//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku DUA  (Read 6514 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
ANGUTTARA NIKAYA buku DUA
« on: 04 January 2013, 03:03:31 PM »
[47] BUKU KELOMPOK DUA

Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant,
Yang Tercerahkan Sempurna


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DUA
« Reply #1 on: 04 January 2013, 03:04:48 PM »
I. MEMASUKI MUSIM HUJAN

1 (1) Cacat

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada dua cacat ini. Apakah dua ini? Cacat yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan cacat yang berhubungan dengan kehidupan mendatang.

“Dan apakah cacat yang berhubungan dengan kehidupan sekarang? Di sini, seseorang melihat ketika raja-raja menangkap seorang perampok, seorang kriminal, mereka menjatuhkan berbagai hukuman kepadanya: mereka mencambuknya dengan cemeti, memukulnya dengan rotan, memukulnya dengan tongkat pemukul, mereka memotong tangannya, memotong kakinya, memotong tangan dan kakinya; memotong telinganya, memotong hidungnya, memotong telinga dan hidungnya; mereka menjatuhkan kepadanya siksaan ‘panci bubur,’ ‘cukuran kulit kerang yang digosok,’ ‘mulut Rāhu,’ ‘lingkaran api,’ ‘ tangan menyala,’ ‘helai rumput,’ [48] ‘pakaian kulit kayu,’ ‘kijang,’ ‘kail daging,’ ‘kepingan uang,’ ‘cairan asin,’ ‘tusukan berporos’, ‘gulungan tikar jerami’;  dan mereka menyiramnya dengan minyak mendidih, dan mereka membuangnya agar dimangsa oleh anjing-anjing, dan dalam keadaan hidup ia ditusuk dengan kayu pancang, dan kepalanya dipenggal dengan pedang.<216>

“Ia berpikir: ‘Ketika raja-raja menangkap seorang perampok, seorang kriminal, mereka menjatuhkan berbagai hukuman kepadanya: mereka mencambuknya dengan cemeti … kepalanya dipenggal dengan pedang. Sekarang jika aku melakukan perbuatan jahat itu, dan jika raja-raja menangkapku, maka mereka akan menjatuhkan hukuman yang sama kepadaku. Mereka akan mencambukku dengan cemeti … dan kepalaku akan dipenggal dengan pedang.’ Takut pada cacat yang berhubungan dengan kehidupan sekarang, ia tidak merampas barang-barang milik orang lain.<217> Ini disebut cacat yang berhubungan dengan kehidupan sekarang.

“Dan apakah cacat yang berhubungan dengan kehidupan mendatang? Di sini, seseorang merenungkan sebagai berikut: ‘perbuatan buruk melalui jasmani adalah buruk, berakibat menyakitkan<218> di masa depan; perbuatan buruk melalui ucapan adalah buruk, berakibat menyakitkan di masa depan; perbuatan buruk melalui pikiran adalah buruk, berakibat menyakitkan di masa depan. Sekarang jika aku melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka!’ [49] Takut pada cacat yang berhubungan dengan kehidupan mendatang, ia meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan dan mengembangkan perbuatan baik melalui ucapan; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran dan mengembangkan perbuatan baik melalui pikiran. Ini disebut cacat yang berhubungan dengan kehidupan mendatang.

“Ini, para bhikkhu, adalah dua cacat. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan takut pada cacat yang berhubungan dengan kehidupan sekarang; kami akan takut pada cacat yang berhubungan dengan kehidupan mendatang. Kami akan takut pada cacat dan melihat bahaya dalam cacat.’ Dengan cara demikianlah kalian harus berlatih. Adalah diharapkan bahwa seseorang yang takut pada cacat dan melihat bahaya dalam cacat akan terbebas dari segala cacat.”

2 (2) Usaha keras

“Para bhikkhu, ada dua usaha ini yang sulit dicapai di dunia ini. Apakah dua ini? Usaha dari umat awam yang berdiam di rumah dengan tujuan untuk mempersembahkan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit [kepada kaum monastik], dan usaha dari mereka yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dengan tujuan untuk melepaskan segala perolehan. Ini adalah dua usaha yang sulit dicapai di dunia ini.

“Di antara kedua usaha ini, para bhikkhu, yang paling unggul adalah usaha untuk melepaskan segala perolehan.<219> Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan berusaha untuk melepaskan segala perolehan.’ Dengan cara demikianlah kalian harus berlatih.

3 (3) Menyebabkan Siksaan

“Para bhikkhu, ada dua hal ini yang menyebabkan siksaan. Apakah dua ini? Di sini, seseorang melibatkan diri dalam perilaku salah melalui jasmani tetapi tidak melibatkan diri dalam perilaku benar melalui jasmani; melibatkan diri dalam perilaku salah melalui ucapan tetapi tidak melibatkan diri dalam perilaku benar melalui ucapan; melibatkan diri dalam perilaku salah melalui pikiran tetapi tidak melibatkan diri dalam perilaku benar melalui pikiran. Ia menjadi tersiksa, [dengan berpikir]: ‘Aku telah melibatkan diri dalam perilaku salah melalui jasmani’; ia menjadi tersiksa, [dengan berpikir]: ‘Aku tidak melibatkan diri dalam perilaku benar melalui jasmani’; ia menjadi tersiksa, [dengan berpikir]: ‘Aku telah melibatkan diri dalam perilaku salah melalui ucapan; ia menjadi tersiksa, [dengan berpikir]: ‘Aku tidak melibatkan diri dalam perilaku benar melalui ucapan; ia menjadi tersiksa, [dengan berpikir]: ‘Aku telah melibatkan diri dalam perilaku salah melalui pikiran; Ia menjadi tersiksa, [dengan berpikir]: ‘Aku tidak melibatkan diri dalam perilaku benar melalui pikiran.’ Ini, para bhikkhu, adalah dua hal yang menyebabkan siksaan.<220>

4 (4) Tidak Menyebabkan Siksaan

“Para bhikkhu, ada dua hal ini yang tidak menyebabkan siksaan. Apakah dua ini? Di sini, seseorang melibatkan diri dalam perilaku benar melalui jasmani dan menghindari melibatkan diri dalam perilaku salah melalui jasmani; melibatkan diri dalam perilaku benar melalui ucapan dan menghindari melibatkan diri dalam perilaku salah melalui ucapan; melibatkan diri dalam perilaku benar melalui pikiran dan menghindari melibatkan diri dalam perilaku salah melalui pikiran. Ia tidak menjadi tersiksa, [dengan mengetahui]: ‘Aku telah melibatkan diri dalam perilaku benar melalui jasmani’; Ia tidak menjadi tersiksa, [dengan mengetahui]: ‘Aku telah menghindari melibatkan diri dalam perilaku salah melalui jasmani’; ia tidak menjadi tersiksa, [dengan mengetahui]: ‘Aku telah melibatkan diri dalam perilaku benar melalui ucapan’; ia tidak menjadi tersiksa, [dengan mengetahui]: ‘Aku telah menghindari melibatkan diri dalam perilaku salah melalui ucapan’; ia tidak menjadi tersiksa, [dengan mengetahui]: ‘Aku telah melibatkan diri dalam perilaku benar melalui pikiran’; ia tidak menjadi tersiksa, [dengan mengetahui]: ‘Aku telah menghindari melibatkan diri dalam perilaku salah melalui pikiran.’ Ini, para bhikkhu, adalah dua hal yang tidak menyebabkan siksaan.”

5 (5) Diketahui

“Para bhikkhu, Aku telah secara pribadi mengetahui dua hal: ketidak-puasan sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat dan tidak mengenal lelah dalam berusaha keras.<221> Aku berusaha dengan tidak mengenal lelah, [bertekad]: “Aku bertekad, biarlah hanya kulit, urat, dan tulang-belulangKu yang tersisa, dan biarlah daging dan darahKu mengering dalam tubuhku, tetapi Aku tidak akan mengendurkan kegigihanKu selama Aku belum mencapai apa yang dapat dicapai dengan kekuatan, kegigihan, dan pengerahan usaha manusia.’<222> Adalah dengan kesungguh-sungguhan maka Aku mencapai pencerahan, para bhikkhu; adalah dengan kesungguh-sungguhan maka Aku mencapai keamanan dari keterikatan yang tidak terlampaui.<223>

“Jika, para bhikkhu, kalian juga berusaha keras tanpa mengenal lelah [bertekad]: “Aku bertekad, biarlah hanya kulit, urat, dan tulang-belulangKu yang tersisa, dan biarlah daging dan darahKu mengering dalam tubuhku, tetapi Aku tidak akan mengendurkan kegigihanKu selama Aku belum mencapai apa yang dapat dicapai dengan kekuatan, kegigihan, dan pengerahan usaha manusia.’ Maka kalian juga akan, dalam waktu tidak lama, merealisasi untuk diri kalian sendiri dengan pengetahuan lagnsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang demi hal itu orang-orang dengan selayaknya meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, kalian akan berdiam di dalamnya. Oleh karena itu, para bhikkhu, maka kalian harus berlatih: ‘kami akan berusaha keras tanpa mengenal lelah, [bertekad]: “Aku bertekad, biarlah hanya kulit, urat, dan tulang-belulangKu yang tersisa, dan biarlah daging dan darahKu mengering dalam tubuhku, tetapi Aku tidak akan mengendurkan kegigihanKu selama Aku belum mencapai apa yang dapat dicapai dengan kekuatan, kegigihan, dan pengerahan usaha manusia.”’ Demikianlah kalian harus berlatih.

6 (6) Belenggu

“Para bhikkhu, ada dua hal ini. Apakah dua ini? Perenungan terhadap kepuasan dalam segala sesuatu yang dapat membelenggu dan perenungan terhadap kekecewaan dalam segala sesuatu yang dapat membelenggu.<224> Seseorang yang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam segala sesuatu yang dapat membelenggu [51] tidak meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Karena tidak meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, ia tidak terbebas dari kelahiran, dari penuaan dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, keputus-asaan, dan kesedihan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan. Seseorang yang berdiam dengan merenungkan kekecewaan dalam segala sesuatu yang dapat membelenggu akan meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Setelah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, ia terbebas dari kelahiran, dari penuaan dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, keputus-asaan, dan kesedihan; ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan. Ini, para bhikkhu, adalah dua hal itu.”

7 (7) Gelap

“Para bhikkhu, ada dua kualitas gelap ini. Apakah dua ini? Tanpa rasa malu bermoral dan tanpa rasa takut bermoral. Ini adalah dua kualitas gelap.”

8 (8 )Terang

“Para bhikkhu, ada dua kualitas terang ini. Apakah dua ini? rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral.<225> Ini adalah dua kualitas terang.”

9 (9) Perilaku

“Para bhikkhu, kedua kualitas terang ini melindungi dunia. Apakah dua ini? rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral. Jika kedua kualitas terang ini tidak melindungi dunia, maka tidak akan terlihat di sini [pengendalian apa pun sehubungan dengan] ibu  dan bibi seseorang, atau para istri dari para guru seseorang dan orang-orang [lainnya] yang dihormati.<226> Dunia akan menjadi tempat perilaku seksual yang tidak pandang bulu, seperti kambing dan domba, ayam dan babi, anjing dan serigala. Tetapi karena kedua kualitas terang ini melindungi dunia, maka di sini terlihat [pengendalian sehubungan dengan] ibu dan bibi seseorang, atau para istri dari para guru seseorang, dan orang-orang [lainnya] yang dihormati.”

10 (10) Memasuki Musim Hujan

“Para bhikkhu, ada dua [waktu] ini untuk memasuki musim hujan.<227> Apakah dua ini? yang pertama dan yang ke dua. Ini adalah dua [waktu] untuk memasuki musim hujan.” [52]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DUA
« Reply #2 on: 04 January 2013, 03:05:15 PM »
II. PERSOALAN DISIPLIN

11 (1)

“Para bhikkhu, ada dua kekuatan ini. Apakah dua ini? kekuatan perenungan dan kekuatan pengembangan.

“Dan apakah kekuatan perenungan? Di sini, seseorang merenungkan sebagai berikut: ‘Perbuatan buruk melalui jasmani memiliki akibat yang buruk<228> dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang; Perbuatan buruk melalui ucapan memiliki akibat yang buruk dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang; Perbuatan buruk melalui pikiran memiliki akibat yang buruk dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang.’ Setelah merenungkan demikian, ia meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia mempertahankan dirinya dalam kemurnian. Ini disebut kekuatan perenungan.

“Dan apakah kekuatan pengembangan? Kekuatan pengembangan adalah kekuatan mereka yang masih berlatih.<229> Karena dengan mengandalkan kekuatan dari seorang yang masih berlatih, maka ia meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Setelah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, maka ia tidak melakukan apa pun yang tidak bermanfaat; ia tidak mengejar apa pun yang buruk. Ini disebut kekuatan pengembangan.

“Ini, para bhikkhu, adalah dua kekuatan.”

12 (2)

“Para bhikkhu, ada dua kekuatan ini. Apakah dua ini? kekuatan perenungan dan kekuatan pengembangan.

“Dan apakah kekuatan perenungan? Di sini, seseorang merenungkan sebagai berikut: ‘Perbuatan buruk melalui jasmani memiliki akibat yang buruk dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang; Perbuatan buruk melalui ucapan memiliki akibat yang buruk dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang; Perbuatan buruk melalui pikiran memiliki akibat yang buruk dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang.’ Setelah merenungkan demikian, ia meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia mempertahankan dirinya dalam kemurnian. Ini disebut kekuatan perenungan.

“Dan apakah kekuatan perenungan? Di sini, [53] seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian yang berdasarkan keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang dalam kebebasan. Ia mengembangkan faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan sukacita … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan yang berdasarkan keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang dalam kebebasan. Ini disebut kekuatan pengembangan.

“Ini, para bhikkhu, adalah dua kekuatan.”

13 (3)

“Para bhikkhu, ada dua kekuatan ini. Apakah dua ini? kekuatan perenungan dan kekuatan pengembangan.

“Dan apakah kekuatan perenungan? Di sini, seseorang merenungkan sebagai berikut: ‘Perbuatan buruk melalui jasmani memiliki akibat yang buruk dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang; Perbuatan buruk melalui ucapan memiliki akibat yang buruk dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang; Perbuatan buruk melalui pikiran memiliki akibat yang buruk dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang.’ Setelah merenungkan demikian, ia meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia mempertahankan dirinya dalam kemurnian. Ini disebut kekuatan perenungan.

“Dan apakah kekuatan perenungan? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksanaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran dan dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan tanpa pemeriksaan. Dengan meluruhnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, dengan penuh perhatian dan pemahaman jernih, ia mengalami kenikmatan dengan tubuhnya; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, yang memiliki pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Ini disebut kekuatan pengembangan.

“Ini, para bhikkhu, adalah dua kekuatan.”

14 (4)

“Para bhikkhu, Sang Tathāgata memiliki dua jenis pengajaran Dhamma ini. Apakah dua ini? Secara ringkas dan secara terperinci.<230> Sang Tathāgata memiliki dua jenis pengajaran Dhamma ini.”

15 (5)

“Para bhikkhu, jika, sehubungan dengan persoalan disiplin tertentu,<231> bhikkhu yang telah melakukan suatu pelanggaran dan bhikkhu yang menegurnya masing-masing tidak merefleksikan diri mereka, maka dapat diharapkan bahwa persoalan disiplin ini [54] akan mengarah pada kesengitan dan permusuhan dalam waktu yang lama dan para bhikkhu tidak dapat berdiam dengan nyaman. Tetapi jika bhikkhu yang telah melakukan suatu pelanggaran dan bhikkhu yang menegurnya masing-masing dengan seksama merefleksikan diri mereka, maka dapat diharapkan bahwa persoalan disiplin ini tidak akan mengarah pada kesengitan dan permusuhan dalam waktu yang lama dan para bhikkhu dapat berdiam dengan nyaman.

“Dan bagaimanakah bhikkhu yang telah melakukan suatu pelanggaran merefleksikan dirinya dengan seksama? Di sini, bhikkhu yang telah melakukan suatu pelanggaran merefleksikan sebagai berikut: ‘Aku telah melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani.<232> Bhikkhu itu melihatku melakukan hal itu. Jika aku tidak melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani, maka ia tidak akan melihatku melakukan hal itu. Tetapi karena aku telah melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani, maka ia melihatku melakukan hal itu. Ketika ia melihatku melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani, maka ia menjadi tidak senang. Karena tidak senang, maka ia mengungkapkan ketidak-senangannya kepadaku. Karena ia mengungkapkan ketidak-senangannya kepadaku, maka aku menjadi tidak senang. Karena tidak senang, maka aku memberitahukan kepada orang lain. Demikianlah dalam hal ini adalah aku yang menimbulkan pelanggaran, seperti halnya apa yang dilakukan oleh seorang pelancong ketika ia menghindari pembayaran pajak atas barang-barang belanjaannya.’<233> Adalah dengan cara ini bhikkhu itu yang telah melakukan pelanggaran merefleksikan dirinya dengan seksama.

“Dan bagaimanakah bhikkhu yang menegur merefleksikan dirinya dengan seksama? Di sini, bhikkhu yang menegur merefleksikan sebagai berikut: ‘Bhikkhu ini telah melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani. Aku melihatnya melakukan hal itu. Jika bhikkhu ini tidak melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani, maka aku tidak akan melihatnya melakukan hal itu. [55] Tetapi karena ia melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani, maka aku melihatnya melakukan hal itu. Ketika aku melihatnya melakukan melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani, aku menjadi tidak senang. Karena tidak senang, maka aku mengungkapkan ketidak-senanganku kepadanya.<234>  Karena aku mengungkapkan ketidak-senanganku kepadanya, maka ia menjadi tidak senang. Karena tidak senang, maka ia memberitahukan kepada orang lain. Demikianlah dalam hal ini adalah aku yang menimbulkan pelanggaran, seperti halnya apa yang dilakukan oleh seorang pelancong ketika ia menghindari pembayaran pajak atas barang-barang belanjaannya.’ Adalah dengan cara ini bhikkhu yang menegur merefleksikan dirinya dengan seksama.

“Jika, para bhikkhu, sehubungan dengan persoalan disiplin tertentu, bhikkhu yang telah melakukan suatu pelanggaran dan bhikkhu yang menegurnya masing-masing tidak merefleksikan diri mereka, maka dapat diharapkan bahwa persoalan disiplin ini akan mengarah pada kesengitan dan permusuhan dalam waktu yang lama dan para bhikkhu tidak dapat berdiam dengan nyaman. Tetapi jika bhikkhu yang telah melakukan suatu pelanggaran dan bhikkhu yang menegurnya masing-masing dengan seksama merefleksikan diri mereka, maka dapat diharapkan bahwa persoalan disiplin ini tidak akan mengarah pada kesengitan dan permusuhan dalam waktu yang lama dan para bhikkhu dapat berdiam dengan nyaman.”

16 (6)

Seorang brahmana tertentu mendatangi Sang Bhagavā dan bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengapakah, Guru Gotama, beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka?”

“Adalah, brahmana, karena perilaku yang berlawanan dengan Dhamma, perilaku tidak baik, maka beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.”<235>

“Tetapi mengapakah, Guru Gotama, beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga?”

“Adalah, brahmana, karena perilaku yang selaras dengan Dhamma, perilaku yang baik, [56] maka beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

17 (7)

Brahmana Jāṇussoṇī mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengapakah, Guru Gotama, beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka?”

“Adalah, brahmana, karena apa yang telah mereka lakukan dan apa yang tidak mereka lakukan maka beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.”

“Mengapakah, Guru Gotama, beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga?”

“Adalah, brahmana, karena apa yang telah mereka lakukan dan apa yang tidak mereka lakukan maka beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.”<236>

“Aku tidak memahami secara terperinci makna dari pernyataan yang Guru Gotama ucapkan secara ringkas tanpa menganalisis maknanya secara terperinci. Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan Dhamma kepadaku sehingga aku dapat memahami makna dari pernyataan ini secara terperinci.”

