//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: BUKAN TIPITAKA TEMATIK  (Read 28548 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IX)
« Reply #75 on: 01 June 2012, 08:54:53 PM »
3. KHOTBAH TENTANG PANDANGAN BENAR

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu.” – “Teman,” mereka menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

2. “‘Seorang yang berpandangan benar, seorang yang berpandangan benar,’ dikatakan, teman-teman. Dalam cara bagaimanakah seorang siswa mulia berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati?”  [9]

“Sesungguhnya, teman, kami datang dari jauh untuk mempelajari makna pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarkannya darinya para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka, teman-teman, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan aku katakan.”

“Baik, Teman,” para bhikkhu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

(YANG BERMANFAAT DAN YANG TIDAK BERMANFAAT)

3. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami yang tidak bermanfaat dan akar dari yang tidak bermanfaat, yang bermanfaat dan akar dari yang bermanfaat, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

4. “Dan apakah, teman-teman, yang tidak bermanfaat, apakah akar dari yang tidak bermanfaat, apakah yang bermanfaat, apakah akar dari yang bermanfaat? Membunuh makhluk-makhluk hidup adalah tidak bermanfaat; mengambil apa yang tidak diberikan adalah tidak bermanfaat; perilaku salah dalam hubungan seksual adalah tidak bermanfaat; kebohongan adalah tidak bermanfaat; berkata-kata fitnah adalah tidak bermanfaat; berkata-kata kasar adalah tidak bermanfaat; bergosip adalah tidak bermanfaat; ketamakan adalah tidak bermanfaat; permusuhan adalah tidak bermanfaat; pandangan salah adalah tidak bermanfaat. Ini disebut dengan yang tidak bermanfaat.  [20]

5. “Dan apakah akar dari yang tidak bermanfaat? Keserakahan adalah akar dari yang tidak bermanfaat; kebencian adalah akar dari yang tidak bermanfaat; delusi adalah akar dari yang tidak bermanfaat. Ini disebut dengan akar dari yang tidak bermanfaat.

6. “Dan apakah yang bermanfaat? Menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup adalah bermanfaat; menghindari mengambil apa yang tidak diberikan adalah bermanfaat; menghindari perilaku salah dalam hubungan seksual adalah bermanfaat; menghindari kebohongan adalah bermanfaat; menghindari berkata-kata fitnah adalah bermanfaat; menghindari berkata-kata kasar adalah bermanfaat; menghindari bergosip adalah bermanfaat; ketidak-tamakan adalah bermanfaat; tidak-bermusuhan adalah bermanfaat; pandangan benar adalah bermanfaat. Ini disebut dengan yang bermanfaat.

7. “Dan apakah akar dari yang  bermanfaat? Ketidak-serakahan adalah akar dari yang bermanfaat; ketidak-bencian adalah akar dari yang bermanfaat; ketidak-bodohan adalah akar dari yang bermanfaat. Ini disebut dengan akar dari yang bermanfaat.

8. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami yang tidak bermanfaat dan akar dari yang tidak bermanfaat, yang bermanfaat dan akar dari yang bermanfaat,  [11] maka ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu, ia menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada penolakan, ia memadamkan kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘Aku,’ dan dengan meninggalkan ketidak-tahuan dan membangkitkan pengetahuan sejati, ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan.  [12] Dengan cara ini juga seorang siswa mulia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(MAKANAN)

9. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” – “Ada, teman-teman.

10. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami makanan, asal-mula makanan, lenyapnya makanan dan jalan menuju lenyapnya makanan. Dengan cara itulah ia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

11. “Dan apakah makanan, apakah asal-mula makanan, apakah lenyapnya makanan, apakah jalan menuju lenyapnya makanan? Ada empat jenis makanan untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah terlahir dan untuk menyokong mereka yang mencari kehidupan baru. Apakah empat ini? Yaitu: makanan fisik sebagai makanan, kasar atau halus; kontak sebagai yang ke dua; kehendak pikiran sebagai yang ke tiga; dan kesadaran sebagai yang ke empat.  [13] Dengan munculnya ketagihan maka muncul pula makanan. Dengan lenyapnya ketagihan maka lenyap pula makanan. Jalan menuju lenyapnya makanan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

12. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami makanan, asal-mula makanan, lenyapnya makanan dan jalan menuju lenyapnya makanan, maka ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara ini juga seorang siswa mulia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(EMPAT KEBENARAN MULIA)

13. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” – “Ada, teman-teman.

14. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami penderitaan, asal-mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan, dengan cara inilah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

15. “Dan apakah penderitaan, apakah asal-mula penderitaan, apakah lenyapnya penderitaan, apakah jalan menuju lenyapnya penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan; penuaan adalah penderitaan; sakit adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan. Ini disebut penderitaan.

16. “Dan apakah asal-mula penderitaan? Yaitu ketagihan yang menuntun menuju penjelmaan baru, disertai oleh kenikmatan dan nafsu, mencari kenikmatan di sana-sini; yaitu, ketagihan pada kenikmatan indria, ketagihan untuk menjelma, dan ketagihan untuk tidak menjelma. Ini disebut asal-mula penderitaan.

17. “Dan apakah lenyapnya penderitaan? Yaitu peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama ini, terhentinya dan  terlepasnya ketagihan itu, kebebasan darinya, ketidak-melekatan.

18. “Dan apakah jalan menuju lenyapnya penderitaan? Yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar. Ini disebut jalan menuju lenyapnya penderitaan.

19. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami penderitaan, asal-mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(PENUAAN DAN KEMATIAN)

20. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” – “Ada, teman-teman.

21. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami penuaan dan kematian, asal-mula penuaan dan kematian, lenyapnya penuaan dan kematian, dan jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian, dengan cara itulah ia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.  [14]

22. “Dan apakah penuaan dan kematian, apakah asal-mula penuaan dan kematian, apakah lenyapnya penuaan dan kematian, apakah jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian? Penuaan makhluk-makhluk dalam berbagai urutan penjelmaan, usia tua, gigi tanggal, rambut memutih, kulit keriput, kehidupan menurun, indria-indria melemah – ini disebut penuaan. Berhentinya makhluk-makhluk dalam berbagai urutan makhluk-makhluk, kematiannya, terputusnya, lenyapnya, sekarat, selesainya waktu, hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, terbaringnya tubuh – ini disebut kematian. Maka penuaan ini dan kematian ini adalah apa yang disebut dengan penuaan dan kematian. Dengan munculnya kelahiran maka muncul pula penuaan dan kematian. Dengan lenyapnya kelahiran maka lenyap pula penuaan dan kematian. Jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

23. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami penuaan dan kematian, asal-mula penuaan dan kematian, lenyapnya penuaan dan kematian, dan jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KELAHIRAN)

24. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” – “Ada, teman-teman.

25. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami kelahiran, asal-mula kelahiran, lenyapnya kelahiran, dan jalan menuju lenyapnya kelahiran, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

26. “Dan apakah kelahiran, apakah asal-mula kelahiran, apakah lenyapnya kelahiran, apakah jalan menuju lenyapnya kelahiran? Kelahiran makhluk-makhluk dalam berbagai urutan penjelmaan, akan terlahir, kemunculan [di dalam rahim], pembentukan, perwujudan kelompok-kelompok unsur kehidupan, memperoleh landasan-landasan kontak - ini disebut kelahiran. Dengan munculnya penjelmaan maka muncul pula kelahiran. Dengan lenyapnya penjelmaan maka lenyap pula kelahiran. Jalan menuju lenyapnya kelahiran adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

27. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami kelahiran, asal-mula kelahiran, lenyapnya kelahiran, dan jalan menuju lenyapnya kelahiran … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(PENJELMAAN)

28. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

29. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami penjelmaan, asal-mula penjelmaan, lenyapnya penjelmaan, dan jalan menuju lenyapnya penjelmaan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

30. “Dan apakah penjelmaan, apakah asal mula penjelmaan, apakah lenyapnya penjelmaan, apakah jalan menuju lenyapnya penjelmaan? Terdapat tiga jenis penjelmaan ini: penjelmaan di alam indria, penjelmaan di alam berbentuk, dan penjelmaan di alam tanpa bentuk.  [15] Dengan munculnya kemelekatan maka muncul pula penjelmaan. Dengan lenyapnya kemelekatan maka lenyap pula penjelmaan. Jalan menuju lenyapnya penjelmaan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

31. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami penjelmaan, asal-mula penjelmaan, lenyapnya penjelmaan, dan jalan menuju lenyapnya penjelmaan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KEMELEKATAN)

32. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

33. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami kemelekatan, asal-mula kemelekatan, lenyapnya kemelekatan, dan jalan menuju lenyapnya kemelekatan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

34. “Dan apakah kemelekatan, apakah asal-mula kemelekatan, apakah lenyapnya kemelekatan, apakah jalan menuju lenyapnya kemelekatan? Terdapat empat jenis kemelekatan ini: kemelekatan pada kenikmatan indria, kemelekatan pada pandangan-pandangan, kemelekatan pada ritual dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri.  [16] Dengan munculnya ketagihan maka muncul pula kemelekatan. Dengan lenyapnya ketagihan maka lenyap pula kemelekatan. Jalan menuju lenyapnya kemelekatan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

35. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami kemelekatan, asal-mula kemelekatan, lenyapnya kemelekatan, dan jalan menuju lenyapnya kemelekatan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KETAGIHAN)

36. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

37. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami ketagihan, asal-mula ketagihan, lenyapnya ketagihan, dan jalan menuju lenyapnya ketagihan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

38. “Dan apakah ketagihan, apakah asal-mula ketagihan, apakah lenyapnya ketagihan, apakah jalan menuju lenyapnya ketagihan? Terdapat enam kelompok ketagihan ini: ketagihan pada bentuk-bentuk, ketagihan pada suara-suara, ketagihan pada bau-bauan, ketagihan pada rasa kecapan, ketagihan pada objek-objek sentuhan, ketagihan pada fenomena-fenomena.  [17] Dengan munculnya perasaan maka muncul pula ketagihan. Dengan lenyapnya perasaan maka lenyap pula ketagihan. Jalan menuju lenyapnya ketagihan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

39. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami ketagihan, asal-mula ketagihan, lenyapnya ketagihan, dan jalan menuju lenyapnya ketagihan… ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IX)
« Reply #76 on: 01 June 2012, 08:55:24 PM »
(PERASAAN)

40. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

41. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami perasaan, asal-mula perasaan, lenyapnya perasaan, dan jalan menuju lenyapnya perasaan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

42. “Dan apakah perasaan, apakah asal-mula perasaan, apakah lenyapnya perasaan, apakah jalan menuju lenyapnya perasaan? Terdapat enam kelompok perasaan ini: perasaan yang muncul dari kontak-mata, perasaan yang muncul dari kontak-telinga, perasaan yang muncul dari kontak-hidung, perasaan yang muncul dari kontak-lidah, perasaan yang muncul dari kontak-badan, perasaan yang muncul dari kontak-pikiran. Dengan munculnya kontak maka muncul pula perasaan. Dengan lenyapnya kontak maka lenyap pula perasaan. Jalan menuju lenyapnya perasaan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

43. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami perasaan, asal-mula perasaan, lenyapnya perasaan, dan jalan menuju lenyapnya perasaan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KONTAK)

44. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

45. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami kontak, asal-mula kontak, lenyapnya kontak, dan jalan menuju lenyapnya kontak, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

46. “Dan apakah kontak, apakah asal-mula kontak, apakah lenyapnya kontak, apakah jalan menuju lenyapnya kontak? Terdapat enam kelompok kontak ini: kontak-mata, kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-badan, kontak-pikiran.  [18] Dengan munculnya enam landasan maka muncul pula kontak. Dengan lenyapnya enam landasan maka lenyap pula kontak. Jalan menuju lenyapnya kontak adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

47. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami kontak, asal-mula kontak, lenyapnya kontak, dan jalan menuju lenyapnya kontak … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(ENAM LANDASAN INDRIA)

48. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

49. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami enam landasan indria, asal-mula enam landasan indria, lenyapnya enam landasan indria, dan jalan menuju lenyapnya enam landasan indria, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

50. “Dan apakah enam landasan indria, apakah asal-mula enam landasan indria, apakah lenyapnya enam landasan indria, apakah jalan menuju lenyapnya enam landasan indria? Terdapat enam landasan indria ini: landasan-mata, landasan-telinga, landasan-hidung, landasan-lidah, landasan-badan, landasan-pikiran. Dengan munculnya nama-dan-bentuk maka muncul pula enam landasan indria. Dengan lenyapnya nama-dan-bentuk maka lenyap pula enam landasan indria. Jalan menuju lenyapnya enam landasan indria adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

51. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami enam landasan indria, asal-mula enam landasan indria, lenyapnya enam landasan indria, dan jalan menuju lenyapnya enam landasan indria … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(NAMA-DAN-BENTUK)

52. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

53. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami nama-dan-bentuk, asal-mula nama-dan-bentuk, lenyapnya nama-dan-bentuk, dan jalan menuju lenyapnya nama-dan-bentuk, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

54. “Dan apakah nama-dan-bentuk, apakah asal-mula nama-dan-bentuk, apakah lenyapnya nama-dan-bentuk, apakah jalan menuju lenyapnya nama-dan-bentuk? Perasaan, persepsi, kehendak, kontak, dan perhatian – ini disebut nama. Empat unsur utama dan bentuk materi yang diturunkan dari empat unsur utama – ini disebut bentuk. Maka nama ini dan bentuk ini adalah apa yang disebut nama-dan-bentuk.  [19] Dengan munculnya kesadaran maka muncul pula nama-dan-bentuk. Dengan lenyapnya kesadaran maka lenyap pula nama-dan-bentuk. Jalan menuju lenyapnya nama-dan-bentuk adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

55. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami nama-dan-bentuk, asal-mula nama-dan-bentuk, lenyapnya nama-dan-bentuk, dan jalan menuju lenyapnya nama-dan-bentuk … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KESADARAN)

56. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

57. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami kesadaran, asal-mula kesadaran, lenyapnya kesadaran, dan jalan menuju lenyapnya kesadaran, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

58. “Dan apakah kesadaran, apakah asal-mula kesadaran, apakah lenyapnya kesadaran, apakah jalan menuju lenyapnya kesadaran? Terdapat enam kelompok kesadaran ini: kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran.  [20] Dengan munculnya bentukan-bentukan maka muncul pula kesadaran. Dengan lenyapnya bentukan-bentukan maka lenyap pula kesadaran. Jalan menuju lenyapnya kesadaran adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

59. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami kesadaran, asal-mula kesadaran, lenyapnya kesadaran, dan jalan menuju lenyapnya kesadaran … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(BENTUKAN-BENTUKAN KEHENDAK)

60. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

61. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia telah memahami bentukan-bentukan kehendak, asal-mula bentukan-bentukan kehendak, lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, dan jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

62. “Dan apakah bentukan-bentukan kehendak, apakah asal-mula bentukan-bentukan kehendak, apakah lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, apakah jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan kehendak? Terdapat tiga jenis bentukan-bentukan kehendak ini: bentukan kehendak jasmani, bentukan kehendak ucapan, bentukan kehendak pikiran.  [21] Dengan munculnya ketidak-tahuan maka muncul pula bentukan-bentukan kehendak. Dengan lenyapnya ketidak-tahuan maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak. Jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan kehendak adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

63. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami bentukan-bentukan kehendak, asal-mula bentukan-bentukan kehendak, lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, dan jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan kehendak … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KETIDAK-TAHUAN)

64. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

65. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami ketidak-tahuan, asal-mula ketidak-tahuan, lenyapnya ketidak-tahuan, dan jalan menuju lenyapnya ketidak-tahuan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

66. “Dan apakah ketidak-tahuan, apakah asal-mula ketidak-tahuan, apakah lenyapnya ketidak-tahuan, apakah jalan menuju lenyapnya ketidak-tahuan? Tidak mengetahui penderitaan, tidak mengetahui asal-mula penderitaan, tidak mengetahui lenyapnya penderitaan, tidak mengetahui jalan menuju lenyapnya penderitaan – ini disebut ketidak-tahuan. Dengan munculnya noda-noda maka muncul pula ketidak-tahuan. Dengan lenyapnya noda-noda maka lenyap pula ketidak-tahuan. Jalan menuju lenyapnya ketidak-tahuan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

67. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami ketidak-tahuan, asal-mula ketidak-tahuan, lenyapnya ketidak-tahuan, dan jalan menuju lenyapnya ketidak-tahuan… ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(NODA-NODA)

68. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

69. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami noda-noda, asal-mula noda-noda, lenyapnya noda-noda, dan jalan menuju lenyapnya noda-noda, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

70. “Dan apakah noda-noda, apakah asal-mula noda-noda, apakah lenyapnya noda-noda, apakah jalan menuju lenyapnya noda-noda? Ada tiga noda ini: noda keinginan indria, noda penjelmaan, dan noda ketidak-tahuan. Dengan munculnya ketidak-tahuan maka muncul pula noda-noda.  [22] Dengan lenyapnya ketidak-tahuan maka lenyap pula noda-noda. Jalan menuju lenyapnya noda-noda adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

71. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami noda-noda, asal-mula noda-noda, lenyapnya noda-noda, dan jalan menuju lenyapnya noda-noda,  maka ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu, ia menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada penolakan, ia memadamkan kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘aku,’ dan dengan meninggalkan ketidak-tahuandan membangkitkan pengetahuan sejati ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara ini juga seorang siswa mulia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu puas dan gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta.

(MN 9: Sammādiṭṭhi Sutta; I 46-55)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IX)
« Reply #77 on: 01 June 2012, 08:55:58 PM »
4. WILAYAH KEBIJAKSANAAN

(1) Melalui Kelima Kelompok Unsur Kehidupan

(a) Tahapan Kelompok-kelompok Unsur Kehidupan

Di Sāvatthī, Sang Bhagavā berkata: “Para bhikkhu, ada lima kelompok unsur kehidupan ini yang tunduk pada kemelekatan. Apakah lima ini? Kelompok unsur bentuk yang tunduk pada kemelekatan, Kelompok unsur perasaan yang tunduk pada kemelekatan, Kelompok unsur persepsi yang tunduk pada kemelekatan, Kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak yang tunduk pada kemelekatan, Kelompok unsur kesadaran yang tunduk pada kemelekatan.

“Selama Aku belum mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kelima kelompok unsur kehidupan ini yang tunduk pada kemelekatan dalam empat tahap,  [23] Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tanpa bandingnya di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika Aku mengetahui secara langsung semua ini sebagaimana adanya, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tanpa bandingnya di dunia ini dengan … para deva dan manusia.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, empat tahap ini? Aku mengetahui secara langsung bentuk, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Aku mengetahui secara langsung perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya.

“Dan apakah, para bhikkhu, bentuk itu? Empat unsur utama dan bentuk yang diturunkan dari empat unsur utama: ini disebut bentuk. Dengan munculnya makanan maka muncul pula bentuk. Dengan lenyapnya makanan, maka lenyap pula bentuk. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya bentuk, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Petapa dan brahmana manapun, setelah secara langsung mengetahui bentuk, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, yang mempraktikkan demi tujuan kekecewaan terhadap bentuk, demi meluruhnya dan lenyapnya, mereka mempraktikkan dengan baik. Mereka yang mempraktikkan dengan baik akan memperoleh tempat berpijak dalam Dhamma dan Disiplin ini.  [24]

“Petapa dan brahmana manapun, setelah secara langsung mengetahui bentuk, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, melalui kekecewaan terhadap bentuk, melalui meluruhnya dan lenyapnya, terbebaskan melalui ketidak-melekatan, mereka terbebaskan dengan baik. Mereka yang terbebaskan dengan baik adalah Para Sempurna. Sehubungan dengan Para Sempurna itu, tidak ada lingkaran bagi perwujudan mereka.  [25]

“Dan apakah, para bhikkhu, perasaan itu? Ada enam kelompok perasaan: perasaan yang berasal dari kontak-mata, perasaan yang berasal dari kontak-telinga, perasaan yang berasal dari kontak-hidung, perasaan yang berasal dari kontak-lidah, perasaan yang berasal dari kontak-badan, perasaan yang berasal dari kontak-pikiran. Ini disebut perasaan. Dengan munculnya kontak, maka muncul pula perasaan. Dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya bentuk, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Petapa dan brahmana manapun, setelah secara langsung mengetahui perasaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, yang mempraktikkan demi tujuan kekecewaan terhadap perasaan, demi meluruhnya dan lenyapnya, mereka mempraktikkan dengan baik. Mereka yang mempraktikkan dengan baik akan memperoleh tempat berpijak dalam Dhamma dan Disiplin ini.

“Dan petapa dan brahmana manapun, setelah secara langsung mengetahui perasaan … dan jalan menuju lenyapnya …  Sehubungan dengan Para Sempurna itu, tidak ada lingkaran bagi perwujudan mereka.

“Dan apakah, para bhikkhu, persepsi itu? Ada enam kelompok persepsi: persepsi bentuk, persepsi suara, persepsi bau-bauan, persepsi rasa-kecapan, persepsi objek-sentuhan, persepsi fenomena-pikiran. Ini disebut persepsi. Dengan munculnya kontak, maka muncul pula persepsi. Dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula persepsi. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya bentuk, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Petapa dan brahmana manapun … Sehubungan dengan Para Sempurna itu, tidak ada lingkaran bagi perwujudan mereka.

“Dan apakah, para bhikkhu, bentukan-bentukan kehendak itu? Ada enam kelompok kehendak:  [26] Kehendak sehubungan dengan bentuk, kehendak sehubungan dengan suara, kehendak sehubungan dengan bau-bauan, kehendak sehubungan dengan objek-sentuhan, kehendak sehubungan dengan fenomena-pikiran. Ini disebut bentukan-bentukan kehendak. Dengan munculnya kontak, maka muncul pula bentukan-bentukan kehendak. Dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya bentuk, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Petapa dan brahmana manapun …  Sehubungan dengan Para Sempurna itu, tidak ada lingkaran bagi perwujudan mereka.

“Dan apakah, para bhikkhu, kesadaran itu? Ada enam kelompok kesadaran: kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran. Ini disebut kesadaran. Dengan munculnya nama-dan-bentuk, maka muncul pula kesadaran.  [27] Dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, maka lenyap pula kesadaran. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya bentuk, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Petapa dan brahmana manapun, setelah secara langsung mengetahui kesadaran, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, yang mempraktikkan demi tujuan kekecewaan terhadap kesadaran, demi meluruhnya dan lenyapnya, mereka mempraktikkan dengan baik. Mereka yang mempraktikkan dengan baik akan memperoleh tempat berpijak dalam Dhamma dan Disiplin ini.

“Petapa dan brahmana manapun, setelah secara langsung mengetahui kesadaran, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, melalui kekecewaan terhadap kesadaran, melalui meluruhnya dan lenyapnya, terbebaskan melalui ketidak-melekatan, mereka terbebaskan dengan baik. Mereka yang terbebaskan dengan baik adalah Para Sempurna. Sehubungan dengan Para Sempurna itu, tidak ada lingkaran bagi perwujudan mereka.”

(SN 22:56; III 58-61)

(b) Tanya-jawab tentang Kelompok-kelompok Unsur Kehidupan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Taman Timur, di istana ibunya Migāra, bersama dengan Saṅgha para bhikkhu. Pada saat itu – hari Uposatha tanggal lima belas, malam bulan-purnama – Sang Bhagavā duduk di ruang terbuka di kelilingi oleh Saṅgha para bhikkhu.

Kemudian seorang bhikkhu bangkit dari duduknya, merapikan jubahnya di satu bahunya, merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, aku ingin bertanya kepada Bhagavā mengenai hal tertentu, jika Bhagavā sudi menjawab pertanyaanku.”

“Baiklah, bhikkhu, duduklah dan tanyakan apapun yang engkau ingin tanyakan.”

“Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu menjawab. Kemudian ia duduk di tempatnya dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bukankah kelima kelompok unsur kehidupan ini tunduk pada kemelekatan, Yang Mulia: yaitu, kelompok unsur bentuk tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur perasaan tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur persepsi tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur kesadaran tunduk pada kemelekatan?”

“Benar, bhikkhu.”

Dengan mengatakan, “Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu senang dan gembira mendengar jawaban Sang Bhagavā. Kemudian ia mengajukan pertanyaan berikutnya kepada Sang Bhagavā:

“Tetapi, Yang Mulia, dalam apakah kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini berakar?”

