Thank you buat semua komentar, tambah pusing saya. ada yang saling bertentangan pendapatnya
Kalau anda sering diskusi tentu tahu di manapun selalu ada perbedaan pendapat. Bukan pasti satu kepercayaan, lalu semua pandangannya persis sama.
Bro Kainyn_Kutho dan Sis Mayvise belum tahu dan sepakat tentang "proses hukum karma" By the way, ok lah, mungkin saya perlu cari tahu orang yang bisa memaparkan jalannya hukum Karma yang lebih comprehensive...
Dalam Tipitaka sendiri dikatakan bahwa proses hukum karma itu sedemikian rumitnya sehingga spekulasi/tebak-tebakan prosesnya bisa mengakibatkan gangguan jiwa. Tapi bolehlah kalau hanya secara general kita bahas.
Kalo mau bantu darimana itu proses hukum karma itu?? Apakah ada dengan sendirinya, jika ada sendirinya apakah hukum yang diberikan sesuai, atau itu hanya pikiran manusia yang sesuka hati menafsirkannya?
Seperti sudah dijawab bro morpheus, hal tersebut sama seperti hukum alam. Ada karena keterkondisian. Soal asal mulanya dari mana, tentu tidak ada jawaban pasti, sama seperti dari mana munculnya Tuhan.
Saya ingin tanya : Bagaimana jika seseorang itu melakukan kamma buruk lainnya, misalnya "membunuh, memperkosa seorang yang dikategorikan suci" itu, dan orang tsb melakukan banyak kebajikan setelah itu - berdana, menolong orang yang sekarat dll, apakah kammanya akan hilang, atau dikehidupan selanjutnya akan berkurang kamma buruk yang telah ia lakukan? Garam yang ditambahkan banyak air tentu berkurang asin, namun berat garamnya tetap sama jika airnya diuapkan, bukan?
Karma itu tidak hilang, namun berbuah sesuai kondisinya. Untuk analogi di atas, bukan airnya diuapkan, namun garamnya yang ditambah.
Jadi air = karma baik; garam = karma buruk.
Melakukan kebaikan = tambah air; melakukan kejahatan = tambah garam.
Penderitaan diibaratkan rasa asin.
Contoh lain : Saya melakukan pelanggaran lalu lintas, dan saya ditilang oleh polisi dan minggu depan saya harus menghadiri persidangan. Sebelum hari H itu saya banyak melakukan kebajikan, memberi santunan bagi fakir miskin yang ada disekeliling perumahan saya dengan harapan saya bisa terbebas dari hukuman........Dan saat disidang, hakim bertanya, "Apakah saudara tahu kesalahan Anda?" Saya menjawab ya, saya bersalah, tapi Pak Hakim saya telah banyak melakukan banyak kebajikan, saya berdana, saya membantu orang yg kesusahan dll? Apakah hakim itu akan membebaskan saya, karena banyak melakukan kebajikan dalam kasusnya?
Kalau seseorang berdana ke fakir dengan berharap bebas dari tilang, maka itu sama bodohnya dengan menanam pisang dan mengharapkan buah duren. Kalau diibaratkan dalam analogi tadi, pelanggaran mengakibatkan tilang. Lalu tilang itu sendiri mengakibatkan habisnya uang. Habisnya uang berarti tidak makan siang, yang berarti penderitaan.
Tapi karena kita berbuat baik sama orang lain, maka mungkin kemudian kita ditraktir makan siang. Ditraktir makan siang, berarti tidak jadi lapar. Tidak jadi lapar berarti tidak jadi menderita.
Nah, sekarang apakah dengan menolong orang lain, lantas tilangnya tidak terjadi? Tetap terjadi, bukan!? Tapi apakah efek tersebut bisa dan mungkin diringankan dengan berbuat baik pada orang lain?
Jawab saja sesuai kecocokan.
Mengenai Galatia 6:7 saya pernah dari kawan "K" bahwa Paulus banyak menghadapi penderitaan, dianiaya, dipukul, dirajam dengan batu dan mau dibunuh juga dan terakhir mati dipancung kepalanya.....