“Baiklah, brahmana, dengarkan dan perhatikanlah dengan seksama, Aku akan berbicara.” [57]

“Baik, Tuan,” Brahmana Jāṇussoṇī menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Di sini, brahmana, seseorang telah melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, tidak melakukan perbuatan baik melalui jasmani; ia telah melakukan perbuatan buruk melalui ucapan, tidak melakukan perbuatan baik melalui ucapan; ia telah melakukan perbuatan buruk melalui pikiran, tidak melakukan perbuatan baik melalui pikiran. Demikianlah, adalah karena apa yang telah dilakukan dan apa yang tidak dilakukan maka beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Tetapi beberapa makhluk di sini yang telah melakukan perbuatan baik melalui jasmani, tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani; ia telah melakukan perbuatan baik melalui ucapan, tidak melakukan perbuatan buruk melalui ucapan; ia telah melakukan perbuatan baik melalui pikiran, tidak melakukan perbuatan buruk melalui pikiran. Demikianlah, adalah karena apa yang telah dilakukan dan apa yang tidak dilakukan maka beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, , terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … [seperti pada 2:16] … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

18 (8 )

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Aku tegaskan, Ānanda, perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan, dan perbuatan buruk melalui pikiran adalah tidak boleh dilakukan.”

“Karena, Bhante, Sang Bhagavā telah menyatakan dengan tegas bahwa perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan, dan perbuatan buruk melalui pikiran adalah tidak boleh dilakukan, maka bahaya apakah yang menanti dalam perbuatan demikian?”

“Ānanda, Aku telah menyatakan dengan tegas bahwa perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan, dan perbuatan buruk melalui pikiran adalah tidak boleh dilakukan karena dengan melakukan demikian maka bahaya ini menanti: ia menyalahkan dirinya sendiri; para bijaksana, setelah menyelidiki, akan mencelanya; berita buruk meyebar sehubungan dengan dirinya; ia meninggal dunia dengan tidak tenang, dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Aku telah menyatakan dengan tegas bahwa perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan, dan perbuatan buruk melalui pikiran adalah tidak boleh dilakukan karena dengan melakukan demikian maka bahaya ini menanti.

“Aku tegaskan, Ānanda, [58] perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran adalah harus dilakukan.”

“Karena, Bhante, Sang Bhagavā telah menyatakan dengan tegas bahwa perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran adalah harus dilakukan, maka manfaat apakah yang menanti dalam perbuatan demikian?”

“Ānanda, Aku telah menyatakan dengan tegas bahwa perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran adalah harus dilakukan karena dengan melakukan demikian maka manfaat ini menanti: ia tidak menyalahkan dirinya sendiri; para bijaksana, setelah menyelidiki, akan memujinya; ia memperoleh reputasi baik; ia meninggal dunia dengan tenang; dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Aku telah menyatakan dengan tegas bahwa perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran adalah harus dilakukan karena dengan melakukan demikian maka manfaat ini menanti.”

19 (9)

“Para bhikkhu, tinggalkanlah apa yang tidak bermanfaat! Adalah mungkin untuk meninggalkan apa yang tidak bermanfaat. Jika tidak mungkin untuk meninggalkan apa yang tidak bermanfaat, maka Aku tidak akan mengatakan: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah apa yang tidak bermanfaat!’ Tetapi karena adalah mungkin untuk meninggalkan apa yang tidak bermanfaat, maka Aku mengatakan: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah apa yang tidak bermanfaat!’ jika dengan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dapat mengarah pada bahaya dan penderitaan, maka aku tidak akan menyuruh kalian untuk meninggalkannya. Tetapi karena dengan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dapat mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan, maka Aku mengatakan: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah apa yang tidak bermanfaat!’

“Para bhikkhu, kembangkanlah apa yang bermanfaat! Adalah mungkin untuk mengembangkan apa yang bermanfaat. Jika tidak mungkin untuk mengembangkan apa yang bermanfaat, maka Aku tidak akan mengatakan: ‘Para bhikkhu, kembangkanlah apa yang bermanfaat!’ Tetapi karena adalah mungkin untuk mengembangkan apa yang bermanfaat, maka aku mengakatan: ‘Para bhikkhu, kembangkanlah apa yang bermanfaat!’ Jika dengan mengembangkan apa yang bermanfaat ini dapat mengarah pada bahaya dan penderitaan, maka aku tidak akan menyuruh kalian untuk mengembangkannya. Tetapi karena dengan mengembangkan apa yang bermanfaat dapat mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan, maka Aku mengatakan: ‘Para bhikkhu, kembangkanlah apa yang bermanfaat!’”

20 (10) <237>

“Para bhikkhu, ada dua hal yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati. Apakah dua ini? [59] Kata-kata dan frasa-frasa yang dicatat dengan buruk dan makna yang diinterpretasikan dengan buruk.<238> Ketika kata-kata dan frasa-frasa dicatat dengan buruk, maka makna akan diinterpretasikan dengan buruk. Kedua hal ini mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Para bhikkhu, ada dua hal yang mengarah pada ketidak-munduran dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati. Apakah dua ini? Kata-kata dan frasa-frasa yang dicatat dengan baik dan makna yang diinterpretasikan dengan baik.<239> Ketika kata-kata dan frasa-frasa dicatat dengan baik, maka makna akan diinterpretasikan dengan baik. Kedua hal ini mengarah pada ketidak-munduran dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.”
« Last Edit: 04 January 2013, 03:10:00 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DUA
« Reply #3 on: 04 January 2013, 03:08:00 PM »
III. ORANG-ORANG DUNGU

21 (1)

“Para bhikkhu, ada dua jenis orang dungu. Apakah dua ini? Seorang yang tidak melihat pelanggarannya sebagai suatu pelanggaran dan seorang yang tidak, menurut Dhamma, menerima pelanggaran dari orang yang mengakui pelanggarannya. Ini adalah dua jenis orang dungu.<240>

“Para bhikkhu, ada dua jenis orang bijaksana ini. Apakah dua ini? Seorang yang melihat pelanggarannya sebagai suatu pelanggaran dan seorang yang, menurut Dhamma, menerima pelanggaran dari orang yang mengakui pelanggarannya. Ini adalah dua jenis orang bijaksana.”

22 (2)

“Para bhikkhu, kedua orang ini salah merepresentasikan Sang Tathāgata. Dua yang manakah? Seorang yang penuh kebencian dan memendam kebencian dan seorang yang berkeyakinan karena kesalah-pahamannya. Kedua ini salah merepresentasikan Sang Tathāgata.”<241>

23 (3) <242>

“Para bhikkhu, kedua orang ini salah merepresentasikan Sang Tathāgata. Dua yang manakah? [60] Seorang yang menjelaskan apa yang tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai telah dinyatakan dan diucapkan oleh Beliau, dan seorang yang menjelaskan apa yang telah dinyatakan dan diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Beliau. Kedua orang ini salah merepresentasikan Sang Tathāgata.

“Para bhikkhu, kedua orang ini tidak salah merepresentasikan Sang Tathāgata. Dua yang manakah? Seorang yang menjelaskan apa yang tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Beliau, dan seorang yang menjelaskan apa yang telah dinyatakan dan diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai dinyatakan dan diucapkan oleh Beliau. Kedua orang ini tidak salah merepresentasikan Sang Tathāgata.

24 (4)

“Para bhikkhu, kedua orang ini salah merepresentasikan Sang Tathāgata. Dua yang manakah? Seorang yang menjelaskan sebuah khotbah yang maknanya memerlukan interpretasi sebagai sebuah khotbah yang maknanya eksplisit, dan seorang yang menjelaskan sebuah khotbah yang maknanya eksplisit sebagai sebuah khotbah yang maknanya memerlukan interpretasi. Kedua ini salah merepresentasikan Sang Tathāgata.”<243>

25 (5)

“Para bhikkhu, kedua orang ini tidak salah merepresentasikan Sang Tathāgata. Dua yang manakah? Seorang yang menjelaskan sebuah khotbah yang maknanya memerlukan interpretasi sebagai sebuah khotbah yang maknanya memerlukan interpretasi, dan seorang yang menjelaskan sebuah khotbah yang maknanya eksplisit sebagai sebuah khotbah yang maknanya eksplisit. Kedua ini tidak salah merepresentasikan Sang Tathāgata.”

26 (6)

“Para bhikkhu, bagi seorang dengan perbuatan-perbuatan yang disembunyikan maka salah satu dari kedua takdir ini menanti: neraka atau alam binatang.<244>

“Bagi bagi seorang dengan perbuatan-perbuatan yang tidak disembunyikan maka salah satu dari kedua takdir ini menanti: alam deva atau alam manusia.”

27 (7) <245>

“Para bhikkhu, bagi seorang yang menganut pandangan salah maka salah satu dari kedua takdir ini menanti: neraka atau alam binatang.”

28 (8 )

“Para bhikkhu, bagi seorang yang menganut pandangan benar maka salah satu dari kedua takdir ini menanti: alam deva atau alam manusia.”

29 (9)

“Para bhikkhu, bagi seorang yang tidak bermoral maka ada dua penampung:<246> neraka atau alam binatang. Bagi seorang yang bermoral, maka ada dua penampung: alam deva atau alam manusia.”

30 (10)

“Para bhikkhu, dengan melihat dua keuntungan, Aku mendatangi tempat-tempat tinggal yang terpencil di dalam hutan-hutan dan taman-taman.<247> Apakah dua ini? Bagi diriKu Aku melihat kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini [61] dan Aku memiliki belas kasihan terhadap generasi mendatang.<248> Dengan melihat dua keuntungan ini, Aku mendatangi tempat-tempat tinggal yang terpencil di dalam hutan-hutan dan taman-taman.”

31 (11)

“Para bhikkhu, kedua hal ini berhubungan dengan pengetahuan sejati.<249> Apakah dua ini? Ketenangan dan pandangan terang. Ketika ketenangan terkembang, manfaat apakah yang dialami seseorang? Pikirannya terkembang. Ketika pikirannya terkembang, manfaat apakah yang ia alami? Nafsu ditinggalkan. Ketika pandangan terang terkembang, manfaat apakah yang ia alami? Kebijaksanaan terkembang. Ketika kebijaksanaan terkembang, manfaat apakah yang ia alami? Ketidak-tahuan ditinggalkan.<250>

“Pikiran yang dikotori oleh nafsu adalah tidak terbebaskan, dan kebijaksanaan yang dikotori oleh ketidak-tahuan adalah tidak terkembang. Demikianlah, para bhikkhu, melalui meluruhnya nafsu maka ada kebebasan pikiran, dan melalui meluruhnya ketidak-tahuan maka ada kebebasan melalui kebijaksanaan.”<251>
« Last Edit: 04 January 2013, 03:10:28 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DUA
« Reply #4 on: 04 January 2013, 03:08:20 PM »
IV. BERPIKIRAN SAMA

32 (1)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang bidang orang jahat dan bidang orang baik. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah bidang orang jahat? Seorang yang jahat tidak bersyukur dan tidak berterima kasih. Karena tidak bersyukur dan tidak berterima kasih dipuji oleh orang jahat. Tidak bersyukur dan tidak berterima kasih seluruhnya merupakan bidang orang jahat.

“Dan apakah bidang orang baik? Seorang yang baik bersyukur dan berterima kasih. Karena bersyukur dan berterima kasih dipuji oleh orang baik. Bersyukur dan berterima kasih seluruhnya merupakan bidang orang baik.”

33 (2)

“Para bhikkhu, ada dua individu yang tidak dapat dengan mudah dibalas. Apakah dua ini? Ibu dan ayah seseorang.

“Bahkan jika seseorang menggendong ibunya di satu bahunya [62] dan ayahnya di bahu lainnya, dan [selagi ia melakukan demikian] ia memiliki umur kehidupan selama seratus tahun, dan hidup selama seratus tahun; dan jika seseorang melayani mereka dengan cara meminyaki mereka dengan balsam, dengan cara memijat mereka, memandikan mereka, dan menggosok bagian-bagian tubuh mereka, dan mereka bahkan membuang kotoran dan air kencing mereka di sana, seseorang masih tetap belum cukup melakukan untuk kedua orang tuanya, juga belum membalas mereka. Bahkan jika seseorang mengangkat orang tuanya menjadi raja tertinggi dan penguasa di seluruh penjuru bumi ini yang berlimpah dengan tujuh pusaka, seseorang tetap masih belum cukup melakukan untuk kedua orang tuanya, juga belum membalas mereka. Karena alasan apakah? Orang tua adalah bantuan besar bagi anak-anak mereka; mereka membesarkan anak-anak mereka, memberi mereka makan, dan menunjukkan dunia ini kepada mereka.

“Tetapi, para bhikkhu, jika orang tua seseorang tidak berkeyakinan, ia mendorong, memantapkan, dan menegakkan mereka dalam keyakinan; jika, orang tua seseorang tidak bermoral, ia mendorong, memantapkan, dan menegakkan mereka dalam perilaku bermoral; jika orang tua seseorang adalah orang-orang kikir, ia mendorong, memantapkan, dan menegakkan mereka dalam kedermawanan; jika orang tua seseorang tidak bijaksana, ia mendorong, memantapkan, dan menegakkan mereka dalam kebijaksanaan: maka dalam cara demikian, seseorang telah cukup melakukan untuk orang tuanya, membalas mereka, dan melakukan lebih dari cukup untuk mereka.”<252>

34 (3)

Seorang brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Apakah yang Guru Gotama ajarkan, apakah yang Beliau nyatakan?”

“Brahmana, Aku mengajarkan doktrin perbuatan dan doktrin tidak-berbuat.”<253>

“Tetapi dengan cara bagaimanakah Guru Gotama mengajarkan doktrin perbuatan dan doktrin tidak-berbuat?”

“Aku mengajarkan tidak-berbuat sehubungan dengan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; Aku mengajarkan tidak-berbuat sehubungan dengan banyak jenis kualitas buruk yang tidak bermanfaat. Aku mengajarkan berbuat sehubungan dengan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; Aku mengajarkan berbuat sehubungan dengan banyak jenis kualitas baik yang bermanfaat. Adalah dengan cara ini, Brahmana, Aku mengajarkan doktrin perbuatan dan doktrin tidak berbuat.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

35 (4)

Perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā, [63] bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Siapakah di dunia ini, Bhante, yang layak menerima persembahan, dan ke manakah suatu pemberian diberikan?”

“Ada, perumah tangga, dua di dunia ini yang layak menerima persembahan: yang masih berlatih dan yang melampaui latihan.<254> Ini adalah dua di dunia ini yang layak menerima persembahan, dan ke mana suatu pemberian diberikan.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih jauh lagi mengatakan sebagai berikut:

“Di dunia ini, yang masih berlatih dan yang melampaui latihan
Adalah layak menerima pemberian dari mereka yang mempraktikkan kedermawanan;
Jujur dalam jasmani, ucapan, dan pikiran,
Mereka adalah lahan bagi mereka yang mempraktikkan kedermawanan;
Apa yang diberikan kepada mereka menghasilkan buah besar.”

36 (5)

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta sedang menetap di Sāvatthī di Istana Migāramātā di Taman Timur. Di sana Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”<255>

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Teman-teman, aku akan mengajarkan kepada kalian tentang orang yang terbelenggu secara internal dan orang yang terbelenggu secara eksternal.<256> Dengarkan dan perhatikanlah, aku akan berbicara.”

“Baik, Teman,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Dan siapakah, teman-teman, orang yang terbelenggu secara internal? Di sini, seorang bhikkhu adalah bermoral; ia berdiam terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya bahkan dalam pelanggaran terkecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali dalam kelompok para deva tertentu. Meningggal dunia dari sana, ia adalah seorang yang-kembali, seorang yang kembali pada kondisi makhluk ini. Ia disebut orang yang terbelenggu secara internal, yang adalah seorang yang-kembali, seorang yang kembali pada kondisi makhluk ini.<257> [64]

“Dan siapakah, teman, seorang yang terbelenggu secara eksternal? Di sini, seorang bhikkhu adalah bermoral; ia berdiam terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya bahkan dalam pelanggaran terkecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Setelah memasuki suatu kebebasan pikiran tertentu yang damai, ia berdiam di dalamnya.<258> Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali dalam kelompok para deva tertentu. Meningggal dunia dari sana, ia adalah seorang yang-tidak-kembali, seorang yang tidak kembali pada kondisi makhluk ini. Ia disebut orang yang terbelenggu secara eksternal, yang adalah seorang yang-tidak-kembali, seorang yang tidak kembali pada kondisi makhluk ini.<259>

”Kemudian, teman-teman, seorang bhikkhu adalah bermoral … Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Ia mempraktikkan kekecewaan pada kenikmatan indria, mempraktikkan kebosanan terhadapnya, dan mempraktikkan lenyapnya.<260> Ia mempraktikkan kekecewaan pada kondisi-kondisi penjelmaan, mempraktikkan kebosanan terhadapnya, dan mempraktikkan lenyapnya.<261> Ia mempraktikkan hancurnya ketagihan. Ia mempraktikkan hancurnya keserakahan.<262> Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali dalam kelompok para deva tertentu. Meningggal dunia dari sana, ia adalah seorang yang-tidak-kembali, seorang yang tidak kembali pada kondisi makhluk ini. Ia disebut orang yang terbelenggu secara eksternal, yang adalah seorang yang-tidak-kembali, seorang yang tidak kembali pada kondisi makhluk ini.”<263>

Kemudian sejumlah para dewa yang berpikiran sama<264> mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Bhante, di Istana Migāramātā di Taman Timur, Yang Mulia Sāriputta sedang mengajarkan kepada para bhikkhu tentang orang yang terbelenggu secara internal dan orang yang terbelenggu secara eksternal. Kelompok itu tergetar. Baik sekali, Bhante, jika Sang Bhagavā sudi mendatangi Yang Mulia Sāriputta demi belas kasihan.”<265> Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri.

Kemudian, bagaikan seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sang Bhagava lenyap dari Hutan Jeta dan muncul kembali di Istana Migāramātā di Taman Timur di hadapan Yang Mulia Sāriputta. Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Yang Mulia Sāriputta [65] bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta.

“Di sini, Sāriputta, sejumlah para dewa yang berpikiran sama mendatangiKu, bersujud kepadaKu, berdiri di satu sisi, dan berkata: ‘Bhante, di Istana Migāramātā di Taman Timur, Yang Mulia Sāriputta sedang mengajarkan kepada para bhikkhu tentang orang yang terbelenggu secara internal dan orang yang terbelenggu secara eksternal. Kelompok itu tergetar. Baik sekali, Bhante, jika Sang Bhagavā sudi mendatangi Yang Mulia Sāriputta demi belas kasihan.’

“Para dewa itu – berjumlah sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, lima puluh, dan bahkan enam puluh – berdiri di suatu bidang yang berukuran sekecil ujung jarum namun tidak saling bersinggungan satu sama lain. Mungkin, Sāriputta, engkau berpikir: ‘Pasti, para dewa itu mengembangkan pikiran mereka sedemikian sehingga sepuluh … dan bahkan berjumlah enam puluh berdiri di satu bidang sekecil ujung jarum namun tidak saling bersinggungan satu sama lain.’ Tetapi hal ini tidak boleh dianggap demikian. Sebaliknya, adalah di sini para dewa itu yang terkembang pikirannya sedemikian sehingga sepuluh … dan bahkan berjumlah enam puluh berdiri di satu bidang sekecil ujung jarum namun tidak saling bersinggungan satu sama lain.<266>

“Oleh karena itu, Sāriputta, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memiliki organ-organ indria yang damai dan pikiran yang damai.’<267> Dengan cara demikianlah engkau harus berlatih. Ketika engkau memiliki organ-organ indria yang damai dan pikiran-pikiran yang damai, maka perbuatan jasmanimu akan menjadi damai, perbuatan ucapanmu akan menjadi damai, dan perbuatan pikiranmu akan menjadi damai. [Dengan berpikir:] ‘Kami akan memberikan hanya pelayanan yang damai kepada teman-teman kami para bhikkhu,’ dengan cara demikianlah, Sāriputta, engkau harus berlatih. Sāriputta, para pengembara sekte lain tersesat yang tidak mendengar khotbah Dhamma ini.”