“Kelima kelompok usur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan itu, bhikkhu, berakar dalam keinginan.”  [28]

“Yang Mulia, apakah kemelekatan itu sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan ini, atau apakah kemelekatan adalah sesuatu yang berbeda dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan?”

“Bhikkhu, kemelekatan itu bukan sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan, juga kemelekatan bukanlah sesuatu yang berbeda dengan lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan. Melainkan, keinginan dan nafsu terhadapnya, itulah kemelekatan di sana.”  [29]

“Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu … mengajukan pertanyaan berikutnya kepada Sang Bhagavā:

“Tetapi, Yang Mulia, mungkinkah ada keberagaman dalam keinginan dan nafsu terhadap lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan itu?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, seseorang berpikir: ‘Semoga aku memiliki bentuk seperti ini di masa depan! Semoga aku memiliki perasaan seperti ini di masa depan! Semoga aku memiliki persepsi seperti ini di masa depan! Semoga aku memiliki bentukan-bentukan kehendak seperti ini di masa depan! Semoga aku memiliki kesadaran seperti ini di masa depan!’ Demikianlah, bhikkhu, mungkin saja terdapat keberagaman dalam keinginan dan nafsu terhadap lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan.”

“Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu … mengajukan pertanyaan berikutnya kepada Sang Bhagavā:

“Dengan cara bagaimanakah, Yang Mulia, sebutan ‘kelompok unsur kehidupan’ dipergunakan pada kelompok-kelompok unsur kehidupan?”

“Bentuk apapun juga, bhikkhu, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur bentuk. Perasaan apapun juga, bhikkhu, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur perasaan. Persepsi apapun juga, bhikkhu, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur persepsi. Bentukan-bentukan kehendak apapun juga, bhikkhu, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak. Kesadaran apapun juga, bhikkhu, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur kesadaran. Dengan cara inilah, bhikkhu, sebutan ‘kelompok unsur kehidupan’ dipergunakan pada kelompok-kelompok unsur kehidupan.”

“Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu … mengajukan pertanyaan berikutnya kepada Sang Bhagavā:

“Apakah sebab dan kondisi, Yang Mulia, bagi terwujudnya kelompok unsur bentuk? Apakah sebab dan kondisi bagi terwujudnya kelompok unsur perasaan? … bagi terwujudnya kelompok unsur persepsi? … bagi terwujudnya kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak? … bagi terwujudnya kelompok unsur kesadaran?”

“Empat unsur utama, bhikkhu, adalah sebab dan kondisi bagi terwujudnya kelompok unsur bentuk. Kontak adalah sebab dan kondisi bagi terwujudnya kelompok unsur perasaan, kelompok unsur persepsi, dan kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak. Nama-dan-bentuk adalah sebab dan kondisi bagi terwujudnya kelompok unsur kesadaran.”

“Yang Mulia, bagaimanakah pandangan identitas muncul?”

“Di sini, bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terlatih, yang bukan pengikut dari para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan pengikut dari orang-orang terkemuka dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ini adalah bagaimana pandangan identitas muncul.”

“Tetapi, Yang Mulia, bagaimanakah pandangan identitas itu tidak muncul?”

“Di sini, bhikkhu, siswa mulia yang terlatih, yang merupakan pengikut dari para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang merupakan pengikut dari orang-orang terkemuka dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Inilah bagaimana pandangan identitas itu tidak muncul.”

“Apakah, Yang Mulia, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan?”

“Kenikmatan dan kegembiraan, bhikkhu, yang muncul dengan bergantung pada bentuk: ini adalah kepuasan dalam bentuk. Bentuk itu tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam bentuk. Lenyapnya dan lepasnya kenikmatan dan nafsu pada bentuk: ini adalah jalan membebaskan dari bentuk. Kenikmatan dan kegembiraan, bhikkhu, yang muncul dengan bergantung pada perasaan …  dengan bergantung pada persepsi … dengan bergantung pada bentukan-bentukan kehendak … dengan bergantung pada kesadaran. ini adalah kepuasan dalam kesadaran. Kesadaran itu tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam kesadaran. Lenyapnya dan lepasnya kenikmatan dan nafsu akan kesadaran: ini adalah jalan membebaskan dari kesadaran.”

Dengan mengatakan, “Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu senang dan gembira mendengar jawaban Sang Bhagavā. Kemudian ia mengajukan pertanyaan berikutnya kepada Sang Bhagavā:

“Yang Mulia, bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah ia melihat, sehingga, sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan gambaran-gambaran eksternal, maka pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan tidak lagi muncul di dalam dirinya?”  [30]

“Bentuk apapun juga, bhikkhu, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seseorang melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Perasaan apapun juga … Persepsi apapun juga … Bentukan kehendak apapun juga … kesadaran apapun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seseorang melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, bhikkhu, maka sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, maka pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi terhadap keangkuhan tidak lagi muncul di dalam dirinya.”

(dari SN 22:82, diringkas; 100-103 = MN 109, diringkas; III 15-19)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IX)
« Reply #78 on: 01 June 2012, 08:56:47 PM »
(c) Karakteristik Tanpa-diri

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana.  [31]Di sana Sang Bhagavā berkata kepada Kelompok Lima Bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, bentuk adalah bukan-diri. Karena jika, para bhikkhu, bentuk adalah diri, maka bentuk tidak akan menyebabkan penderitaan, dan adalah mungkin untuk mengatakan sehubungan dengan bentuk: ‘Biarlah bentukku seperti ini; biarlah bentukku tidak seperti ini.’ Tetapi karena bentuk adalah bukan-diri, maka bentuk menyebabkan penderitaan, dan adalah tidak mungkin mengatakan sehubungan dengan bentuk: ‘Biarlah bentukku seperti ini; biarlah bentukku tidak seperti ini.’  [32]

“Perasaan adalah bukan-diri … Persepsi adalah bukan-diri … Bentukan-bentukan kehendak adalah bukan-diri … Kesadaran adalah bukan diri. Karena jika, para bhikkhu, kesadaran adalah diri, maka kesadaran tidak akan menyebabkan penderitaan, dan adalah mungkin untuk mengatakan sehubungan dengan kesadaran: ‘Biarlah kesadaranku seperti ini; biarlah kesadaranku tidak seperti ini.’ tetapi karena kesadaran adalah bukan-diri, maka kesadaran menyebabkan penderitaan, dan adalah tidak mungkin mengatakan sehubungan dengan kesadaran: ‘Biarlah kesadaranku seperti ini; biarlah kesadaranku tidak seperti ini.’

“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”

“Apakah perasaan adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah persepsi adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah bentukan-bentukan kehendak adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” –   “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”

“Oleh karena itu, para bhikkhu, bentuk apapun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Perasaan apapun juga … Persepsi apapun juga, Bentukan-bentukan kehendak apapun juga … Kesadaran apapun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa terhadap bentuk, kecewa terhadap perasaan, kecewa terhadap persepsi, kecewa terhadap bentukan-bentukan kehendak, kecewa terhadap kesadaran. Dengan mengalami kekecewaan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada makhluk apapun juga.’”

Demikianlah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu itu gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Dan ketika khotbah ini sedang dibabarkan, batin para bhikkhu dari Kelompok Lima itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

(SN 22:59; III 66-68)

(d) Tidak-kekal, Penderitaan, dan Tanpa-diri

 “Para bhikkhu, bentuk adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihat ini sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, batinnya menjadi bosan dan terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

“Perasaan adalah tidak kekal … Persepsi adalah tidak kekal … Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihat ini sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, batinnya menjadi bosan dan terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

“Jika, para bhikkhu, batin seorang bhikkhu telah menjadi bosan terhadap unsur bentuk, maka batinnya itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Jika batinnya telah menjadi bosan terhadap unsur perasaan … terhadap unsur persepsi … terhadap unsur bentukan-bentukan kehendak … terhadap unsur kesadaran, maka batinnya itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

“Dengan terbebaskan, batinnya menjadi kokoh; dengan menjadi kokoh, batinnya puas; dengan menjadi puas, ia tidak bergejolak. Dengan tidak bergejolak, ia mencapai Nibbāna. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada makhluk apapun juga.’”

(SN 22:45; III 44-45)

(e) Segumpal Buih

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Ayojjhā di tepi Sungai Gangga. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Para bhikkhu, misalkan Sungai Gangga ini membawa sebongkah buih besar. Seseorang dengan penglihatan yang baik akan memeriksanya, merenungkannya, dan dengan seksama menyelidikinya, dan ia akan melihatnya sebagai hampa, kosong, tanpa inti. Karena inti apakah yang dapat berada di dalam segumpal buih? Demikian pula, para bhikkhu, bentuk apapun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: seorang bhikkhu memeriksanya, merenungkannya, dan dengan seksama menyelidikinya, dan ia akan melihatnya sebagai hampa, kosong, tanpa inti. Karena inti apakah yang dapat berada di dalam bentuk?  [33]

“Misalkan, para bhikkhu, di musim gugur, ketika hujan dan rintik-rintik besar air turun, gelembung air muncul dan pecah di atas permukaan air. Seseorang dengan penglihatan yang baik akan memeriksanya, merenungkannya, dan dengan seksama menyelidikinya, dan ia akan melihatnya sebagai hampa, kosong, tanpa inti. Karena inti apakah yang dapat berada di dalam gelembung air? Demikian pula, para bhikkhu, perasaan apapun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: seorang bhikkhu memeriksanya, merenungkannya, dan dengan seksama menyelidikinya, dan ia akan melihatnya sebagai hampa, kosong, tanpa inti. Karena inti apakah yang dapat berada di dalam perasaan?  [34]

“Misalkan, para bhikkhu, di bulan terakhir musim panas, di tengah hari, suatu fatamorgana muncul. Seseorang dengan penglihatan yang baik akan memeriksanya, merenungkannya, dan dengan seksama menyelidikinya, dan ia akan melihatnya sebagai hampa, kosong, tanpa inti. Karena inti apakah yang dapat berada di dalam fatamorgana? Demikian pula, para bhikkhu, persepsi apapun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: seorang bhikkhu memeriksanya, merenungkannya, dan dengan seksama menyelidikinya, dan ia akan melihatnya sebagai hampa, kosong, tanpa inti. Karena inti apakah yang dapat berada di dalam persepsi?  [35]

“Misalkan, para bhikkhu, seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, mengembara dalam mencari inti kayu, membawa kapak tajam dan memasuki hutan. Di sana ia melihat sebatang pohon pisang besar, lurus, segar, tanpa tandan buah. Ia menebang pohon itu di akarnya, memotong pucuknya, dan membuka gulungan kulitnya. Sewaktu ia membuka gulungan itu, ia tidak akan menemukan bahkan kayu yang lunak sekalipun, apalagi inti kayu. Seseorang dengan penglihatan yang baik akan memeriksanya, merenungkannya, dan dengan seksama menyelidikinya, dan ia akan melihatnya sebagai hampa, kosong, tanpa inti. Karena inti apakah yang dapat berada di dalam batang pohon pisang? Demikian pula, para bhikkhu, bentukan-bentukan kehendak apapun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: seorang bhikkhu memeriksanya, merenungkannya, dan dengan seksama menyelidikinya, dan ia akan melihatnya sebagai hampa, kosong, tanpa inti. Karena inti apakah yang dapat berada di dalam bentukan-bentukan kehendak?  [36]

“Misalkan, para bhikkhu, seorang tukang sulap atau murid tukang sulap memperlihatkan ilusi sulap di sebuah persimpangan jalan. Seseorang dengan penglihatan yang baik akan memeriksanya, merenungkannya, dan dengan seksama menyelidikinya, dan ia akan melihatnya sebagai hampa, kosong, tanpa inti. Karena inti apakah yang dapat berada di dalam sebuah ilusi sulap? Demikian pula, para bhikkhu, kesadaran apapun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: seorang bhikkhu memeriksanya, merenungkannya, dan dengan seksama menyelidikinya, dan ia akan melihatnya sebagai hampa, kosong, tanpa inti. Karena inti apakah yang dapat berada di dalam kesadaran?  [37]

“Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa terhadap bentuk, kecewa terhadap perasaan, kecewa terhadap persepsi, kecewa terhadap bentukan-bentukan kehendak, kecewa terhadap kesadaran. Dengan menjadi kecewa ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apapun juga.’”

(SN 22:95; III 140-42)

(2) Melalui Keenam Landasan Indria

(a) Pemahaman Penuh

 “Para bhikkhu, tanpa mengetahui secara langsung atau  memahami sepenuhnya keseluruhannya, tanpa mengembangkan kebosanan terhadapnya dan melepaskannya, maka seseorang tidak mampu menghancurkan penderitaan.

“Dan apakah, para bhikkhu, keseluruhan itu? Tanpa mengetahui secara langsung dan memahami sepenuhnya mata, tanpa mengembangkan kebosanan terhadapnya dan melepaskannya, seseorang tidak mampu menghancurkan penderitaan. Tanpa mengetahui secara langsung dan memahami sepenuhnya bentuk-bentuk … kesadaran-mata … kontak-mata … dan perasaan apapun yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisi … tanpa mengembangkan kebosanan terhadapnya dan melepaskannya, seseorang tidak mampu menghancurkan penderitaan.

“Tanpa mengetahui secara langsung dan memahami sepenuhnya telinga … pikiran … dan perasaan apapun yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi … tanpa mengembangkan kebosanan terhadapnya dan melepaskannya, seseorang tidak mampu menghancurkan penderitaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keseluruhan yang tanpa mengetahuinya secara langsung dan memahami sepenuhnya semua ini … maka seseorang tidak mampu menghancurkan penderitaan.

“Para bhikkhu, dengan mengetahui secara langsung dan memahami sepenuhnya keseluruhannya, dengan mengembangkan kebosanan terhadapnya dan melepaskannya, maka seseorang mampu menghancurkan penderitaan.

“Dan apakah, para bhikkhu, keseluruhan itu? Dengan mengetahui secara langsung dan memahami sepenuhnya mata … pikiran …  dan perasaan apapun yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi … dengan mengembangkan kebosanan terhadapnya dan melepaskannya, seseorang mampu menghancurkan penderitaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keseluruhan yang dengan mengetahuinya secara langsung dan memahami sepenuhnya semua ini … maka seseorang mampu menghancurkan penderitaan.”

(SN 35: 26; IV 17-18)

(b) Terbakar

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Gayā, di tempat tinggal pemimpin Gayā bersama dengan seribu bhikkhu. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:  [38]

“Para bhikkhu, segalanya terbakar. Dan apakah, para bhikkhu, segalanya yang terbakar itu? mata terbakar, bentuk-bentuk terbakar, kesadaran-mata terbakar, kontak-mata terbakar, dan perasaan apapun yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisi - apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – itu juga terbakar. Terbakar oleh apakah? Terbakar oleh api nafsu, oleh api kebencian, oleh api delusi; terbakar oleh kelahiran, penuaan, dan kematian; oleh kesedihan, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan, Aku katakan.

“Telinga terbakar … Pikiran terbakar … dan perasaan apapun yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi - apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – itu juga terbakar. Terbakar oleh apakah? Terbakar oleh api nafsu, oleh api kebencian, oleh api delusi; terbakar oleh kelahiran, penuaan, dan kematian; oleh kesedihan, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan, Aku katakan.

“Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa terhadap mata, terhadap bentuk-bentuk, terhadap kesadaran-mata, terhadap kontak-mata, terhadap perasaan apapun yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisi - apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan; menjadi kecewa terhadap telinga … terhadap pikiran … terhadap perasaan apapun yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi … Karena mengalami kekecewaan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apapun juga.’”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan senang, para bhikkhu itu gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Dan ketika khotbah ini disampaikan, batin keseribu bhikkhu itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

(SN 35:28; IV 19-20)

(c) Tepat untuk Mencapai Nibbāna
 
“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian mengenai Jalan yang tepat untuk mencapai Nibbāna. Dengarkanlah …

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan yang tepat untuk mencapai Nibbāna? Di sini, seorang bhikkhu melihat mata sebagai tidak kekal, ia melihat bentuk-bentuk sebagai tidak kekal, ia melihat kesadaran-mata sebagai tidak kekal, ia melihat kontak-mata sebagai tidak kekal, ia melihat perasaan apapun yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisi, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, sebagai tidak kekal.

“Ia melihat telinga sebagai tidak kekal … Ia melihat pikiran sebagai tidak kekal, ia melihat fenomena pikiran sebagai tidak kekal, ia melihat kesadaran-pikiran sebagai tidak kekal, ia melihat kontak-pikiran sebagai tidak kekal, ia melihat perasaan apapun yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, sebagai tidak kekal. Ini, para bhikkhu, adalah Jalan yang tepat untuk mencapai Nibbāna.”

“Ia melihat mata sebagai penderitaan … ia melihat perasaan apapun yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, sebagai penderitaan. Ini, para bhikkhu, adalah Jalan yang tepat untuk mencapai Nibbāna.”

“Ia melihat mata sebagai bukan-diri … ia melihat perasaan apapun yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, sebagai bukan-diri. Ini, para bhikkhu, adalah Jalan yang tepat untuk mencapai Nibbāna.”

(SN 35:147-49, digabungkan; IV 133-35)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IX)
« Reply #79 on: 01 June 2012, 08:57:47 PM »
(d) Dunia ini Kosong

Yang Mulia Ānanda mendekati Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, dikatakan, ‘dunia ini kosong, dunia ini kosong.’ Bagaimanakah, Yang Mulia, yang dikatakan, ‘Dunia ini kosong’ itu?”

“Yaitu, Ānanda, karena kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri, maka dikatakan, ‘Dunia ini kosong.’ Dan apakah yang kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri? Mata, Ānanda, adalah kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri. Bentuk-bentuk adalah kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri. Kesadaran-mata adalah kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri. Kontak-mata adalah kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri. Perasaan apapun yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisi – apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – itu juga adalah kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri.

“Adalah, Ānanda, karena kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri, maka dikatakan, ‘Dunia ini kosong.’”

(SN 35:85; IV 54)

(e) Kesadaran Juga adalah Bukan-diri

Yang Mulia Udāyī bertanya kepada Yang Mulia Ānanda: “Sahabat Ānanda, dalam banyak cara [sifat] tubuh ini telah dinyatakan, diperlihatkan, dan diungkapkan oleh Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Karena alasan itu tubuh ini adalah bukan-diri.’ Mungkinkah menjelaskan [sifat] kesadaran ini dengan cara yang sama – mengajarkan, mengumumkan, menegakkan, memperlihatkan, menganalisa, dan menjelaskan sebagai berikut: ‘Karena alasan itu [sifat] kesadaran ini adalah bukan-diri’?”

”Mungkin saja, Sahabat Udāyī, bukankah kesadaran-mata muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk?”

“Benar, Sahabat.”

“Jika sebab dan kondisi untuk munculnya kesadaran-mata lenyap secara total tanpa sisa, dapatkah kesadaran-mata terlihat?”

“Tidak, Sahabat.”

“Demikianlah, sahabat, ini telah dinyatakan, diperlihatkan, dan diungkapkan oleh Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Karena alasan itulah kesadaran ini adalah bukan-diri’

“Bukankah kesadaran-telinga muncul dengan bergantung pada telinga dan suara-suara? … Bukankah kesadaran-pikiran muncul dengan bergantung pada pikiran dan fenomena-fenomena pikiran?”

“Benar, Sahabat.”

“Jika sebab dan kondisi untuk munculnya kesadaran-pikiran lenyap secara total tanpa sisa, dapatkah kesadaran-pikiran terlihat?”

“Tidak, Sahabat.”

“Demikianlah juga, sahabat, ini telah dinyatakan, diperlihatkan, dan diungkapkan oleh Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Karena alasan itulah kesadaran ini adalah bukan-diri.’

“Misalkan, sahabat, seseorang yang membutuhkan inti-kayu, mencari inti-kayu, mengembara dalam pencarian inti-kayu, akan membawa kapak tajam dan memasuki hutan. Di sana ia melihat sebatang pohon pisang besar, lurus, segar, tanpa tandan buah. Ia memotong pada akarnya, memotong pucuknya, dan membuka gulungan kulit batangnya. Ketika ia membuka gulungan kulit batang itu, ia tidak akan menemukan kayu lunak, apalagi inti-kayu.

“Demikian pula, seorang bhikkhu tidak menemukan diri atau apapun yang menjadi milik diri dalam enam landasan kontak. Karena ia tidak menemukan apapun yang demikian, maka ia tidak melekat pada apapun di dunia. Tanpa kemelekatan, ia tidak bergejolak. Karena tidak bergejolak, ia mencapai Nibbāna. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apapun juga.’”

(SN 35:234; IV 166-68)

(3) Melalui Unsur-unsur

(a) Delapan Belas Unsur

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kalian tentang keragaman unsur. Unsur mata, unsur bentuk, unsur kesadaran-mata; Unsur telinga, unsur suara, unsur kesadaran-telinga; Unsur hidung, unsur bau-bauan, unsur kesadaran-hidung; Unsur lidah, unsur rasa kecapan, unsur kesadaran-lidah; Unsur badan, unsur objek sentuhan, unsur kesadaran-badan; Unsur pikiran, unsur fenomena-pikiran, unsur kesadaran-pikiran. Ini, para bhikkhu, disebut keragaman unsur.”

(SN 14:1; II 140)

(b) Empat Unsur

“Para bhikkhu, terdapat empat unsur ini. Apakah empat ini? unsur tanah, unsur air, unsur panas, unsur angin.

“Para petapa dan brahmana itu, para bhikkhu, yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya dan jalan membebaskan diri dari empat unsur ini: mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini tidak, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan atau tujuan kebrahmanaan.

“Tetapi, para bhikkhu, para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya dan jalan membebaskan diri dari empat unsur ini:  mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan atau tujuan kebrahmanaan.”

“Para petapa dan brahmana itu, para bhikkhu, yang tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya dan jalan membebaskan diri dari empat unsur ini: mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa …

“Tetapi, para bhikkhu, para petapa dan brahmana yang memahami hal-hal ini: mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan atau tujuan kebrahmanaan.”

“Para petapa dan brahmana itu, para bhikkhu, yang tidak memahami unsur tanah, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya; yang tidak memahami unsur air … unsur panas … unsur angin, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya: mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa …

“Tetapi, para bhikkhu, para petapa dan brahmana yang memahami hal-hal ini: mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan atau tujuan kebrahmanaan.”

(SN 14:37-39, digabungkan; II 175-77)

(c) Enam Elemen

13. “Bagaimanakah, Bhikkhu, seseorang tidak melalaikan kebijaksanaan?  [39] Ada enam unsur ini: unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur angin, unsur ruang, dan unsur kesadaran.

14. “Apakah, Bhikkhu, unsur tanah? Unsur tanah dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur tanah internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati; yaitu rambut-kepala, bulu-badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sum-sum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus, selaput pengikat organ dalam tubuh, isi perut, kotoran, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati: ini disebut unsur tanah internal. Sekarang baik unsur tanah internal maupun unsur tanah eksternal adalah unsur tanah. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur tanah dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur tanah.

15. “Apakah, Bhikkhu, unsur air? Unsur air dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur air internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati: ini disebut unsur air internal. Sekarang baik unsur air internal maupun unsur air eksternal adalah unsur air. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur air dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur air.

16. “Apakah, Bhikkhu, unsur api? Unsur api dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur api internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati; yaitu yang dengannya seseorang menjadi hangat, menua, dan terhabiskan, dan yang dengannya apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap sepenuhnya dicerna, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati: ini disebut unsur api internal. Sekarang baik unsur api internal maupun unsur api eksternal adalah unsur api. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur api dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur api.

17. “Apakah, Bhikkhu, unsur angin? Unsur angin dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur angin internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, angin, berangin, dan dilekati; yaitu angin yang naik ke atas, angin yang turun ke bawah, angin dalam perut, angin dalam usus, angin yang mengalir melalui bagian-bagian tubuh, nafas masuk, nafas keluar, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, angin, berangin, dan dilekati: ini disebut unsur angin internal. Sekarang baik unsur angin internal maupun unsur angin eksternal adalah unsur angin. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur angin dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur angin.

18. “Apakah, Bhikkhu, unsur ruang? Unsur ruang dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur ruang internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati, yaitu, lubang telinga, lubang hidung, pintu mulut, dan [lubang] ke mana apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap tertelan, dan di mana benda-benda itu terkumpul, dan di mana benda-benda itu keluar dari bawah, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati: ini disebut unsur ruang internal. Sekarang baik unsur ruang internal maupun unsur ruang eksternal adalah unsur ruang. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur ruang dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur ruang.