Tetap tidak konsisten. Dia bunuh banyak orang, tapi dibunuh cuma sekali. Berarti 'tanam 1000 pembunuhan, tuai 1 pembunuhan' sebab orang tidak bisa mati lebih dari 1 kali (menurut konsep Nasrani). Dengan kata lain membunuh berapapun orang, maksimal tetap dibunuh hanya sekali.
Apakah Ludah = Hujat?
Anda tidak menyimak. Bukan ludahnya yang menimbulkan karma, tapi menghujat 'seseorang yang membuang ludah' sebagai pelacur itulah yang menimbulkan karma.
Kata bro Ryu, kalo hujat Buddha bagaimana nasibnya? , kalo mencoba bunuh Buddha seperti yg dilakukan oleh muridnya Devadatta bagaimana( ada yang bilang, Devadtta masih disiksa di neraka dan belum tahu kapan keluarnya, udah hampir 2400 tahun lho?
Oh, memang masih sangat lama, konon sampai akhir kalpa ini baru Devadatta selesai masa hukumannya. Tapi tetap saja bukan selamanya. Bahkan karena akhirnya, menjelang kematiannya, ia mengerti kebenaran yang diajarkan Buddha Gotama, maka setelah habis masa hukumannya di neraka, ia kemudian akan terlahir kembali di dunia dan mencapai pencerahan.
Kembali lagi, dalam Ajaran Buddha, selalu ada pengharapan untuk memperbaiki diri.
Mengenai Ambapali, saya tidak tahu persisnya seperti apa ceritanya, yang saya tahu Ambapali melihat setumpuk ludah di depan wihara/ cetya. Kita tahu bahwa tempat ibadah merupakan tempat yg disucikan, dikramatkan, dihormati. Masuk ke mesjid harus buka sepatu atau sandal, masuk kesuatu tempat ibadah tidak boleh sembarang bicara. Bagaimana perasaan Ambapali saat melihat orang sembarangan meludahi di area tempat ibadah? Dan Ambapali layak marah?.....dan Ambapali tidak tahu bahwa yang meludahi itu seorang "macan/ harimau" bukan kucing menurut istilah bro Kainyn yaitu seorang bikkhuni arahat... Istilah diskriminasi disini, kenapa Ambapali yg kena, mengapa "si harimau"nya nggak kena juga, apakah dia tidak tahu bahwa sembarang melakukan tindakan yang "tak berguna" itu dengan meludahi bisa menyebabkan orang lain sengsara?
Seseorang memang sepatutnya mengendalikan diri dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan. Ludah hanyalah objek. Vihara juga hanyalah tempat. Mengapa harus demikian marah dan menghina orang lain pelacur?
Ya, orang yang tidak mengetahui akibat dari sebuah perbuatan, juga tetap akan menerima akibat dari perbuatan itu. Contohnya orang yang tidak tahu tentang hukum, menggarong rumah orang, maka ia akan ditangkap dan diadili sesuai perbuatannya, walaupun dia tidak mengetahui hukum tersebut.
Mengapa si pembuang ludah itu tidak kena karma? Karena karma itu berasal dari niat. Seseorang yang membuang ludah tanpa niat jahat, tidak dengan kebencian, maka tidak ada karma buruk di sana.
Buddha Josaphat bilang ada diskriminasi dalam peraturan Sangha antara bikkhu dan bikkhuni, ini kutipannya :
masuk Sangha dengan menjalani 227 peraturan/ vinaya buat bikkhu dan 311 peraturan/ vinaya buat bikkhuni jika Anda suka ajaran Buddha Therevada, kalo Anda berasal dari aliran Buddha Mahayana maka Anda perlu menjalankan 250 peraturan/ vinaya buat bikkhu atau 348 peraturan/ vinaya buat bikkhuni atau Anda berniat masuk ke aliran Buddha Tantrayana, anda perlu mempraktekan 253 peraturan/ vinaya buat bikkhu dan 364 peraturan/ vinaya buat bikkhuni.