37 (6)

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Mahākaccāna sedang menetap di Varaṇā di tepi danau Kaddama. [66] Kemudian Brahmana Ārāmadaṇḍa mendatangi Yang Mulia Mahākaccāna dan bertukar sapa dengannya. Ketika mereka mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya: “Mengapakah, Guru Kaccāna, para khattiya berselisih dengan para khattiya, para brahmana dengan para brahmana, dan para perumah tangga dengan para perumah tangga?”

“Adalah, brahmana, karena keterikatan pada nafsu akan kenikmatan indria, terbelenggu [padanya], perasaan mendalam [padanya], obsesi [padanya], menggenggam erat-erat [padanya],<268> maka para khattiya berselisih dengan para khattiya, para brahmana dengan para brahmana, dan para perumah tangga dengan para perumah tangga.”

“Mengapakah, Guru Kaccāna, para petapa berselisih dengan para petapa?”

“Adalah, brahmana, karena keterikatan pada nafsu akan pandangan-pandangan, terbelenggu [padanya], perasaan mendalam [padanya], obsesi [padanya], menggenggam erat-erat [padanya], maka para petapa berselisih dengan para petapa.”

“Kalau begitu adakah seseorang di dunia ini yang telah mengatasi keterikatan pada nafsu akan kenikmatan indria … menggenggam erat-erat [padanya], dan pada nafsu akan pandangan-pandangan … menggenggam erat-erat [padanya]?”

“Ada”

“Dan siapakah itu?”

“Ada, brahmana, sebuah kota di sebelah timur yang disebut Sāvatthi. Di sana Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna sedang menetap sekarang. Sang Bhagavā telah mengatasi keterikatan pada nafsu akan kenikmatan indria, belenggu [padanya], perasaan mendalam [padanya], obsesi [padanya], genggaman erat [padanya], [67] dan ia telah mengatasi keterikatan pada nafsu akan pandangan-pandangan, belenggu [padanya], perasaan mendalam [padanya], obsesi [padanya], genggaman erat [padanya].”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Ārāmadaṇḍa bangkit dari duduknya, merapikan jubah atasnya di satu bahunya, merendahkan lututnya menyentuh tanah, dengan penuh hormat menyembah ke arah di mana Sang Bhagavā berada, dan mengucapkan ucapan inspiratif ini tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Sungguh, Sang Bhagavā itu telah mengatasi keterikatan pada nafsu akan kenikmatan indria, belenggu [padanya], perasaan mendalam [padanya], obsesi [padanya], genggaman erat [padanya] ini, dan Beliau telah mengatasi karena keterikatan pada nafsu akan pandangan-pandangan, belenggu [padanya], perasaan mendalam [padanya], obsesi [padanya], genggaman erat [padanya] ini.

“Bagus sekali, Guru Kaccāna! Bagus sekali, Guru Kaccāna! Guru Kaccāna telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Guru Kaccāna, Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Kaccāna menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

38 (7)

Pada suatu ketika Yang Mulia Mahākaccāna sedang menetap di Madhurā si Hutan Gundā. Kemudian Brahmana Kaṇḍarāyana mendatangi Yang Mulia Mahākaccāna dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya:

“Aku mendengar, Guru Kaccāna: ‘Petapa Kaccāna tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; engkau juga tidak bangkit untuk mereka dan menawarkan tempat duduk kepada mereka.’ Hal ini sesungguhnya benar, karena Guru Kaccāna tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; ia juga tidak bangkit untuk mereka dan menawarkan tempat duduk kepada mereka. Hal ini tidak selayaknya, Guru Kaccāna.”<269>

“Brahmana, Sang Bhagavā, Sang Arahant, [68] Yang Tercerahkan Sempurna, yang mengetahui dan melihat, telah menyatakan tahap ketuaan dan tahap kemudaan. Walaupun seseorang berusia tua – delapan puluh, sembilan puluh, atau seratus tahun sejak lahir – jika ia menikmati kenikmatan indria, berdiam dalam kenikmatan indria,<270> terbakar oleh demam kenikmatan indria, termakan oleh pikiran-pikiran kenikmatan indria, bersemangat dalam mencari kenikmatan indria, maka ia dianggap sebagai seorang tua dungu [yang kekanak-kanakan]. Tetapi walaupun seseorang berusia muda, seorang pemuda berambut hitam, memiliki berkah kemudaan, dalam tahap utama kehidupan, jika ia tidak menikmati kenikmatan indria, tidak berdiam dalam kenikmatan indria, tidak terbakar oleh demam kenikmatan indria, tidak termakan oleh pikiran-pikiran kenikmatan indria, tidak bersemangat dalam mencari kenikmatan indria, maka ia dianggap sebagai seorang sepuh bijaksana.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Kaṇḍarāyana bangkit dari duduknya, merapikan jubah atasnya di satu bajunya, dan bersujud dengan kepalanya di kaki para bhikkhu muda, [dengan berkata]: “Kalian yang sepuh berada pada tahap seorang yang sepuh; kami yang muda berada pada tahap seorang pemuda.

“Bagus sekali, Guru Kaccāna! … [seperti pada 2:37] … Sudilah Guru Kaccāna menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

39 (8 )

“Para bhikkhu, ketika para perampok menjadi kuat, maka raja-raja menjadi lemah. Pada saat itu raja-raja tidak tenang ketika memasuki [ibu kotanya], atau ketika pergi keluar, atau ketika bepergian ke provinsi-provinsi jauh. Pada saat itu para brahmana dan para perumah tangga tidak tenang ketika memasuki [pemukiman-pemukiman dan desa-desa mereka], atau ketika pergi ke luar, atau ketika melakukan pekerjaan mereka di luar.

“Demikian pula, ketika para bhikkhu jahat menjadi kuat, maka para bhikkhu berperilaku baik menjadi lemah. Pada saat itu para bhikkhu berperilaku baik duduk diam di tengah-tengah Saṅgha<271> atau mereka mendatangi<272> provinsi-provinsi jauh. Hal ini menimbulkan bahaya bagi banyak orang, menimbulkan ketidak-bahagiaan banyak orang, menimbulkan kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia. [69]

“Para bhikkhu, ketika raja-raja menjadi kuat, maka para perampok menjadi lemah. Pada saat itu raja-raja dengan tenang ketika memasuki [ibu kotanya], atau ketika pergi keluar, atau ketika bepergian ke provinsi-provinsi jauh. Pada saat itu para brahmana dan para perumah tangga, juga, dengan tenang ketika memasuki [pemukiman-pemukiman dan desa-desa mereka], atau ketika pergi ke luar, atau ketika melakukan pekerjaan mereka di luar.

“Demikian pula, ketika para bhikkhu berperilaku baik menjadi kuat, maka para bhikkhu jahat menjadi lemah. Pada saat itu para bhikkhu berperilaku baik duduk diam di tengah-tengah Saṅgha atau mereka pergi ke wilayah-wilayah lain.<273> Hal ini adalah demi kesejahteraan bagi banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia.”

40 (9) <274>

“Para bhikkhu, Aku tidak memuji praktik keliru dari dua [jenis orang]: seorang umat awam dan seorang yang meninggalkan keduniawian [menuju kehidupan tanpa rumah]. Apakah ia adalah seorang umat awam atau seorang yang meninggalkan keduniawian yang mempraktikkan dengan keliru, karena praktik keliru, maka mereka tidak mencapai jalan sejati, Dhamma yang bermanfaat.<275>

“Para bhikkhu, Aku memuji praktik benar dari dua [jenis orang]: seorang umat awam dan seorang yang meninggalkan keduniawian. Apakah ia adalah seorang umat awam atau seorang yang meninggalkan keduniawian yang mempraktikkan dengan benar, karena praktik benar, maka mereka mencapai jalan sejati, Dhamma yang bermanfaat.”

41 (10)

“Para bhikkhu, para bhikkhu itu yang mengabaikan makna dan Dhamma melalui khotbah-khotbah yang diperoleh dengan tidak benar yang kata-katanya mirip dengan [kata-kata yang sebenarnya]<276> bertindak demi bahaya bagi banyak orang, demi ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, deva dan manusia. Para bhikkhu ini mengumpulkan banyak keburukan dan menyebabkan lenyapnya Dhamma sejati.

“Para bhikkhu, para bhikkhu itu yang selaras dengan makna dan Dhamma dengan khotbah-khotbah yang diperoleh dengan benar yang kata-katanya bukan [sekedar] kemiripan<277> bertindak demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia. Para bhikkhu itu mengumpulkan banyak jasa dan mempertahankan Dhamma sejati.” [70]
« Last Edit: 04 January 2013, 03:10:51 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DUA
« Reply #5 on: 04 January 2013, 03:09:14 PM »
V. KUMPULAN-KUMPULAN

42 (1)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan. Apakah dua ini? Kumpulan dangkal dan kumpulan dalam.

“Dan apakah kumpulan dangkal? Kumpulan di mana para bhikkhu gelisah, sombong, kosong, banyak bicara, berbicara tanpa arah, dengan perhatian yang kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara, dengan organ-organ indria yang kendur, disebut kumpulan dangkal.

“Dan apakah kumpulan dalam? Kumpulan di mana para bhikkhu tidak gelisah, tidak sombong, tidak kosong, tidak banyak bicara, tidak berbicara tanpa arah, melainkan dengan perhatian yang kokoh, dengan pemahaman jernih, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, dengan organ-organ indria yang terkendali, disebut kumpulan dalam.

“Ini, para bhikkhu, adalah dua jenis kumpulan. Di antara kedua jenis ini, kumpulan dalam adalah yang terunggul.”<278>

42 (2)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang terpecah dan kumpulan yang harmonis.

“Dan apakah kumpulan yang terpecah? Kumpulan di mana para bhikkhu terbiasa berdebat dan bertengkar dan jatuh dalam perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan kata-kata tajam, disebut kumpulan yang terpecah.<279>

“Dan apakah kumpulan yang harmonis? Kumpulan di mana para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling menatap satu sama lain dengan tatapan kasih sayang, disebut kumpulan yang harmonis.

“Ini, para bhikkhu, adalah dua jenis kumpulan. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang harmonis adalah yang terunggul.”

44 (3)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan orang-orang rendah dan kumpulan orang-orang unggul. [71]

“Dan apakah kumpulan orang-orang rendah? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu senior hidup mewah dan lengah, menjadi pelopor dalam hal kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama, mengabaikan tugas keterasingan; mereka tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti jejak mereka.<280> Mereka juga hidup mewah dan lengah, menjadi pelopor dalam hal kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama, mengabaikan tugas keterasingan; mereka juga tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini disebut kumpulan orang-orang rendah.

“Dan apakah kumpulan orang-orang unggul? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu senior tidak hidup mewah dan tidak lengah, dan tidak kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti jejak mereka. Mereka juga tidak hidup mewah dan tidak lengah, dan tidak kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka juga  membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini disebut kumpulan orang-orang unggul.

“Ini, para bhikkhu, adalah dua jenis kumpulan. Di antara kedua jenis ini, kumpulan orang-orang unggul adalah yang terunggul.”<281>

45 (4)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan orang-orang mulia dan kumpulan orang-orang tidak mulia.

“Dan apakah kumpulan orang-orang tidak mulia? Kumpulan di mana para bhikkhu tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’ disebut kumpulan orang-orang tidak mulia.

“Dan apakah kumpulan orang-orang mulia? Kumpulan di mana para bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; [72] memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’ disebut kumpulan orang-orang mulia.<282>

“Ini, para bhikkhu, adalah dua jenis kumpulan. Di antara kedua jenis ini, kumpulan orang-orang mulia adalah yang terunggul.”

46 (5)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Ampas dari suatu kumpulan dan krim dari suatu kumpulan.

“Dan apakah ampas dari suatu kumpulan? Kumpulan di mana para bhikkhu memasuki jalan salah karena keinginan, kebencian, delusi, atau ketakutan disebut ampas dari suatu kumpulan.<283>

“Dan apakah krim dari suatu kumpulan? Kumpulan di mana para bhikkhu tidak memasuki jalan salah karena keinginan, kebencian, delusi, atau ketakutan disebut krim dari suatu kumpulan.

“Ini, para bhikkhu, adalah dua jenis kumpulan. Di antara kedua jenis ini, krim dari suatu kumpulan adalah yang terunggul.”

47 (6)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang terlatih dalam pembicaraan tanpa arah, bukan dalam Tanya-jawab, dan kumpulan yang terlatih dalam Tanya-jawab, bukan dalam pembicaraan tanpa arah.<284>

“Dan apakah kumpulan yang terlatih dalam pembicaraan tanpa arah, bukan dalam Tanya-jawab? Di sini, dalam kumpulan jenis ini, ketika khotbah-khotbah yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata sedang dibacakan yang dalam, mendalam secara makna, melampaui-keduniawian, berhubungan dengan kekosongan, para bhikkhu tidak ingin mendengarkannya, tidak menyimaknya, atau mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka tidak berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dipahami. Tetapi ketika khotbah-khotbah itu sedang dibacakan yang hanya sekedar syair-syair yang digubah oleh para penyair, indah dalam kata-kata, diciptakan oleh pihak luar, dibabarkan oleh para siswa, maka mereka ingin mendengarnya, menyimaknya, dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dipahami.<285> Dan setelah mempelajari ajaran-ajaran itu, mereka tidak saling bertanya-jawab satu sama lain tentang ajaran-ajaran itu atau memeriksanya secara seksama, [73] [dengan bertanya]: ‘Bagaimana ini? Apakah makna dari hal ini?’ mereka tidak mengungkapkan [kepada orang lain] apa yang samar-samar dan tidak menjelaskan apa yang tidak jelas, atau menghapuskan kebingungan sehubungan dengan banyak hal yang membingungkan. Ini disebut kumpulan yang terlatih dalam pembicaraan tanpa arah, bukan dalam Tanya-jawab.

“Dan apakah kumpulan yang terlatih dalam Tanya-jawab, bukan dalam pembicaraan tanpa arah? Di sini, ketika khotbah-khotbah itu sedang dibacakan yang hanya sekedar syair-syair yang digubah oleh para penyair, indah dalam kata-kata, diciptakan oleh pihak luar, dibabarkan oleh para siswa, maka mereka tidak ingin mendengarnya, tidak menyimaknya, dan tidak mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka tidak berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dipahami. Tetapi ketika khotbah-khotbah yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata sedang dibacakan yang dalam, mendalam secara makna, melampaui-keduniawian, berhubungan dengan kekosongan, para bhikkhu ingin mendengarkannya, menyimaknya, dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dipahami. Dan setelah mempelajari ajaran-ajaran itu, mereka saling bertanya-jawab satu sama lain tentang ajaran-ajaran itu dan memeriksanya secara seksama, [dengan bertanya]: ‘Bagaimana ini? Apakah makna dari hal ini?’ mereka mengungkapkan [kepada orang lain] apa yang samar-samar dan menjelaskan apa yang tidak jelas, dan menghapuskan kebingungan sehubungan dengan banyak hal yang membingungkan. Ini disebut kumpulan yang terlatih dalam Tanya-jawan, bukan dalam pembicaraan tanpa arah.

“Ini, para bhikkhu, adalah dua jenis kumpulan. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang terlatih dalam Tanya-jawab, bukan dalam pembicaraan tanpa arah, adalah yang terunggul.”

48 (7)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang menghargai hal-hal duniawi, bukan Dhamma sejati, dan kumpulan yang menghargai Dhamma sejati, bukan hal-hal duniawi.<286>

“Dan apakah kumpulan yang menghargai hal-hal duniawi, bukan Dhamma sejati? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu saling memuji satu sama lain di hadapan para perumah tangga berjubah putih, dengan mengatakan: ‘Bhikkhu itu adalah seorang yang terbebaskan dalam kedua cara; yang itu adalah seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan; [74] yang itu adalah seorang saksi-tubuh; yang itu adalah seorang yang mencapai pandangan; yang itu adalah seorang yang terbebaskan melalui keyakinan; yang itu adalah seorang pengikut-Dhamma; yang itu adalah seorang pengikut-keyakinan; yang itu adalah seorang yang bermoral dan berkarakter baik; yang itu adalah seorang yang tidak bermoral dan berkarakter buruk.’<287> Dengan cara demikian mereka menerima perolehan, yang mereka gunakan dengan terikat padanya, tergila-gila padanya, secara membuta terserap di dalamnya, tidak melihat bahaya di dalamnya, tidak memahami jalan membebaskan diri. Ini disebut kumpulan yang menghargai hal-hal duniawi, bukan Dhamma sejati.

“Dan apakah kumpulan yang menghargai Dhamma sejati, bukan hal-hal duniawi? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu tidak saling memuji satu sama lain di hadapan para perumah tangga berjubah putih, dengan mengatakan: ‘Bhikkhu itu adalah seorang yang terbebaskan dalam kedua cara … yang itu adalah seorang yang tidak bermoral dan berkarakter buruk.’ Dengan cara demikian mereka menerima perolehan, yang mereka gunakan dengan tidak terikat padanya, tidak tergila-gila padanya, tidak secara membuta terserap di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya, memahami jalan membebaskan diri. Ini disebut kumpulan yang menghargai Dhamma sejati, bukan hal-hal duniawi.

“Ini, para bhikkhu, adalah dua jenis kumpulan. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang menghargai Dhamma sejati, bukan hal-hal duniawi, adalah yang terunggul.”

49 (8 )

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang jujur dan kumpulan yang tidak jujur.

“Dan apakah kumpulan yang tidak jujur? Di sini, dalam kumpulan ini tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma dijalankan dan tindakan disiplin yang sesuai Dhamma tidak dijalankan; tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin dijalankan dan tindakan disiplin yang sesuai disiplin tidak dijalankan. Tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma di jelaskan dan tindakan disiplin yang sesuai Dhamma tidak dijelaskan; tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin di jelaskan dan tindakan disiplin yang sesuai disiplin tidak dijelaskan. Ini, para bhikkhu, disebut kumpulan yang tidak jujur. Adalah karena tidak jujur maka dalam kumpulan ini tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma dijalankan … [75] … dan tindakan disiplin yang sesuai dengan disiplin tidak dijelaskan.<288>

“Dan apakah kumpulan yang jujur? Di sini, dalam kumpulan ini tindakan disiplin yang sesuai Dhamma dijalankan dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma tidak dijalankan; tindakan disiplin yang sesuai disiplin dijalankan dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak dijalankan. Tindakan disiplin yang sesuai Dhamma di jelaskan dan tindakan disiplin yang bertentangan Dhamma tidak dijelaskan; tindakan disiplin yang sesuai disiplin di jelaskan dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak dijelaskan. Ini, para bhikkhu, disebut kumpulan yang jujur. Adalah karena jujur maka dalam kumpulan ini tindakan disiplin yang sesuai Dhamma dijalankan … [75] … dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak dijelaskan.

“Ini, para bhikkhu, adalah dua jenis kumpulan. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang jujur adalah yang terunggul.”

50 (9)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang bertindak bertentangan dengan Dhamma dan kumpulan yang bertindak sesuai Dhamma … [seperti pada 2:49] …

“Ini, para bhikkhu, adalah dua jenis kumpulan. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang bertindak sesuai Dhamma adalah yang terunggul.”

51 (10)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang membicarakan bukan-Dhamma dan kumpulan yang membicarakan Dhamma.