19. “Maka di sana hanya tersisa kesadaran, yang murni dan cerah.  [40] Apakah yang dikenali seseorang pada kesadaran itu? ia mengenali: ‘[Ini adalah] menyenangkan’; ia mengenali: ‘[Ini adalah] menyakitkan’; ia mengenali: ‘[Ini adalah] bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan, maka muncul perasaan menyenangkan.  [41] Ketika seseorang merasakan suatu perasaan menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyenangkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini, yang dirasakan sebagai menyenangkan, maka perasaan yang bersesuaian itu – perasaan menyenangkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan – juga lenyap dan sirna.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai menyakitkan, maka muncul perasaan menyakitkan. Ketika seseorang merasakan suatu perasaan menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyakitkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini, yang dirasakan sebagai menyakitkan, maka perasaan yang bersesuaian itu – perasaan menyakitkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyakitkan – juga lenyap dan sirna.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka muncul perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Ketika seseorang merasakan suatu perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan- menyenangkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini, yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan- menyenangkan, maka perasaan yang bersesuaian itu – perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – juga lenyap dan sirna.’ Bhikkhu, seperti halnya dari kontak dan gesekan kedua batang kayu-api maka panas dan api dihasilkan, dan dengan terpisahnya dan terlepasnya kedua kayu-api ini maka panas yang dihasilkan itu juga lenyap dan sirna; demikian pula, dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan … yang dirasakan sebagai menyakitkan … yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan maka muncul perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan … Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan, maka perasaan yang bersesuaian itu …  juga lenyap dan sirna.’”

(dari MN 140: Dhātuvibhaṅga Sutta; III 240-43)

(4) Melalui Kemunculan Bergantungan

(a) Apakah Kemunculan Bergantungan?

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kalian tentang kemunculan bergantungan. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan berbicara.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, kemunculan bergantungan? Dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, timbul bentukan-bentukan kehendak; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, maka timbul kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka timbul nama-dan-bentuk; dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka timbul enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka timbul kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka timbul perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka timbul ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka timbul kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka timbul penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka timbul kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka timbul penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan. Ini, para bhikkhu, disebut kemunculan bergantungan.

“Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidak-tahuan maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula nama-dan-bentuk; dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, maka lenyap pula enam landasan indria; dengan lenyapnya enam landasan indria, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula ketagihan; dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan.”

(SN 12:1; II 1-2)

(b) Kestabilan Dhamma

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang kemunculan bergantungan dan fenomena yang muncul bergantungan. Dengarkanlah dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, kemunculan bergantungan? ‘Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian [muncul]’: apakah Tathāgata muncul atau tidak muncul, unsur itu tetap ada, kestabilan Dhamma, jalan pasti Dhamma, pengondisian spesifik.  [42] Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menembusnya. Setelah melakukan demikian, Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, mengumumkannya, menegakkannya, mengungkapkannya, menganalisanya, menguraikannya. Dan Beliau mengatakan: ‘Lihat! Dengan kelahiran sebagai kondisi, para bhikkhu, maka muncul pula penuaan-dan-kematian.’

“‘Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka muncul kelahiran’ … ‘Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka muncul penjelmaan’ … ‘Dengan ketagihan sebagai kondisi, maka muncul kemelekatan’ … ‘Dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncul ketagihan … ‘Dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan’ … ‘Dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka muncul kontak’ … ‘Dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka muncul enam landasan indria’ … ‘Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka muncul nama-dan-bentuk’ … ‘ Dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, maka muncul kesadaran’ … ‘Dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, muncul bentukan-bentukan kehendak’: apakah Tathāgata muncul atau tidak muncul, unsur itu tetap ada, kestabilan Dhamma, pengondisian spesifik. Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menembusnya. Setelah melakukan demikian, Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, mengumumkannya, menegakkannya, mengungkapkannya, menganalisanya, menguraikannya. Dan Beliau mengatakan: ‘Lihat! Dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, para bhikkhu, maka muncul pula bentukan-bentukan kehendak.’

“Demikianlah, para bhikkhu, kenyataan, ketidak-salahan, ketidak-berubahan, pengondisian spesifik dalam hal ini: ini disebut kemunculan bergantungan.  [43]

“Dan apakah, para bhikkhu, fenomena yang muncul bergantungan? Penuaan-dan-kematian, para bhikkhu, adalah tidak kekal, terkondisi, muncul bergantungan, tunduk pada kehancuran, menghilang, memudar, dan lenyap. Kelahiran adalah tidak kekal … Penjelmaan adalah tidak kekal … Kemelekatan adalah tidak kekal … Ketagihan adalah tidak kekal … Perasaan adalah tidak kekal … Kontak adalah tidak kekal … Enam landasan indria adalah tidak kekal … Nama-dan-bentuk adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal … Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … Ketidak-tahuan adalah tidak kekal, terkondisi, muncul bergantungan, tunduk pada kehancuran, menghilang, memudar, dan lenyap. Ini, para bhikkhu, disebut fenomena yang muncul bergantungan.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia telah melihat dengan jelas dengan kebijaksanaan yang benar sebagaimana adanya kemunculan bergantungan ini dan fenomena yang muncul bergantungan ini, tidaklah mungkin ia kembali ke masa lalu, berpikir: ‘Apakah aku ada di masa lalu? Apakah aku tidak ada di masa lalu? Apakah aku di masa lalu? Bagaimanakah aku di masa lalu? Setelah menjadi apa, selanjutnya menjadi apakah aku di masa lalu?’ atau ia maju ke masa depan, berpikir: ‘Akankah aku ada di masa depan? Akankah aku tidak ada di masa depan? Apakah aku di masa depan? Bagaimanakah aku di masa depan? Setelah menjadi apa, selanjutnya akan menjadi apakah aku di masa depan?’ Atau ia bingung mengenai masa sekarang sebagai berikut: ‘Apakah aku ada? Apakah aku tidak ada? Apakah aku? Bagaimanakah aku? Makhluk ini – dari manakah datangnya, dan ke manakah perginya?’

“Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, siswa mulia itu telah melihat dengan jelas dengan kebijaksanaan benar sebagaimana adanya kemunculan bergantungan ini dan fenomena yang muncul bergantungan ini.”

(SN 12:20; II 25-27)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IX)
« Reply #80 on: 01 June 2012, 08:59:12 PM »
(c) Empat Puluh Empat Kasus Pengetahuan

 “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian empat puluh empat kasus pengetahuan. Dengarkanlah dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, apakah empat puluh empat kasus pengetahuan? Pengetahuan penuaan-dan-kematian, pengetahuan asal-mulanya, pengetahuan lenyapnya, pengetahuan jalan menuju lenyapnya, pengetahuan kelahiran … pengetahuan penjelmaan … pengetahuan kemelekatan … pengetahuan ketagihan … pengetahuan perasaan … pengetahuan kontak … pengetahuan enam landasan indria … pengetahuan nama-dan-bentuk … pengetahuan kesadaran … pengetahuan bentukan-bentukan kehendak, pengetahuan asal-mulanya, pengetahuan lenyapnya, pengetahuan jalan menuju lenyapnya. Inilah, para bhikkhu, empat puluh empat kasus pengetahuan.

“Dan apakah, para bhikkhu, penuaan-dan-kematian? … [definisi seperti pada Teks IX, 3 §22] … Demikianlah penuaan ini dan kematian ini bersama-sama disebut penuaan-dan-kematian. Dengan munculnya kelahiran maka muncul pula penuaan-dan-kematian. Dengan lenyapnya kelahiran maka lenyap pula penuaan dan kematian. Jalan mulia berunsur delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya penuaan-dan-kematian; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami penuaan-dan-kematian demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, ini adalah pengetahuan prinsip.  [44] Melalui prinsip ini yang terlihat, dipahami, dicapai langsung, diselami,  ia menerapkan metode ini pada masa lampau dan masa depan sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana manapun di masa lampau yang secara langsung mengetahui penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, semua ini diketahui secara langsung dengan cara yang sama seperti yang kuketahui sekarang. Para petapa dan brahmana manapun di masa depan yang secara langsung mengetahui penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, semua ini diketahui secara langsung dengan cara yang sama seperti yang kuketahui sekarang.’  Ini adalah pengetahuan kesimpulan.  [45]

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia telah memurnikan dan menyucikan kedua jenis pengetahuan ini – pengetahuan prinsip dan pengetahuan kesimpulan – maka ia disebut seorang siswa mulia yang sempurna dalam pandangan, sempurna dalam penglihatan, yang telah sampai pada Dhamma sejati ini, yang melihat Dhamma sejati ini, yang memiliki pengetahuan seorang pelajar, pengetahuan sejati seorang pelajar, yang telah memasuki arus Dhamma, seorang mulia dengan kebijaksanaan penembusan, yang berdiri tegak di depan pintu Keabadian.

“Dan apakah, para bhikkhu, kelahiran? … Apakah bentukan-bentukan kehendak? [definisi seperti pada Teks IX, 3] … Jalan mulia berunsur delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan kehendak; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami bentukan-bentukan kehendak demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, ini adalah pengetahuan prinsip. Melalui prinsip ini yang terlihat, dipahami, dicapai langsung, diselami, ia menerapkan metode ini pada masa lampau dan masa depan … ini adalah pengetahuan kesimpulan.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia telah memurnikan dan menyucikan kedua jenis pengetahuan ini – pengetahuan prinsip dan pengetahuan kesimpulan – maka ia disebut seorang siswa mulia yang sempurna dalam pandangan … yang berdiri tegak di depan pintu Keabadian.”

(SN 12:33; II 56-59)

(d) Suatu Ajaran di Tengah

Di Sāvatthi, Yang Mulia Kaccānagotta menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, dikatakan, ‘pandangan benar, pandangan benar.’ Dalam cara bagaimanakah, Yang Mulia, pandangan benar itu?”

“Dunia ini, Kaccāna, sebagian besar bergantung pada dualitas – pada gagasan ke-ada-an dan gagasan ke-tiada-an.  [46] Tetapi bagi seorang yang melihat asal-mula dunia ini sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, tidak ada gagasan ke-tiada-an sehubungan dengan dunia ini. Dan bagi seorang yang melihat lenyapnya dunia sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, tidak ada gagasan ke-ada-an sehubungan dengan dunia.  [47]

“Dunia ini, Kaccāna, sebagian besar terbelenggu oleh pekerjaan, kemelekatan, dan keterikatan. Tetapi orang ini [dengan pandangan benar] tidak menjadi terlibat dan melekat pada pekerjaan dan kemelekatan, sudut pandangan, keterikatan, kecenderungan tersebunyi; ia tidak menganut pandangan ‘diriku’. Ia tidak bingung atau ragu bahwa apa yang muncul hanyalah munculnya penderitaan, apa yang lenyap hanyalah lenyapnya penderitaan.  [48] Pengetahuannya tentang ini tidak bergantung pada yang lain. Dalam cara inilah, Kaccāna, pandangan benar itu.

“‘Semua ada’: Kaccāna, ini adalah satu ekstrim. ‘Semua tidak ada’: ini adalah ekstrim ke dua. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma di tengah: ‘Dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, muncul kesadaran  … Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidak-tahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, maka lenyap pula kesadaran … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’”

(SN 12:15; II 16-17)

(e) Kesinambungan Kesadaran

“Para bhikkhu, apa yang dikehendaki seseorang, dan apa yang direncanakan seseorang, dan kecenderungan pada apapun yang dimiliki seseorang: ini menjadi dasar bagi kesinambungan kesadaran. Jika ada dasar maka ada dukungan bagi terbentuknya kesadaran. Ketika kesadaran terbentuk dan telah berkembang, maka ada produksi penjelmaan kembali di masa depan. Jika ada produksi penjelmaan kembali di masa depan, kelahiran, penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan di masa depan juga muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.  [49]

“Jika, para bhikkhu, seseorang tidak bermaksud, dan tidak merencanakan, tetapi masih memiliki kecenderungan pada sesuatu, ini menjadi dasar bagi kesinambungan kesadaran. Jika ada dasar maka ada dukungan bagi terbentuknya kesadaran … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.  [50]

“Tetapi, para bhikkhu, jika seseorang tidak menghendaki, dan tidak merencanakan, dan tidak memiliki kecenderungan pada apapun, maka tidak ada dasar bagi kesinambungan kesadaran. Jika tidak ada dasar maka tidak ada dukungan bagi terbentuknya kesadaran. Jika kesadaran tidak terbentuk dan tidak berkembang, maka tidak ada produksi penjelmaan kembali di masa depan. Jika tidak ada produksi penjelmaan kembali di masa depan, maka kelahiran, penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan di masa depan juga lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”  [51]

(SN 12:38; II 65-66)

(f) Asal-mula dan Lenyapnya Dunia

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang asal-mula dan lenyapnya dunia. Dengarkanlah dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, asal-mula dunia? Dengan bergantung pada mata dan bentuk, maka muncullah kesadaran-mata. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncullah ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka muncullah kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi,  maka muncullah penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka muncullah kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka muncullah penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Ini, para bhikkhu, adalah asal-mula dunia.

“Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara … Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan … Dengan bergantung pada lidah dan rasa-kecapan … Dengan bergantung pada badan dan objek sentuhan … Dengan bergantung pada pikiran dan fenomena pikiran, maka muncullah kesadaran-pikiran. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncullah ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka muncullah kemelekatan … penjelmaan … kelahiran; dengan  kelahiran sebagai kondisi, maka muncullah penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Ini, para bhikkhu, adalah asal-mula dunia.

“Dan apakah, para bhikkhu, lenyapnya dunia? Dengan bergantung pada mata dan bentuk, maka muncullah kesadaran-mata. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, muncullah ketagihan. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama itu, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan juga lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini, para bhikkhu, adalah lenyapnya dunia.

“Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara … Dengan bergantung pada pikiran dan fenomena pikiran, maka muncullah kesadaran-pikiran. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, muncullah ketagihan. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama itu, maka lenyap pula kemelekatan … lenyap pula penjelmaan … lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan juga lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini, para bhikkhu, adalah lenyapnya dunia.”

(SN 12:44; II 73-74)

(5) Melalui Empat Kebenaran Mulia

(a) Kebenaran-kebenaran Semua Buddha

“Para bhikkhu, para Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna manapun di masa lampau, yang telah tercerahkan sempurna pada segala sesuatu sebagaimana adanya, semuanya tercerahkan sempurna pada Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya. Para Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna manapun di masa depan, yang akan tercerahkan sempurna pada segala sesuatu sebagaimana adanya, semuanya akan tercerahkan sempurna pada Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya. Para Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna manapun di masa sekarang, yang tercerahkan sempurna pada segala sesuatu sebagaimana adanya, semuanya tercerahkan sempurna pada Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya.

“Apakah empat ini? Kebenaran mulia penderitaan, kebenaran mulia asal-mula penderitaan, kebenaran mulia lenyapnya penderitaan, kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan. Para Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna manapun, yang telah tercerahkan sempurna … yang akan tercerahkan sempurna … yang tercerahkan sempurna pada segala sesuatu sebagaimana adanya, semuanya tercerahkan sempurna pada Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah penderitaan.’ Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’”

(SN 56:24; V 433-34)

(b) Empat Kebenaran Ini Adalah Kenyataan

“Para bhikkhu, empat hal ini adalah kenyataan, tidak pernah salah, tidak berubah.  [52] Apakah empat ini?

“‘Ini adalah penderitaan’: ini, para bhikkhu, adalah kenyataan, tidak pernah salah, tidak berubah. ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’: ini adalah kenyataan, tidak pernah salah, tidak berubah. ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’: ini adalah kenyataan, tidak pernah salah, tidak berubah. ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’: ini adalah kenyataan, tidak pernah salah, tidak berubah.

“Empat hal ini adalah kenyataan, tidak pernah salah, tidak berubah.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah penderitaan.’ … Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’”

(SN 56:20; V 430-31)

(c) Segenggam Daun

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Kosambi di sebuah hutan siṃsapā. Kemudian Sang Bhagavā mengambil sedikit daun siṃsapā dengan tanganNya dan berkata kepada para bhikkhu: “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, manakah yang lebih banyak: sedikit daun yang Kuambil dalam tanganKu ini atau dedaunan di atas kepala di hutan ini?”

“Yang Mulia, daun yang Sang Bhagavā ambil dalam tanganNya adalah sedikit, tetapi dedaunan di atas kepala di hutan ini adalah banyak.”

“Demikian pula, para bhikkhu, hal-hal yang secara langsung Kuketahui tetapi tidak Kuajarkan kepada kalian adalah banyak, sedangkan hal-hal yang Kuajarkan kepada kalian adalah sedikit. Dan mengapakah, para bhikkhu, Aku tidak mengajarkan banyak hal itu? Karena hal-hal itu adalah tidak bermanfaat, tidak berhubungan dengan dasar-dasar kehidupan suci, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Oleh karena itu Aku tidak mengajarkannya.

“Dan apakah, para bhikkhu, yang telah Kuajarkan? Aku telah mengajarkan: ‘Ini adalah penderitaan’; Aku telah mengajarkan: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; Aku telah mengajarkan: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; Aku telah mengajarkan: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dan mengapakah, para bhikkhu, Aku mengajarkan ini? Karena ini bermanfaat, berhubungan dengan dasar-dasar kehidupan suci, dan menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Oleh karena itu Aku telah mengajarkannya.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah penderitaan.’ … Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’”

(SN 56:31; V 437-38)

(d) Karena Tidak Memahami

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di antara penduduk Vajji di Koṭigāma. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, adalah karena tidak memahami dan tidak menembus Empat Kebenaran Mulia maka kalian dan Aku telah mengembara dan berkelana dalam perjalanan panjang saṃsāra ini. Apakah empat ini?

“Adalah, para bhikkhu, karena tidak memahami dan tidak menembus kebenaran mulia penderitaan maka kalian dan Aku telah mengembara dan berkelana dalam perjalanan panjang saṃsāra ini. Adalah karena tidak memahami dan tidak menembus kebenaran mulia asal-mula penderitaan maka kalian dan Aku telah mengembara dan berkelana dalam perjalanan panjang saṃsāra ini … kebenaran mulia lenyapnya penderitaan … kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan maka kalian dan Aku telah mengembara dan berkelana dalam perjalanan panjang saṃsāra ini.

“Kebenaran mulia penderitaan, para bhikkhu, telah dipahami dan ditembus. Kebenaran mulia asal-mula penderitaan, para bhikkhu, telah dipahami dan ditembus. Kebenaran mulia lenyapnya penderitaan, para bhikkhu, telah dipahami dan ditembus. Kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan, para bhikkhu, telah dipahami dan ditembus. Ketagihan pada penjelmaan telah dipotong; saluran menuju penjelmaan  [53] telah dihancurkan; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.”

(SN 56:21; V 431-32)

(e) Jurang

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha di Puncak Gunung Nasar. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Ayo, para bhikkhu, mari kita pergi ke Puncak Inspirasi untuk melewatkan hari.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Kemudian Sang Bhagavā, bersama dengan sejumlah bhikkhu, pergi ke Puncak Inspirasi. Salah seorang bhikkhu melihat jurang yang curam di Puncak Inspirasi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Jurang ini sungguh curam, Yang Mulia; jurang ini sangat menakutkan. Tetapi adakah, Yang Mulia, jurang lain yang lebih curam dan lebih menakutkan dari yang ini?”

“Ada, bhikkhu.”

“Tetapi, Yang Mulia, jurang apakah yang lebih curam dan lebih menakutkan dari yang ini?”

“Para petapa dan brahmana itu, bhikkhu, yang tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan. Ini adalah asal-mula penderitaan. Ini adalah lenyapnya penderitaan. Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’ - mereka bersenang-senang dalam bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju kelahiran, penuaan, dan kematian; mereka bersenang-senang dalam bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Dengan bersenang-senang dalam bentukan-bentukan kehendak demikian, mereka menghasilkan bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju kelahiran, penuaan, dan kematian; mereka menghasilkan bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Setelah menghasilkan bentukan-bentukan kehendak demikian, mereka jatuh ke jurang kelahiran, penuaan, dan kematian; meraka jatuh ke jurang dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Mereka tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian. Mereka tidak terbebas dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan;  tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Tetapi, bhikkhu, Para petapa dan brahmana itu yang memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’ - mereka tidak bersenang-senang dalam bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju kelahiran, penuaan, dan kematian; mereka tidak menghasilkan bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Dengan tidak bersenang-senang dalam bentukan-bentukan kehendak demikian, mereka tidak menghasilkan bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju kelahiran, penuaan, dan kematian; mereka tidak menghasilkan bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Karena tidak menghasilkan bentukan-bentukan kehendak demikian, mereka tidak jatuh ke jurang kelahiran, penuaan, dan kematian; mereka tidak jatuh ke dalam jurang dukcita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Mereka terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; terbebas dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah penderitaan.’ … Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’”

(SN 56:42; V 448-50)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IX)
« Reply #81 on: 01 June 2012, 09:00:18 PM »
(f) Menembus

“Para bhikkhu, jika seseorang berkata seperti ini: ‘Tanpa menembus kebenaran mulia penderitaan sebagaimana adanya, tanpa menembus kebenaran mulia asal-mula penderitaan sebagaimana adanya, tanpa menembus kebenaran mulia lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya, tanpa menembus kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya, aku akan sepenuhnya mengakhiri penderitaan’ – ini adalah tidak mungkin.

“Seperti halnya, para bhikkhu, jika seseorang berkata seperti ini: ‘Setelah membuat keranjang dari daun akasia atau daun cemara atau daun ceri,  [54] aku akan membawa air atau buah kelapa,’ ini adalah tidak mungkin; demikian pula, jika seseorang berkata seperti ini: ‘Tanpa menembus kebenaran mulia penderitaan sebagaimana adanya … aku akan sepenuhnya mengakhiri penderitaan’ – ini adalah tidak mungkin.

“Tetapi, para bhikkhu, jika seseorang berkata seperti ini: ‘Setelah menembus kebenaran mulia penderitaan sebagaimana adanya, setelah menembus kebenaran mulia asal-mula penderitaan sebagaimana adanya, setelah menembus kebenaran mulia lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya, setelah menembus kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya, aku akan sepenuhnya mengakhiri penderitaan’ – ini adalah mungkin.

“Seperti halnya, para bhikkhu, jika seseorang berkata seperti ini: ‘Setelah membuat keranjang dari daun teratai atau daun kino atau daun māluva, aku akan membawa air atau buah kelapa,’ ini adalah mungkin; demikian pula, jika seseorang berkata seperti ini: ‘Setelah menembus kebenaran mulia penderitaan sebagaimana adanya … aku akan sepenuhnya mengakhiri penderitaan’ – ini adalah mungkin.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah penderitaan.’ … Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’”

(SN 56:32; V 442-43)

(g) Hancurnya Noda-noda

“Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda adalah untuk seseorang yang mengetahui dan melihat, bukan untuk seseorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat. Untuk seseorang yang mengetahui apakah, untuk seseorang yang melihat apakah, hancurnya noda-noda terjadi? Hancurnya noda-noda terjadi pada seseorang yang mengetahui dan melihat: ‘Ini adalah penderitaan. Ini adalah asal-mula penderitaan. Ini adalah lenyapnya penderitaan. Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Adalah untuk seseorang yang mengetahui demikian, untuk seseorang yang melihat demikian, maka hancurnya noda-noda terjadi.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah penderitaan.’ … Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’”

(SN 56:25; V 434)

5. TUJUAN KEBIJAKSANAAN

(1) Apakah Nibbāna?

Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta sedang berdiam di Magadha di Nālakagāma. Kemudian Pengembara Jambukhādaka  [55] mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta:

“Sahabat Sāriputta, dikatakan, ‘Nibbāna, Nibbāna.’ Apakah Nibbāna itu?”

“Hancurnya nafsu, hancurnya kebencian, hancurnya delusi: ini, sahabat, adalah yang apa disebut Nibbāna.”

“Tetapi, sahabat, adakah jalan, adakah cara untuk mencapai Nibbāna ini?”

“Ada jalan, sahabat, ada cara untuk mencapai Nibbāna ini.”

“Dan apakah, sahabat, jalan itu, apakah cara untuk mencapai Nibbāna ini?”

“Adalah, sahabat, Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, Pandangan Benar, Kehendak Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar, Konsentrasi Benar. Ini adalah jalan, sahabat, ini adalah cara untuk mencapai Nibbāna.”

