabilitas. Mudah ditemui orang tidak percaya kamma tapi berbuat baik dan orang memuja-muja kamma tapi tetap melakukan kejahatan.
Di samping itu saya juga lebih cocok dengan "kelahiran akibat perbuatan" ketimbang "kelahiran akibat pandangan". Karena menarik sekali jika tujuan kelahiran berikut bisa ditentukan semata-mata oleh pandangan, maka secara logis menganut pandangan X, tanpa perbuatan apapun, bisa terlahir di alam Y. Kok jadi mirip dengan menganut pandangan sosok X, tanpa perbuatan, bisa terlahir di alam Y? Maka dari itu, saya pribadi tidak cocok dengan konsep niyata-micchaditthi dari patisambhidamagga tersebut.
Oh, ada juga kisah Asoka berdana ke Ajivaka yah? Sip. Memang ada baiknya menampung info berbagai sumber berbeda.