“Dan apakah kumpulan yang membicarakan bukan-Dhamma? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu terlibat dalam suatu persoalan disiplin,<289> satu yang mungkin sesuai Dhamma atau yang bertentangan dengan Dhamma. Setelah terlibat dalam persoalan itu, mereka tidak saling meyakinkan satu sama lain dan tidak membiarkan diri mereka diyakinkan; mereka tidak berunding dan tidak menerima perundingan. Tanpa adanya kekuatan tindakan saling-meyakinkan dan kekuatan perundingan, [76] tidak bersedia melepaskan pendapat mereka, mereka secara keliru menggenggam persoalan disiplin tersebut bahkan lebih erat lagi, dan dengan melekati posisi mereka, mereka menyatakan: “Hanya ini yang benar; yang lainnya salah.’ Ini disebut kumpulan yang membicarakan bukan-Dhamma.

“Dan apakah kumpulan yang membicarakan Dhamma? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu terlibat dalam suatu persoalan disiplin, satu yang mungkin sesuai Dhamma atau yang bertentangan dengan Dhamma. Setelah terlibat dalam persoalan itu, mereka saling meyakinkan satu sama lain atau membiarkan diri mereka diyakinkan; mereka berunding dan menerima perundingan. Dengan adanya kekuatan tindakan saling-meyakinkan dan kekuatan perundingan, [76] bersedia melepaskan pendapat mereka, mereka tidak secara keliru menggenggam persoalan disiplin tersebut bahkan lebih erat lagi, juga tidak dengan melekati posisi mereka, mereka menyatakan: “Hanya ini yang benar; yang lainnya salah.’ Ini disebut kumpulan yang membicarakan Dhamma.

“Ini, para bhikkhu, adalah dua jenis kumpulan. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang membicarakan Dhamma adalah yang terunggul.”

« Last Edit: 04 January 2013, 03:11:14 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DUA
« Reply #6 on: 04 January 2013, 03:11:53 PM »
VI. ORANG-ORANG

52 (1)

“Para bhikkhu, ada dua orang ini yang muncul di dunia ini demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia. Siapakah dua ini? Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna dan raja pemutar-roda. Ini adalah kedua orang yang muncul di dunia ini demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia.”<290>

53 (2)

“Para bhikkhu, ada dua orang ini yang muncul di dunia ini yang adalah manusia-manusia luar biasa. [77] Siapakah dua ini? Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna dan raja pemutar-roda. Ini adalah kedua orang yang muncul di dunia ini yang adalah manusia-manusia luar biasa.

54 (3)

“Para bhikkhu, ada dua orang ini yang kematiannya diratapi oleh banyak orang. Siapa dua ini? Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna dan raja pemutar-roda. Ini adalah kedua orang yang kematiannya diratapi oleh banyak orang.

55 (4)

“Para bhikkhu, ada dua orang ini yang layak didirikan stupa.<291> Siapa dua ini? Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna dan raja pemutar-roda. Ini adalah kedua orang yang layak didirikan stupa.

56 (5)

“Para bhikkhu, ada dua orang yang tercerahkan ini. Siapakah dua ini? Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna dan paccekabuddha.<292> Ini adalah kedua orang yang tercerahkan.”

57 (6)

“Para bhikkhu, ada dua ini yang tidak ketakutan oleh ledakan halilintar. Siapakah dua ini? Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan dan seekor gajah berdarah murni. Ini adalah dua yang tidak ketakutan oleh ledakan halilintar.”<293>

58 (7)

“Para bhikkhu, ada dua ini yang tidak ketakutan oleh ledakan halilintar. Siapakah dua ini? Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan dan seekor kuda berdarah murni. Ini adalah dua yang tidak ketakutan oleh ledakan halilintar.”

59 (8 )

“Para bhikkhu, ada dua ini yang tidak ketakutan oleh ledakan halilintar. Siapakah dua ini? Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan dan seekor raja binatang buas. Ini adalah dua yang tidak ketakutan oleh ledakan halilintar.”

60 (9)

“Para bhikkhu, karena dua alasan faun tidak mengucapkan bahasa manusia.<294> Apakah dua ini? [Dengan berpikir:] ‘Agar kami tidak mengatakan kebohongan, dan agar kami tidak salah memahami satu sama lain dengan apa yang berlawanan dengan fakta.’ Karena dua alasan ini maka faun tidak mengucapkan bahasa manusia.” [78]

61 (10)

“Para bhikkhu, para perempuan mati dalam ketidak-puasan dan ketidak-senangan dalam dua hal. Apakah dua ini? Hubungan seksual dan melahirkan anak. Para perempuan mati dalam ketidak-puasan dan ketidak-senangan dalam dua hal ini.”

62 (11)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang kediaman bersama di antara orang-orang jahat, dan tentang kediaman bersama di antara orang-orang baik. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan bagaimanakah kediaman bersama di antara orang-orang jahat, dan bagaimanakah orang-orang jahat hidup bersama? Di sini, seorang bhikkhu senior berpikir: ‘Seorang [bhikkhu] senior – atau menengah atau [bhikkhu] junior – tidak boleh mengoreksiku.<295> Aku tidak boleh mengoreksi seorang [bhikkhu] senior atau menengah atau [bhikkhu] junior. Jika seorang [bhikkhu] senior mengoreksiku, ia mungkin melakukannya tanpa simpati, bukan dengan simpati. Kemudian aku akan berkata “Tidak!” kepadanya dan akan menyusahkannya,<296> dan bahkan melihat [pelanggaranku] aku tidak memperbaikinya. Jika [seorang bhikkhu] menengah mengoreksiku … Jika seorang [bhikkhu] junior mengoreksiku, ia mungkin melakukannya tanpa simpati, bukan dengan simpati. Kemudian aku akan berkata “Tidak!” kepadanya dan akan menyusahkannya, dan bahkan melihat [pelanggaranku] aku tidak memperbaikinya.’

“[Seorang bhikkhu] menengah juga berpikir …seorang [bhikkhu] junior juga berpikir: ‘Seorang [bhikkhu] senior – atau menengah atau [bhikkhu] junior – tidak boleh mengoreksiku. Aku tidak boleh mengoreksi seorang [bhikkhu] senior … [79] … dan bahkan melihat [pelanggaranku] aku tidak memperbaikinya.’ Demikianlah kediaman bersama di antara orang-orang jahat, dan demikianlah orang-orang jahat hidup bersama.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, kediaman bersama di antara orang-orang baik dan bagaimanakah orang-orang baik hidup bersama? Di sini, seorang bhikkhu senior berpikir: ‘Seorang [bhikkhu] senior – atau menengah atau [bhikkhu] junior – harus mengoreksiku. Aku harus mengoreksi seorang [bhikkhu] senior atau menengah atau [bhikkhu] junior. Jika seorang [bhikkhu] senior mengoreksiku, ia mungkin melakukannya dengan simpati, bukan tanpa simpati. Kemudian aku akan berkata “Bagus!” kepadanya dan tidak akan menyusahkannya, dan melihat [pelanggaranku] aku akan memperbaikinya. Jika [seorang bhikkhu] menengah mengoreksiku … Jika seorang [bhikkhu] junior mengoreksiku, ia mungkin melakukannya dengan simpati, bukan tanpa simpati. Kemudian aku akan berkata “Bagus!” kepadanya dan tidak akan menyusahkannya, dan melihat [pelanggaranku] aku akan memperbaikinya.’

“[Seorang bhikkhu] menengah juga berpikir …seorang [bhikkhu] junior juga berpikir: ‘Seorang [bhikkhu] senior – atau menengah atau [bhikkhu] junior – harus mengoreksiku. Aku harus mengoreksi seorang [bhikkhu] senior … dan melihat [pelanggaranku] aku akan memperbaikinya.’ Demikianlah kediaman bersama di antara orang-orang baik, dan demikianlah orang-orang baik hidup bersama.

63 (12)

“Para bhikkhu, ketika, sehubungan dengan persoalan disiplin, perdebatan kata-kata antara kedua pihak,<297> kesombongan atas pandangan-pandangan, dan kekesalan, ketidak-senangan, dan kejengkelan [80] tidak diselesaikan secara internal,<298> maka dapat diharapkan bahwa persoalan disiplin ini akan mengarah pada kesengitan dan permusuhan dalam waktu yang lama, dan para bhikkhu tidak akan berdiam dengan nyaman.

“Para bhikkhu, ketika, sehubungan dengan persoalan disiplin, perdebatan kata-kata antara kedua pihak, kesombongan atas pandangan-pandangan, dan kekesalan, ketidak-senangan, dan kejengkelan diselesaikan dengan baik secara internal, maka dapat diharapkan bahwa persoalan disiplin ini tidak akan mengarah pada kesengitan dan permusuhan dalam waktu yang lama, dan para bhikkhu akan berdiam dengan nyaman.”<299>

VII. KEBAHAGIAAN

64 (1)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan seorang umat awam dan kebahagiaan seorang yang telah meninggalkan keduniawian [menuju kehidupan tanpa rumah].<300> Ini adalah dua jenis kebahagiaan. Di antara dua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan dari seorang yang yang telah meninggalkan keduniawian adalah yang terunggul.”

65 (2)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan indra dan kebahagiaan meninggalkan keduniawian. Ini adalah dua jenis kebahagiaan. Di antara dua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan meninggalkan keduniawian adalah yang terunggul.”

66 (3)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang terikat dengan perolehan dan kebahagiaan tanpa perolehan. Ini adalah dua jenis kebahagiaan. Di antara dua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan tanpa perolehan adalah yang terunggul.”<301>

67 (4)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? [81] Kebahagiaan dengan noda-noda dan kebahagiaan tanpa noda-noda. Ini adalah dua jenis kebahagiaan. Di antara dua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan tanpa noda-noda adalah yang terunggul.”

68 (5)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan spiritual.<302> Ini adalah dua jenis kebahagiaan. Di antara dua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan spiritual adalah yang terunggul.”

69 (6)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan mulia dan kebahagiaan tidak mulia. Ini adalah dua jenis kebahagiaan. Di antara dua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan mulia adalah yang terunggul.”

70 (7)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan batin. Ini adalah dua jenis kebahagiaan. Di antara dua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan batin adalah yang terunggul.”

71 (8 )

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang disertai dengan sukacita dan kebahagiaan tanpa sukacita. Ini adalah dua jenis kebahagiaan. Di antara dua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan tanpa sukacita adalah yang terunggul.”<303>

72 (9)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang menyenangkan dan kebahagiaan keseimbangan. Ini adalah dua jenis kebahagiaan. Di antara dua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan keseimbangan adalah yang terunggul.”<304>

73 (10)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan konsentrasi dan kebahagiaan tanpa konsentrasi. Ini adalah dua jenis kebahagiaan. Di antara dua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan konsentrasi adalah yang terunggul.”

74 (11)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang berdasarkan pada adanya sukacita dan kebahagiaan yang berdasarkan pada ketiadaan sukacita. [82] Ini adalah dua jenis kebahagiaan. Di antara dua jenis kebahagiaan ini,kebahagiaan yang berdasarkan pada ketiadaan sukacita adalah yang terunggul.<305>

75 (12)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang berdasarkan pada kenikmatan dan kebahagiaan yang berdasarkan pada keseimbangan. Ini adalah dua jenis kebahagiaan. Di antara dua jenis kebahagiaan ini,kebahagiaan yang berdasarkan pada keseimbangan adalah yang terunggul.”

76 (13)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang berdasarkan pada bentuk dan kebahagiaan yang berdasarkan pada tanpa-bentuk. Ini adalah dua jenis kebahagiaan. Di antara dua jenis kebahagiaan ini,kebahagiaan yang berdasarkan pada tanpa-bentuk adalah yang terunggul.”<306>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DUA
« Reply #7 on: 04 January 2013, 03:13:33 PM »
VIII. DENGAN SUATU LANDASAN

77 (1)

“Para bhikkhu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk muncul dengan suatu landasan, bukan tanpa landasan. Dengan meninggalkan landasan ini, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk ini tidak muncul.”<307>

78 (2)

“Para bhikkhu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk muncul melalui suatu sumber, bukan tanpa sumber. Dengan meninggalkan sumber ini, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk ini tidak muncul.”

79 (3)

“Para bhikkhu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk muncul melalui suatu penyebab, bukan tanpa penyebab. Dengan meninggalkan penyebab ini, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk ini tidak muncul.”

80 (4)

“Para bhikkhu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk muncul melalui akitivitas-aktivitas penyebab, bukan tanpa akitivitas-aktivitas penyebab penyebab. Dengan meninggalkan akitivitas-aktivitas penyebab penyebab ini, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk ini tidak muncul.”<308>

81 (5)

“Para bhikkhu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk muncul dengan suatu kondisi, bukan tanpa kondisi. Dengan meninggalkan kondisi ini, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk ini tidak muncul.” [83]

82 (6)

“Para bhikkhu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk muncul bersama dengan bentuk, bukan tanpa bentuk. Dengan meninggalkan bentuk ini, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk ini tidak muncul.”

83 (7)

“Para bhikkhu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk muncul bersama dengan perasaan, bukan tanpa perasaan. Dengan meninggalkan perasaan ini, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk ini tidak muncul.”

84 (8 )

“Para bhikkhu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk muncul bersama dengan persepsi, bukan tanpa persepsi. Dengan meninggalkan persepsi ini, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk ini tidak muncul.”

85 (9)

“Para bhikkhu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk muncul bersama dengan kesadaran, bukan tanpa kesadaran. Dengan meninggalkan kesadaran ini, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk ini tidak muncul.”

86 (10)

“Para bhikkhu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk muncul dengan berdasarkan pada apa yang terkondisi, bukan tanpa landasan pada apa yang terkondisi. Dengan meninggalkan apa yang terkondisi, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk ini tidak muncul.”

IX. DHAMMA

87 (1)

“Para bhikkhu, ada dua hal ini. Apakah dua ini? Kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan. Ini adalah kedua hal itu.”<309>

88 (2) – 97 (11)

“Para bhikkhu, ada dua hal ini. Apakah dua ini? (88) Pengerahan usaha dan ketidak-kacauan … (89) Nama dan bentuk … (90) Pengetahuan sejati dan kebebasan … (91) pandangan penjelmaan dan pandangan pemusnahan … (92) Tanpa rasa malu bermoral dan tanpa rasa takut bermoral … (92) … rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral … (94) Sulit dikoreksi dan pertemanan yang buruk … (95) Mudah dikoreksi dan pertemanan yang baik … (96) kemahiran sehubungan dengan elemen-elemen dan kemahiran dalam pengamatan … [84] … (97) kemahiran sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran dan rehabilitasi dari pelanggaran-pelanggaran. Ini adalah kedua hal itu.”

X. ORANG-ORANG DUNGU

98 (1)

“Para bhikkhu, ada dua jenis orang dungu ini. Siapakah dua ini? Seorang yang mengemban tanggung jawab atas apa yang tidak menimpanya dan seorang yang tidak mengemban tanggung jawab atas apa yang menimpanya. Ini adalah kedua jenis orang dungu itu.”

99 (2)

“Para bhikkhu, ada dua jenis orang bijaksana ini. Siapakah dua ini? Seorang yang mengemban tanggung jawab atas apa yang menimpanya dan seorang yang tidak mengemban tanggung jawab atas apa yang tidak menimpanya.<310> Ini adalah kedua jenis orang bijaksana itu.”

100 (3)

“Para bhikkhu, ada dua jenis orang dungu ini. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang tidak boleh sebagai boleh dan seorang yang melihat apa yang boleh sebagai tidak boleh.<311> Ini adalah kedua jenis orang dungu itu.”

101 (4)

“Para bhikkhu, ada dua jenis orang bijaksana ini. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang tidak boleh sebagai tidak boleh dan seorang yang melihat apa yang boleh sebagai boleh. Ini adalah kedua jenis orang bijaksana itu.”

102 (5)

“Para bhikkhu, ada dua jenis orang dungu ini. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang bukan pelanggaran sebagai pelanggaran dan seorang yang melihat apa yang merupakan pelanggaran sebagai bukan pelanggaran. Ini adalah kedua jenis orang dungu itu.”

103 (6)

“Para bhikkhu, ada dua jenis orang bijaksana ini. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang bukan pelanggaran sebagai bukan pelanggaran dan seorang yang melihat apa yang merupakan pelanggaran sebagai pelanggaran. Ini adalah kedua jenis orang bijaksana itu.” [85]

104 (7)

“Para bhikkhu, ada dua jenis orang dungu ini. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang bukan-Dhamma sebagai Dhamma dan seorang yang melihat apa yang merupakan Dhamma sebagai bukan-Dhamma. Ini adalah kedua jenis orang dungu itu.”

105 (8 )

“Para bhikkhu, ada dua jenis orang bijaksana ini. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang bukan-Dhamma sebagai bukan-Dhamma dan seorang yang melihat apa yang merupakan Dhamma sebagai Dhamma. Ini adalah kedua jenis orang bijaksana itu.”

106 (9)

“Para bhikkhu, ada dua jenis orang dungu ini. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang bukan-disiplin sebagai disiplin dan seorang yang melihat apa yang merupakan disiplin sebagai bukan-disiplin. Ini adalah kedua jenis orang dungu itu.”

107 (10)

“Para bhikkhu, ada dua jenis orang bijaksana ini. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang bukan-disiplin sebagai bukan-disiplin dan seorang yang melihat apa yang merupakan disiplin sebagai disiplin. Ini adalah kedua jenis orang bijaksana itu.”

108 (11)

“Para bhikkhu, noda-noda bertambah pada dua [jenis individu]. Siapakah dua ini? Seorang yang merasa menyesal atas sesuatu yang karenanya ia tidak perlu merasa menyesal dan seorang yang tidak merasa menyesal atas sesuatu yang karenanya ia seharusnya merasa menyesal. Noda-noda bertambah pada dua [jenis individu] ini.”

109 (12)

“Para bhikkhu, noda-noda tidak bertambah pada dua [jenis individu]. Siapakah dua ini? Seorang yang tidak merasa menyesal atas sesuatu yang karenanya ia tidak perlu merasa menyesal dan seorang yang merasa menyesal atas sesuatu yang karenanya ia seharusnya merasa menyesal. Noda-noda tidak bertambah pada dua [jenis individu] ini.”

110 (13)

“Para bhikkhu, noda-noda bertambah pada dua [jenis individu]. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang tidak boleh sebagai boleh dan seorang yang melihat apa yang boleh sebagai tidak boleh. Noda-noda bertambah pada dua [jenis individu] ini.”

111 (14)

“Para bhikkhu, noda-noda tidak bertambah pada dua [jenis individu]. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang tidak boleh sebagai tidak boleh dan seorang yang melihat apa yang boleh sebagai boleh. Noda-noda tidak bertambah pada dua [jenis individu] ini.”

112 (15)

“Para bhikkhu, noda-noda bertambah pada dua [jenis individu]. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang bukan pelanggaran sebagai pelanggaran dan seorang yang melihat apa yang merupakan pelanggaran sebagai bukan pelanggaran.<312> Noda-noda bertambah pada dua [jenis individu] ini.”

113 (16)

“Para bhikkhu, noda-noda tidak bertambah pada dua [jenis individu]. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang bukan pelanggaran sebagai bukan pelanggaran dan seorang yang melihat apa yang merupakan pelanggaran sebagai pelanggaran. <313> Noda-noda tidak bertambah pada dua [jenis individu] ini.”

114 (17)

“Para bhikkhu, noda-noda bertambah pada dua [jenis individu]. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang bukan-Dhamma sebagai Dhamma dan seorang yang melihat apa yang merupakan Dhamma sebagai bukan-Dhamma. Noda-noda bertambah pada dua [jenis individu] ini.”

115 (18)

“Para bhikkhu, noda-noda tidak bertambah pada dua [jenis individu]. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang bukan-Dhamma sebagai bukan-Dhamma dan seorang yang melihat apa yang merupakan Dhamma sebagai Dhamma.<314> Noda-noda tidak bertambah pada dua [jenis individu] ini.”

116 (19)

“Para bhikkhu, noda-noda bertambah pada dua [jenis individu]. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang bukan-disiplin sebagai disiplin dan seorang yang melihat apa yang merupakan disiplin sebagai bukan-disiplin. Noda-noda bertambah pada dua [jenis individu] ini.”