“Jalan yang bagus, sahabat, cara yang bagus untuk mencapai Nibbāna ini. Dan ini cukup, Sahabat Sāriputta, untuk ditekuni.”

(SN 38:1; IV 251-52)

(2) Tiga Puluh Tiga Sinonim Nibbāna

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang yang tidak terkondisi dan jalan menuju yang tidak terkondisi. Dengarkanlah …

“Dan apakah, para bhikkhu, yang tidak terkondisi? Hancurnya nafsu, hancurnya kebencian, hancurnya delusi: ini disebut yang tidak terkondisi.

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan menuju yang tidak terkondisi? Perhatian yang diarahkan pada jasmani: ini disebut jalan menuju yang tidak terkondisi.

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang ketidak-condongan, ketanpa-nodaan … kebenaran … pantai seberang … yang halus … yang sangat sulit dilihat … yang tidak menua … yang stabil … ketidak-hancuran … ketidak-berwujudan … tanpa proliferasi  [56] … yang damai … yang abadi … yang luhur … yang keramat … yang aman … hancurnya noda-noda … yang menakjubkan … yang mengagumkan … yang tanpa-penyakit … keadaan tanpa sakit … Nibbāna … tanpa kesusahan … kebebasan dari nafsu … kemurnian … kebebasan … ketidak-melekatan … pulau … tempat bernaung … suaka … tempat perlindungan … tujuan dan jalan menuju tujuan itu. Dengarkanlah …

“Dan apakah, para bhikkhu, tujuan itu? Hancurnya nafsu, hancurnya kebencian, hancurnya delusi: ini disebut tujuan itu.

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan menuju tujuan itu? Perhatian yang diarahkan pada jasmani: ini disebut jalan menuju tujuan itu.

“Demikianlah, para bhikkhu, Aku telah mengajarkan kepada kalian tentang yang tidak terkondisi … tujuan dan jalan menuju tujuan itu. Apapun yang harus dilakukan, para bhikkhu, oleh seorang guru demi belas kasihnya kepada para siswanya, yang menginginkan kesejahteraan mereka, telah Aku lakukan untuk kalian. Ada bawah pepohonan ini, para bhikkhu, ada gubuk-gubuk kosong ini. Bermeditasilah, para bhikkhu, jangan lengah, agar kalian tidak menyesalinya kelak. Ini adalah instruksiKu kepada kalian.”

(SN 43:1-44, digabungkan; IV 359-73)

(3) Ada Landasan Itu

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang memberikan instruksi, membangkitkan semangat, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan Nibbāna, dan para bhikkhu itu mendengarkan dan penuh perhatian, mengonsentrasikan segenap pikiran mereka, bersungguh-sungguh mendengarkan Dhamma itu.

Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagavā pada saat itu mengucapkan kata-kata inspiratif berikut:

“Ada, para bhikkhu, landasan itu di mana tidak ada tanah, atau air, atau panas, atau angin; tidak ada landasan ruang tanpa batas, atau landasan kesadaran tanpa batas, atau landasan kekosongan, atau landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi; tidak ada dunia ini atau dunia lain; tidak ada matahari atau bulan.  [57] Di sini, para bhikkhu, Aku katakan tidak ada datang, tidak ada pergi, tidak ada berdiri diam; tidak ada kematian dan tidak ada makhluk terlahir kembali. Tidak terbentuk, tidak bergerak, tanpa penopang. Hanya inilah akhir penderitaan.”

(Ud 8:1;80)

(4) Yang Tidak Dilahirkan

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang memberikan instruksi … para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan Nibbāna, dan para bhikkhu itu mendengarkan …  bersungguh-sungguh mendengarkan Dhamma itu.

Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagavā pada saat itu mengucapkan kata-kata inspiratif berikut:

“Ada, para bhikkhu, yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi. Jika, para bhikkhu, tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi, maka tidak ada jalan membebaskan diri dari apa yang dilahirkan, menjelma, tercipta, terkondisi. Tetapi karena ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi, maka jalan membebaskan diri dari apa yang dilahirkan, menjelma, tercipta, terkondisi, dapat terlihat.”

(Ud 8:3; 80-81)

(5) Dua Unsur Nibbāna

“Ada, para bhikkhu, dua unsur Nibbāna ini. Apakah dua ini? Unsur Nibbāna dengan sisa dan unsur Nibbāna tanpa sisa.

“Dan apakah, para bhikkhu, unsur Nibbāna dengan sisa? Di sini, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, seorang yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir. Akan tetapi, kelima organ indrianya masih tetap tidak rusak, yang dengannya ia masih mengalami apa yang menyenangkan dan apa yang tidak menyenangkan, masih merasakan kenikmatan dan kesakitan. Adalah hancurnya nafsu, kebencian, dan delusi dalam dirinya yang disebut sebagai unsur Nibbāna dengan sisa.

“Dan apakah, para bhikkhu, unsur Nibbāna tanpa sisa? Di sini, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant, … seorang yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir. Baginya, di sini dalam kehidupan ini, semua yang dirasakan, karena tidak dinikmati, akan menjadi dingin di sini. Itu, para bhikkhu, adalah apa yang disebut sebagai unsur Nibbāna tanpa sisa.

“Ini, para bhikkhu, adalah dua unsur Nibbāna.”

(It 44; 38)

(6) Api dan Samudera

15. [Pengembara Vacchagotta bertanya kepada Sang Bhagavā:] “Kalau begitu apakah Guru Gotama menganut suatu pandangan spekulatif tertentu?”

“Vaccha, ‘pandangan spekulatif’ adalah sesuatu yang telah disingkirkan oleh Sang Tathāgata. Karena Sang Tathāgata, Vaccha, telah melihat  [58] ini: ‘Demikianlah bentuk, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan kehendak, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya.’ Oleh karena itu, Aku katakan, dengan hancurnya, meluruhnya, berhentinya, ditinggalkannya, dan dilepaskannya segala anggapan, segala pemikiran, segala pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, Sang Tathāgata terbebaskan melalui ketidak-melekatan.”

16. “Ketika batin seorang bhikkhu terbebaskan demikian, Guru Gotama, di manakah ia terlahir kembali [setelah kematian]?”

“Istilah ‘terlahir kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

“Jadi apakah ia tidak terlahir kembali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘tidak terlahir kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

“Jadi apakah ia terlahir kembali dan juga tidak terlahir kembali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘terlahir kembali dan juga tidak terlahir kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

“Jadi apakah ia bukan terlahir kembali dan juga bukan tidak terlahir kembali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘bukan terlahir kembali dan juga bukan tidak terlahir kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

17. “Ketika Guru Gotama ditanya empat pertanyaan ini, Beliau menjawab: ‘Istilah “terlahir kembali” tidak berlaku, Vaccha; istilah “tidak terlahir kembali” tidak berlaku, Vaccha; istilah “terlahir kembali dan juga tidak terlahir kembali” tidak berlaku, Vaccha; Istilah “bukan terlahir kembali dan juga bukan tidak terlahir kembali” tidak berlaku, Vaccha.’ Di sini aku menjadi bingung, Guru Gotama, di sini aku menjadi bimbang, dan keyakinan yang telah kuperoleh melalui perbincangan sebelumnya dengan Guru Gotama sekarang telah lenyap.”

18. “Ini memang cukup membuatmu bingung, Vaccha, cukup membuatmu bimbang. Karena Dhamma ini, Vaccha, adalah dalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan luhur, tidak dapat dicapai hanya dengan penalaran, halus, untuk dialami oleh para bijaksana. Adalah sulit bagimu untuk memahaminya jika engkau menganut pandangan lain, menerima ajaran lain, menyetujui ajaran lain, menekuni latihan yang berbeda, dan mengikuti guru yang berbeda. Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai balasan, Vaccha. Jawablah sesuai dengan apa yang menurutmu benar.

19. “Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”

“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”

“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”

“Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu.’”

“Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”

“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”

“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”

“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”

20. “Demikian pula, Vaccha, Sang Tathāgata telah meninggalkan bentuk materi yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Sang Tathāgata terbebaskan dari penganggapan dalam hal bentuk materi, Vaccha, Beliau dalam, tidak terbatas, sulit diukur bagaikan samudera. ‘Beliau terlahir kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau tidak terlahir kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau terlahir kembali dan juga tidak terlahir kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau bukan terlahir kembali dan juga bukan tidak terlahir kembali’ tidak berlaku. Sang Tathāgata telah meninggalkan perasaan yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan persepsi yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan bentukan-bentukan kehendak yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan kesadaran yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Sang Tathāgata terbebaskan dari penganggapan dalam hal kesadaran, Vaccha, Beliau dalam, tidak terbatas, sulit diukur bagaikan samudera. ‘Beliau terlahir kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau tidak terlahir kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau terlahir kembali dan juga tidak terlahir kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau bukan terlahir kembali dan juga bukan tidak terlahir kembali’ tidak berlaku.”

(dari MN 72: Aggivacchagotta Sutta; I 486-88)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IX)
« Reply #82 on: 01 June 2012, 09:03:17 PM »
CATATAN BAB IX


[1] Sayangnya, hubungan antara kata benda dan kata kerja, yang begitu nyata dalam Pāli, menjadi hilang ketika paññā diterjemahkan sebagai “kebijaksanaan” dan kata kerja diterjemahkan sebagai “seseorang memahami.” Untuk menghindari hal ini, para penerjemah lain lebih suka menerjemahkan paññā dengan mempertahankan hubungan nyata antara kata benda dan kata kerja, misalnya “pemahaman” (Bhikkhu Ñāṇamoli) atau “penglihatan” (Thānissaro Bhikkhu).

    [2] Misalnya, pada SN 22:5, 35:99, 35:160, 56:1.

    [3] Hubungan ini sering disebutkan dalam komentar ketika mengomentari formula ini.

    [4] Interpretasi komentar, yang terperinci dan sangat teknis, terdapat dalam Vism, bab 17.

    [5] Dalam komentar Pāli, kedua unsur Nibbāna ini disebut berturut-turut sebagai kilesa-parinibbāna, padamnya kekotoran-kekotoran, dan khandha-parinibbāna, padamnya kelompok-kelompok unsur kehidupan.

    [6] Kedua kata sebenarnya diturunkan dari akar kata kerja berbeda. Nibbuta adalah bentuk lampau dari nir + vṛ; yang bersesuaian dengan kata benda nibbuti, yang digunakan sebagai sinonim dari Nibbāna. Nibbāna adalah dari nir + vā.

    [7] Untuk lebih jelas mengenai perumpamaan samudera, baca SN 44:1.

    [8] Pātimokkha: aturan latihan yang mengatur perilaku dari seorang bhikkhu yang telah ditahbiskan secara penuh.

    [9] Ps: Pandangan benar ada dua: duniawi (lokiya) dan adi-duniawi (lokuttara): Pandangan benar duniawi dibagi menjadi dua lagi: pandangan bahwa kamma menghasilkan buahnya, yang dianut oleh baik para Buddhis maupun di luar Buddhis, dan pandangan yang sesuai dengan Empat Kebenaran Mulia, yang eksklusif pada Ajaran Buddha. Pandangan benar adi-duniawi adalah pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia yang dicapai melalui penembusan empat jalan dan buah (baca p. 373). Pertanyaan yang diajukan oleh Yang Mulia Sāriputta adalah sehubungan dengan sekha, siswa dalam latihan yang lebih tinggi,

    [10] Ini adalah sepuluh perbuatan tidak bermanfaat. Untuk penjelasan yang lebih terperinci, baca Teks V, 1(2). Lawannya, persis di bawah, adalah sepuluh perbuatan bermanfaat, juga dijelaskan dalam teks yang sama.

    [11] Ps menjelaskan pemahaman siswa atas keempat hal ini melalui Empat Kebenaran Mulia adalah sebagai berikut: semua perbuatan (bermanfaat dan tidak bermanfaat) adalah kebenaran penderitaan; akar bermanfaat dan tidak bermanfaat adalah kebenaran asal-mula; tidak terjadinya perbuatan itu dan akar-akarnya adalah kebenaran lenyapnya; dan jalan mulia yang mencapai lenyapnya itu adalah kebenaran sang jalan. Hingga sejauh ini seorang siswa mulia pada salah satu dari ketiga tingkat telah dijelaskan – seorang yang telah sampai pada pandangan benar adi-duniawi namun belum melenyapkan semua kekotoran.

    [12] Ps mengatakan bahwa paragraf dari “ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu” hingga “ia mengakhiri penderitaan” menunjukkan tugas yang diselesaikan oleh jalan yang-tidak-kembali dan jalan Kearahatan. Jalan yang-tidak-kembali melenyapkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu indria dan penolakan; jalan Kearahatan melenyapkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan “aku.” Ps mengatakan bahwa ungkapan “kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘aku’” (asmī ti diṭṭhimānānusaya) harus diinterpretasikan sebagai bermakna kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan yang serupa dengan pandangan karena, seperti halnya pandangan diri, kecenderungan ini juga menggenggam gagasan “aku.”

    [13] Makanan (āhāra) di sini harus dipahami dalam makna yang luas sebagai kondisi yang menonjol bagi proses kehidupan individu. Makanan fisik adalah kondisi penting bagi tubuh fisik, kontak bagi perasaan, kehendak pikiran bagi kesadaran, dan kesadaran bagi batin-jasmani, organisme yang memiliki batin dan jasmani secara keseluruhan. Ketagihan disebut asal-mula makanan dalam hal bahwa ketagihan dari kehidupan sebelumnya adalah sumber dari individu sekarang dengan ketergantungannya pada konsumsi terus-menerus akan empat makanan dalam kehidupan ini. Untuk kompilasi kanon yang disertai keterangan dan komentar atas makanan-makanan, baca Nyanaponika Thera, The Vision of Dhamma, pp. 211-28.

    [14] Dua belas bagian selanjutnya menyajikan, dalam urutan mundur, penelaahan faktor demi faktor dari kemunculan bergantungan. Baca Teks IX, 4(4)(a)-(f).

    [15] Tiga jenis penjelmaan (bhava) tentang ketiga alam kehidupan, baca pp. 149-50. Dalam formula kemunculan bergantungan, “penjelmaan” menyiratkan alam kelahiran kembali dan jenis-jenis kamma yang menghasilkan kelahiran kembali di alam-alam itu. Yang pertama secara teknis dikenal sebagai upapattibhava, “penjelmaan-kelahiran kembali,” yang ke dua sebagai kammabhava, “penjelmaan yang aktif secara kamma.”

    [16] Kemelekatan pada ritual dan upacara (silabbatupādāna) adalah keterikatan pada pandangan bahwa pemurnian dapat dicapai dengan mengadopsi aturan eksternal tertentu atau mengikuti upacara tertentu, khususnya disiplin-diri pertapaan; kemelekatan pada doktrin diri (attavādupādāna) adalah bersinonim dengan pandangan diri dalam salah satu pandangan diri yang berasal dari pandangan identitas (baca khsususnya Brahmajāla Sutta, DN 1); kemelekatan pada pandangan (diṭṭhupādāna) adalah kemelekatan pada seluruh jenis lain pandangan kecuali dua yang disebutkan secara terpisah. Kemelekatan dalam salah satu variasinya merupakan suatu penguatan ketagihan, kondisinya.

    [17] Ketagihan pada fenomena-fenomena (dhammataṇhā) adalah ketagihan pada segala objek kesadaran kecuali objek-objek dari kelima jenis kesadaran indria. Contohnya adalah ketagihan yang berhubungan dengan khayalan dan gambaran pikiran, ketagihan pada gagasan-gagasan abstrak dan kepuasan intelektual, dan sebagainya.

    [18] Kontak (phassa) adalah pertemuan antara landasan indria internal (organ indria), landasan indria eksternal (objek), dan kesadaran.

     [19] Istilah nāmarūpa berasal dari masa sebelum munculnya Sang Buddha. Istilah ini digunakan dalam Upaniṣads untuk merepresentasikan berbagai perwujudan brahman, realitas mutlak tunggal yang muncul dalam banyak samaran. Brahman yang dikenali oleh indria-indria sebagai panampakan yang berbeda-beda adalah bentuk (rūpa); brahman yang dikenali oleh pikiran melalui berbagai nama atau konsep berbeda adalah nama (nāma). Sang Buddha mengadopsi ungkapan ini dan memberikan makna menurut sistemnya sendiri. Di sini nama dan bentuk menjadi, berturut-turut, sisi kognitif dan sisi fisik dari eksistensi individu.
   Dalam sistem Sang Buddha, rūpa didefinisikan sebagai empat unsur utama dan bentuk diturunkan dari unsur-unsur itu. Bentuk bagi seseorang adalah internal (=badan jasmani dengan indria-indrianya) dan eksternal (=dunia fisik). Nikāya-nikāya tidak menjelaskan bentuk turunan (upādāya rūpa), tetapi Abhidhamma menganalisisnya ke dalam dua puluh empat jenis fenomena materi sekunder, yang termasuk materi sensitif dari kelima organ indria dan empat dari lima objek indria (objek sentuhan diidentifikasikan dengan ketiga unsur utama – tanah, panas, dan angin – yang masing-masingnya memperlihatkan ciri-ciri nyata.
   Walaupun saya menerjemahkan nāma sebagai nama, hal ini sebaiknya tidak dianggap terlalu literal. Nāma adalah kumpulan dari faktor-faktor batin yang terlibat dalam kognisi: perasaan, persepsi, kehendak, kontak, dan perhatian (vedanā, saññā, cetanā, phassa, manasikāra). Hal-hal ini disebut “nama” mungkin karena berkontribusi pada penyebutan objek secara konseptual. Harus dipahami bahwa dalam Nikāya-nikāya, nāmarūpa tidak memasukkan kesadaran (viññāṇa). Kesadaran adalah kondisi bagi nāmarūpa, seperti halnya nāmarūpa adalah kondisi bagi kesadaran, sehingga keduanya adalah saling bergantungan (baca Teks II, 3(3)).

     [20] Kesadaran-pikiran (manoviññāṇa) terdiri dari seluruh kesadaran kecuali lima jenis kesadaran indria yang telah disebutkan. Termasuk kesadaran dari gambaran pikiran, gagasan-gagasan abstrak, dan kondisi internal pikiran, serta kesadaran dalam merenungkan objek-objek indria.

    [21] Dalam konteks doktrin kemunculan bergantungan, bentukan-bentukan kehendak (sankhārā) adalah kehendak-kehendak yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Bentukan jasmani adalah kehendak yang dinyatakan melalui jasmani, bentukan ucapan adalah kehendak yang dinyatakan melalui ucapan, dan bentukan batin adalah kehendak yang tetap berada di dalam tanpa berubah menjadi ungkapan jasmani atau ucapan.

    [22] Harus dipahami bahwa sementara ketidak-tahuan adalah kondisi bagi noda-noda, noda-noda – termasuk noda ketidak-tahuan – pada gilirannya adalah kondisi bagi ketidak-tahuan. Ps mengatakan bahwa pengkondisian ketidak-tahuan oleh ketidak-tahuan harus dipahami sebagai bermakna bahwa ketidak-tahuan dalam satu kehidupan dikondisikan oleh ketidak-tahuan dalam kehidupan sebelumnya. Karena itu, kesimpulan yang mengikuti adalah bahwa tidak ada titik awal yang dapat ditemukan bagi ketidak-tahuan, dan dengan demikian maka saṁsāra adalah tanpa awal yang dapat diketahui.

    [23] “Empat tahap” (atau “empat putaran,” catuparivaṭṭa) adalah: kelompok unsur kehidupan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, yang diaplikasikan pada masing-masing dari kelima kelompok unsur kehidupan.

    [24] Paragraf ini menggambarkan siswa yang masih berlatih (sekha), yang telah secara langsung mengetahui Empat Kebenaran Mulia dan sedang berlatih untuk mencapai pelenyapan tertinggi dari kelima kelompok unsur kehidupan, mencapai Nibbāna.

    [25] Paragraf ini menggambarkan para Arahant. Menurut DN II 63-64, lingkaran kehidupan berputar sebagai landasan bagi perwujudan dan pengukuhan hanya sejauh adanya kesadaran bersama dengan nama-dan-bentuk; ketika kesadaran dan nama-dan-bentuk lenyap, maka tidak ada lingkaran yang berfungsi bagi perwujudan dan pengukuhan.

    [26] Cha cetanākāyā. Fakta bahwa ada perbedaan antara nama dan kelompok unsur kehidupan (saṅkhārakkhandha) dan istilah definisi, cetanā,  menyiratkan bahwa kelompok unsur ini memiliki jangkauan yang lebih luas daripada yang lain. Dalam Abhidhamma dan komentar, saṅkhārakkhandha diperlakukan sebagai “kategori payung” untuk mengklasifikasikan semua faktor batin yang disebutkan dalam sutta-sutta selain perasaan dan persepsi. Kehendak disebutkan dalam definisi karena merupakan faktor yang paling penting dalam kelompok unsur ini, bukan karena sebagai komponen eksklusif.

    [27] Adalah penting bahwa walaupun kontak adalah kondisi bagi munculnya ketiga kelompok unsur  perasaan, persepsi, dan bentukan-bentukan kehendak, namun nama-dan-bentuk adalah kondisi bagi munculnya kesadaran. Hal ini mendukung pernyataan dalam formula sepuluh faktor dari kemunculan bergantungan, yang terdapat pada Teks II, 3(3), bahwa nama-dan-bentuk adalah kondisi bagi kesadaran.

    [28] Menurut Spk, keinginan (chanda) di sini adalah bersinonim dengan ketagihan (taṇhā). Hal ini dikatakan karena kelima kelompok unsur kehidupan dalam kehidupan manapun berasal mula dari sisa-sisa ketagihan terhadap kehidupan baru pada kehidupan sebelumnya.

    [29] Kemelekatan tidak sama dengan “kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan” karena kelompok-kelompok unsur kehidupan tidak dapat direduksi hingga menjadi kemelekatan. Juga kemelekatan bukanlah sesuatu yang terpisah dari “kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan” karena tidak ada kemelekatan yang tidak memiliki kelompok-kelompok unsur kehidupan sebagai penopang dan objeknya.

    [30] Tentang “pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan,” baca p.445 (bab IX, n.63).

    [31] Ini adalah khotbah ke dua Sang Buddha, menurut narasi dari karir pengajaran Sang Buddha dalam Vin I 13-14. Kelima bhikkhu itu adalah lima siswa pertama, yang pada saat itu masih berlatih (sekha). Tujuan Sang Buddha dalam mengajarkan khotbah ini adalah untuk menuntun mereka menuju Kearahattaan.

    [32] Sutta ini memberikan dua “argumentasi” untuk tesis bukan-diri. Yang pertama berpendapat bahwa kelompok-kelompok unsur kehidupan adalah bukan-diri dengan dasar bahwa kita tidak menguasainya. Karena kita tidak dapat mengarahkan kelompok-kelompok unsur kehidupan sesuai kehendak kita, maka kelompok-kelompok unsur tersebut “tunduk pada penderitaan” dan tidak dapat dianggap sebagai diri kita. Argumetasi ke dua, dijelaskan di bawah, mengajukan karakteristik bukan-diri dengan dasar kedua karakteristik lainnya. Apapun yang tidak kekal pasti dalam suatu cara terikat pada penderitaan; apapun yang tidak kekal yang terikat pada penderitaan tidak dapat diidentifikasikan sebagai diri kita.

    [33] Spk menjelaskan dengan lengkap bagaimana bentuk (yaitu, jasmani) bagaikan sebongkah buih (pheṇapiṇḍa). Saya hanya memberikan penekanan: seperti sebongkah buih yang tidak memiliki inti (sāra), demikian pula bentuk tidak memiliki inti apapun yang kekal, stabil, suatu diri; bagaikan sebongkah buih penuh dengan lubang dan celah dan menjadi tempat kediaman banyak makhluk, demikian pula dengan bentuk; seperti halnya sebongkah buih, setelah membesar, pecah, demikian pula dengan bentuk, yang hancur lebur pada saat kematian.

    [34] Spk: sebuah gelembung (bubbuḷa) adalah lemah dan tidak dapat digenggam, karena akan pecah segera setelah ditangkap; demikian pula perasaan adalah lemah dan tidak dapat digenggam sebagai kekal dan stabil. Seperti halnya gelembung yang muncul dan lenyap dalam setetes air dan tidak bertahan lama, demikian pula dengan perasaan: milyaran perasaan muncul dan lenyap dalam waktu sejentikan jari. Seperti halnya gelembung muncul dengan bergantung pada kondisi-kondisi, demikian pula perasaan muncul dengan bergantung pada landasan indria, objek, kekotoran-kekotoran, dan kontak.