Buddha tidak mengajarkan diskriminasi terhadap wanita, apalagi wanita dianggap memiliki potensi yang sama untuk mencapai kesucian tertinggi. Mengapa dibedakan? Karena memang secara lahiriah, wanita itu berbeda dengan pria; karakter umum, kecenderungannya, dan perannya dalam budaya juga berbeda. Karena itulah tidak mungkin diterapkan aturan yang pukul rata.
Dan bro Kainyn menuliskan :
Ya, itu 'kan "KATANYA" buku dan tidak bisa dibuktikan. Tolong donk, yang lebih konkret manfaatnya. Misalnya adakah satu kualitas baik yang hanya bisa ditemukan pada umat yang punya juru selamat, yang TIDAK dapat ditemukan dalam pengikut Buddha?
Menurut saya bisa dilihat dari OUT PUT nya yang dihasilkan setelah belajar percaya dan tindakannya dari umat yang percaya akan ajaran agamanya. Misalnya, dari segi ilmu pengetahuan : mana penemu2an ilmiah yang dihasilkan oleh setiap kelompok umat beragama atau tentang kesuksesan hidup dsb..... Dari situ aja kita bisa lihat ada perbedaannya "IN PUT" dan OUT PUT nya......
Iya, jadi apa contoh tindakan baik yang bisa dilakukan oleh umat tertentu yang tidak bisa dilakukan oleh umat Buddha? Lalu kesuksesan macam apa yang hanya dinikmati oleh umat tertentu yang tidak bisa dinikmati oleh umat Buddha?
Kalau mengenai pengetahuan, saya pikir itu adalah hal netral. Siapapun yang memberikan kontribusi pada pengetahuan, adalah bukan karena agamanya, namun karena pengabdiannya pada penelitian ilmiah.
Namun ada juga pihak yang mau membelokkan, mengotori, menodai pengetahuan karena kepercayaan butanya pada satu agama. Misalnya kelompok tertentu yang mendirikan museum 'ilmiah' tentang penciptaan 6 hari. Tapi tentu saja ini bukan kontribusi, tapi sesuatu yang menghalangi sains.
Mengenai prostitusi, antara Bro Kainy dengan GandalfTheElder masih ada ketidaksesuaian, bagaimana ini? Bingung aku
Kalo dikatakan melakukan prostitusi itu tidak ada karma buruknya, berarti ajaran Buddha menjadi "ajaran amoral", kalo dikatakan ada karma buruknya, seharusnya Ambapali tidak bisa keluar dari alam samsara bukan?? Jadi yang benar mana sih??
Kalau saya dan bro Gandalf, memang menjelaskan dari sudut pandang berbeda. Lalu kalau belajar Buddhisme, tidak perlu 'menyamakan' semua pandangan. Pelajarilah dan ambillah yang menurut masing-masing kita bermanfaat, tanpa menutup kemungkinan bahwa diri sendiri masih bisa salah dan perlu belajar pada orang lain.
Saya mau tanya dulu: ajaran moral/immoral ini memang standard-nya dari mana? Dengan tolok ukur apa anda katakan prostitusi itu amoral?
Belum lagi pengertian Bro william_phang atas kata "bohong" :
Apakah berbohong tidak bisa dimasukan dalam "karma buruk"
Mengatakan tidak benar sebagai kebenaran, menyatakan kebenaran sebagai tidak benar. Ini tentu karma buruk dan tidak bermanfaat.
Menurut bro GandalfTheElder kebahagiaan bisa dicapai dengan mempraktekan Dharma, apakah umat lain mempraktetkan ajarannya tidak akan bahagia atau kurang bahagia??? Standar apa yang harus dipakai untuk mengukurnya??
Mengendalikan diri dalam perbuatan, terlepas dari apapun agamanya, ia akan mendapat manfaatnya. Menjauhi keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin, terlepas dari apapun agamanya, ia akan mendapat manfaatnya.