117 (20)

“Para bhikkhu, noda-noda tidak bertambah pada dua [jenis individu]. Siapakah dua ini? Seorang yang melihat apa yang bukan-disiplin sebagai bukan-disiplin dan seorang yang melihat apa yang merupakan disiplin sebagai disiplin. Noda-noda tidak bertambah pada dua [jenis individu] ini.”

XI. KEINGINAN-KEINGINAN

118 (1)

“Para bhikkhu, kedua keinginan ini adalah sulit ditinggalkan. Apakah dua ini? Keinginan pada keuntungan dan keinginan pada kehidupan. Kedua keinginan ini adalah sulit ditinggalkan.”<315> [87]

119 (2)

“Para bhikkhu, kedua jenis individu ini adalah jarang di dunia ini. Siapakah dua ini? Seseorang yang berinisiatif dalam menolong orang lain dan seorang yang bersyukur dan berterima kasih. Kedua jenis individu ini adalah jarang di dunia ini.”

120 (3)

“Para bhikkhu, kedua jenis individu ini adalah jarang di dunia ini. Siapakah dua ini? Seseorang yang puas dan seorang yang memberikan kepuasan. Kedua jenis individu ini adalah jarang di dunia ini.”

121 (4)

“Para bhikkhu, kedua jenis individu ini adalah sulit dipuaskan. Siapakah dua ini? Seorang yang menimbun apa yang ia peroleh dan seorang yang menghambur-hamburkan apa yang ia peroleh.<316> Kedua jenis individu ini adalah sulit dipuaskan.

122 (5)

“Para bhikkhu, kedua jenis individu ini adalah mudah dipuaskan. Siapakah dua ini? Seorang yang tidak menimbun apa yang ia peroleh dan seorang yang tidak menghambur-hamburkan apa yang ia peroleh. Kedua jenis individu ini adalah mudah dipuaskan.

123 (6)

“Para bhikkhu, ada dua kondisi ini bagi munculnya keserakahan. Apakah dua ini? Gambaran dari apa yang menarik dan pengamatan tidak waspada. Ini adalah dua kondisi bagi munculnya keserakahan.”<317>

124 (7)

“Para bhikkhu, ada dua kondisi ini bagi munculnya kebencian. Apakah dua ini? Gambaran dari apa yang menjijikkan dan pengamatan tidak waspada. Ini adalah dua kondisi bagi munculnya kebencian.”

125 (8 )

“Para bhikkhu, ada dua kondisi ini bagi munculnya pandangan salah. Apakah dua ini? Kata-kata [orang] lain dan pengamatan tidak waspada. Ini adalah dua kondisi bagi munculnya pandangan salah.

126 (9)

“Para bhikkhu, ada dua kondisi ini bagi munculnya pandangan benar. Apakah dua ini? Kata-kata [orang] lain dan pengamatan waspada. Ini adalah dua kondisi bagi munculnya pandangan benar.

127 (10)

“Para bhikkhu, ada dua jenis pelanggaran ini. Apakah dua ini? [88] Pelanggaran ringan dan pelanggaran berat. Ini adalah dua jenis pelanggaran.”<318>

128 (11)

“Para bhikkhu, ada dua jenis pelanggaran ini. Apakah dua ini? Pelanggaran kasar dan pelanggaran yang tidak kasar. Ini adalah dua jenis pelanggaran.”

129 (12)

“Para bhikkhu, ada dua jenis pelanggaran ini. Apakah dua ini? Pelanggaran yang dapat diperbaiki dan pelanggaran yang tidak dapat diperbaiki. Ini adalah dua jenis pelanggaran.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DUA
« Reply #8 on: 04 January 2013, 03:14:49 PM »
XII. ASPIRASI

130 (1)

“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang memiliki keyakinan, jika beraspirasi dengan benar, maka harus beraspirasi sebagai berikut: ‘Semoga aku menjadi seperti Sāriputta dan Moggallāna!’ Ini adalah standar dan teladan<319> bagi para siswa bhikkhu, yaitu, Sāriputta dan Moggallāna.”

131 (2)

“Para bhikkhu, seorang bhikkhunī yang memiliki keyakinan, jika beraspirasi dengan benar, maka harus beraspirasi sebagai berikut: ‘Semoga aku menjadi seperti Khemā dan Uppalavaṇṇā!’ Ini adalah standar dan teladan bagi para siswa bhikkhunī, yaitu, Khemā dan Uppalavaṇṇā.”<320>

132 (3)

“Para bhikkhu, seorang umat awam laki-laki yang memiliki keyakinan, jika beraspirasi dengan benar, maka harus beraspirasi sebagai berikut: ‘Semoga aku menjadi seperti perumah tangga Citta dan Hatthaka dari Āḷavī!’ Ini adalah standar dan teladan bagi para siswa awam laki-laki, yaitu, perumah tangga Citta dan Hatthaka dari Āḷavī.”<321>

133 (4)

“Para bhikkhu, seorang umat awam perempuan yang memiliki keyakinan, jika beraspirasi dengan benar, maka harus beraspirasi sebagai berikut: ‘Semoga aku menjadi seperti umat awam perempuan Khujjuttarā dan Veḷukaṇṭakī Nandamātā!’ [89] Ini adalah standar dan teladan bagi para siswa awam perempuan, yaitu, umat awam perempuan Khujjuttarā dan Veḷukaṇṭakī Nandamātā.”<322>

134 (5) <323>

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah dua ini? Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seseorang yang layak dicela. Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seseorang yang layak dipuji. Dengan memiliki dua kualitas ini, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah dua ini? Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencaela seseorang yang layak dicela. Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seseorang yang layak dipuji. Dengan memiliki dua kualitas ini, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa.

135 (6) <324>

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah dua ini? Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang manfaatnya mencurigakan. Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang manfaatnya terpercaya. Dengan memiliki dua kualitas ini, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. [90]

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak celaka dan tidak terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah dua ini? Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang manfaatnya mencurigakan. Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang manfaatnya terpercaya. Dengan memiliki dua kualitas ini, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak celaka dan tidak terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa.”

136 (7)

“Para bhikkhu, dengan berperilaku buruk terhadap dua individu, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Siapakah dua ini? Ibu dan ayahnya. Dengan berperilaku buruk terhadap dua individu ini, si dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan berperilaku baik terhadap dua individu, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak celaka dan tidak terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Siapakah dua ini? Ibu dan ayahnya. Dengan berperilaku baik terhadap dua individu ini, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak celaka dan tidak terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa.”

137 (8 )

“Para bhikkhu, dengan berperilaku buruk terhadap dua individu, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Siapakah dua ini? Sang Tathāgata dan seorang siswa Sang Tathāgata.<325> Dengan berperilaku buruk terhadap dua individu ini, si dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. [91]

“Para bhikkhu, dengan berperilaku baik terhadap dua individu, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak celaka dan tidak terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Siapakah dua ini? Sang Tathāgata dan seorang siswa Sang Tathāgata. Dengan berperilaku baik terhadap dua individu ini, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak celaka dan tidak terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa.”

138 (9)

“Para bhikkhu, ada dua hal ini. Apakah dua ini? Membersihkan pikiran sendiri dan tidak melekat pada apa pun di dunia ini.<326> Ini adalah dua hal itu.”

139 (10)

“Para bhikkhu, ada dua hal ini. Apakah dua ini? Kemarahan dan permusuhan. Ini adalah dua hal itu.”

140 (11)

“Para bhikkhu, ada dua hal ini. Apakah dua ini? Pelenyapan kemarahan dan pelenyapan permusuhan. Ini adalah dua hal itu.”

XIII. PEMBERIAN

141 (1)

“Para bhikkhu, ada dua jenis pemberian ini. Apakah dua ini? Pemberian benda-benda materi dan pemberian Dhamma. Ini adalah kedua jenis pemberian itu. Di antara kedua jenis pemberian ini, pemberian Dhamma adalah yang terunggul.”

142 (2)

“Para bhikkhu, ada dua jenis persembahan ini. Apakah dua ini? Persembahan benda-benda materi dan persembahan Dhamma. Ini adalah kedua jenis persembahan itu. Di antara kedua jenis persembahan ini, persembahan Dhamma adalah yang terunggul.” [92]

143 (3)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kedermawanan ini. Apakah dua ini? Kedermawanan benda-benda materi dan kedermawanan Dhamma. Ini adalah kedua jenis kedermawanan itu. Di antara kedua jenis kedermawanan ini, kedermawanan Dhamma adalah yang terunggul.”

144 (4)

“Para bhikkhu, ada dua jenis pelepasan ini. Apakah dua ini? Pelepasan benda-benda materi dan pelepasan [dengan memberikan] Dhamma. Ini adalah kedua jenis pelepasan itu. Di antara kedua jenis pelepasan ini, pelepasan [dengan memberikan] Dhamma adalah yang terunggul.”

145 (5)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kekayaan ini. Apakah dua ini? Kekayaan benda-benda materi dan kekayaan Dhamma. Ini adalah kedua jenis kekayaan itu. Di antara kedua jenis kekayaan ini, kekayaan Dhamma adalah yang terunggul.”

146 (6)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kenikmatan ini. Apakah dua ini? Kenikmatan benda-benda materi dan kenikmatan Dhamma. Ini adalah kedua jenis kenikmatan itu. Di antara kedua jenis kenikmatan ini, kenikmatan Dhamma adalah yang terunggul.”

147 (7)

“Para bhikkhu, ada dua jenis keberbagian ini. Apakah dua ini? Berbagi benda-benda materi dan berbagi Dhamma. Ini adalah kedua jenis keberbagian itu. Di antara kedua jenis keberbagian ini, berbagi Dhamma adalah yang terunggul.”

148 (8 )

“Para bhikkhu, ada dua cara ini untuk mempertahankan hubungan yang menyenangkan.<327> Apakah dua ini? Mempertahankan hubungan yang menyenangkan dengan benda-benda materi dan mempertahankan hubungan yang menyenangkan dengan Dhamma. Ini adalah dua cara ini untuk mempertahankan hubungan yang menyenangkan itu. Di antara kedua cara ini, mempertahankan hubungan yang menyenangkan dengan Dhamma adalah yang terunggul.”

149 (9)

“Para bhikkhu, ada dua jenis bantuan ini. Apakah dua ini? Bantuan dengan benda-benda materi dan bantuan dengan Dhamma. Ini adalah kedua jenis bantuan itu. Di antara kedua jenis bantuan ini, bantuan dengan Dhamma adalah yang terunggul.”

150 (10)

“Para bhikkhu, ada dua jenis belas kasihan ini.<328> Apakah dua ini? Belas kasihan yang ditunjukkan dengan benda-benda materi dan belas kasihan yang ditunjukkan dengan Dhamma. Ini adalah kedua jenis belas kasihan itu. Di antara kedua jenis belas kasihan ini, belas kasihan yang ditunjukkan dengan Dhamma adalah yang terunggul.” [93]

XIV. KEMURAHAN-HATI

151 (1)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kemurahan hati ini.<329> Apakah dua ini? Kemurahan hati dengan benda-benda materi dan kemurahan hati dengan Dhamma. Ini adalah kedua jenis kemurahan hati itu. Di antara kedua jenis kemurahan hati ini, kemurahan hati dengan Dhamma adalah yang terunggul.”

152 (2)

“Para bhikkhu, ada dua jenis keramahan ini. Apakah dua ini? Keramahan dengan benda-benda materi dan keramahan dengan Dhamma. Ini adalah kedua jenis keramahan itu. Di antara kedua jenis keramahan ini, keramahan dengan Dhamma adalah yang terunggul.”

153 (3)

“Para bhikkhu, ada dua jenis pengejaran ini. Apakah dua ini? Pengejaran benda-benda materi dan pengejaran Dhamma. Ini adalah kedua jenis pengejaran itu. Di antara kedua jenis pengejaran ini, pengejaran Dhamma adalah yang terunggul.”

154 (4)

“Para bhikkhu, ada dua jenis perburuan ini. Apakah dua ini? Perburuan benda-benda materi dan perburuan Dhamma. Ini adalah kedua jenis perburuan itu. Di antara kedua jenis perburuan ini, perburuan Dhamma adalah yang terunggul.”

155 (5)

“Para bhikkhu, ada dua jenis pencarian ini. Apakah dua ini? Pencarian benda-benda materi dan pencarian Dhamma. Ini adalah kedua jenis pencarian itu. Di antara kedua jenis pencarian ini, pencarian Dhamma adalah yang terunggul.”

156 (6)

“Para bhikkhu, ada dua jenis pemujaan ini. Apakah dua ini? Pemujaan dengan benda-benda materi dan pemujaan dengan Dhamma. Ini adalah kedua jenis pemujaan itu. Di antara kedua jenis pemujaan ini, pemujaan dengan Dhamma adalah yang terunggul.”

157 (7)

“Para bhikkhu, ada dua jenis pemberian ini untuk dipersembahkan kepada seorang tamu.<330> Pemberian benda-benda materi dan pemberian Dhamma. Ini adalah kedua jenis pemberian untuk dipersembahkan kepada seorang tamu itu. Di antara kedua jenis pemberian ini untuk dipersembahkan kepada seorang tamu ini, pemberian Dhamma adalah yang terunggul.”

158 (8 )

“Para bhikkhu, ada dua jenis keberhasilan ini. Apakah dua ini? Keberhasilan yang berhubungan dengan benda-benda materi dan keberhasilan yang berhubungan dengan Dhamma. Ini adalah kedua jenis keberhasilan itu. Di antara kedua jenis keberhasilan ini, keberhasilan yang berhubungan dengan Dhamma adalah yang terunggul.” [94]

159 (9)

“Para bhikkhu, ada dua jenis pertumbuhan ini. Apakah dua ini? Pertumbuhan dalam hal benda-benda materi dan pertumbuhan dalam hal Dhamma. Ini adalah kedua jenis pertumbuhan itu. Di antara kedua jenis pertumbuhan ini, pertumbuhan dalam hal Dhamma adalah yang terunggul.”

160 (10)

“Para bhikkhu, ada dua jenis permata ini. Apakah dua ini? Permata materi dan permata Dhamma. Ini adalah kedua jenis permata itu. Di antara kedua jenis permata ini, permata Dhamma adalah yang terunggul.”

161 (11)

“Para bhikkhu, ada dua jenis pengumpulan. Apakah dua ini? Pengumpulan benda-benda materi dan pengumpulan Dhamma. Ini adalah kedua jenis pengumpulan itu. Di antara kedua jenis pengumpulan ini, pengumpulan Dhamma adalah yang terunggul.”

162 (12)

“Para bhikkhu, ada dua jenis perluasan ini. Apakah dua ini? Perluasan dalam hal benda-benda materi dan perluasan dalam hal Dhamma. Ini adalah kedua jenis perluasan itu. Di antara kedua jenis perluasan ini, perluasan dalam hal Dhamma adalah yang terunggul.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DUA
« Reply #9 on: 04 January 2013, 03:15:56 PM »
XV. PENCAPAIAN MEDITATIF

163 (1)

“Para bhikkhu, ada dua kualitas ini. Apakah dua ini? Kemahiran dalam [memasuki] pencapaian meditatif dan kemahiran dalam keluar dari pencapaian meditative. Ini adalah kedua kualitas itu.”<331>

164 (2) – 179 (17)

“Para bhikkhu, ada dua kualitas ini. Apakah dua ini? (164) Perilaku sesuai moralitas dan kelembutan … (165) Kesabaran dan kehalusan … (166) kehalusan dalam berbicara dan keramahan … (167) ketidak-membahayakan dan kemurnian … (168) Tidak menjaga pintu-pintu indria dan makan berlebihan … (169) Menjaga pintu-pintu indria dan makan secukupnya … (170) Kekuatan refleksi dan kekuatan pengembangan … (171) Kekuatan perhatian dan kekuatan konsentrasi … [95] … (172) Ketenangan dan pandangan terang … (173) Kegagalan dalam perilaku bermoral dan kegagalan dalam pandangan … (174) Keberhasilan dalam perilaku bermoral dan keberhasilan dalam pandangan … (175) Kemurnian perilaku bermoral dan kemurnian pandangan … (176) Kemurnian pandangan dan uasha keras sesuai dengan pandangannya … (177) Ketidak-puasan sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat dan tidak mengenal lelah dalam berusaha keras … (178) Pikiran yang kacau dan ketiadaan pemahaman jernih … (179) Perhatian dan pemahaman jernih. Ini adalah kedua kualitas itu.”

XVI. KEMARAHAN

180 (1) – 184 (5) <332>

“Para bhikkhu, ada dua kualitas ini. Apakah dua ini? (180) Kemarahan dan permusuhan … (181) Meremehkan dan menghina … (182) Iri dan kikir … (183) Kecurangan dan muslihat … (184) Tanpa rasa malu bermoral dan tanpa rasa takut bermoral. Ini adalah kedua kualitas itu.”

185 (6) – 189 (10)

“Para bhikkhu, ada dua kualitas ini. Apakah dua ini? (185) Ketidak-marahan dan tanpa-permusuhan … (186) Tidak meremehkan dan tidak menghina … (187) Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … (188) ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (189) Rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral. Ini adalah kedua kualitas itu.”

190 (11) – 194 (15)

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, seseorang berdiam dalam penderitaan. Apakah dua ini? (190) Kemarahan dan permusuhan … (191) Meremehkan dan menghina … (192) Iri dan kikir … (193) Kecurangan dan muslihat … (194) Tanpa rasa malu bermoral dan tanpa rasa takut bermoral [96] Dengan memiliki kedua kualitas ini, seseorang berdiam dalam penderitaan.”

195 (16) – 199 (20)

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, seseorang berdiam dengan bahagia. Apakah dua ini? (195) Ketidak-marahan dan tanpa-permusuhan … (196) Tidak meremehkan dan tidak menghina … (197) Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … (198) ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (199) Rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral. Dengan memiliki kedua kualitas ini, seseorang berdiam dengan bahagia.”

200 (21) – 204 (25)

“Para bhikkhu, kedua kualitas ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih. Apakah dua ini? (200) Kemarahan dan permusuhan … (201) Meremehkan dan menghina … (202) Iri dan kikir … (203) Kecurangan dan muslihat … (204) Tanpa rasa malu bermoral dan tanpa rasa takut bermoral. Kedua kualitas ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.”

205 (26) – 209 (30)

“Para bhikkhu, kedua kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih. Apakah dua ini? (205) Ketidak-marahan dan tanpa-permusuhan … (206) Tidak meremehkan dan tidak menghina … (207) Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … (208) ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (209) Rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral. Kedua kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.”

210 (31) – 214 (35)

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah dua ini? (210) Kemarahan dan permusuhan … (211) Meremehkan dan menghina … (212) Iri dan kikir … (213) Kecurangan dan muslihat … (214) Tanpa rasa malu bermoral dan tanpa rasa takut bermoral. Dengan memiliki kedua kualitas ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.”

215 (36) – 219 (40)

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah dua ini? (215) Ketidak-marahan dan tanpa-permusuhan … (216) Tidak meremehkan dan tidak menghina … (217) Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … (218) ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (219) Rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral. Dengan memiliki kedua kualitas ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

220 (41) – 224 (45)

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seseorang di sini terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Apakah dua ini? (220) Kemarahan dan permusuhan … (221) Meremehkan dan menghina … (222) Iri dan kikir … (223) Kecurangan dan muslihat … (224) Tanpa rasa malu bermoral dan tanpa rasa takut bermoral. Dengan memiliki kedua kualitas ini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seseorang di sini terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.”

225 (46) – 229 (50)

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seseorang di sini terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Apakah dua ini? (225) Ketidak-marahan dan tanpa-permusuhan … (226) Tidak meremehkan dan tidak menghina … (227) Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … (228) ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (229) Rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral. Dengan memiliki kedua kualitas ini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seseorang di sini terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.