    [35] Spk: Persepsi adalah bagaikan fatamorgana (marīcikā) dalam pengertian tanpa inti, karena seseorang tidak dapat menggenggam fatamorgana untuk minum, mandi atau mengisi kendi. Seperti halnya fatamorgana menipu banyak orang, demikian pula persepsi, yang memikat orang-orang dengan gagasan bahwa objek warna-warni itu indah, menyenangkan, dan kekal.

    [36] Spk: Bagaikan batang pohon pisang (kadalikkhandha) adalah gabungan banyak lapisan kulit, masing-masing dengan karakteristiknya sendiri-sendiri, demikian pula bentukan-bentukan kehendak adalah gabungan dari banyak fenomena, masing-masing dengan karakteristiknya sendiri-sendiri.

    [37] Spk: Kesadaran adalah seperti ilusi sulap (māyā) dalam pengertian tanpa inti dan tidak dapat digenggam. Kesadaran bahkan lebih sementara dan lebih cepat berlalu daripada ilusi sulap. Karena kesadaran memberikan kesan bahwa seseorang datang dan pergi, berdiri dan duduk, dengan pikiran yang sama, tetapi pikiran adalah berbeda dalam tiap-tiap aktivitas ini. Kesadaran menipu banyak makhluk bagaikan ilusi sulap.
   
    [38] Sutta ini sering disebut “Khotbah Api,” adalah khotbah ke tiga Sang Buddha seperti tercatat dalam narasi pengajaran Beliau pada Vin I 34-35. Menurut sumber ini, seribu bhikkhu kepada siapa sutta ini dibabarkan sebelumnya adalah para petapa pemuja api, dan demikianlah Sang Buddha menggunakan tema ini karena sesuai dengan latar belakang mereka. Untuk kisah bagaimana Sang Buddha mengkonversi mereka, baca Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp. 54-60, 64-69.

    [39] Sang Buddha sedang berbicara kepada Pukkusāti, seorang bhikkhu yang meninggalkan keduniawian karena keyakinan pada Sang Buddha tanpa pernah bertemu dengan Beliau sebelumnya. Pada pembukaan sutta, Sang Buddha tiba di gubuk pengrajin tembikar, bermaksud untuk bermalam di sana. Pukkusāti telah terlebih dulu tiba di sana dan menyapa Sang Buddha dengan sangat bersahabat, tidak menyadari bahwa orang itu adalah gurunya. Tanpa mengungkapkan identitasNya kepada Pukkusāti, Sang Buddha memulai percakapan, yang mengarah pada sebuah khotbah tentang pengembangan kebijaksanaan.

    [40] Ps: Ini adalah unsur ke enam, yang “tersisa” dalam sesuatu yang masih harus dijelaskan oleh Sang Buddha dan harus ditembus oleh Pukkusāti. Di sini dijelaskan sebagai kesadaran yang menyempurnakan pekerjaan perenungan pandangan terang pada unsur-unsur. Di bawah judul kesadaran, perenungan perasaan juga diperkenalkan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IX)
« Reply #83 on: 01 June 2012, 09:04:59 PM »
    [41] Paragraf ini menunjukkan kondisionalitas perasaan dan ketidak-kekalannya melalui lenyapnya kondisinya.

    [42] Idappaccayatā. Kata ini adalah kata majemuk dari idaṃ, ini, dan paccaya, kondisi, ditambah dengan kata benda abstrak penutup –tā. Ini adalah sinonim dari paṭiccasamuppāda. Baca Teks II, 4 §19, yang juga menghubungkan penembusan kemunculan bergantungan dengan pencerahan Sang Buddha.

    [43] Spk: Kenyataan (tathatā) bermakna terjadinya masing-masing fenomena ketika bertemu dengan kondisi yang sesuai. Ketidak-salahan (avitathatā) berarti bahwa begitu kondisinya menjadi lengkap, maka tidak ada ketidak-munculan, bahkan selama sesaat, fenomena yang dihasilkan dari kondisi-kondisi tersebut. Tidak-berubah (anaññathatā)/i] berarti tidak ada produksi satu fenomena oleh kondisi lainnya.

    [44] Dhamme ñāṇa. ini adalah pengetahuan langsung pada Empat Kebenaran Mulia yang muncul melalui penembusan Nibbāna sebagai kebenaran lenyapnya.

    [45] Anvaye ñāṇa. Ini adalah suatu kesimpulan yang menjangkau masa lalu dan masa depan, berdasarkan pada penglihatan sekarang pada hubungan kondisional yang diperoleh antara pasangan faktor-faktor.

    [46] Spk: gagasan ke-ada-an (atthitā) adalah eternalisme (sassata); gagasan ke-tiada-an (natthitā) adalah nihilisme (uccheda). Spk-pṭ: Gagasan ke-ada-an adalah eternalisme karena gagasan ini menganggap bahwa keseluruhan dunia (dari eksistensi personal) ada selamanya. Gagasan ke-tiada-an adalah nihilisme karena menganggap bahwa keseluruhan dunia tidak ada (selamanya) melainkan terpotong.

   Dalam pandangan kedua penjelasan ini adalah keliru untuk menerjemahkan kedua istilah, atthitā dan natthitā, hanya sebagai “ke-ada-an” dan “ke-tiada-an.” Dalam kalimat sekarang ini atthitā dan natthitā adalah kata benda abstrak yang dibentuk dari kata kerja atthi dan natthi. Dengan demikian adalah asumsi metafisik yang implisit dalam abstraksi tersebut yang keliru, bukan asal kata ke-ada-an dan ke-tidak-ada-an itu sendiri. Saya telah berusaha untuk menyampaikan makna abstraksi metafisik ini, disampaikan dalam Pāli dengan akhiran –ta, dengan menerjemahkan kedua istilah menjadi “gagasan ke-ada-an” dan “gagasan ke-tiada-an.”

   Sayangnya, atthitā dan bhava keduanya terpaksa diterjemahkan “kehidupan” yang mengaburkan fakta bahwa kedua kata dalam Pāli berasal dari akar yang berbeda. Sementara atthitā adalah gagasan ke-ada-an dalam abstrak, bhava adalah penjelmaan individu nyata dalam salah satu dari tiga alam. Demi membuat perbedaan, bhava dapat diterjemahkan sebagai “makhluk,” namun kata ini terlalu menyiratkan “makhluk hidup,” objek absolut dari spekulasi filosofis dan tidak mencukupi dalam menyampaikan makna intrinsik yang terkandung dalam bhava.

    [47] Spk: asal-mula dunia: produksi dunia bentukan-bentukan. Tidak ada gagasan ke-tiada-an sehubungan dengan dunia ini: tidak muncul dalam dirinya pandangan nihilisme yang mungkin muncul sehubungan dengan fenomena yang dihasilkan dan terwujud dalam dunia bentukan-bentukan, menganggap “Mereka tidak ada.” Spk-pṭ: Pandangan nihilisme mungkin muncul sehubungan dengan dunia bentukan-bentukan sebagai berikut: “Sehubungan dengan pemusnahan dan lenyapnya makhluk-makhluk tepat di mana mereka berada, tidak ada makhluk atau fenomena yang kekal.” Ini juga termasuk pandangan salah, menggunakan bentukan-bentukan itu sebagai objeknya, yang menganggap: “Tidak ada makhluk yang terlahir kembali.” Pandangan itu tidak muncul dalam dirinya; karena seseorang yang melihat dengan pengertian benar pada produksi dan asal-mula dari dunia bentukan-bentukan yang bergantung pada berbagai kondisi seperti kamma, ketidak-tahuan, ketagihan, dan sebagainya, maka pandangan nihilisme itu tidak muncul, karena ia melihat produksi bentukan-bentukan tanpa terputus.

   Spk: Lenyapnya dunia: terhentinya bentukan-bentukan. Tidak ada gagasan ke-ada-an sehubungan dengan dunia: tidak muncul dalam dirinya pandangan eternalisme yang mungkin muncul sehubungan dengan fenomena yang dihasilkan dan terwujud dalam dunia bentukan-bentukan, menganggap “Mereka ada.” Spk-pṭ: Pandangan eternalisme mungkin muncul sehubungan dengan dunia bentukan-bentukan, menganggapnya ada sepanjang waktu, karena pemahaman identitas dalam rangkaian yang tidak terputus yang muncul dalam hubungan sebab-akibat. Tetapi pandangan itu tidak muncul dalam dirinya; karena ia melihat berturut-turut lenyapnya fenomena yang telah muncul dan berturut-turut munculnya fenomena baru, maka pandangan eternalisme tidak muncul.

   Spk: Lebih jauh lagi, “asal-mula dunia” adalah kondisionalitas urutan maju (anuloma-paccayākāra); “lenyapnya dunia,” kondisionalitas urutan mundur (paṭiloma-paccayākāra). [Spk-pṭ: “Kondisional urutan maju” adalah kemampuan pengkondisian atas kondisi sehubungan dengan akibat-akibatnya sendiri; “kondisional urutan mundur” adalah lenyapnya akibat melalui lenyapnya penyebab masing-masing.] Karena dalam melihat kebergantungan dunia, ketika seseorang melihat kesinambungan dari fenomena yang muncul berkondisi karena kesinambungan kondisi-kondisinya, maka pandangan nihilisme, yang mungkin muncul jika tidak demikian, tidak muncul. Dan dalam melihat lenyapnya fenomena yang muncul berkondisi karena lenyapnya kondisi-kondisinya, maka pandangan eternalisme, yang mungkin muncul jika tidak demikian, tidak muncul.

     [48] Spk menjelaskan dukkha di sini sebagai “hanya lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan” (pañc’upādānakkhandhamattam eva). Demikianlah apa yang dilihat oleh siswa mulia itu, ketika ia merenungkan kehidupan personalnya bukanlah diri atau suatu inti diri melainkan hanya kumpulan fenomena yang muncul dan lenyap secara terkondisi melalui proses pengondisian dari kemunculan bergantungan.

    [49] Saya menginterpretasikan apa yang dikehendaki seseorang (ceteti) dan apa yang direncanakan seseorang (pakappeti) di sini sebagai mewakili bentukan-bentukan kehendak (saṅkhārā), faktor ke dua dalam formula kemunculan bergantungan. Kecenderungan pada apapun yang dimiliki seseorang (anuseti) menyiratkan kecenderungan tersembunyi (anusaya), terutama kecenderungan-kecenderungan pada ketidak-tahuan dan ketagihan, faktor pertama dan ke delapan dalam formula. Ketika seseorang meninggal dunia dengan masih ada kecenderungan-kecenderungan pada ketidak-tahuan dan ketagihan, maka kehendak dan rencananya – perwujudan nyata dari ketagihan dalam bentuk aktivitas-aktivitas kehendak – menjadi landasan bagi kesadaran untuk berlanjut, menjadi terbentuk dalam “nama-dan-rupa” yang baru, dan memicu terbentuknya kehidupan baru. Ini adalah peristiwa kelahiran, yang diikuti dengan penuaan, kematian, dan jenis-jenis penderitaan lainnya antara kelahiran dan kematian.

    [50] Walaupun adalah tidak mungkin memiliki kecenderungan tersembunyi tanpa kehendak dan rencana, paragraf ini dapat dilihat sebagai memiliki tujuan retoris menekankan peran kecenderungan tersembunyi itu dalam memelihara proses kelahiran kembali. Tetapi menurut Spk, paragraf ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa bagi seorang meditator pandangan terang yang telah mengatasi pikiran-pikiran tidak bermanfaat, bahaya kelahiran kembali masih ada selama kecenderungan-kecenderungan tersembunyi itu masih ada.

    [51] Paragraf ini menunjukkan Arahant.

    [52] Tathāni avitathāni anaññathāni. Baca pp. 449-50, catatan 43. Spk: “Kenyataan dalam arti tidak menjauhi sifat sejati segala sesuatu; karena penderitaan disebutkan hanya sebagai penderitaan. Tidak pernah salah, karena ketidak-salahannya atas sifat sejatinya; karena penderitaan tidak akan menjadi bukan-penderitaan. Tidak berubah, karena tidak sampai pada sifat yang berbeda; karena penderitaan tidak sampai pada sifat asal-mula (penderitaan), dan seterusnya. Metode yang sama untuk kebenaran-kebenaran lainnya.” Saya memahami anaññatha dalam makna yang lebih sederhana dan langsung bahwa kebenaran adalah “tidak berubah” karena tidak pernah berubah dari segala sesuatu sebagaimana adanya.

    [53] Bhavanetti. Yang menuntun menuju penjelmaan baru, yaitu, ketagihan pada penjelmaan.

    [54] Semua daun ini adalah kecil dan halus. Dedaunan yang disebutkan dalam paragraf pasangannya di bawah adalah lebar dan kuat.

    [55] Spk mengidentifikasinya sebagai keponakan Sāriputta.

    [56] Nippapañcaṃ. Spk: Karena tidak ter-proliferasi (dikembangkan) oleh ketagihan, keangkuhan, dan pandangan-pandangan.

    [57] Negasi atas unsur fisik dapat dianggap sebagai penyangkalan, bukan hanya keberadaan materi dalam Nibbāna, tetapi juga identifikasi Nibbāna dengan pengalaman-pengalaman jhāṅa, yang masih berhubungan dengan alam bentuk. Empat hal berikutnya menegasikan objek empat pencapaian meditatif tanpa bentuk dalam Nibbāna.

    [58] Dalam Pali, diṭṭha, “terlihat,” di sini jelas dimaksudkan sebagai lawan dari diṭṭhi, “pandangan.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB X)
« Reply #84 on: 03 June 2012, 01:27:50 PM »
PENDAHULUAN


Pengembangan kebijaksanaan, seperti yang telah kita lihat, bertujuan pada pencapaian Nibbāna. Nikāya-nikāya merumuskan serangkaian tahapan pasti yang melaluinya seseorang melewati jalan menuju pencapaian Nibbāna. Dalam melalui tahapan-tahapan ini ia berkembang dari seorang “kaum duniawi yang tidak terlatih,” yang buta terhadap kebenaran-kebenaran Dhamma, menjadi seorang Arahant, seorang yang terbebaskan, yang telah mencapai pemahaman penuh pada Empat Kebenaran Mulia dan mencapai Nibbāna dalam kehidupan ini. Saya telah merujuk pada beberapa tahapan ini dalam bab-bab sebelumnya pada buku ini. Dalam bab ini kita akan mengeksplorasinya dengan cara yang lebih sistematis.

Dalam memasuki jalan satu arah menuju pencapaian Nibbāna, seseorang menjadi seorang mulia (ariyapuggala), kata “mulia” (ariya) di sini menunjukkan kemuliaan spiritual. Masing-masing tahap terdiri dari dua fase: jalan (magga) dan buahnya (phala).  [1] Dalam fase jalan, seseorang dikatakan sebagai berlatih untuk mencapai buah tertentu, yang pasti ia capai dalam kehidupan yang sama; dalam fase hasil, ia dikatakan sebagai kokoh dalam buah. Demikianlah empat jenis utama individu mulia sebenarnya terdiri dari empat pasang atau delapan jenis individu mulia. Seperti yang diuraikan dalam Teks X, 1(1), delapan ini adalah: (1) seorang yang berlatih untuk mencapai buah memasuki-arus, (2) pemasuk-arus, (3) seorang yang berlatih untuk mencapai buah yang-kembali-sekali, (4) yang-kembali-sekali, (5) seorang yang berlatih untuk mencapai buah yang-tidak-kembali, (6) yang-tidak-kembali, (7) seorang yang berlatih untuk mencapai Kearahattaan, (8) Arahant. Teks X, 1(2) mengelompokkan delapan ini menurut peringkat relatif pada kualitas spiritual, sehingga masing-masing peringkat memiliki kualitas yang lebih kuat daripada peringkat di bawahnya. Tujuh individu pertama secara kolektif dikenal sebagai sekha, yang masih berlatih atau siswa dalam latihan yang lebih tinggi; Arahant disebut asekha, seorang yang melampaui latihan.

Empat tahap utama itu sendiri didefinisikan dalam dua cara: (1) melalui kekotoran yang telah dilenyapkan melalui jalan menuju buah yang bersesuaian; dan (2) melalui takdir setelah kematian yang menunggu ia yang telah mencapai buah tertentu. Teks X, 1(3) memberikan definisi standar pada empat jenis yang menyebutkan kedua cara itu, baik kekotoran yang telah ditinggalkan maupun takdir masa depan mereka.

Nikāya-nikaya mengelompokkan kekotoran-kekotoran yang ditinggalkan dalam kelompok sepuluh belenggu (saṃyojana). Pemasuk-arus meninggalkan tiga belenggu pertama: pandangan identitas (sakkāyadiṭṭhi), yaitu, pandangan atas diri yang benar-benar ada sebagai identik dengan kelima kelompok unsur kehidupan atau sebagai ada dalam suatu hubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan; keragu-raguan (vicikicchā) pada Sang Buddha, Dhamma, Saṅgha, dan latihan; dan genggaman keliru pada ritual dan upacara (sīlabbataparāmāsa), kepercayaan bahwa hanya upacara eksternal, khususnya ritual keagamaan dan praktik pertapaan, dapat menuntun menuju kebebasan. Pemasuk arus pasti mencapai pencerahan sempurna dalam paling banyak tujuh kelahiran lagi, yang semuanya hanya terjadi di alam manusia atau di alam surga. Pemasuk-arus tidak akan pernah terlahir kembali untuk ke delapan kalinya dan selamanya terbebas dari kelahiran kembali di tiga alam rendah – neraka, alam hantu kelaparan, dan alam binatang.

Yang-kembali-sekali (sakadāgāmi) tidak melenyapkan belenggu baru. Ia telah melenyapkan ketiga belenggu yang telah dilenyapkan oleh pemasuk-arus dan sebagai tambahan, ia telah melemahkan ketiga akar tidak bermanfaat – nafsu, kebencian, dan delusi – sehingga ketiga ini tidak sering muncul dan, apabila muncul, tidak menguasai.  [2] Seperti tersirat dalam namanya, yang-kembali-sekali akan kembali ke dunia ini hanya satu kali lagi dan kemudian mengakhiri penderitaan.

Yang-tidak-kembali (anāgāmī) melenyapkan lima “belenggu yang lebih rendah.” Yaitu, sebagai tambahan dari ketiga belenggu yang telah dilenyapkan oleh pemasuk-arus, yang-tidak-kembali melenyapkan dua belenggu lainnya, yaitu nafsu indria dan permusuhan. Karena yang-tidak-kembali telah melenyapkan nafsu indria, maka mereka tidak lagi memiliki ikatan yang mengikat mereka pada alam indria. Dengan demikian mereka akan terlahir di alam berbentuk (rūpadhātu), umumnya di salah satu dari lima alam yang disebut “alam murni” (suddhāvāsa) yang tersedia secara eksklusif bagi kelahiran kembali para yang-tidak-kembali. Mereka mencapai Nibbāna akhir di sana, tanpa pernah kembali ke alam indria.

Akan tetapi, yang-tidak-kembali, masih terikat oleh lima “belenggu yang lebih tinggi”: keinginan pada kehidupan di alam berbentuk, keinginan pada kehidupan di alam tanpa bentuk, keangkuhan, kegelisahan, dan ketidak-tahuan. Mereka yang telah memotong kelima belenggu yang lebih tinggi ini tidak lagi memiliki ikatan yang mengikat mereka pada kehidupan terkondisi. Mereka ini adalah para Arahant, yang telah menghancurkan segala kekotoran dan “sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir.”

Kelompok siswaBelenggu yang baru dilenyapkanJenis kelahiran kembali yang tersisa
Pemasuk-aruspPandangan identitas, keragu-raguan, genggaman keliru pada aturan dan upacaraPaling banyak tujuh kali kelahiran lagi di antara manusia dan para deva
Yang-kembali-sekaliTidak ada, tetapi melemahkan nafsu, kebencian, dan delusiSatu kali kelahiran lagi di alam indria
Yang-tidak-kembaliNafsu indria dan permusuhanKelahiran spontan di alam berbentuk
ArahantKeinginan pada kehidupan di alam berbentuk, keinginan pada kehidupan di alam tanpa bentuk, keangkuhan, kegelisahan, ketidak-tahuanTidak ada

Selain keempat kelompok utama para mulia, Nikāya-nikāya kadang-kadang menyebutkan sepasang peringkat persis di bawah pemasuk-arus – baca Teks X, 1(3). Kedua ini – disebut pengikut-Dhamma (dhammānusāri) dan pengikut-keyakinan (saddhānusāri) – kedua jenis ini sebenarnya berada dalam kelompok siswa mulia ke delapan, yaitu orang-orang yang berlatih untuk mencapai buah memasuki-arus. Nikāya-nikāya memasukkan pasangan ini untuk menunjukkan bahwa mereka yang berada dalam jalan memasuki-arus dapat dibedakan dalam dua kelompok menurut kualitas dominan mereka. Pengikut-Dhamma adalah seorang yang kebijaksanaannya dominan, pengikut-keyakinan adalah seorang yang keyakinannya dominan. Penting untuk diperhatikan bahwa pada tahap ini sebelum mencapai buah pertama, adalah hanya keyakinan dan kebijaksanaan dan bukan tiga kualitas lainnya – kegigihan, perhatian, dan konsentrasi – yang berfungsi untuk membedakan para siswa ke dalam jenis-jenis berbeda.  [3]

Penjelasan tentang kelompok-kelompok siswa mulia pada teks di atas, sebuah kutipan dari Alagaddūpama Sutta (MN 22), mungkin menyampaikan kesan bahwa mereka semua yang mencapai tingkatan-tingkatan ini adalah para bhikkhu. Akan tetapi, hal ini tidak harus selalu demikian. Kutipan Alagaddūpama ini dibabarkan demikian hanya karena ditujukan kepada para bhikkhu. Teks X, 1(4) mengoreksi kesan ini dan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana kelompok-kelompok siswa mulia tersebar di antara kelompok-kelompok para pengikut Buddha. Sebagai suatu kondisi yang abadi, Kearahattaan hanya tersedia bagi para bhikkhu dan bhikkhunī. Hal ini bukan berarti bahwa hanya para bhikkhu dan bhikkhunī saja yang dapat mencapai Kearahattaan; sutta-sutta dan komentar-komentar mencatat beberapa kasus siswa awam mencapai tujuan akhir ini. Akan tetapi, siswa-siswa demikian mencapai Kearahattaan di ambang kematian atau memasuki kelompok monastik segera setelah pencapaian mereka. Mereka tidak lagi berdiam di rumah sebagai Arahant perumah-tangga, karena berdiam di rumah adalah tidak sesuai dengan kondisi seseorang yang telah memutuskan segala nafsu.

Sebaliknya, para yang-tidak-kembali dapat terus berdiam sebagai perumah-tangga. Sambil mereka hidup sebagai siswa awam, mereka telah melenyapkan nafsu indria dan dengan demikian menjalankan kehidupan selibat. Mereka digambarkan sebagai “umat awam … berjubah putih, menjalani kehidupan selibat, yang, dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan terlahir kembali secara spontan [di alam murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.” Walaupun sutta-sutta tidak secara eksplisit mengatakan hal ini, namun cukup masuk akal untuk menganggap bahwa para siswa itu yang berlatih untuk mencapai buah yang-tidak-kembali, juga melaksanakan kehidupan selibat penuh waktu. Akan tetapi, umat-umat awam pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali, tidak harus hidup selibat. Dalam sutta Sang Buddha menggambarkan mereka sebagai “umat awam … berjubah putih, yang menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksiKu, menuruti nasihatKu, telah melampaui keragu-raguan, menjadi bebas dari kebimbangan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada orang lain dalam pengajaran Sang Guru.” Demikianlah, walaupun beberapa pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali mungkin menjalankan kehidupan selibat, namun hal ini bukanlah khas pada kedua kelompok ini.

Nikāya-nikāya kadang-kadang menggunakan skema lain untuk memgelompokkan para siswa mulia, salah satunya adalah menjadikan indria dominan dan bukan tingkat pencapaian saja sebagai dasar bagi pembedaan. Sumber utama untuk skema ini adalah sebuah paragraf dalam Kiṭāgiri Sutta yang termasuk dalam buku ini sebagai Teks X, 1(5). Metode pengelompokkan ini membagi para Arahant ke dalam dua kategori: mereka yang terbebaskan dalam kedua cara (ubhatobhāgavimutta) dan mereka yang terbebaskan melalui kebijaksanaan (paññāvimutta). Yang pertama disebut “terbebaskan dalam kedua cara” karena mereka terbebaskan dari bentuk melalui kemahiran mereka dalam meditasi tanpa bentuk dan terbebaskan dari segala kekotoran melalui pencapaian Kearahattaan. Para Arahant yang “terbebaskan melalui kebijaksanaan” tidak mahir dalam pencapaian tanpa bentuk namun telah mencapai buah akhir melalui kekuatan kebijaksanaan mereka yang dikombinasikan dengan tingkatan-tingkatan konsentrasi yang lebih rendah daripada kondisi-kondisi tanpa bentuk.

Mereka yang telah mencapai salah satu tingkat yang lebih rendah, dari tingkat memasuki-arus hingga dan termasuk jalan Kearahattaan, terbagi dalam tiga kategori. “Saksi-tubuh” (kāyasakkhī) adalah salah satu dari tingkatan-tingkatan ini yang telah menguasai pencapaian tanpa bentuk; “seorang yang mencapai pandangan” (diṭṭhipatta), seorang yang berada dalam salah satu tingkat ini yang tidak memiliki pencapaian tanpa bentuk namun unggul dalam hal kebijaksanaan; dan “seorang yang terbebaskan melalui keyakinan” (saddhāvimutta), seorang yang berada dalam salah satu tingkat ini yang tidak memiliki pencapaian tanpa bentuk namun unggul dalam hal keyakinan. Kedua individu terakhir dalam penggolongan ini adalah pengikut-Dhamma dan pengikut-keyakinan yang telah dijelaskan di atas.

Harus diperhatikan bahwa skema ini tidak menyebutkan tentang seseorang yang berada pada jalan memasuki-arus yang memiliki pencapaian tanpa-bentuk. Ini bukan berarti bahwa jenis ini secara prinsipil tidak termasuk, melainkan hanya bahwa jenis ini dianggap tidak relevan untuk tujuan pengelompokan ini. Tampaknya bahwa pada tahap persiapan ini, pengelompokan terpisah untuk seorang yang memiliki kemahiran dalam hal konsentrasi dianggap tidak perlu.

Dalam teks-teks pilihan. Selanjutnya saya mengambil jenis-jenis utama untuk penjelasan secara individual. Saya memulai dengan pemasuk-arus, tetapi pertama-tama diperlukan beberapa komentar awal. Dalam Nikāya-nikāya, sebagian besar manusia disebut “kaum duniawi yang tidak terlatih” (assutavā puthujjana). Kaum duniawi tidak menghormati Sang Buddha dan ajaranNya, tidak memahami Dhamma atau menekuni praktik. Tujuan dari jalan Sang Buddha adalah untuk menuntun kaum duniawi menuju pencapaian Keabadian, dan tingkatan-tingkatan pencapaian adalah langkah-langkah menuju kesempurnaan proses ini. Proses transformasi umumnya dimulai ketika seseorang bertemu dengan ajaran Sang Buddha dan memperoleh keyakinan pada Sang Buddha sebagai seorang Yang Tercerahkan. Selanjutnya, ia harus memperoleh pemahaman jernih pada Dhamma, menjalankan aturan-aturan, dan memasuki praktik sistematis sang jalan. Dalam sutta-sutta seorang yang demikian disebut seorang siswa mulia (ariyasāvaka) dalam makna luas kata itu, bukan makna sempit dan teknis dari seorang yang telah mencapai jalan dan buah.

Tradisi belakangan menyebut seorang yang memiliki keyakinan pada Dhamma dan bercita-cita untuk mencapai tingkat memasuki-arus sebagai seorang kaum duniawi yang baik (kalyāṇaputhujjana). Untuk mencapai pencapaian memasuki-arus, siswa tersebut harus melatih “empat faktor memasuki-arus.” Seperti yang dijelaskan dalam Teks X, 2(1), yaitu: bergaul dengan para bijaksana dan para pembimbing spiritual yang bermoral; mendengarkan Dhamma sejati; memperhatikan dengan seksama pada segala sesuatu (misalnya, melalui kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri); dan berlatih sesuai dengan Dhamma (dengan melaksanakan tiga latihan dalam disiplin moral, konsentrasi, dan kebijaksanaan). Puncak latihan yang dijalankan oleh siswa tersebut adalah pengembangan pandangan terang: perenungan menyeluruh pada kelompok-kelompok unsur kehidupan, landasan-landasan indria, dan unsur-unsur sebagai tidak kekal, terikat pada penderitaan, dan hampa dari diri. Pada titik tertentu, ketika pandangan terang mencapai puncaknya, pemahaman sang siswa akan mengalami suatu transisi besar, yang menandai jalan masuk pada “jalan pasti kebenaran,” Jalan Mulia Berunsur Delapan sejati yang menuntun dalam satu arah menuju Nibbāna. Seperti yang disebutkan dalam Teks X, 2(2), siswa demikian telah maju dari wilayah kaum duniawi dan mencapai wilayah para mulia. Walaupun masih belum menjadi seorang pemasuk-arus, seseorang pada tahap ini tidak akan meninggal dunia sebelum mencapai buah memasuki-arus.

Seperti yang telah kita lihat, di antara para siswa yang mencapai sang jalan terdapat suatu perbedaan antara mereka yang sampai melalui keyakinan, disebut sebagai pengikut-keyakinan, dan mereka yang sampai melalui kebijaksanaan, disebut sebagai pengikut-Dhamma. Tetapi walaupun para pengikut-keyakinan dan pengikut-Dhamma berbeda dalam hal kualitas dominan mereka, namun mereka serupa dalam hal bahwa keduanya harus lebih jauh lagi melatih sang jalan yang telah mereka masuki. Begitu mereka mengetahui dan melihat esensi Dhamma – ketika mereka “memperoleh penglihatan pada Dhamma” dan “menembus Dhamma” – mereka menjadi pemasuk-arus, pasti mencapai pencerahan penuh dan mencapai Nibbāna akhir dalam paling banyak tujuh kelahiran lagi; baca Teks X, 2(3). Para pemasuk-arus melenyapkan ketiga belenggu pertama dan memperoleh delapan faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Mereka juga memiliki “empat faktor memasuki-arus”: keyakinan kuat pada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan “moralitas yang disukai para mulia,” yaitu, ketaatan penuh pada lima aturan; baca Teks X, 2(4)-(5).

Setelah melihat kebenaran Dhamma, pemasuk-arus menghadapi tantangan untuk melatih penglihatannya untuk melenyapkan kekotoran-kekotoran yang tersisa. Titik aman berikutnya, pencapaian tingkat yang-kembali-sekali, tidak sepenuhnya melenyapkan kekotoran apa pun. Akan tetapi, tingkat ini melemahkan ketiga akar kekotoran – nafsu, kebencian, dan delusi – hingga pada tingkat yang mencukupi untuk memastikan siswa tersebut akan kembali ke “alam ini,” alam indria, hanya sekali lagi dan kemudian mengakhiri penderitaan.

Seorang siswa yang mencapai salah satu dari dua tingkat pertama, pemasuk-arus atau yang-kembali-sekali, tidak harus tetap di sana melainkan boleh maju ke dua tingkat yang lebih tinggi. Penggambaran atas pencapaian-pencapaian dalam Nikāya-nikāya menyiratkan bahwa adalah mungkin bagi seorang kaum duniawi yang baik yang memiliki kemampuan-kemampuan yang tajam untuk maju secara langsung pada tingkat yang-tidak-kembali. Yang-tidak-kembali selalu dikatakan dapat dicapai hanya melalui hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, ketiga belenggu yang dilenyapkan oleh pemasuk-arus bersama dengan nafsu indria dan permusuhan. Dari Nikāya-nikāya, tampaknya bahwa seseorang yang memiliki kebijaksanaan yang luar biasa tajam dapat mencapai tingkat ini dalam satu kali duduk. Akan tetapi, komentar-komentar menjelaskan bahwa dalam kasus demikian pun siswa tersebut sesungguhnya melewati kedua jalan dan buah pertama secara cepat berturut-turut sebelum mencapai jalan dan buah ke tiga.

Menurut Teks X, 3(1), untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah, seorang bhikkhu pertama-tama mencapai salah satu dari empat jhāna atau salah satu dari tiga pencapaian tanpa bentuk yang lebih rendah; faktor-faktor pokok dari pencapaian tanpa bentuk ke empat terlalu halus untuk digunakan sebagai objek pandangan terang. Dengan mengarahkan perhatiannya pada faktor-faktor yang terdapat dalam jhāna atau pencapaian tanpa bentuk,  [4] ia menerapkannya ke dalam kelima kelompok unsur kehidupan: sebagai termasuk di dalam bentuk (dihilangkan sehubungan dengan pencapaian tanpa bentuk), perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Setelah melakukan hal itu, ia merenungkan faktor-faktor ini, sekarang dikelompokkan ke dalam kelima kelompok unsur kehidupan, seperti yang ditandai oleh ketiga karakteristik: ketidak-kekalan, penderitaan, dan bukan-diri (diperluas dalam sebelas pengelompokkan). Ketika perenungan berkembang, pada suatu titik tertentu pikirannya beralih dari segala hal yang terkondisi dan berfokus pada unsur keabadian, Nibbāna. Jika ia memiliki kemampuan-kemampuan yang tajam dan mampu melepaskan segala kemelekatan seketika, maka ia mencapai Kearahattaan, hancurnya noda-noda; tetapi jika ia belum dapat melepaskan segala kemelekatan, maka ia mencapai kondisi yang-tidak-kembali.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB X)
« Reply #85 on: 03 June 2012, 01:28:23 PM »
Sang Buddha mengenali perbedaan-perbedaan dalam hal pendekatan yang digunakan oleh individu-individu untuk mencapai tujuan akhir, dan dalam Teks X, 3(2) Beliau membagi individu-individu dalam empat kategori sehubungan dengan pencapaiannya. Empat ini diperoleh melalui permutasi dua pasang. Pertama-tama Beliau membedakan para siswa berdasarkan kekuatan kemampuan spiritual mereka. Mereka yang memiliki kemampuan-kemampuan kuat akan mencapai Nibbāna dalam kehidupan ini. Mereka yang memiliki kemampuan-kemampuan yang relatif lebih lemah akan mencapai Nibbāna dalam kehidupan berikutnya, dan dengan demikian diduga meninggal dunia sebagai yang-tidak-kembali. Pasangan lainnya membedakan para siswa melalui cara pengembangan mereka. Salah satu kelompok mengambil pendekatan “sulit”, yang menggunakan subjek meditasi yang menghasilkan kebijaksanaan tajam dan secara langsung menuntun ke arah kekecewaan dan kebosanan. Kelompok lainnya mengambil jalan yang lebih halus dan lebih menyenangkan yang menuntun melalui empat jhāna. Kedua jenis ini secara kasar bersesuaian dengan mereka yang menekankan pada pandangan terang dan mereka yang menekankan pada ketenangan.

Satu sutta pendek dalam Sotāpattisaṃyutta, Teks X, 3(3), menceritakan kisah Dīghāvu, seorang pemuda yang mengambil jalan sulit menekankan pada pandangan terang hingga mencapai tingkat yang-tidak-kembali. Dīghāvu sedang menjelang kematiannya ketika Sang Buddha mendatanginya dan menasihatinya agar berlatih dalam empat faktor memasuki-arus. Dīghāvu berkata bahwa ia telah memiliki faktor-faktor ini, yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemasuk-arus. Kemudian Sang Buddha memberikan instruksi kepadanya untuk mengembangkan “enam hal yang berperan pada pengetahuan sejati,” ia terbukti menuruti nasihat Sang Buddha, karena tidak lama setelah ia meninggal dunia, Sang Buddha menyatakan bahwa ia meninggal dunia sebagai seorang yang-tidak-kembali. Walaupun adalah mungkin bahwa Dīghāvu telah mencapai jhāna-jhāna dan dengan demikian tidak perlu diinstruksikan untuk mempraktikkannya, juga adalah mungkin bahwa ia mencapai tingkat yang-tidak-kembali seluruhnya melalui kekuatan pandangan terang mendalam yang muncul dari enam perenungan ini.

Teks X, 3(4) lebih jauh lagi membedakan antara mereka yang mencapai Kearahattaan dan tingkat yang-tidak-kembali. Sutta-sutta demikian menunjukkan perbedaan besar yang ada bahkan di antara mereka yang berada pada tingkat spiritual yang sama. Adalah karena Beliau mampu membuat perbedaan demikian, maka Sang Buddha dikatakan memiliki pemahaman sempurna pada keberagaman  kemampuan-kemampuan makhluk-makhluk hidup.

Karena para yang-tidak-kembali telah melenyapkan kelima belenggu yang lebih rendah, maka mereka tidak mungkin lagi terikat pada alam indria. Akan tetapi, mereka masih belum sepenuhnya terbebas dari lingkaran kelahiran kembali melainkan masih terikat pada lima belenggu yang lebih tinggi: keinginan akan kehidupan di alam berbentuk, keinginan akan kehidupan di alam tanpa bentuk, keangkuhan “aku,” kegelisahan halus, dan ketidak-tahuan. Keangkuhan “aku” (asmimāna) berbeda dengan pandangan identitas, pandangan akan diri (sakkāyaditṭhi), walaupun berhubungan. Pandangan diri menegaskan suatu diri yang abadi yang terdapat dalam kelima kelompok unsur kehidupan, apakah sebagai identik dengannya, atau sebagai intinya, atau sebagai pemilik dan tuannya. Tetapi keangkuhan “aku” tidak memiliki suatu isi konseptual yang jelas. Keangkuhan “aku” bersembunyi di dasar pikiran sebagai suatu keangkuhan samar dan tidak berbentuk pada “aku” sebagai realitas nyata. Walaupun pandangan diri telah dilenyapkan pada tingkat memasuki-arus, keangkuhan “aku” tetap ada dalam diri para siswa mulia bahkan hingga tingkat yang-tidak-kembali. Ini adalah poin penting dari Khemaka Sutta yang tajam – Teks X, 4(1) – dengan dua perumpamaan indah tentang keharuman bunga dan kain cucian. Para siswa mulai berbeda dengan orang-orang biasa dalam hal bahwa mereka tidak mempercayai keangkuhan “aku.” Mereka mengenali keangkuhan “aku” hanya sebagai suatu kilasan khayalan, gagasan keliru yang tidak merujuk pada suatu diri, pada suatu “aku” yang sungguh-sungguh ada. Tetapi mereka belum sepenuhnya mengatasinya.

Kemelekatan halus dan anggapan “aku” yang tersisa dalam diri yang-tidak-kembali berakar dari ketidak-tahuan. Untuk mencapai akhir jalan, seorang yang-tidak-kembali harus melenyapkan segmen ketidak-tahuan yang tersisa dan menghalau semua jejak ketagihan dan keangkuhan. Poin penting ketika ketidak-tahuan, ketagihan, dan keangkuhan dilenyapkan menandai transisi dari tingkat yang-tidak-kembali menjadi Kearahattaan. Perbedaan antara keduanya mungkin hanyalah sesuatu yang halus, dan oleh karena itu diperlukan patokan-patokan untuk membedakannya. Dalam Teks X, 4(2)  Sang Buddha mengajarkan beberapa kriteria yang dengannya seorang yang masih berlatih dan seorang Arahant dapat menentukan senioritas masing-masing. Salah satu yang menarik berhubungan dengan kelima kemampuan spiritual: keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Siswa yang masih berlatih melihat dengan kebijaksanaan pada tujuan yang di dalamnya kemampuan-kemampuan itu memuncak – yaitu, Nibbāna – tetapi tidak dapat berdiam di dalamnya. Arahant melihat dengan kebijaksanaan pada tujuan tertinggi itu dan juga dapat berdiam dalam tujuan itu.

Teks berikutnya memberikan perspektif berbeda tentang Arahant. Teks X, 4(3) menggolongkan Arahant dengan serangkaian perumpamaan, yang dijelaskan dalam paragraf yang sama. Teks X, 4(4) menguraikan sembilan hal yang tidak dapat dilakukan oleh seorang Arahant. Dalam Teks X, 4(5), Yang Mulia Sāriputta menggambarkan ketenangan Arahant dalam menghadapi objek-objek indria yang kuat, dan dalam Teks X, 4(6) ia menguraikan sepuluh kekuatan seorang Arahant. Teks X, 4(7), sebuah kutipan dari Dhātuvibhaṅga Sutta, dimulai sebagai suatu kisah pencapaian Kearahattaan melalui perenungan unsur-unsur; paragraf yang berhubungan termasuk dalam bab sebelumnya sebagai Teks IX, 4(3)(c). Penjelasan kemudian beralih ke “empat landasan” (cattāro adhiṭṭhāna) dari Sang Arahant, di sini dikatakan sebagai “sang bijaksana damai” (muni santo). Teks X, 4(8), yang terakhir dalam bagian ini, adalah sebuah syair yang memuji kualitas-kualitas istimewa Arahant.

Yang pertama dan paling terkemuka di antara para Arahant adalah Sang Buddha sendiri, yang kepadaNya bagian terakhir dari bab ini ditujukan. Bagian ini diberi judul “Sang Tathāgata,” kata yang digunakan oleh Sang Buddha ketika merujuk pada diriNya sendiri dalam peranNya yang mendasar sebagai penemu dan pembawa kebenaran yang membebaskan. Kata ini dapat dipecah dalam dua cara: sebagai tathā āgata, “yang datang demikian,” yang menyiratkan bahwa Sang Buddha telah datang sesuai dengan suatu pola yang kokoh (yang diinterpretasikan oleh komentar-komentar sebagai bermakna pemenuhan sepuluh kesempurnaan spiritual – pāramī – dan tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan; sebagai tathā gata, “yang pergi demikian,” yang menyiratkan bahwa Beliau telah pergi sesuai dengan suatu pola yang kokoh (yang diinterpretasikan oleh komentar-komentar sebagai bermakna bahwa Beliau telah pergi ke Nibbāna melalui praktik sempurna dalam ketenangan, pandangan terang, jalan, dan buah).

Bentuk-bentuk Buddhisme belakangan menarik perbedaan ekstrim antara Para Buddha dan Arahant, tetapi dalam Nikāya-nikāya perbedaan ini tidak setajam yang dapat diharapkan jika kita mengambil teks-teks belakangan sebagai patokan interpretasi. Di satu pihak, Sang Buddha adalah seorang Arahant, seperti jelas terbukti dari syair standar penghormatan kepada Sang Buddha (iti pi so bhagavā arahaṃ sammā sambuddho … ); di pihak lain, para Arahant adalah Buddha, dalam makna bahwa mereka telah mencapai penerangan sempurna, sambodhi, melalui pencerahan pada kebenaran-kebenaran yang sama seperti yang telah dicapai oleh Sang Buddha sendiri. Maka, perbedaan yang tepat adalah antara seorang sammā sambuddha atau Buddha Yang Tercerahkan Sempurna, dan seorang Arahant yang telah mencapai pencerahan dan kebebasan sebagai seorang siswa (sāvaka) dari seorang Buddha yang tercerahkan sempurna. Akan tetapi, untuk menghindari cara penyampaian yang begitu rumit, kita akan merujuk pada praktik umum dalam menyebut perbedaan ini sebagai antara seorang Buddha dan seorang Arahant.

Jadi apakah hubungan antara keduanya? Apakah perbedaan antara keduanya hanya pada urutan waktu, mungkin dengan sedikit kapasitas tambahan pada seorang Buddha yang tercerahkan sempurna? Atau apakah perbedaan antara keduanya begitu luas sehingga harus dianggap jenis berbeda? Nikāya-nikāya memperlihatkan suatu pertentangan yang menarik dan bahkan menggoda atas pertanyaan ini, seperti yang diilustrasikan oleh teks yang dimasukkan di sini. Teks X, 5(1) mempertanyakan perbedaan “Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna” dengan “seorang bhikkhu yang terbebaskan melalui kebijaksanaan”; jelas bahwa ungkapan bhikkhu paññāvimutta digunakan di sini dalam makna yang berlaku bagi siswa arahant manapun bukan hanya pada seorang yang tidak memiliki pencapaian tanpa bentuk (yaitu, dalam suatu makna inklusif, bukan sebagai seorang Arahant yang terbebaskan melalui kebijaksanaan yang berlawanan dengan Arahant yang terbebaskan dalam kedua cara). Jawaban yang diberikan dalam teks mengungkapkan perbedaan dalam hal peran dan prioritas waktu. Seorang Budddha memiliki fungsi menemukan dan membabarkan sang jalan, dan Beliau juga memiliki pengetahuan khas dengan segala seluk-beluk sang jalan yang tidak dimiliki oleh para siswaNya. Para siswaNya mengikuti jalan yang Beliau ungkapkan dan mencapai pencerahan sesudahnya, dibawah bimbingan Beliau.

Literatur polemis dari Buddhisme belakangan kadang-kadang menggambarkan Sang Buddha sebagai termotivasi oleh belas kasih agung dan para Arahant siswaNya sebagai dingin dan menyendiri, tidak peduli pada keadaan makhluk-makhluk lain. Seolah-olah untuk mencegah kritikan ini, Teks X, 5(2) menyebutkan bahwa bukan hanya Sang Buddha, melainkan para Arahant serta para siswa bermoral dan terpelajar yang masih berlatih muncul demi kesejahteraan banyak orang, menjalani kehidupan mereka demi belas kasih kepada dunia, dan mengajarkan Dhamma demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain, para deva serta manusia. Demikianlah, jika teks ini dianggap sebagai otoritas, maka tidak dapat diterima bahwa belas kasih dan keprihatinan altruistis adalah kualitas-kualitas yang membedakan para Buddha dengan para Arahant.

Namun Teks X, 5(3) memberikan perspektif lain kepada kita atas pertanyaan ini. Di sini, Sang Buddha menantang “auman” dari Yang Mulia Sāriputta dengan menanyakan kepadanya apakah ia sepenuhnya mengetahui disiplin moral, kualitas-kualitas (mungkin konsentrasi), kebijaksanaan, kediaman meditatif, dan kebebasan para Buddha di masa lampau, masa sekarang, dan masa depan. Atas pertanyaan ini sang siswa utama hanya memberikan jawaban negatif. Tetapi Sāriputta mengatakan bahwa ia mengetahui bahwa semua Buddha dalam tiga masa mencapai pencerahan sempurna dengan meninggalkan kelima rintangan, dengan menegakkan pikiran mereka dalam empat penegakan perhatian, dan dengan mengembangkan ketujuh faktor pencerahan dengan benar.

Akan tetapi, hal-hal ini adalah aspek-aspek dari Sang Jalan yang telah dipenuhi oleh para Buddha juga oleh para siswa Arahant. Di atas ini, para Buddha memiliki kualitas-kualitas tertentu yang mengangkat Mereka bahkan lebih tinggi daripada para Arahant terkemuka. Dari Nikāya-nikāya, superioritas Mereka tampaknya bersandar pada dua pilar utama: pertama, keberadaan Mereka ditujukan khusus “untuk makhluk lain” dalam suatu cara yang bahkan para siswa Arahant yang paling altruistis pun hanya dapat menirunya namun tidak akan pernah menyamainya; dan ke dua, pengetahuan dan kekuatan-kekuatan spiritual Mereka adalah jauh lebih tinggi daripada para siswa Arahant.

Sang Buddha mengatakan bahwa bahkan para bhikkhu yang sepenuhnya terbebaskan dalam pikiran, yang memiliki “penglihatan, praktik, dan kebebasan yang tidak terlampaui,” menghormati Sang Tathāgata, karena pencapaian pencerahanNya membantu orang lain mencapai pencerahan, kebebasanNya membantu orang lain mencapai kebebasan, pencapaianNya pada Nibbāna memungkinkan orang lain mencapai Nibbāna (MN 35:26; I 235). Dalam Teks X, 5(4), kita bertemu dengan dua kelompok kualitas yang dianggap khusus dimiliki oleh seorang Buddha, yang memungkinkanNya “mengaumkan auman singaNya di tengah-tengah banyak kelompok” dan memutar roda Dhamma. Ini adalah sepuluh kekuatan Sang Tathāgata dan empat landasan bagi keyakinan-diri. Walaupun beberapa dari kekuatan-kekuatan ini juga dimiliki oleh para siswa, secara keseluruhan kedua kelompok kualitas ini khusus dimiliki oleh seorang Buddha dan menjadi alat bagiNya untuk menuntun dan memberikan instruksi kepada makhluk-makhluk sesuai dengan watak dan kecenderungan mereka masing-masing. Empat landasan keyakinan-diri memberikan kepada Sang Buddha suatu otoritas berani, suatu misi yang penting, yang hanya dapat digunakan oleh seorang pendiri agama. Teks X, 5(5) membandingkan Sang Tathāgata dengan matahari dan bulan, karena kemunculanNya di dunia adalah manifestasi dari cahaya agung dan menghalau kegelapan ketidak-tahuan. Teks X, 5(6) membandingkan Beliau dengan seseorang yang menyelamatkan sekelompok rusa dari bencana, dengan demikian menggambarkan Beliau sebagai pahlawan besar kemanusiaan.