XVII. RANGKAIAN PENGULANGAN TIDAK BERMANFAAT<333>[

230 (1) – 234 (5) <334>

“Para bhikkhu, ada dua kualitas tidak bermanfaat ini. Apakah dua ini? (230) Kemarahan dan permusuhan … (231) Meremehkan dan menghina … (232) Iri dan kikir … (233) Kecurangan dan muslihat … (234) Tanpa rasa malu bermoral dan tanpa rasa takut bermoral. Ini adalah kedua kualitas tidak bermanfaat itu.”

235 (6) – 239 (10)

“Para bhikkhu, ada dua kualitas bermanfaat ini. Apakah dua ini? (235) Ketidak-marahan dan tanpa-permusuhan … (236) Tidak meremehkan dan tidak menghina … (237) Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … (238) ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (239) Rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral. Ini adalah kedua kualitas bermanfaat itu.”

240 (11) – 244 (15)

“Para bhikkhu, ada dua kualitas tercela ini. Apakah dua ini? (240) Kemarahan dan permusuhan … (241) Meremehkan dan menghina … (242) Iri dan kikir … (243) Kecurangan dan muslihat … (244) Tanpa rasa malu bermoral dan tanpa rasa takut bermoral. Ini adalah kedua kualitas tercela itu.”

245(16) – 249 (20)

Para bhikkhu, ada dua kualitas tanpa cela ini. Apakah dua ini? (245) Ketidak-marahan dan tanpa-permusuhan … (246) Tidak meremehkan dan tidak menghina … (247) Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … (248) ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (249) Rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral. Ini adalah kedua kualitas tanpa cela itu.”

250 (21) – 254 (25)

“Para bhikkhu, ada dua kualitas ini yang memiliki penderitaan sebagai akibatnya. Apakah dua ini? (250) Kemarahan dan permusuhan … (251) Meremehkan dan menghina … (252) Iri dan kikir … (253) Kecurangan dan muslihat … (254) Tanpa rasa malu bermoral dan tanpa rasa takut bermoral Ini adalah kedua kualitas memiliki penderitaan sebagai akibatnya itu.”

255 (26) – 259 (30)

Para bhikkhu, ada dua kualitas ini yang memiliki kebahagiaan sebagai akibatnya. Apakah dua ini? (255) Ketidak-marahan dan tanpa-permusuhan … (256) Tidak meremehkan dan tidak menghina … (257) Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … (258) ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (259) Rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral Ini adalah kedua kualitas yang memiliki kebahagiaan sebagai akibatnya itu.”

260 (31) – 264 (35)

“Para bhikkhu, ada dua kualitas ini yang berakibat dalam penderitaan. Apakah dua ini? (260) Kemarahan dan permusuhan … (261) Meremehkan dan menghina … (262) Iri dan kikir … (263) Kecurangan dan muslihat … (264) Tanpa rasa malu bermoral dan tanpa rasa takut bermoral. Ini adalah kedua kualitas yang berakibat dalam penderitaan itu.”

265 (36) – 269 (40)

Para bhikkhu, ada dua kualitas ini yang berakibat dalam kebahagiaan. Apakah dua ini? (265) Ketidak-marahan dan tanpa-permusuhan … (266) Tidak meremehkan dan tidak menghina … (267) Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … (268) ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (269) Rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral. Ini adalah kedua kualitas yang yang berakibat dalam kebahagiaan itu.”

270 (41) – 274 (45)

“Para bhikkhu, ada dua kualitas menyakitkan ini. Apakah dua ini? (270) Kemarahan dan permusuhan … (271) Meremehkan dan menghina … (272) Iri dan kikir … (273) Kecurangan dan muslihat … (274) Tanpa rasa malu bermoral dan tanpa rasa takut bermoral. Ini adalah kedua kualitas yang menyakitkan itu.”

275 (46) – 279 (50)

“Para bhikkhu, ada dua kualitas tidak-menyakitkan ini. Apakah dua ini? (275) Ketidak-marahan dan tanpa-permusuhan … (276) Tidak meremehkan dan tidak menghina … (277) Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … (278) ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (279) Rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral. Ini adalah kedua kualitas yang tidak-menyakitkan itu.”

XVIII. RANGKAIAN PENGULANGAN DISIPLIN<335>

280 (1) <336>

“Para bhikkhu, adalah untuk dua alasan ini maka Sang Tathāgata telah menetapkan aturan-aturan latihan bagi para siswaNya. Apakah dua ini? Demi kesejahteraan Saṅgha dan demi kenyamanan Saṅgha … Demi menghentikan orang-orang yang melawan dan agar para bhikkhu yang berperilaku baik dapat berdiam dengan nyaman … Untuk mengendalikan noda-noda yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan untuk menghalau noda-noda yang berhubungan dengan kehidupan mendatang … Untuk mengendalikan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan untuk menghalau permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang … Untuk mengendalikan kesalahan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan untuk menghalau kesalahan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang … Untuk mengendalikan bahaya yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan untuk menghalau bahaya yang berhubungan dengan kehidupan mendatang … Untuk mengendalikan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan untuk menghalau kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang berhubungan dengan kehidupan mendatang … Demi belas kasihan kepada orang-orang awam dan untuk kelompok dari mereka yang berkeinginan jahat … Agar mereka yang tanpa keyakinan dapat memperoleh keyakinan dan untuk meningkatkan [keyakinan] dari merea yang berkeyakinan … Demi kelangsungan Dhamma sejati dan untuk memajukan disiplin. Adalah untuk dua alasan ini maka Sang Tathāgata telah menetapkan aturan-aturan latihan bagi para siswaNya.”

281 (2) – 309 (30)

“Para bhikkhu, adalah untuk dua alasan ini maka Sang Tathāgata telah menetapkan Pātimokkha bagi para siswaNya … [sutta ini dan sutta-sutta berikutnya dijelaskan seperti di atas] …<337>

(282) “ … telah menetapkan pembacaan Pātimokkha …” [99]

(283) “ … telah menetapkan penanguhan Pātimokkha …” 

(284) “ … telah menetapkan upacara undangan …”

(285) “ … telah meneyapkan penangguhan upacara undangan …”

(286) “ … telah menetapkan tindakan resmi pengecaman … “

(287) “ … telah menetapkan tindakan resmi [penempatan di bawah] bimbingan … “

(288) “ … telah menetapkan tindakan resmi pengusiran … “

(289) “ … telah menetapkan tindakan resmi pendamaian … “

(290) “ … telah menetapkan tindakan resmi penangguhan … “

(291) “ … telah menetapkan penjatuhan masa percobaan … “

(292) “ … telah menetapkan pengembalian ke awal … “

(293) “ … telah menetapkan penjatuhan penebusan … “

(294) “ … telah menetapkan rehabilitasi … “

(295) “ … telah menetapkan penerimaan kembali … “

(296) “ … telah menetapkan penghapusan … “

(297) “ … telah menetapkan penahbisan penuh … “

(298) “ … telah menetapkan tindakan resmi berupa dari usulan … “

(299) “ … telah menetapkan tindakan resmi yang termasuk sebuah usulan sebagai [faktor] ke dua … “

(300) “ … telah menetapkan tindakan resmi yang termasuk sebuah usulan sebagai [faktor] ke empat … “

(301) “ … telah menetapkan [suatu aturan latihan] ketika belum ada yang ditetapkan sebelumnya … “

(302) “ … telah menambahkan suatu amandemen [pada suatu aturan latihan yang telah] ditetaplan … “

(303) “ … telah menetapkan penghapusan melalui kehadiran … “

(304)  “ … telah menetapkan penghapusan karena ingatan … “

(305) “ … telah menetapkan penghapusan karena kegilaan [masa lalu] …  “

(306) “ … telah menetapkan pengakuan [atas suatu pelanggaran] … “

(307) “ … telah menetapkan [opini] mayoritas … “

(308) “ … telah menetapkan [pengumuman] perbuatan salah yang bertambah buruk … “

(309) “ … telah menetapkan menutupi dengan rumput. Apakah dua ini? Demi kesejahteraan Saṅgha dan demi kenyamanan Saṅgha … [100] … Demi kelangsungan Dhamma sejati dan untuk memajukan disiplin. Adalah untuk dua alasan ini maka Sang Tathāgata telah menetapkan aturan-aturan latihan bagi para siswaNya.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DUA
« Reply #10 on: 04 January 2013, 03:16:18 PM »
XIX. RANGKAIAN PENGULANGAN NAFSU DAN SETERUSNYA<338>

310 (1)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka dua hal harus dikembangkan. Apakah dua ini? Ketenangan dan pandangan terang. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, dua hal ini harus dikembangkan.”

311 (2) – 319 (10)

“Para bhikkhu, demi pemahaman penuh pada nafsu … demi kehancuran nafsu sepenuhnya … demi ditinggalkannya nafsu … demi hancurnya nafsu … demi hilangnya nafsu … demi peluruhan nafsu … demi lenyapnya nafsu … demi berhentinya nafsu … demi terlepasnya nafsu, maka dua hal harus dikembangkan. Apakah dua ini? Ketenangan dan pandangan terang. Demi terlepasnya nafsu, dua hal ini harus dikembangkan.”

320 (11) – 479 (170)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung … demi pemahaman penuh … demi kehancuran total … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi berhentinya … demi terlepasnya kebencian … delusi … kemarahan … permusuhan … meremehkan … menghina … iri … kekikiran … kecurangan … muslihat … kekeras-kepalaan … keberapi-apian … keangkuhan … kesombongan … kemabukan … kelengahan, maka dua hal harus dikembangkan. Apakah dua ini? Ketenangan dan pandangan terang. Demi terlepasnya kelengahan, dua hal ini harus dikembangkan.”


Buku Kelompok Dua selesai
« Last Edit: 04 January 2013, 03:20:16 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DUA
« Reply #11 on: 04 January 2013, 03:16:50 PM »
Catatan kaki

216> Mp memberikan penjelasan terperinci tentang hukuman-hukuman ini. Saya hanya menerjemahkan sedikit bagian pertama dan menyerahkan sisanya kepada imajinasi pembaca. (1) Panci bubur (bilaṅgathālika): mereka memecahkan tengkoraknya, mengambil sebuah bola besi panas dengan penjepit, dan meletakkan bola itu ke dalamnya, dan mendidihkan otaknya hingga meluap. (2) Cukuran kulit kerang yang digosok (saṅkhamuṇḍika) : mereka menyayat kulitnya [pada bagian] yang dibatasi dengan bibir atasnya, bawah telinga, dan tenggorokan, mengikat rambutnya menjadi satu simpul, mengikatnya di sebatang tongkat, dan menariknya, sehingga kulit bersama dengan rambut kepalanya terlepas; kemudian mereka menggosok tengkoraknya dengan pasir kasar dan mencucinya, sehingga berwarna menyerupai kulit kerang. (3) Mulut Rāhu (sāhumukha) : mereka membuka paksa mulutnya dengan sebatang tombak hingga darah mengalir dan memenuhi mulutnya. (4) Lingkaran api (jotimālika) : mereka menggulung kain yang telah dibasahi minyak ke seluruh tubuhnya dan membakarnya. (5) Tangan menyala (hatthapajjotika) : mereka menggulung kain yang telah dibasahi minyak ke lengannya dan membakarnya hingga menyala bagaikan pelita.

217> Mp: “Bahkan jika suatu gumpalan berisikan seribu [keping emas] terjatuh di jalan, ia tidak akan mencurinya dengan pikiran untuk menyokong dirinya dengan emas itu, tetapi ia akan membalikkannya dengan kakinya dan melanjutkan perjalanannya, dengan pikiran: ‘Kebutuhan apa yang kuperlukan dengan ini?’”

218> Baik Ce maupun Be menuliskan pāpako dukkho vipāko di sini, tidak seperti Ee pāpako vipāko.

219> Sabbūpadhipaṭinissagga. Mp menyebutkan tiga jenis “perolehan” (upadhi): kelima kelompok unsur kehidupan, kekotoran-kekotoran, dan aktivitas-aktivitas berkehendak (khandha, kilesa, abhisaṅkhārā). Pelepasan hal-hal ini adalah sinonim untuk nibbāna. Usaha keras untuk mencapai ini adalah kegigihan  yang muncul bersamaan dengan pandangan terang dan sang jalan.

220> Kedua hal yang menyebabkan siksaan (dhammā tapanīya) tidak disebutkan demikian dalam teks, tetapi jelas bahwa hal-hal itu adalah (1) terlibat dalam perbuatan salah, dan (2) tidak terlibat dalam perbuatan baik. Hal yang sama berlaku, dengan perubahan seperlunya, pada sutta berikutnya.

221> Mp: “Dengan ketidak-puasan sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat (asantuṭṭhitā kusalesu dhammesu) Beliau menunjukkan: ‘Karena tidak puas hanya dengan jhāna atau gambaran cemerlang [dari konsentrasi], Aku membangkitkan jalan Kearahattaan. Sebelum itu muncul, aku tidak merasa puas. Dan karena tidak puas dalam usaha keras, aku melanjutkan usaha, berdiri kokoh tanpa mundur.’ ‘Tidak kenal lelah’ (appaṭivānitā) berarti tidak berpaling, tidak melangkah mundur. Dengan Aku berusaha keras tanpa mengenal lelah, apa yang dimaksudkan adalah ini: ‘Ketika Aku masih seorang Bodhisatta, Aku berusaha keras, tidak melangkah mundur, bercita-cita untuk mencapai kemahatahuan.’”

222> Tekad ini terdapat di tempat-tempat lain dalam Nikāya-nikāya: dalam AN pada 8:13 §8, IV 190, 8-12; MN 70.27, I 481,1-5; dan SN 12:22, II 28, 24-28.

223> Mp: “Kesungguh-sungguhan (appamāda) terdapat dalam ketidak-berpisahan dari perhatian. Keamanan tidak terlampaui dari keterikatan (anuttara yogakkhema) : dengan kesungguh-sungguhan Beliau mencapai bukan hanya pencerahan tetapi juga keamanan tidak terlampaui dari keterikatan, yang terdapat dalam buah Kearahattaan dan nibbāna.”

224> Baca SN 12:53, II 86; SN 12:54, II 87; SN 12:57-59, II 89-91.

225> Rasa malu bermoral (hiri) adalah kejijikan pada perbuatan jasmani dan ucapan; rasa takut bermoral (ottappa) adalah rasa takut bermoral terhadap perbuatan salah itu. Rasa malu bermoral diarahkan ke dalam. Muncul dari penghormatan diri sendiri dan mengarahkan seseorang untuk menolak perbuatan salah yang berdasarkan pada martabatnya. Rasa takut bermoral diarahkan keluar. Muncul dari ketakutan akan celaan dan mengarahkan seseorang untuk menolak perbuatan salah yang berdasarkan pada rasa takut akan akibatnya. Untuk penjelasan lebih lanjut, baca CMA 86, seperti pada 124-25, dan Vism 464, 31 – 465,4, Ppn 14.142.

226> Mātucchā adalah bibi dari pihak ibu; mātulāni, adalah istri dari saudara laki-laki dari ibu. Demi kepraktisan saya merujuk keduanya sebagai “bibi.”

227> Vassūpanāyikā. Tiga bulan kediaman musim hujan dilaksanakan oleh kaum monastik selama musim hujan di India. Selama masa ini, para bhikkhu dan bhikkhunī harus menetap selama tiga bulan di tempat-tempat kediaman yang mereka pilih, walaupun mereka diperbolehkan untuk pergi hingga selama tujuh hari jika ada alasan yang tepat. Tiga bulan masa musim hujan pertama jatuh pada hari setelah hari purnama bulan Āsāḷha (biasanya jatuh pada bulan Juli atau awal Agustus) hingga hari purnama bulan Kattika (biasanya jatuh pada bulan Oktober atau awal November). Tiga bulan masa musim hujan berikutnya dimulai dan diakhiri satu bulan setelah masa musim hujan pertama.

228>  Di sini, berlawanan dengan 2:1, baik Ce maupun Be hanya menuliskan pāpako vipāko, tanpa dukkho.

229> Ce sekhametaṁ balaṃ; Be sekhānametaṃ balaṃ; Ee sekhānaṃ etaṃ balaṃ. Mp: “Kekuatan pengetahuan tujuh jenis individu yang masih berlatih.” Tujuh jenis individu yang masih berlatih merentang dari orang yang berada pada jalan memasuki-arus hingga orang yang berada pada jalan Kearahatttaan. Demikianlah mereka termasuk semua individu mulia kecuali Arahant, yang adalah asekha, “seorang yang melampaui latihan.”


230> Saṅkhittena ca vitthārena ca. Mp: “Suatu ajaran ringkas adalah pembabaran secara singkat dengan menyebutkan kerangka (mātikā). Suatu ajaran yang terperinci adalah yang dibabarkan dengan menjelaskan dan menganalisis kerangka tersebut (mātikaṃ vitthārato vibhajitvā kathitā). Tetapi apakah suatu kerangka ditetapkan atau tidak, suatu ajaran yang dibabarkan secara terperinci dengan analisis disebut ajaran terperinci. Ajaran ringkas dibabarkan kepada orang yang memiliki kebijaksanaan tinggi, ajaran terperinci dibabarkan kepada orang yang kecerdasannya lebih tumpul … Walaupun keseluruhan Tipitaka adalah ajaran ringkas, di sini dianggap sebagai ajaran terperinci.

231> Mp menyebutkan empat jenis persoalan disiplin: yang melibatkan perselisihan (vivādādhikaraṇa), yang melibatkan tuduhan (anuvādādhikaraṇa), yang melibatkan suatu pelanggaran (āpattādhikaraṇa), dan yang melibatkan prosedur (kiccādhikaraṇa). ini dibahas secara terperinci dalam Vin II, 88-92. Secara singkat, suatu persoalan yang melibatkan perselisihan muncul ketika para bhikkhu atau para bhikkhunī berselisih tentang Dhamma dan Vinaya; suatu persoalan yang melibatkan tuduhan muncul ketika mereka menuduh seorang anggota lain melakukan pelanggaran; suatu persoalan yang melibatkan pelanggaran muncul ketika seorang bhikkhu atau bhikkhunī yang telah melakukan pelanggaran memohon rehabilitasi; dan suatu persoalan yang melibatkan prosedur berhubungan dengan prosedur-prosedur kolektif Saṅgha. Metode-metode untuk menyelesaikan persoalan disiplin (adhikaraṇasamatha) dijelaskan pada MN 104.12-20, II 247-50. baca juga Thānissaro 2007a: 546-61.

232> Ahaṃ kho akusalaṃ āpanno kañcideva desaṃ kāyena. Mp: “Di sini, dengan ‘Apa yang tidak bermanfaat’ (akusalaṃ), yang dimaksudkan adalah suatu pelanggaran (āpatti); maknanya adalah ‘Aku telah melakukan suatu pelanggaran.’ ‘Perbuatan buruk tertentu’ (kañcideva desaṃ): bukan setiap pelanggaran, melainkan pelanggaran jenis tertentu; maknanya adalah ‘suatu pelanggaran tertentu.’”

233> Suṅkadāyataṃ va bhaṇḍasmiṃ. Saya menjelaskan sekilas tentang ungkapan Pāli untuk mengungkapkan makanya. Mp: “Suatu tindak kriminal terjadi oleh seseorang yang mengimpor benda-benda kena pajak ketika ia menghindari petugas pajak, dan ia adalah pelaku kriminal di sini, bukan raja-raja atau para pejabatnya.”

234> Mp menjelaskan bahwa kedua pelanggaran di pihak bhikkhu yang menegur adalah karena dikuasai oleh ketidak-senangan dan menegur orang lain karena ketidak-senangannya itu. Ketiga pelanggaran di pihak bhikkhu yang ditegur adalah melakukan pelanggaran, menjadi tidak senang, dan memberitahu orang lain.

235> Perilaku yang berlawanan dengan Dhamma (adhammacariyā) dan perilaku yang sesuai Dhamma (dhammacariyā) dijelaskan secara singkat pada sutta berikutnya. Pada 10:220 dan 10:217  berturut-turut diidentifikasikan sebagai sepuluh kamma tidak bermanfaat dan sepuluh kamma bermanfaat.