Dengan Teks X, 5(7) kita kembali pada metafora auman singa, yang telah disebutkan sebelumnya, dengan perumpamaan panjang yang membandingkan pernyataan Sang Buddha tentang ketidak-kekalan universal dengan auman singa ketika singa itu keluar dari sarangnya. Seperti halnya paragraf penutup dari Khotbah Api (baca Teks II, 5), teks ini menarik perhatian kita pada cakupan kosmis dari misi Sang Buddha. pesanNya bukan hanya menjangkau manusia, tetapi juga menjangkau alam surga, membuyarkan khayalan para dewa.

Akhirnya, Teks X, 5( 8 ) memberikan kepada kita suatu rangkaian penjelasan singkat tentang mengapa Sang Buddha disebut Tathāgata. Beliau disebut Tathāgata karena Beliau tercerahkan sepenuhnya pada sifat dunia, asal mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya; karena Beliau telah sepenuhnya memahami segala fenomena di dunia, apakah yang dilihat, didengar, dicerap, atau dikenali; karena ucapanNya adalah selalu benar; karena Beliau bertindak sesuai dengan kata-kataNya; dan karena Beliau memiliki kekuasaan tertinggi di dunia ini. Teks ini berakhir dengan sebuah syair inspiratif, mungkin ditambahkan oleh para penyusun Kanon, yang memuja Sang Buddha sebagai perlindungan tertinggi bagi dunia.

Pengabdian pribadi kepada Sang Tathāgata diungkapkan melalui teks prosa dan syair yang memperkenalkan kepada kita akan hangatnya perasaan religius pada masa Buddhisme Awal, selalu hadir persis di bawah lapisan luarnya yang sejuk dan tenang. Dimensi religius ini menjadikan Dhamma lebih dari sekadar filosofi atau sistem etika atau suatu teknik meditatif. Dengan menghidupkannya dari dalam, menarik para pengikutnya ke atas dan ke depan, hal ini menjadikan Dhamma sebagai suatu jalan spiritual yang lengkap – jalan yang berakar dalam keyakinan pada seseorang tertentu yang menjadi guru agung dari kebenaran yang membebaskan, dan teladan terkemuka dari kebenaran yang Beliau ajarkan.

« Last Edit: 03 June 2012, 01:32:35 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB X)
« Reply #86 on: 03 June 2012, 01:30:42 PM »
X. TINGKATAN PENCAPAIAN


1. LADANG JASA BAGI DUNIA

(1) Delapan Individu Yang Layak Menerima Persembahan

“Para bhikkhu, delapan orang ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang jasa yang tiada taranya bagi dunia. Apakah delapan ini?

“Pemasuk-arus, seorang yang berlatih untuk mencapai buah memasuki-arus; yang-kembali-sekali, seorang yang berlatih untuk mencapai buah yang-kembali-sekali; yang-tidak-kembali, seorang yang berlatih untuk mencapai buah yang-tidak-kembali; Arahant, seorang yang berlatih untuk mencapai Kearahattaan.

“Para bhikkhu, delapan orang ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang jasa yang tiada taranya bagi dunia.”

(AN 8:59; IV 292)

(2) Perbedaan melalui Indria

“Para bhikkhu, ada lima indria ini. Apakah lima ini? indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, indria kebijaksanaan. Ini adalah lima indria itu.

“Seseorang yang telah melengkapi dan memenuhi kelima indria ini adalah seorang Arahant. Jika lebih lemah dari itu, maka ia adalah seorang yang berlatih untuk mencapai Buah Kearahattaan; jika lebih lemah lagi, maka ia adalah seorang yang-tidak-kembali; jika lebih lemah lagi, maka ia adalah seorang yang berlatih untuk mencapai Buah yang-tidak-kembali; jika lebih lemah lagi, maka ia adalah seorang yang-kembali-sekali; jika lebih lemah lagi, maka ia adalah seorang yang berlatih untuk mencapai Buah yang-kembali-sekali; jika lebih lemah lagi, maka ia adalah seorang pemasuk-arus; jika lebih lemah lagi, maka ia adalah seorang yang berlatih untuk mencapai Buah memasuki-arus.

“Tetapi, para bhikkhu, Aku katakan bahwa seorang yang padanya kelima indria ini sama sekali tidak ada, maka dia adalah ‘seorang yang di luar, seorang yang berdiri dalam kelompok duniawi.’”

(SN 48:18; V 202)

(3) Dalam Dhamma Yang Telah Dibabarkan dengan Sempurna

42. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan, para bhikkhu itu yang adalah para Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan - yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan mereka sendiri, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – tidak lagi memiliki lingkaran untuk manifestasinya.  [5]

43. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, para bhikkhu yang telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah semuanya pasti muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir, tanpa pernah kembali dari alam itu.  [6]

44. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, para bhikkhu yang telah meninggalkan tiga belenggu yang lebih rendah dan melemahkan nafsu, kebencian, dan delusi, semuanya adalah yang-kembali-sekali, hanya kembali satu kali ke dunia ini untuk mengakhiri penderitaan.

45. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, para bhikkhu yang telah meninggalkan tiga belenggu, semuanya adalah pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam rendah, pasti mencapai tujuan, dengan pencerahan sebagai tujuannya.  [7]

46. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, para bhikkhu yang adalah para pengikut-Dhamma atau pengikut-keyakinan semuanya menuju pencerahan.  [8]

47. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, para bhikkhu yang memiliki cukup keyakinan padaKu, cukup cinta kasih terhadapKu, semuanya menuju alam surga.”  [9]

(dari MN 22: Alagaddūpama Sutta; I 140-42)

(4) Ajaran yang Lengkap

6. “Ketika seorang bhikkhu telah meninggalkan keinginan, memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan, maka bhikkhu itu adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sesungguhnya, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir.”

7. “Selain dari Guru Gotama, adakah seorang bhikkhu lainnya, siswa Guru Gotama, yang dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam pembebasan pikiran dan pembebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda?”  [10]

“Ada, Vaccha, Bukan hanya seratus atau dua atau tiga atau empat atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para bhikkhu, para siswaKu, yang dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam pembebasan pikiran dan pembebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.”

8. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu, adakah seorang bhikkhunī lainnya, siswi Guru Gotama, yang dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam pembebasan pikiran dan pembebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda?”

“Bukan hanya seratus … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para bhikkhunī, para siswiKu, yang dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam pembebasan pikiran dan pembebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.”

9. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī, adakah umat awam laki-laki lainnya, siswa Guru Gotama, berjubah putih yang menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini?”  [11]

“Bukan hanya seratus … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam laki-laki, para siswaKu, berjubah putih menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini.”

10. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī, adakah seorang umat awam laki-laki lainnya, siswa Guru Gotama yang berjubah putih dan menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksi Beliau, menaati nasihat Beliau, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru?”  [12]

“Bukan hanya seratus … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam laki-laki, para siswaKu, yang berjubah putih dan menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksiKu, menaati nasihatKu, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru.”

11. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī dan para umat awam laki-laki berjubah putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria, adakah seorang umat awam perempuan, siswi Guru Gotama, yang berjubah putih dan menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini?”

“Bukan hanya seratus … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam perempuan, para siswiKu, yang berjubah putih dan menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini.”

12. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī dan para umat awam laki-laki berjubah putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria, dan umat awam perempuan yang menjalani kehidupan selibat, adakah seorang umat awam perempuan lainnya, siswi Guru Gotama, yang berjubah putih dan menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksi Beliau, menaati nasihat Beliau, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru?”

“Bukan hanya seratus … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam perempuan, para siswiKu, yang berjubah putih dan menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksiKu, menaati nasihatKu, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru.”

13. “Guru Gotama, jika hanya Guru Gotama yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada bhikkhu yang sempurna, maka kehidupan spiritual ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama dan para bhikkhu sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan spiritual ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama dan para bhikkhu yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada bhikkhunī yang sempurna, maka kehidupan spiritual ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu dan para bhikkhunī sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan spiritual ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, dan para bhikkhunī yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada umat awam laki-laki berjubah putih yang menjalani kehidupan selibat, yang sempurna, maka kehidupan spiritual ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, dan para umat awam laki-laki berjubah putih yang menjalani kehidupan selibat, sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan spiritual ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, dan para umat awam laki-laki berjubah putih yang menjalani kehidupan selibat, yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada umat awam laki-laki berjubah putih yang menikmati kenikmatan indria, yang sempurna, maka kehidupan spiritual ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, dan para umat awam laki-laki berjubah putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria, sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan spiritual ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, dan umat awam laki-laki berjubah putih … yang sempurna dalam Dhamma ini, tetapi tidak ada umat awam perempuan berjubah putih yang menjalani kehidupan selibat, yang sempurna, maka kehidupan spiritual ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki berjubah putih … dan para umat awam perempuan yang menjalani kehidupan selibat sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan spiritual ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki berjubah putih … dan umat awam perempuan berjubah putih yang menjalani kehidupan selibat, yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada umat awam perempuan berjubah putih yang menikmati kenikmatan indria, yang sempurna, maka kehidupan spiritual ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki berjubah putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria, dan para umat awam perempuan berjubah putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria, sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan spiritual ini menjadi lengkap dalam hal itu.

14. “Seperti halnya sungai Gangga yang condong ke lautan, miring ke arah lautan, mengalir menuju lautan, dan mencapai lautan, demikian pula kelompok Guru Gotama bersama dengan mereka yang tanpa rumah maupun para perumah-tangga condong ke Nibbāna, miring ke arah Nibbāna, mengalir menuju Nibbāna, dan mencapai Nibbāna.”

(dari MN 73: Mahāvacchagotta Sutta; I 490-93)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB X)
« Reply #87 on: 03 June 2012, 01:31:55 PM »
(5) Tujuh Jenis Individu Mulia

11. “Para bhikkhu, Aku tidak mengatakan tentang semua bhikkhu bahwa mereka masih harus melakukan tugas dengan tekun; juga aku tidak mengatakan tentang semua bhikkhu bahwa mereka tidak perlu melakukan apapun lagi dengan tekun.

12. “Aku tidak mengatakan tentang para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, bahwa mereka masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Mereka telah melakukan tugas mereka dengan tekun; mereka tidak lagi mampu menjadi lalai.

13. “Aku mengatakan tentang para bhikkhu yang dalam latihan yang lebih tinggi, yang batinnya belum mencapai tujuan, dan yang masih bercita-cita untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, bahwa mereka masih harus melakukan sesuatu dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika para mulia itu menggunakan tempat-tempat tinggal yang selayaknya dan bergaul dengan teman-teman baik dan memelihara indria-indria spiritual mereka, maka mereka dapat, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan spiritual yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Karena melihat buah ketekunan bagi para bhikkhu ini, Aku katakan bahwa mereka masih harus melakukan tugas dengan tekun.

14. “Para bhikkhu, terdapat tujuh jenis orang di dunia ini. Apakah tujuh ini? Mereka adalah: seorang yang-terbebaskan-dalam-kedua-cara, seorang yang-terbebaskan-melalui-kebijaksanaan, seorang saksi-tubuh, seorang yang-mencapai-pandangan, seorang yang-terbebaskan-melalui-keyakinan, seorang pengikut-Dhamma, dan seorang pengikut-keyakinan.

15. “Orang jenis apakah yang-terbebaskan-dalam-kedua-cara? Di sini seseorang menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, dan noda-nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang yang-terbebaskan-dalam-kedua-cara.  [13] Aku tidak mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Ia telah melakukan tugas mereka dengan tekun; ia tidak lagi mampu menjadi lalai.

16. “Orang jenis apakah yang-terbebaskan-melalui-kebijaksanaan? Di sini seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan tidak berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, tetapi noda-nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang yang-terbebaskan-melalui-kebijaksanaan.  [14] Aku tidak mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Ia telah melakukan tugas mereka dengan tekun; ia tidak lagi mampu menjadi lalai.

17. “Orang jenis apakah yang adalah saksi-tubuh? Di sini seseorang menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, dan beberapa nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang saksi-tubuh.  [15] Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu menggunakan tempat-tempat tinggal yang selayaknya dan bergaul dengan teman-teman baik dan memelihara indria-indria spiritual mereka, maka ia dapat, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Karena melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.

18. “Orang jenis apakah yang-mencapai-pandangan? Di sini seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan tidak berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, tetapi beberapa nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan, dan ia meninjau kembali dan memeriksa dengan kebijaksanaan ajaran-ajaran yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata. Orang jenis ini disebut seorang yang-mencapai-pandangan.  [16] Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu ... menuju kehidupan tanpa rumah. Dengan melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.

19. “Orang jenis apakah yang-terbebaskan-melalui-keyakinan? Di sini seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan tidak berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, tetapi beberapa nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan, dan keyakinannya tertanam, berakar, dan kokoh di dalam Sang Tathāgata. Orang jenis ini disebut seorang yang-terbebaskan-melalui-keyakinan.  [17] Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu ... menuju kehidupan tanpa rumah. Karena melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.

20. “Orang jenis apakah pengikut-Dhamma? Di sini seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan tidak berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, dan noda-nodanya belum dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan, tetapi ajaran-ajaran itu yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata diterima olehnya setelah merenungkannya dengan kebijaksanaan hingga tingkat yang mencukupi. Lebih jauh lagi, ia memiliki kualitas-kualitas ini: indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, Indria konsentrasi, dan indria kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang pengikut-Dhamma.  [18] Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu ... menuju kehidupan tanpa rumah. Karena melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.

21. “Orang jenis apakah pengikut-keyakinan? Di sini seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan tidak berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, dan noda-nodanya belum dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan, namun ia memiliki keyakinan yang mencukupi dan cinta kasih kepada Sang Tathāgata. Lebih jauh lagi, ia memiliki kualitas-kualitas ini: indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, dan indria kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang pengikut-keyakinan. Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu menggunakan tempat-tempat tinggal yang selayaknya dan bergaul dengan teman-teman baik dan memelihara indria-indria spiritual mereka, maka ia dapat, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Karena melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.”

(dari MN 70: Kīṭāgiri Sutta; I 477-79)

2. MEMASUKI ARUS

(1) Empat Faktor yang Mengarah Menuju Tingkat Memasuki Arus

Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sāriputta, dikatakan: ‘faktor memasuki-arus, faktor memasuki-arus.’ Apakah, Sāriputta, faktor memasuki-arus itu?”

“Pergaulan dengan orang-orang mulia, Yang Mulia, adalah faktor memasuki-arus. Mendengarkan Dhamma sejati adalah faktor memasuki-arus. Perhatian waspada adalah faktor memasuki-arus. Praktik sesuai dengan Dhamma adalah faktor memasuki-arus.”

“Bagus, bagus, Sāriputta! Pergaulan dengan orang-orang mulia, Sāriputta, adalah faktor memasuki-arus. Mendengarkan Dhamma sejati adalah faktor memasuki-arus. Perhatian waspada adalah faktor memasuki-arus. Praktik sesuai dengan Dhamma adalah faktor memasuki-arus.

“Sāriputta, dikatakan: ‘Arus, arus.’ Apakah arus itu?”

“Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, Yang Mulia, adalah arus; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar.”

“Bagus, bagus, Sāriputta! Itu adalah persis seperti apa yang engkau katakan, dikatakan: ‘Pemasuk-arus, pemasuk-arus.’ Apakah pemasuk-arus itu?”

“Seseorang yang memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, Yang Mulia, disebut pemasuk-arus: yang mulia ini dengan nama ini dan suku itu.”

“Bagus, bagus, Sāriputta! Seseorang yang memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan ini disebut pemasuk-arus: yang mulia ini dengan nama ini dan suku itu.”

(SN 55:5; V 410-11)

(2) Memasuki Jalan Pasti Kebenaran

“Para bhikkhu, mata adalah tidak kekal, berganti, mengalami perubahan. Telinga … Hidung … Lidah … Badan … Pikiran adalah tidak kekal, berganti, mengalami perubahan. Seorang yang menempatkan keyakinan dalam ajaran-ajaran ini dan memahami demikian disebut seorang Pengikut-keyakinan, seorang yang telah memasuki jalan pasti kebenaran,  [19] memasuki wilayah orang-orang mulia, melampaui wilayah kaum duniawi. Ia tidak mampu melakukan perbuatan yang karenanya dapat mengakibatkannya terlahir kembali di alam neraka, di alam binatang, atau di alam hantu menderita; ia tidak dapat meninggal dunia tanpa menembus buah Memasuki-arus.  [20]

“Seseorang yang baginya ajaran-ajaran ini diterima demikian setelah direnungkan hingga tingkat yang mencukupi dengan kebijaksanaan disebut seorang Pengikut-Dhamma, seorang yang telah memasuki jalan pasti kebenaran, memasuki wilayah orang-orang mulia, melampaui wilayah kaum duniawi. Ia tidak mampu melakukan perbuatan yang karenanya dapat mengakibatkannya terlahir kembali di alam neraka, di alam binatang, atau di alam hantu menderita; ia tidak dapat meninggal dunia tanpa menembus buah Memasuki-arus.

“Seorang yang mengetahui dan melihat ajaran-ajaran ini seperti demikian disebut seorang Pemasuk-arus, tidak akan terlahir lagi di alam rendah, pasti mencapai tujuan, dengan pencerahan sebagai tujuannya.”  [21]

(SN 25:1; III 225)

(3) Penembusan Dhamma

Sang Bhagavā mengambil sedikit tanah dengan ujung kuku jari tangannya dan berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Para bhikkhu bagaimanakah menurut kalian, mana yang lebih banyak: sedikit tanah yang Kuambil di ujung kuku jari tanganKu ini atau bumi ini?”

“Yang Mulia, bumi ini lebih banyak. Sedikit tanah yang Bhagavā ambil di ujung kuku jari tangan Beliau adalah tidak berarti. Tidak ada seperseratus bagian, atau seperseribu bagian, atau seperseratus ribu dari bumi ini.”

“Demikian pula, para bhikkhu, bagi seorang siswa mulia, seorang yang sempurna dalam pandangan yang telah menembus, penderitaan yang telah dihancurkan dan dilenyapkan adalah lebih banyak, sementara yang masih tersisa adalah tidak berarti. Yang tersisa ini tidak ada seperseratus bagian, atau seperseribu bagian, atau seperseratus ribu bagian dari keseluruhan penderitaan yang telah dihancurkan dan dilenyapkan, karena paling banyak hanya menjalani tujuh kehidupan lagi. Begitu besar manfaatnya, para bhikkhu, penembusan Dhamma, begitu besar manfaatnya memperoleh Mata Dhamma.”  [22]

(SN 13:1; II 133-34)

(4) Empat Faktor Pemasuk Arus

“Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang memiliki empat hal adalah seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam rendah, pasti mencapai tujuan, dengan pencerahan sebagai tujuannya.

“Apakah empat ini? Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia memiliki keyakinan kuat  [23] pada Sang Buddha sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, Tercerahkan Sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, sempurna menempuh sang jalan, pemimpin yang tiada taranya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Sang Bhagavā.’ Ia memiliki keyakinan kuat dalam Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik, terlihat langsung, di sini dan saat ini, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, layak diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ia memiliki keyakinan kuat dalam Saṅgha sebagai berikut: ’Saṅgha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu, empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang jasa yang tiada taranya bagi dunia.’ Ia memiliki moralitas yang disenangi para mulia, tidak rusak, tidak robek, tidak ternoda, tidak tercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak dicengkeram, menuntun ke arah konsentrasi.

“Seorang siswa mulia, para bhikkhu, yang memiliki empat hal adalah seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam rendah, pasti mencapai tujuan, dengan pencerahan sebagai tujuannya.”

(SN 55:2; V 343-44)

(5) Lebih Baik daripada Kekuasaan di Bumi

“Para bhikkhu, walaupun seorang raja pemutar-roda, setelah mengerahkan kekuasaan pemerintahan tertinggi atas empat benua, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, akan terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga, di tengah-tengah para deva di alam Tāvatiṃsa, dan di sana di Taman Nandana, disertai dengan sejumlah pengikut para bidadari surgawi, ia bersenang-senang menikmati lima utas kenikmatan indria surgawi yang ia miliki, namun demikian, karena ia tidak memiliki empat hal, ia tidak terbebas dari neraka, alam binatang, dan alam hantu, tidak terbebas dari alam sengsara, alam yang buruk, alam rendah.  [24] Walaupun, para bhikkhu, seorang siswa mulia bertahan hidup hanya dengan dana makanan dan mengenakan jubah potongan-kain buangan, namun demikian, karena ia memiliki empat hal, ia terbebas dari neraka, alam binatang, dan alam hantu, terbebas dari alam sengsara, alam yang buruk, alam rendah. Apakah empat ini? Keyakinan kuat dalam Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha dan moralitas yang disenangi para mulia. Dan, para bhikkhu, antara memiliki kekuasaan atas empat benua dan memiliki empat hal ini, memiliki kekuasaan atas empat benua tidak sebanding dengan nilai seperenambelas bagian dari memiliki empat hal ini.”

(SN 55:1; V 342)


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB X)
« Reply #88 on: 03 June 2012, 01:33:21 PM »
3. YANG-TIDAK-KEMBALI

(1) Meninggalkan Lima Belenggu yang Lebih Rendah

7. “Terdapat jalan dan cara, Ānanda, untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ini. Bahwa siapapun tanpa mengandalkan jalan dan cara itu, dapat mengetahui atau melihat atau meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu – ini adalah tidak mungkin. Seperti halnya jika ada sebatang pohon yang memiliki inti kayu, tidaklah mungkin bagi siapapun untuk dapat memotong inti kayunya tanpa memotong kulit dan kayu lunaknya, demikian pula halnya sehubungan dengan meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ini.

“Terdapat jalan dan cara, Ānanda, untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ini. Bahwa seseorang, dengan mengandalkan jalan dan cara itu, dapat mengetahui atau melihat atau meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu – ini adalah mungkin. Seperti halnya jika ada sebatang pohon yang memiliki inti kayu, adalah mungkin bagi siapapun untuk dapat memotong inti kayunya dengan memotong kulit dan kayu lunaknya, demikian pula halnya sehubungan dengan meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ini.

8. “Misalkan, Ānanda, sungai Gangga penuh dengan air hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya, dan kemudian seorang lemah datang dengan berpikir: ‘Dengan berenang menyeberang menggunakan tanganku, aku akan sampai ke pantai seberang sungai Gangga ini dengan selamat’; namun ia tidak mampu sampai ke seberang dengan selamat. Demikian pula, ketika Dhamma diajarkan kepada seseorang demi lenyapnya identitas, jika pikirannya tidak masuk ke dalamnya dan tidak memperoleh keyakinan, kekokohan, dan keteguhan, maka ia dapat dianggap seperti orang lemah itu.  [25]

“Misalkan, Ānanda, sungai Gangga penuh dengan air hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya, dan kemudian seorang kuat datang dengan berpikir: ‘Dengan berenang menyeberang menggunakan tanganku, aku akan sampai ke pantai seberang sungai Gangga ini dengan selamat’; dan ia mampu sampai ke seberang dengan selamat. Demikian pula, ketika Dhamma diajarkan kepada seseorang demi lenyapnya identitas, jika pikirannya masuk ke dalamnya dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan keteguhan, maka ia dapat dianggap seperti orang kuat itu.

9. “Dan apakah, Ānanda, jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu? Di sini, dengan terasing dari perolehan,  [26] dengan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat, dengan sepenuhnya menenangkan kelambanan jasmani, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.

“Apapun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi itu sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai duri, sebagai bencana, sebagai malapetaka, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kehampaan, sebagai bukan diri.  [27] Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya pada unsur keabadian sebagai berikut: ‘ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala perolehan, hancurnya keinginan, kebebasan dari nafsu, lenyapnya, Nibbāna.’  [28] Jika ia kokoh di dalam itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan akan Dhamma itu, kegembiraan dalam Dhamma itu, maka dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali ke dunia ini.  [29] Ini adalah jalan dan cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

10-12. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Kemudian, dengan meluruhnya sukacita, seorang bhikkhu ... masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

“Apapun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal ... sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian ... Ini adalah jalan dan cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

13. Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.

“Apapun yang ada di sana dari perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran,  [30] ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal ... sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian ... Ini adalah jalan dan cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

14. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas.

“Apapun yang ada di sana dari perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal ... sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian ... Ini adalah jalan dan cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

15. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.

“Apapun yang ada di sana dari perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi itu sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai duri, sebagai bencana, sebagai malapetaka, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kehampaan, sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian sebagai berikut: ‘ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala perolehan, hancurnya keinginan, kebebasann dari nafsu, lenyapnya, Nibbāna.’ Jika ia kokoh di dalam itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan akan Dhamma itu, kegembiraan dalam Dhamma itu, maka dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali ke dunia ini. Ini adalah jalan dan cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.”

(dari MN 64: Mahāmaluṅkya Sutta; I 434-37)

(2) Empat Jenis Individu

“Ada, O para bhikkhu, empat jenis individu ini terdapat di dunia ini. Apakah empat ini?

“Di sini, para bhikkhu, dalam kehidupan ini seseorang mencapai Nibbāna dengan berusaha. Di sini, dengan hancurnya jasmani, seseorang mencapai Nibbāna akhir dengan berusaha. Di sini, dalam kehidupan ini seseorang mencapai Nibbāna akhir tanpa  berusaha. Di sini, dengan hancurnya jasmani, seseorang mencapai Nibbāna akhir tanpa berusaha.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang dalam kehidupan ini, mencapai Nibbāna dengan berusaha? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, melihat kejijikan dalam makanan, melihat ketidak-memuaskannya seluruh dunia, dengan merenungkan ketidak-kekalan segala bentukan; dan persepsi kematian ditegakkan dengan baik dalam dirinya.  [31] Ia berdiam dengan mengandalkan kelima kekuatan dari seorang siswa yang masih berlatih: kekuatan keyakinan, rasa malu dan takut pada pelanggaran, kegigihan, dan kebijaksanaan. Kelima indria ini sangat kuat dalam dirinya: indria keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Karena kuatnya kelima indria ini, dalam kehidupan ini, ia mencapai Nibbāna dengan berusaha. Ini adalah bagaimana seseorang, dalam kehidupan ini, mencapai Nibbāna dengan berusaha.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang, dengan hancurnya jasmani, mencapai Nibbāna akhir dengan berusaha? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani … dan persepsi kematian ditegakkan dengan baik dalam dirinya. Ia berdiam dengan mengandalkan kelima kekuatan dari seorang siswa yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … dan kebijaksanaan. Kelima indria ini relatif lemah dalam dirinya: indria keyakinan … dan kebijaksanaan. Karena lemahnya kelima indria ini, dengan hancurnya jasmani, ia mencapai Nibbāna dengan berusaha. Ini adalah bagaimana seseorang, dengan hancurnya jasmani, mencapai Nibbāna dengan berusaha.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang dalam kehidupan ini, mencapai Nibbāna tanpa berusaha? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke empat. Ia berdiam dengan mengandalkan kelima kekuatan dari seorang siswa yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … dan kebijaksanaan. Kelima indria ini sangat kuat dalam dirinya: indria keyakinan … dan kebijaksanaan. Karena kuatnya kelima indria ini, dalam kehidupan ini, ia mencapai Nibbāna tanpa berusaha. Ini adalah bagaimana seseorang, dalam kehidupan ini, mencapai Nibbāna tanpa berusaha.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang dengan hancurnya jasmani, mencapai Nibbāna tanpa berusaha? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke empat. Ia berdiam dengan mengandalkan kelima kekuatan dari seorang siswa yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … dan kebijaksanaan. Kelima indria ini relatif lemah dalam dirinya: indria keyakinan … dan kebijaksanaan. Karena lemahnya kelima indria ini, dengan hancurnya jasmani, ia mencapai Nibbāna tanpa berusaha. Ini adalah bagaimana seseorang, dengan hancurnya jasmani, mencapai Nibbāna tanpa berusaha.

“Ini, para bhikkhu, adalah empat jenis individu ini terdapat di dunia ini.”

(AN 4:169; II 155-56)

(3) Enam Hal yang Berperan pada  Pengetahuan Sejati

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu umat awam Dighāvu sakit, menderita, sakit keras. Kemudian umat awam Dighāvu berkata kepada ayahnya, perumah-tangga Jotika sebagai berikut: “Pergilah, perumah-tangga, datangi Sang Bhagavā, bersujudlah pada Beliau atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan katakan: ‘Yang Mulia, umat awam Dighāvu sakit, menderita, sakit keras; ia bersujud kepada Sang Bhagavā dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.’ Kemudian katakan: ‘Baik sekali, Yang Mulia, jika Sang Bhagavā sudi datang ke kediaman umat awam Dighāvu demi belas kasih.’”

“Baiklah, anakku,” perumah-tangga Jotika menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan menyampaikan pesannya. Sang Bhagavā menyanggupi dengan berdiam diri.

Kemudian Sang Bhagavā merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahnya, pergi ke kediaman umat awam Dighāvu. Kemudian Beliau duduk di tempat yang telah disediakan dan berkata kepada umat awam Dighāvu: “Aku harap engkau bertahan, Dighāvu, Aku harap engkau menjadi lebih baik. Aku harap perasaan sakitmu mereda dan bukan meningkat, dan bahwa meredanya, bukan meningkatnya, terlihat.”

“Yang Mulia, aku tidak dapat bertahan, aku tidak menjadi lebih baik. Perasaan sakit yang kuat meningkat, bukan mereda, dan meningkatnya, bukan meredanya, terlihat.”

“Oleh karena itu, Dighāvu, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menjadi seorang yang memiliki keyakinan kuat pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan yang melaksanakan moralitas yang disenangi para mulia, tidak rusak, tidak robek, tidak ternoda, tidak tercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak dicengkeram, menuntun ke arah konsentrasi.’ Dengan cara inilah engkau harus berlatih.”

“Yang Mulia, sehubungan dengan empat faktor memasuki-arus yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal ini ada dalam diriku, dan aku hidup selaras dengan hal-hal itu. Karena, Yang Mulia, aku memiliki keyakinan kuat pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan aku melaksanakan moralitas yang disenangi para mulia.”

“Oleh karena itu, Dighāvu, dengan kokoh di atas empat faktor memasuki-arus, engkau harus mengembangkan lebih jauh lagi enam hal yang berperan pada pengetahuan sejati. Di sini, Dighāvu, berdiamlah dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala bentukan, melihat penderitaan dalam segala sesuatu yang tidak kekal, melihat ketiadaan-diri dalam apa yang merupakan penderitaan, melihat pelepasan, melihat peluruhan, melihat lenyapnya.  [32] Dengan cara inilah engkau harus berlatih.”

“Yang Mulia, sehubungan enam hal yang berperan pada pengetahuan sejati yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal ini ada dalam diriku, dan aku hidup selaras dengan hal-hal itu. Karena, Yang Mulia, aku berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala bentukan, melihat penderitaan dalam segala sesuatu yang tidak kekal, melihat ketiadaan-diri dalam apa yang merupakan penderitaan, melihat pelepasan, melihat peluruhan, melihat lenyapnya. Akan tetapi, Yang Mulia, aku terpikir: ‘Setelah aku meninggal dunia, semoga perumah-tangga Jotika tidak jatuh dalam kesedihan.’”

“Jangan cemaskan hal itu, anakku Dighāvu. Ayolah, anakku Dighāvu, perhatikanlah pada apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā kepadamu.”

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memberikan nasihat ini kepada umat awam Dighāvu, bangkit dari duduknya dan pergi. Kemudian, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, umat awam Dighāvu meninggal dunia.

Kemudian sejumlah bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, umat awam bernama Dighāvu yang kepadanya Bhagavā memberikan nasihat singkat telah meninggal dunia. Bagaimanakah takdirnya? Di manakah ia terlahir kembali?”

“Para bhikkhu, umat awam Dighāvu bijaksana. Ia berlatih sesuai dengan Dhamma dan tidak menyusahkan Aku sehubungan dengan Dhamma. Dengan kehancuran total kelima belenggu yang lebih rendah, umat awam Dighāvu telah menjadi seorang yang terlahir secara spontan [di Alam Murni], pasti mencapai Nibbāna di sana tanpa kembali lagi dari alam itu.”

(SN 55:3; V 344-46)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB X)
« Reply #89 on: 03 June 2012, 01:33:57 PM »
(4) Lima Jenis Yang-Tidak-Kembali

“Para bhikkhu, ketika tujuh faktor pencerahan ini telah dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, tujuh buah dan manfaat dapat diharapkan. Apakah tujuh buah dan manfaat ini?

“Ia mencapai pengetahuan akhir (Kearahattaan) dalam kehidupan ini.

“Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini, maka ia akan mencapai pengetahuan akhir pada saat kematiannya.

“Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini atau pada saat kematiannya, maka dengan kehancuran total lima belenggu yang lebih rendah, ia akan menjadi seorang pencapai Nibbāna dalam masa interval.  [33]

“Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini …atau menjadi seorang pencapai Nibbāna dalam masa interval, maka dengan kehancuran total lima belenggu yang lebih rendah ia akan menjadi seorang pencapai Nibbāna ketika mendarat.

“Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini … atau menjadi seorang pencapai Nibbāna ketika mendarat, maka dengan kehancuran total lima belenggu yang lebih rendah ia akan menjadi seorang pencapai Nibbāna tanpa berusaha.

“Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini …atau menjadi seorang pencapai Nibbāna tanpa berusaha, maka dengan kehancuran total lima belenggu yang lebih rendah ia akan menjadi seorang pencapai Nibbāna dengan berusaha.

“Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini …atau menjadi seorang pencapai Nibbāna dengan berusaha, maka dengan kehancuran total lima belenggu yang lebih rendah ia akan menuju ke atas, ke alam Akaniṭṭha.

“Ketika, para bhikkhu, ketujuh faktor pencerahan ini telah dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka tujuh buah dan manfaat ini dapat diharapkan.”

(SN 46:3; V 69-70)

4. ARAHANT

(1) Melenyapkan Keangkuhan “Aku” yang Tersisa

Pada suatu ketika sejumlah bhikkhu senior sedang menetap di Kosambi, di Taman Ghosita. Pada saat itu Yang Mulia Khemaka sedang menetap di Taman Pohon Jujube, sedang sakit, menderita, sakit parah.

Kemudian, pada malam harinya, para bhikkhu senior itu keluar dari keheningan dan berkata kepada Yang Mulia Dāsaka sebagai berikut: “Pergilah, Sahabat Dāsaka, datangilah Bhikkhu Khemaka dan katakan padanya: “Para bhikkhu senior mengatakan kepadamu, Sahabat Khemaka: ‘Kami harap engkau bertahan, Sahabat, kami harap engkau menjadi lebih baik. Kami harap perasaan sakitmu mereda dan bukan meningkat, dan bahwa meredanya, bukan meningkatnya, terlihat.’”

“Baik, Sahabat-sahabat,” Yang Mulia Dāsaka menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Khemaka dan menyampaikan pesan itu.

[Yang Mulia Khemaka menjawab:] “Aku tidak dapat bertahan, aku tidak menjadi lebih baik. Perasaan sakit yang kuat meningkat, bukan mereda, dan meningkatnya, bukan meredanya, terlihat.”

Kemudian Yang Mulia Dāsaka mendatangi para bhikkhu senior dan melaporkan apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Khemaka. Mereka memberitahunya: “Pergilah, Sahabat Dāsaka, datangilah Bhikkhu Khemaka dan katakan padanya: ‘Para bhikkhu senior mengatakan kepadamu, Sahabat Khemaka: Kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini, Sahabat, yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā; yaitu, bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Apakah Yang Mulia Khemaka menganggap  apapun sebagai diri atau sebagai milik diri di antara lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini?’”

“Baik, Sahabat-sahabat,” Yang Mulia Dāsaka menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Khemaka dan menyampaikan pesan itu.

[Yang Mulia Khemaka menjawab:] “Kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā; yaitu, bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Di antara kelima kelompok unsur yang tunduk pada kemelekatan ini, aku tidak menganggap apapun sebagai diri atau sebagai milik diri.”

Kemudian Yang Mulia Dāsaka mendatangi para bhikkhu senior dan melaporkan apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Khemaka. Mereka menjawab: “Pergilah, Sahabat Dāsaka, datangilah Bhikkhu Khemaka dan katakan padanya: ‘Jika Yang Mulia Khemaka tidak menganggap apapun di antara kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini diri atau sebagai milik diri, maka ia adalah seorang Arahant, yang noda-nodanya telah dihancurkan.’”  [34]
 
“Baik, Sahabat-sahabat,” Yang Mulia Dāsaka menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Khemaka dan menyampaikan pesan itu.

[Yang Mulia Khemaka menjawab:] “Kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā; yaitu, bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Aku tidak menganggap apapun dari kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini sebagai diri atau sebagai milik diri, namun aku bukan seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan. Sahabat-sahabat, [gagasan] ‘aku’ belum lenyap dalam diriku sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini, tetapi aku tidak menganggap [apapun di antaranya] sebagai ‘Ini aku.’”  [35]

Kemudian Yang Mulia Dāsaka mendatangi para bhikkhu senior dan melaporkan apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Khemaka. Mereka menjawab: “Pergilah, Sahabat Dāsaka, datangilah Bhikkhu Khemaka dan katakan padanya: ‘Para bhikkhu senior mengatakan kepadamu, Sahabat Khemaka: Sahabat Khemaka, ketika engkau mengatakan “aku” ini – apakah yang engkau maksudkan sebagai “aku”? Apakah engkau mengatakan bentuk sebagai “aku,” atau apakah engkau mengatakan “aku” terlepas dari bentuk? Apakah engkau mengatakan perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran sebagai “aku” atau apakah engkau mengatakan “aku” terlepas dari kesadaran? Ketika engkau mengatakan “aku” ini – apakah yang engkau maksudkan sebagai “aku”?’”

“Baik, Sahabat-sahabat,” Yang Mulia Dāsaka menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Khemaka dan meyampaikan pesan itu.

“Cukup, Sahabat Dāsaka! Mengapa terus berlari mondar-mandir? Ambilkan tongkatku, Sahabat. Aku akan pergi sendiri menemui para senior.”

Kemudian Yang Mulia Khemaka, dengan bantuan tongkatnya, mendatangi para bhikkhu senior, saling bertukar sapa dengan mereka, dan duduk di satu sisi. Kemudian para bhikkhu itu berkata kepadanya: “Sahabat Khemaka, ketika engkau mengatakan ‘aku’ ini … apakah yang engkau maksudkan sebagai ‘aku’?”

“Sahabat-sahabat, aku tidak membicarakan tentang bentuk sebagai ‘aku,’ juga tidak membicarakan tentang ‘aku’ terlepas dari bentuk. Aku tidak membicarakan tentang perasaan sebagai ‘aku’ … juga tidak membicarakan tentang persepsi sebagai ‘aku’ … juga tidak membicarakan tentang bentukan-bentukan kehendak sebagai ‘aku’ ... juga tidak membicarakan tentang kesadaran sebagai ‘aku,’ juga tidak membicarakan tentang ‘aku’ terlepas dari kesadaran. Sahabat-sahabat, walaupun [gagasan] ‘aku’ belum lenyap dalam diriku sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini, tetapi aku tidak menganggap [apapun di antaranya] sebagai ‘Ini aku.’

“Misalkan, Sahabat-sahabat, ada aroma dari bunga teratai biru, merah, atau putih. Apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia mengatakan, ‘Aroma itu berasal dari kuntum,’ atau ‘Aroma itu berasal dari tangkai,’ atau ‘Aroma itu berasal dari putik’?”

“Tidak, Sahabat.”

“Dan bagaimanakah, Sahabat-sahabat, seseorang harus menjawabnya dengan benar?”

“Untuk menjawab dengan benar, Sahabat, ia harus menjawab: ‘Aroma itu berasal dari bunganya.’”

“Demikian pula, Sahabat-sahabat, aku tidak membicarakan tentang bentuk sebagai ‘aku,’ juga tidak membicarakan tentang ‘aku’ terlepas dari bentuk. Aku tidak membicarakan tentang perasaan sebagai ‘aku’ … juga tidak membicarakan tentang persepsi sebagai ‘aku’ … juga tidak membicarakan tentang bentukan-bentukan kehendak sebagai ‘aku’ ... juga tidak membicarakan tentang kesadaran sebagai ‘aku,’ juga tidak membicarakan tentang ‘aku’ terlepas dari kesadaran. Sahabat-sahabat, walaupun [gagasan] ‘aku’ belum lenyap dalam diriku sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini, tetapi aku tidak menganggap [apapun di antaranya] sebagai ‘Ini aku.’

“Sahabat-sahabat, meskipun seorang siswa mulia telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah, namun, sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan masih tertinggal dalam dirinya sisa-sisa keangkuhan ‘aku,’ keinginan ‘aku,’ kecenderungan tersembunyi ‘aku’ yang masih belum tercabut. Beberapa lama kemudian ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan: ‘Demikianlah bentuk, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan … demikianlah persepsi … demikianlah bentukan-bentukan kehendak … demikianlah kesadaran, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya.’ Sewaktu ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan, sisa-sisa keangkuhan ‘aku,’ keinginan ‘aku,’ kecenderungan tersembunyi ‘aku’ yang masih belum tercabut – menjadi tercabut.

“Misalkan, Sahabat-sahabat, sehelai kain yang kotor dan ternoda, dan pemiliknya menyerahkannya kepada seorang tukang cuci. Tukang cuci itu menggosoknya dengan menyeluruh dengan bubuk pembersih, cairan pembersih, atau kotoran sapi pembersih, dan membilasnya bersih-bersih dengan air. Walaupun kain itu menjadi bersih, namun masih tertinggal sisa-sisa aroma bubuk pembersih, cairan pembersih, atau kotoran sapi pembersih yang belum lenyap. Tukang cuci itu kemudian mengembalikan kain itu kepada pemiliknya. Sang pemilik akan menyimpannya di dalam peti beraroma harum, dan sisa-sisa aroma bubuk pembersih, cairan pembersih, atau kotoran sapi pembersih yang belum lenyap akan menjadi lenyap.  [36]

“Demikian pula, Sahabat-sahabat, meskipun seorang siswa mulia telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah, namun, sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan masih tertinggal dalam dirinya sisa-sisa keangkuhan ‘aku,’ keinginan ‘aku,’ kecenderungan tersembunyi ‘aku’ yang masih belum tercabut … Sewaktu ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan, sisa-sisa keangkuhan ‘aku,’ keinginan ‘aku,’ kecenderungan tersembunyi ‘aku’ yang masih belum tercabut – menjadi tercabut.”

Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu senior berkata kepada Yang Mulia Khemaka: “Kami tidak mengajukan pertanyaan untuk mengganggu Yang Mulia Khemaka, tetapi kami pikir bahwa Yang Mulia Khemaka mampu menjelaskan, mengajarkan, menyatakan, mengokohkan, mengungkapkan, menganalisa, menguraikan ajaran Sang Bhagavā secara terperinci. Dan Yang Mulia Khemaka telah menjelaskan, mengajarkan, menyatakan, mengokohkan, mengungkapkan, menganalisa, menguraikan ajaran Sang Bhagavā secara terperinci.”

Demikianlah para bhikkhu senior itu senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Khemaka. Dan sewaktu khotbah ini dibabarkan, batin keenam-puluh bhikkhu senior dan batin Yang Mulia Khemaka terbebas dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

(SN 22:89; III 126-32)

(2) Siswa Yang Masih Berlatih dan Arahant

Di Kosambi di Taman Ghosita Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada satu metode yang dengannya seorang bhikkhu yang masih berlatih, berdiri di atas bidang dari seorang yang masih berlatih, akan memahami: ‘Aku masih berlatih,’ sementara seorang bhikkhu yang telah melampaui latihan, berdiri di atas bidang dari seorang yang melampaui latihan, akan memahami: ‘Aku telah melampaui latihan.’”

“Dan apakah, Para bhikkhu, metode yang dengannya seorang bhikkhu yang masih berlatih, berdiri di atas bidang dari seorang yang masih berlatih, akan memahami: ‘Aku masih berlatih’?

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang masih berlatih memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan. Ini adalah asal-mula penderitaan. Ini adalah lenyapnya penderitaan. Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ini adalah metode yang dengannya seorang bhikkhu yang masih berlatih, berdiri di atas bidang dari seorang yang masih berlatih, akan memahami: ‘Aku masih berlatih.’

“Kemudian lagi, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang masih berlatih mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Adakah di luar dari ini  [37] petapa atau brahmana lain yang mengajarkan Dhamma yang begitu nyata, benar, aktual  seperti yang dilakukan oleh Sang Bhagavā?’ Ia memahami: ‘Tidak ada petapa atau brahmana lain di luar ini yang mengajarkan Dhamma yang begitu nyata, benar, aktual seperti yang dilakukan oleh Sang Bhagavā.’ Ini juga adalah metode yang dengannya seorang bhikkhu yang masih berlatih, berdiri di atas bidang dari seorang yang masih berlatih, akan memahami: ‘Aku masih berlatih.’

“Kemudian lagi, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang masih berlatih memahami kelima indria spiritual – indria keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Ia belum berdiam dengan jasmaninya menyentuh tujuannya, puncaknya, buahnya, tujuan akhirnya; tetapi setelah menembusnya melalui kebijaksanaan, ia melihat.  [38] Ini juga adalah metode yang dengannya seorang bhikkhu yang masih berlatih, berdiri di atas bidang dari seorang yang masih berlatih, akan memahami: ‘Aku masih berlatih.’

“Dan apakah, para bhikkhu, metode yang dengannya seorang bhikkhu yang telah melampaui latihan, berdiri di atas bidang dari seorang yang melampaui latihan, akan memahami: ‘Aku telah melampaui latihan’? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang telah melampaui latihan memahami kelima indria spiritual – indria keyakinan … kebijaksanaan. Ia berdiam setelah jasmaninya menyentuh tujuannya, puncaknya, buahnya, tujuan akhirnya; dan setelah menembusnya melalui kebijaksanaan, ia melihat. Ini adalah metode yang dengannya seorang bhikkhu yang telah melampaui latihan, berdiri di atas bidang dari seorang yang melampaui latihan, akan memahami: ‘Aku telah melampaui latihan.’

“Kemudian lagi, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang telah melampaui latihan memahami enam indria – indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, indria badan, indria pikiran. Ia memahami: ‘Keenam indria ini akan lenyap seluruhnya dan sepenuhnya tanpa sisa, dan tidak ada lagi enam indria lainnya yang akan muncul di manapun dalam cara apapun.’ Ini juga adalah metode yang dengannya seorang bhikkhu yang telah melampaui latihan, berdiri di atas bidang dari seorang yang melampaui latihan, akan memahami: ‘Aku telah melampaui latihan.’”

(SN 48:53; V 229-30)

(3) Seorang Bhikkhu yang Palang Penghalangnya Telah Diangkat

30. “Para bhikkhu, bhikkhu ini disebut seorang yang palang penghalangnya telah diangkat, yang paritnya telah ditutup, yang tiangnya telah dicabut, seseorang yang tanpa pasak, seorang mulia yang panjinya telah diturunkan, yang bebannya telah diturunkan, yang tidak terbelenggu.

31. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang palang penghalangnya telah diangkat? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan ketidak-tahuan, telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, telah mengakhirinya, sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang palang penghalangnya telah diangkat.

32. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang paritnya telah ditutup? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan lingkaran kelahiran kembali, proses penjelmaan baru, telah memotongnya di akar … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang paritnya telah ditutup.

33. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang tiangnya telah dicabut? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan nafsu, telah memotongnya di akar … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang tiangnya telah dicabut.

34. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang tanpa pasak? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah, telah memotongnya di akar … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang tanpa pasak.

35. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang mulia yang panjinya telah diturunkan, yang bebannya telah diturunkan, yang tidak terbelenggu? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan keangkuhan ‘Aku’, telah memotongnya di akar … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang mulia yang panjinya telah diturunkan, yang bebannya telah diturunkan, yang tidak terbelenggu.”

(dari MN 22: Alagaddūpama Sutta; I 139-40)