236> Mp menjelaskan bahwa brahmana itu mendatangi Sang Buddha dengan keangkuhan, bermaksud untuk mencari celah kesalahan ajaran. Sang Buddha mengetahui hal ini dan memahami bahwa brahmana itu hanya akan memperoleh manfaat jika ia dijawab dengan jawaban yang ambigu agar ia bertanya lebih jauh. Karena Sang Buddha pertama-tama menyebutkan penyebab kelahiran kembali di alam surga dengan kata-kata yang sama dengan penyebab kelahiran kembali di neraka, brahmana itu harus mengakui kebingungannya dan meminta klarifikasi. Hal ini membuatnya menjadi rendah hati, membuka pikirannya untuk menerima pemahaman.

237> Be membagi sutta ini menjadi dua, sedangkan Ce dan Ee, yang saya ikuti, memperlakukan paragraf tentang lenyapnya dan kelangsungan Dhamma sebagai bagian yang saling berlawanan dalam satu sutta.

238> Dunnikkhittañca padabyañjanaṃ attho ca dunito.

239> Sunikkhittañca padabyañjanaṃ attho ca dunito.

240> Juga pada SN 11:24, I 239, 26-31, di mana ditambahkan suatu kisah dan dihias dengan syair.

241> Mp: “Yang pertama dicontohlan oleh Sunakkhatta, yang berkata: ‘Petapa Gotama tidak memiliki kualitas-kualitas apa pun yang melampaui manusia biasa’ (pada MN 12.2, I 68, 9-10). Yang ke dua dicontohkan oleh seorang umat yang keyakinannya tanpa pemahamanan, seperti seorang yang salah memahami Sang Tathāgata dengan mengatakan: ‘Sang Buddha sepenuhnya melampaui keduniawian (buddho nāma sabbalokuttaro), semua bagian tubuhnya, seperti rambut kepala, adalah melampaui keduniawian.’” Komentar terakhir ini tampaknya digali dari aliran Lokottaravāda, sebuah sekte turunan dari Mahāsāṃghika yang berpendapat bahwa para Buddha adalah sepenuhnya melampaui keduniawian.

242> Ee membagi sutta ini menjadi dua sutta terpisah melalui dua paragraf, sedangkan Ce dan Be melihatnya sebagai satu.

243> Pertanyaan atas khotbah-khotbah dari Sang Buddha yang mana yang bermakna eksplisit (nitattha) dan yang mana yang memerlukan interpretasi (neyyattha) menjadi salah satu hal yang paling banyak diperdebatkan dalam penafsiran Buddhis. Dimulai dari aliran-aliran Buddhis India awal, perdebatan berlanjut dalam sūtra-sūtra Mahāyāna belakangan seperti Akṣayamatinirdeśa dan Saṃdhinirmocana. Kontroversi ini berlanjut bahkan di luar India, yaitu di Sri Lanka, China, dan Tibet. Komentar Pāli memutuskan persoalan ini dengan berdasarkan pada pembedaan Abhidhamma antara realitas mutlak dan realitas konvensional.

Mp: “Sutta-sutta itu yang membicarakan tentang satu orang (puggala), dua orang, dan seterusnya, memerlukan interpretasi, karena maknanya harus diinterpretasikan di bawah sorotan fakta bahwa dalam makna mutlak seseorang itu tidak eksis (paramatthato pana puggalo nāma natthi). Seseorang yang keliru menafsirkan sutta-sutta itu membicarakan tentang seseorang, berpendapat bahwa orang itu eksis dalam makna mutlak, menjelaskan sebuah khotbah yang maknanya memerlukan interpretasi sebagai sutta yang maknanya eksplisit. Sebuah sutta yang maknanya eksplisit adalah sutta yang menjelaskan ketidak-kekalan, penderitaan, dan tanpa-diri; karena dalam hal ini makanya adalah ketidak-kekalan, penderitaan, dan tanpa-diri. Seseorang yang mengatakan: ‘Khotbah ini memerlukan interpretasi,’ dan menafsirkannya sedemikian sehingga menyatakan ‘ada yang kekal, ada yang menyenangkan, ada diri,’ menjelaskan suatu sutta yang bermakna eksplisit sebagai sutta yang memerlukan interpretasi.” Kritik pertama ini mungkin diarahkan terhadap aliran Puggalavāda, yang berpendapat bahwa seseorang eksis secara mutlak. Kritik berikutnya mungkin diarahkan kepada bentuk awal teori tathāgatagarbha, yang (dalam Sūtra Parinirvāṇa Mahāyāna) dinyatakan sebagai kekal, penuh kebahagiaan, diri yang murni.

244> Mp menginterpretasikan “perbuatan yang disembunyikan” (paṭicchannakamma) hanya sebagai perbuatan buruk, menjelaskan bahwa bahkan jika suatu perbuatan buruk tidak disembunyikan, maka itu tetap disebut perbuatan yang disembunyikan. Akan tetapi, tampaknya pengakuan atas perbuatan buruk seseorang dan memperbaikinya dapat mengurangi kekuatan negatifnya. Baca Dhp 173: “Seseorang yang telah melakukan perbuatan buruk tetapi menutupinya dengan perbuatan baik menerangi dunia ini bagaikan bulan yang terbebas dari awan.”

245> Ee menggabungkan sutta ini dan dua sutta berikutnya menjadi satu, sedangkan Ce dan Be tetap memisahnya. Saya menduga Ee dengan benar menggabungkan 2:27 dan 2:28, dua khotbah yang saling mendukung, tetapi keliru dalam memasukkan 2:29, yang memiliki tema berbeda. Tetap saja, saya mengikuti Ce dan Be. Catatan bahwa 2:26 dan 2:29 digabungkan menjadi satu sutta mempertentangkan pernyataan-pernyataan tentang dua jenis kelahiran kembali berturut-turut yang dihasilkan dari perbuatan buruk dan baik.

246> Paṭiggāhā. Sebuah penggunaan kata ini yang tidak biasa. Mp hanya mengatakan bahwa kedua kondisi ini menerima (paṭiggaṇhanti) individu tidak bermoral.

247> Araññavanapatthānī pantāni senāsanāni. Saya mengikuti Mp, yang menjelaskan araññavanapatthānī sebagai kata majemuk dvanda: araññāni ca vanapatthāni ca.

248> Pacchimañca janataṃ anukampamāno. Ps I 129, 4-12, yang mengomentari ungkapan yang sama pada MN I 23, 35, mengatakan: “Bagaimanakah ia menunjukkan belas kasihan terhadap generasi mendatang dengan berdiam di dalam hutan? Ketika seorang pemuda yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan melihat bahwa bahkan Sang Bhagavā – yang tidak memiliki apa pun untuk dipahami, ditinggalkan, dikembangkan, dan direalisasi – tidak mengabaikan kediaman di dalam hutan, mereka akan berpikir bahwa mereka juga harus berdiam di dalam hutan. Demikianlah mereka akan dengan cepat mengakhiri penderitaan.

249> Vijjabhāgiyā. Baca 1:575

250> Untuk penjelasan lebih lanjut tentang hubungan ketenangan (samatha) dan pandangan terang (vipassanā), baca 4:92-94 dan 4:170.

251> Mp menginterpretasikan pikiran yang terkembang sebagai “pikiran dari sang jalan” (maggacitta) dan kebijaksanaan yang terkembang sebagai “kebijaksanaan sang jalan” (maggapaññā). Akan tetapi, bagi saya tampaknya bahwa teks itu sendiri bermaksud mengatakan “pikiran” dan “kebijaksanaan” secara umum, bukan secara spesifik sebagai pikiran dan kebijaksanaan dari pencapaian jalan mulia. Akan tetapi, pengembangan pikiran melalui samatha dan kebijaksanaan melalui vipassanā, memuncak pada “kebebasan pikiran tanpa noda, kebijaksanaan melalui kebijaksanaan” (anāsavā cetovimutti paññavimutti), tujuan akhir dari Dhamma. Di sini, samatha adalah kondisi bagi kebebasan pikiran dan vipassanā bagi kebebasan melalui kebijaksanaan.

252> Bersama Ce dan Ee, saya membaca katañca hoti patikatañca atikatañca ti. Be mengakhirinya pada patikatañcā ti.

253> Istilah operatif di sini adalah kiriyavāda dan akiriyavāda. Untuk kritik Buddhis atas akiriyavāda, suatu doktrin yang menyangkal kebenaran perbedaan etika, baca MN 60.13, I 404, 21-35; MN 76.10, I 516, 3-17. Sutta yang sekarang ini tampaknya dikutip dari 8:12 §§1-2.

254> Mp: “’Yang masih berlatih’ (sekha) merujuk pada tujuh individu yang masih berlatih [dari individu yang berada pada jalan memasuki-arus hingga seorang yang berada pada jalan Kearahattaan]. Tetapi kaum duniawi yang bermoral (sīlavantaputthujjana) juga dapat dimasukkan dalam kelompok pemasuk-arus.

255> Mp memiliki pendahuluan panjang pada komentar atas sutta ini, menjelaskan bagaimana rombongan umat awam Sāvatthī secara spontan berkumpul di Taman Timur untuk mendengar Sāriputta berbicara. Para deva juga, menyadari bahwa Sāriputta hendak membabarkan khotbah penting, datang dari berbagai alam surga dan dari ribuan sistem dunia untuk mendengarkan. Sāriputta mengerahkan kekuatan batin sedemikian sehingga bahkan mereka yang berada di belakang kerumunan, dan para deva di tepi sistem dunia, dapat dengan jelas melihat dan mendengarkan suaranya.

256> Mp: “Orang yang terbelenggu secara internal (ajjhattasaṃyojanaṃ puggalaṃ) : ‘Internal’ (ajjhattaṃ) adalah kehidupan alam indria; ‘eksternal’ (bahiddhā) adalah kehidupan alam berbentuk dan tanpa bentuk. Keinginan dan nafsu pada ‘internal,’ yang terdapat dalam kehidupan alam indria, disebut belenggu internal. Keinginan dan nafsu pada ‘eksternal,’ yang terdapat dalam kehidupan alam berbentuk dan tanpa bentuk, disebut belenggu eksternal. Atau, dengan kata lain, kelima belenggu yang lebih rendah adalah belenggu internal, dan lima belenggu yang lebih tinggi adalah belenggu eksternal. Orang-orang yang dibicarakan sebagai terbelenggu secara internal dan terbelenggu secara eksternal bukanlah kaum duniawi yang masih terikat pada lingkaran kehidupan, melainkan para siswa mulia – pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, dan yang-tidak-kembali - yang dibedakan dalam dua cara melalui modus penjelmaan mereka.

Mengejutkan bahwa paralel China MĀ 21 (pada T I 448c23-25) menginterpretasikan kedua individu ini dalam suatu cara yang bertentangan dengan versi Pāli: “Di dunia ini terdapat dua jenis orang. Apakah dua ini? Orang dengan belenggu internal, yang-tidak-kembali, yang tidak kembali ke dunia ini. Dan orang dengan belenggu eksternal, seorang yang bukan yang-tidak-kembali melainkan kembali ke dunia ini” (MANDARIN). Penjelasan dalam MA 21 konsisten dengan pernyataan pembuka.

257> Mp: “yang kembali pada kondisi makhluk ini (āgantā itthittaṃ) : ia kembali pada kondisi kelima kelompok unsur kehidupan manusia. Atau jika tidak, ia tidak terlahir kembali di alam surga tersebut atau di alam yang lebih tinggi, melainkan kembali ke alam rendah. Melalui faktor ini, apa yang dibahas adalah kedua jalan dan buah yang lebih rendah [dari memasuki-arus dan yang-kembali-sekali] yang dicapai oleh seorang bhikkhu yang adalah meditator pandangan terang kering dengan menggunakan elemen-elemen sebagai subjek meditasi (sukkhavipassakassa dhātukammaṭṭhānikabhikkhuno).”

258> Mp: “Kebebasan pikiran tertentu yang damai (aññataraṃ santaṃ cetovimuttiṃ) : jhāna ke empat di antara delapan pencapaian meditatif; itu adalah damai karena menenangkan kekotoran-kekotoran yang melawannya, dan adalah kebebasan pikiran karena terbebaskan dari kekotoran-kekotoran itu.”

259> Mp: “Ia terlahir kembali dalam kelompok para deva di alam-alam murni (suddhāvāsa). Ia tidak kembali pada kondisi kelima kelompok unsur kehidupan manusia, juga tidak terlahir kembali di alam rendah. Apakah ia terlahir kembali di alam yang lebih tinggi atau ia mencapai nibbāna akhir di sana. Melalui faktor ini, apa yang dibahas adalah ketiga jalan dan buah [hingga yang-tidak-kembali] dari seorang bhikkhu yang melatih konsentrasi (samādhikammikassa bhikkhuno).”

260> Mp: “Pada titik ini, apa yang dibahas adalah pandangan terang dari pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali [yang dijalankan] untuk menghancurkan nafsu pada kelima objek kenikmatan indria dan [untuk mencapai] jalan yang-tidak-kembali (anāgāmimaggavipassanā).”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DUA
« Reply #12 on: 04 January 2013, 03:18:26 PM »
261> Mp: “Melalui ini, apa yang dibahas adalah pandangan terang yang-tidak-kembali [yang dijalankan] untuk menghancurkan nafsu pada penjelmaan dan [untuk mencapai jalan Kearahattaan (arahattamaggavipassanā).”

262> Mp melihat praktik untuk penghancuran ketagihan (taṇhākkhaya) sekali lagi sebagai merujuk pada pandangan terang pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali untuk mencapai jalan yang-tidak-kembali, dan praktik untuk penghancuran keserakahan (lobhakkhaya) sekali lagi sebagai merujuk pada pandangan terang yang-tidak-kembali untuk mencapai jalan Kearahattaan. Agak aneh bagi pembedaan itu yang dimaksudkan di sini. Karena baik ketagihan ([/i]taṇhā[/i]) dan keserakahan (lobha) dapat merujuk pada keinginan pada kehidupan yang berkesinambungan (bhavataṇhā, bhavarāga), dan karena tampaknya tidak mungkin bahwa, setelah menyinggung realisasi tertinggi, Sāriputta kemudian kembali ke tingkat yang lebih rendah, kalimat ini mungkin hanyalah kelanjutan dari penjelasan tentang seorang yang berlatih untuk mencapai Kearahattaan.

263> Mp: “[Sāriputta] membahas pandangan terang dalam enam kelompok: (1) dua jalan dan buah yang lebih rendah dari meditator pandangan terang kering yang menggunakan elemen-elemen sebagai subjek meditasinya; (2) tiga jalan dan buah dari seorang yang berusaha dalam konsentrasi; (3) pandangan terang pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali untuk menghancurkan nafsu indria [dan mencapai] jalan yang-tidak-kembali; (4) pandangan terang yang-tidak-kembali untuk menghancurkan nafsu pada penjelmaan [dan mencapai] jalan Kearahattaan; (5) pandangan terang pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali demi ‘hancurnya ketagihan’ – yaitu, ketagihan pada kenikmatan indria – dan untuk mencapai jalan yang-tidak-kembali; dan (6) pandangan terang yang-tidak-kembali demi ‘hancurnya keserakahan’ – yaitu, keserakahan pada penjelmaan – dan [untuk mencapai] jalan Kearahattaan. Pada bagian penutup dari khotbah ini, para dewa yang berjumlah ratusan ribu koṭi (satu koṭi = sepuluh juta) mencapai Kearahattaan, dan tidak terhitung banyaknya yang menjadi pemasuk-arus dan seterusnya.”

264> Mp menjelaskan samacitta berarti “dengan pikiran yang sama,” dengan demikian memecahkan makna ambigu dalam kata Pāli. Walaupun dalam Skt perbedaan antara śama – “kedamaian” dan sama = “sama, setara” telah cukup jelas, dalam kebanyakan dialek Indo-Aryan Tengah (termasuk Pāli) kedua kata ini tidak dapat dibedakan dan dengan demikian maknanya dapat tertukar. Mp menafsirkan sama sebagai sama dengan Skt sama, “sama, setara”: “Mereka disebut ‘berpikiran sama’ karena kemiripan dalam kehalusan pikiran mereka (cittassa sukhumabhāvasamatāya samacittā); karena mereka menciptakan tubuh mereka dengan pikiran yang kehalusannya sama (sukhume cittasarikkhake katvā).” Mp memberikan penjelasan lain atas samacitta, tetapi semuanya mengartikan maknanya sebagai “dengan pikiran yang sama.” Paralel China (pada TI 449b1) menuliskan (MANDARIN) = “para dewa berpikiran sama,” dengan demikian serupa dengan Mp. Hal ini menunjukkan bahwa teks asli dari mana terjemahan China bersumber adalah samacitta dalam suatu bahasa yang membedakan śama dengan sama, atau, jika dilestarikan dalam suatu bahasa yang tidak membedakan hal tersebut, maka disertai dengan penjelasan kata itu dalam makna “berpikiran sama.” Akan tetapi, ungkapan santindriyā dan santamānasā menjelang akhir sutta, yang keduanya berhubungan dengan Skt śama, menyiratkan bahwa makna aslinya mungkin bermakna “pikiran yang damai,” kecuali jika ambivalensi ini memang disengaja.

265> Anukampaṃ upādāya. Mp: “Bukan demi belas kasihan kepada Sāriputta, karena pada saat itu tidak diperlukan untuk menunjukkan belas kasihan kepada Bhikkhu [Sāriputta] … yang telah mencapai kesempurnaan pengetahuan seorang siswa. Sebaliknya, mereka memohon Sang Bhagavā untuk pergi demi belas kasihan kepada para deva dan manusia lainnya yang telah berkumpul di sana.” Terlepas dari komentar, sepertinya para deva benar-benar menginginkan Sang Buddha untuk mendatangi Sāriputta demi dirinya. Sāriputta mungkin tidak memiliki kesaktian untuk melihat kumpulan para deva yang berkumpul di sana untuk mendengarkannya berbicara dan karena itu Sang Buddha harus memberitahunya. Pada Ud 40, 28-29, Sāriputta mengatakan bahwa ia bahkan tidak melihat sesosok hantu Lumpur (mayaṃ pan’etarahi paṃsupisācakampi na passāma).

266> Mp: “Adalah di sini (idh’eva): Adalah di alam manusia ini dan di bawah ajaran ini para dewa itu telah mengembangkan pikiran mereka sedemikian sehingga mereka terlahir kembali di alam berbentuk yang damai. Setelah datang dari sana, mereka telah menciptakan tubuh halus. Walaupun para dewa itu mungkin telah mencapai tiga jalan dan buah pada masa ajaran Buddha Kassapa, karena semua Buddha memiliki ajaran yang sama, namun dengan kata ‘di sini’ Beliau merujuk pada ajaran sebagai satu.” Paralel China lebih eksplisit daripada Pāli: “Adalah di masa lampau ketika mereka adalah manusia para dewa berpikiran sama itu mengembangkan pikiran bermanfaat demikian, pikiran yang sangat luas dan luar biasa demikian.”

267> Santindriyā bhavissāma santamānasā. Seperti tertulis dalam catatan 264 di atas, penggunaan kata santa yang berulang di sini dan persis di bawah menyiratkan bahwa samacitta, sehubungan dengan para dewa itu, dapat bermakna “pikiran yang damai” – terlepas dari kesesuaian antara Mp dan terjemahan China pada “berpikiran sama.”

268> Kāmarāgābhinivesavinibandhapaligedhapariyuṭṭhānajjhosānahetu. Saya menerjemahkan kata majemuk ini mengikuti pecahan oleh Mp: kāmarāgābhinivesahetu, kāmarāgavinibandhahetu, kāmarāgapaligedhahetu, kāmarāgapariyuṭṭhanahetu, kāmarāga-ajjhosānahetu. Hal yang sama berlaku pada kata majemuk yang panjang tentang diṭṭhi.

269> Tuduhan yang sama juga ditujukan kepada Sang Buddha sendiri dalam 4:22 dan 8:11.

270> Saya mengikuti Ce dan Be kāmamajjhāvasati ( = kāmaṃ ajjhāvasati), bukan seperti Ee kāmamajjhe vasati.

271> Tuṇhībhūtā tuṇhībhūtā va saṅghamajjhe saṅkhasāyanti. Mp: “Duduk diam di tengah-tengah Saṅgha, mereka tiadk mampu membuka mulut dan mengucapkan sepatah kata pun, melainkan hanya duduk di sana seolah-olah merenung.”

272> Di sini dan di bawah saya membaca sama seperti Ce dan Ee bhajanti.

273> Membaca seperti Be yena vā pana tena pakkamanti. Ce dan Ee membaca papatanti, yang tidak sesuai.

274> Baca SN 45:24, V 18-19.

275> Ñāyaṃ dhammaṃ kusalaṃ. Mp: “Sang jalan bersama dengan pandangan terang.”

276> Duggahitehi suttantehi byañjanappatirūpakehi. Untuk –patirūpaka sebagai bermakna “tiruan, kesamaan, penampilan yang menyesatkan,” baca ungkapan seperti amitto mittapatirūpako pada DN III 185-86; sakkapatirūpako pada SN I 230, 16; jātarūpappatirūpakaṃ dan saddhammappatirūpakaṃ pada SN II 224, 10-17. di sini kata majemuk tersebut mungkin bermakna sama seperti dunnikkhitaṃ padabyañjanaṃ pada 2:20 di atas. Baca juga 4:160 (II 147,21) dan 5:156 (III 178, 26). Mp menganggap dhamma di sini bermakna teks (pāḷi), dengan komentar: “Mereka mengabaikan makna dan teks dari khotbah-khotbah yang diperoleh dengan benar dan meninggikan makna dan teks dari khotbah-khotbah yang diperoleh dengan tidak benar.”

277> Be di sini membaca suggahitehi suttantehi byañjanappatirūpakehi (Ee vyañjanapatirūpakehi). Akan tetapi, Ce yang saya ikuti menggunakan bentuk negatif: suggahitehi suttantehi na byañjanapatirūpakehi. Ce mungkin telah menambahkan na untuk menyampaikan makna yang diperlukan, tetapi tanpa itu maka kalimat itu menjadi tampak bertentangan.

278> Di sini dan sutta berikutnya teks mengguanakan etadaggaṃ.

279> Seperti catatan PED, vagga Pāli mewakili dua kata Skt yang berbeda: varga, bermakna “kelompok,” seperti kelompok sutta-sutta; dan vyagra, lawan dari samagra, “terbagi” sebagai lawan dari “harmonis.” Di sini jelas vagga yang ke dua yang dimaksudkan.

280> Diṭṭhānugatiṃ āpajjati. Lit., “mengikuti sesuai dengan apa yang terlihat (diṭṭha).” Ini bukan berarti “mengikuti sesuai pandangan mereka (diṭṭhī)” Mp: “Dengan melakukan apa yang dilakukan oleh penahbis dan guru-guru mereka, mereka mengikuti sesuai dengan praktik yang mereka lihat.”

281> Dalam Pāli yang terunggul dari ini (etadaggaṃ) adalah kumpulan orang-orang unggul (aggavatī parisā).

282> Mp: “Keempat jalan dan empat buah dibahas melalui empat kebenaran.”

283> Ini adalah empat motif salah, disebutkan demikian pada 4:17-20.

284> Untuk makna ukkācita saya mengikuti DOP, p. 387, yang mendefinisikannya sebagai “membual, ucapan kosong,” dan ukkācitavinīta sebagai “terlatih dalam ucapan kosong.” Saya menggunakan “pembicaraan tanpa arah” daripada “ucapan kosong,” karena ucapan yang dianggap layak di sini pastilah ucapan tentang kekosongan. Vibh 352 (Be §862) memasukkan ukkācanā dalam sebuah definisi lapanā, yang menyiratkan bahwa ukkācanā adalah alat untuk membujuk. Baca juga Vism 27, 19-22, Ppn 1.74. dalam sutta sekarang ini ukkācita tampaknya memiliki nuansa berbeda, mungkin pembicaraan yang bagus namun kosong.

285> Juga pada SN 20:7, II 267, 6-15. Untuk “berhubungan dengan kekosongan” (suññatāpaṭisaṃyutta), Mp mengatakan “Seperti Khotbah-khotbah yang berhubungan tentang Yang Tak Terkondisi, hanya mengungkapkan fenomena-fenomena yang kosong dari makhluk” (sattasuññaṃ dhammamattameva pakāsaka asaṅkhatasaṃyuttasadisā). Karena Asaṅkhatasaṃyutta (SN bab 43) tidak mengatakan “hanya fenomena-fenomena,” maka mungkin Mp sebenarnya mengartikan aḷāyatanasaṃyutta (khususnya SN 35:85, IV 54).

286> Mp: “Yang menghargai hal-hal duniawi (āmisagaru): seorang yang menghargai empat benda kebutuhan dan menganggap Dhamma yang melampaui keduniawian sebagai rendah. Yang menghargai Dhamma sejati (saddhammagaru): seorang yang menghargai sembilan dhamma yang melampaui keduniawian (empat jalan, empat buah, dan nibbāna), dan menganggap empat benda kebutuhan sebagai rendah.”

287> Tujuh pertama adalah para siswa yang telah mencapai jalan dan buah yang melampaui keduniawian. Untuk penjelasan formal, baca MN 70.14-21, I 477-79. dua yang terakhir adalah orang baik dan orang jahat yang belum mencapai sang jalan.

288> Be tidak mencantumkan kedua kalimat ini berturut-turut “karena tidak jujur” dan (dibawahnya) “karena jujur.” Keduanya muncul dalam Ce dan Ee.

289> Adhikaraṇaṃ. Mp: “Empat jenis persoalan disiplin, perselisihan dan seterusnya.” Baca p.1623, catatan 231 di atas.

290> Mp: “Karena raja pemutar roda disebutkan, maka frasa, ‘demi belas kasihan kepada dunia’ (lokānukampāya) tidak digunakan.” Tentang raja pemutar roda (rājā cakkavati). Baca p.1613 catatan 156.

291> Pāli thūpa, sebuah gundukan peringatan.

292> Paccekabuddha didefinisikan pada Pp 14, 16-20 (Be §23), sebagai “Seseorang yang, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah didengar sebelumnya, tercerahkan pada empat kebenaran [mulia] oleh dirinya sendiri tetapi tidak mencapai segala pengetahuan sehubungan dengannya atau menguasai kekuatan-kekuatan” (ekacco puggalo pubbe ananussutesu dhammesu sāmaṃ saccāni abhisambujjhati; na ca tattha sabbaññutaṃ pāpuṇāti, na ca balesu vasībhāvaṃ, ayaṃ vuccati puggalo paccekabuddho.)

293> Mp: “Arahant tidak ketakutan karena ia telah meninggalkan pandangan ke-ada-an personal (sakkāyadiṭṭhiyā pahīnattā); gajah berdarah murni, karena pandangan ke-ada-an personalnya sangat kuat (sakkādiṭṭhiyā balavattā).”

294> Kiṃpurisā, kelompok makhluk-makhluk mistis dalam mitologi India.

295> Mp: “Dengan ‘tidak boleh mengoreksiku,’ ini berarti: ‘Ia tidak boleh memberikan nasihat atau instruksi kepadaku; ia tidak boleh mengoreksiku.’”

296> No ti naṃ vadeyyaṃ. Mp: “Maka aku akan berkata kepada mereka, ‘Aku tidak akan melakukan apa yang engkau katakan, dan aku tidak akan menyusahkannya dengan tidak melakukan apa yang ia katakan.”

297> Ubhato vacīsaṃsāro. Ungkapan ini tidak lazim. Mp menjelaskan bahwa perdebatan berlanjut  (saṃsaramānā) di kedua sisi ketika mereka saling menyerang satu sama lain secara verbal.

298> Ce di sini membaca ajjhattaṃ na avūpasantaṃ hoti, “tidak diselesaikan secara internal,” yang berarti bahwa gangguan terselesaikan; itu adalah lawan dari apa yang dituntut dalam konteks ini. Edisi tulisan Sinhala kuno, dengan merujuk dalam catatan pada Ce, membaca ajjhattaṃ na suvūpasantaṃ hoti, “ tidak terselesaikan dengan baik secara internal,” yang bermakna lebih baik. Be dan Ee membaca ajjhathaṃ avūpasantaṃ hoti, yang didukung oleh lema dari Mp Ce dan Be). Dengan demikian saya menerjemahkan dengan berdasarkan pada bacaan ini. Demikian pula, dalam pagraf berikutnya, Ce membaca ajjhattaṃ avūpasantaṃ hoti, sekali lagi merupakan lawan dari apa yang dituntut dalam konteks. Saya mengambil ajjhattaṃ na suvūpasantaṃ hoti dari Be dan Ee sebagai landasan bagi terjemahan saya.

299> Ce memperlakukan paragraf ini sebagai sutta terpisah. Be dan Ee, yang saya ikuti, memperlakukan kedua paragraf ini sebagai satu sutta. Jika kedua paragraf ini tidak diperlakukan dengan cara ini, maka tidak ada pasangan di sini yang dapat membenarkan dimasukkannya sutta ini ke dalam kelompok Dua.

300> Saya bersama Be membaca pabbajitasukhaṃ, bukan seperti Ce dan Ee pabbajjāsukhaṃ. Perbedaan antara gihī dan pabbajita tampak lebih logis daripada perbedaan antara gihī dan pabbajjā.

301> Upadhisukha dan nirupadhisukha. Tentang upadhi, baca p. 1621, catatan 219. Mp mengemas yang pertama sebagai kebahagiaan di tiga alam (alam indria, alam berbentuk, dan alam tanpa bentuk) dan mengemas yang terakhir sebagai kebahagiaan yang melampaui duniawi (lokuttarasukha).

302> Perbedaannya adalah antara sāmisaṃ sukhaṃ, yang didefinisikan oleh Mp sebagai kebahagiaan yang kotor yang mengarah kembali pada lingkaran [penjelmaan], dan nirāmisaṃ sukhaṃ), kebahagiaan tidak kotor yang mengarah pada akhir lingkaran.

303> Mp: “Kebahagiaan dengan sukacita (sappītikaṃ sukhaṃ) adalah kebahagiaan jhāna pertama dan ke dua. Kebahagiaan tanpa sukacita (nippītikaṃ sukhaṃ) adalah kebahagiaan jhāna ke tiga dan ke empat.”

304> Mp. “Kebahagiaan yang menyenangkan (sātasukha) adalah kebahagiaan tiga jhāna pertama. Kebahagiaan keseimbangan (upekkhāsukha) adalah kebahagiaan jhāna ke empat.”

305> Sappītikārammaṇaṃ sukhaṃ dan nippītikārammaṇaṃ sukhaṃ. Agak meragukan bahwa, dalam empat Nikāya, kata ārammaṇa selalu yang bermakna “objek kesadaran” dalam makna umum seperti dalam Abhidhamma dan komentar. Makna aslinya lebih mendekati “landasan” atau “penyokong.” Kadang-kadang, seperti dalam SN 34:5, III 266, kata ini menunjukkan suatu “objek meditasi.” Seiring perjalanan waktu, makna ārammaṇa pasti telah meluas dari “objek meditasi” menjadi “objek kesadaran” dalam makna umum, tetapi sepengetahuan saya perkembangan ini terjadi setelah masa ketika Nikāya-nikāya disusun.

306> Mp: “Kebahagiaan yang berdasarkan pada bentuk (rūpārammaṇaṃ sukhaṃ) adalah yang berdasarkan pada jhāna ke empat dari alam berbentuk, atau jhāna manapun yang muncul dengan berdasarkan pada itu. Yang berdasarkan pada tanpa-bentuk (arūpārammaṇaṃ sukhaṃ) adalah yang berdasarkan pada jhāna tanpa bentuk, atau jhāna manapun yang muncul dengan berdasarkan pada tanpa-bentuk.”

307> Mp: “Dengan suatu landasan” berarti “dengan suatu alasan.” Metode yang sama berlaku pada sutta-sutta berikutnya. Karena kata-kata ‘sumber,’ ‘penyebab,’ ‘aktivitas penyebab,’ ‘kondisi,’ dan ‘bentuk’ semuanya adalah sinonim untuk ‘alasan’” (Sanimitta ti sakāraṇā … Nidānaṃ hetu saṅkhāro paccayo rūpan ti sabbāni pi hi etāni kāraṇavevacanān’eva).

308> Saya mengikuti pengaturan dalam Be dan Ee. Ce tidak menempatkan sutta ini di sini, tetapi karena kata kuncinya adalah sasaṅkhāra, disisipkan di bawah, sebagai yang ke empat di antara sutta-sutta tentang kelima kelompok unsur kehidupan. Tampaknya teks yang digunakan oleh komentator bersesuaian dengan Be, karena Mp (baik Ce maupun Be) menjelaskan bahwa nimitta, nidāna, hetu, saṅkhāra, dan paccaya adalah bersinonim.

309> Mp: “Kebebasan pikiran (cetovimutti) adalah konsentrasi buah [Kearahattaan], kebebasan melalui kebijaksanaan (paññāvimutti) adalah kebijaksanaan buah.” Interpretasi ini mengasumsikan bahwa kedua ini digabungkan, seperti dalam ungkapan anāsavaṃ cetovimuttiṃ paññāvimuttiṃ. Akan tetapi, adalah mungkin bahwa cetovimutti lokiya dicapai secara terpisah dari paññāvimutti. Untuk pembahasan tentang perbedaan antara cetovimutti lokiya dan jenis yang melampaui keduniawian, baca ṃṇ 43.30-37,  I 297-98, dan SN 41.7, IV 295-97.

310> Be membalikkan ini.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DUA
« Reply #13 on: 04 January 2013, 03:19:22 PM »
311> Yo ca akappiya kappiyasaññī, yo ca kappiye akappiyasaññī. Ini merujuk pada apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan menurut aturan disiplin monastik.

312> Saya menerjemahkan berdasarkan pada Ce dan Ee, Be membalikkan kedua klausa, dengan menuliskannya: Yo ca āpattiyā anāpattisaññī, yo ca anāpattiyā āpattisaññī.

313> Di sini juga, Be membalikkan klausanya, dengan menuliskan: Yo ca āpattiyā āpattisaññī, yo ca anāpattiyā anāpattisaññī.

314> Di sini, sekali lagi, saya lebih mengikuti Ce dan Ee daripada Be, yang membalikkan klausanya.

315> Mp mengemas āsā di sini menjadi taṇhā.

316> Yoca laddhaṃ laddhaṃ vissajjeti. Mp mengemas: “Ia memberi kepada orang lain” (paresaṃ detī). Akan tetapi, saya pikir apa yang ditunjukkan dengan vissajjeti adalah bukan kedermawanan melainkan pemborosan.

317> Sehubungan dengan ini dan sutta berikutnya, baca 1:11, 1:12.

318> Untuk penjelasan atas jenis-jenis pelanggaran ini, di sini dan persis di bawah, baca p.1602, catatan 66.

319> Esa bhikkhave tulā etaṃ pamāṇaṃ. Mp: “Seperti halnya seseorang menimbang emas atau beras menggunakan timbangan, menggunakannya sebagai acuan, ukuran, atau patokan, demikian pula ini adalah acuan dan patokan bagi para siswa bhikkhu, yaitu, Sāriputta dan Moggallāna. Adalah mungkin untuk menimbang atau mengukur diri sendiri dengan beraspirasi, ‘Semoga aku menjadi seperti mereka sehubungan dengan kebijaksanaan atau kekuatan batin!’ tetapi bukan dengan cara lain.

320> Kedua siswa bhikkhunī utama berturut-turut dalam hal kebijaksanaan dan kekuatan batin. Baca 1:236, 1:237.

321> Baca 1:250, 1:251.

322> Baca 1:260, 1:262. nama terakhir juga dituliskan sebagai Veḷukaṇṭakiya dan Veḷukaṇḍakī.

323> Ce membagi tiap-tiap pernyataan tentang orang dungu dan orang bijaksana dalam 2:134-37 menjadi dua sutta, sedangkan Be dan Ee memperlakukannya sebagai bagian yang berlawanan dari satu sutta. Demikianlah di mana Be dan Ee menghitung empat sutta di sini, Ce menghitungnya delapan. Paralel dalam nipāta lainnya (3:9, 4:3, 10:225-28) bahkan dalam Ce mendukung Be dan Ee, yang oleh karena itu saya ikuti.

324> Ce secara keliru menomori paragraf pertama sutta ini sebagai 6 dalam vagga ini, dengan demikian memberi nomor 6 pada kedua sutta berturut-turut. Ini harus dikoreksi menjadi 7, dan penomoran sutta berikutnya dalam vagga ini harus ditambah satu.

325> Mp menyebutkan Devadatta dalam hubungannya dengan Sang Tathāgata dan Kokālika sehubungan dengan kedua siswa utama (baca 10:89, juga SN 6:9-10, I 149-53, Sn 3:10, pp.123-31; Vin II 196-200). Tentang sisi positif, Mp menyebutkan secara berturut-tururt Ānanda, dan penggembala sapi Nanda dan putera majikannya.

326> Sacittavodānañca na ca kiñci loke upādiyati. Saya memantulkan ketidak-cocokan gabungan bentuk gramatikal.

327> Saṅgahā. Baca 4:32 dan pp.1684-85, catatan 687.

328> Anukampā. Ini adalah kata yang biasanya menyiratkan belas kasihan aktif atau empati, berlawanan dengan karuṇa yang biasanya menyiratkan belas kasihan meditatif.

329> Santhāra. Mp menjelaskan ini seolah-olah bermakna “sebuah penutup” atau “penghamparan,” seperti pada konteks tertentu: “Menutupi dengan benda-benda materi adalah menghamparkan menutupi [ruang] antara diri sendiri dengan orang lain dengan empat benda kebutuhan.” Akan tetapi, lebih tepat jika santhāra di sini nyaris bersinonim dengan paṭisanthāra, yang muncul dalam sutta berikutnya. Sebenarnya, Mp mengatakan bahwa perbedaan antara kedua kata ini hanyalah pada awalannya saja.

330> Ātitheyyāni. Mp mengemas sebagai āgantukadānāni, “pemberian kepada seorang tamu.”

331> Mp: “Kemahiran dalam [memasuki] pencapaian meditatif (samāpattikusalatā) adalah kecakapan dalam memasuki pencapaian setelah seseorang memahami kecocokan dalam hal makanan dan cuaca. Kemahiran dalam keluar dari pencapaian meditatif (samāpattivuṭṭhānakusalatā) adalah keahlian dalam keluar pada saat yang telah ditentukan.

332> Di sini saya mengikuti Ce dan Ee, yang menghitung masing-masing dari lima pasang sebagai sutta terpisah; Be menghitung masing-masing kelompok sebagai satu sutta.

333> Be dan Ce menghitung sutta-sutta berikut ini sebagai vagga terpisah, tetapi Ee memperlakukannya sebagai kelanjutan dari vagga XVI.

334> Sekali lagi, saya mengikuti Ce dan Ee dalam menghitung tiap-tiap pasang kualitas tidak bermanfaat (dan di bawahnya, yang bermanfaat) dalam vagga ini sebagai sutta terpisah, sedangkan Be menghitung tiap-tiap kelompok kualitas tidak bermanfaat dan bermanfaat sebagai satu sutta.

335> Ee menghitung ini sebagai vagga XVII dan menamainya “Alasan-alasan” (atthavasa). Be juga memperlakukannya sebagai vagga tersendiri, tetapi Ce menganggapnya sebagai sub bab dari vagga XVII.

336> Ee menghitung sepuluh sutta di sini, tetapi saya mengikuti Be dan Ee menggabungkannya menjadi satu.

337> Apa yang ada di sini adalah semua peraturan disiplin yang ditetapkan dalam Vinaya Piṭaka.

338> Ee memperlakukan ini sebagai kelanjutan dari vagga XVII, Ce dan Be sebagai vagga tersendiri tetapi tanpa nomor.