//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: BUKAN TIPITAKA TEMATIK  (Read 28546 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IV)
« Reply #30 on: 02 November 2011, 02:47:06 PM »
4. PENGHIDUPAN BENAR

(1) Menghindari Penghidupan Salah

“Lima perdagangan ini, O para bhikkhu, tidak boleh dilakukan oleh seorang umat awam: berdagang senjata, berdagang makhluk-makhluk hidup, berdagang daging, berdagang minuman memabukkan, berdagang racun.”

(AN 5:177; III 208)

(2) Penggunaan Kekayaan yang Tepat

[Sang Bhagavā berkata kepada perumah-tangga Anāthapiṇḍika:] “Dengan kekayaannya yang diperoleh melalui usaha bersemangat, yang dikumpulkan oleh kekuatan lengannya, diperoleh melalui keringat di keningnya, kekayaan benar yang diperoleh dengan benar, siswa mulia melakukan empat perbuatan selayaknya. Apakah empat ini?

“Dengan kekayaan yang diperoleh demikian ia membuat dirinya bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan dirinya dalam kebahagiaan; ia membuat orangtuanya bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan mereka dalam kebahagiaan; ia membuat istri dan anak-anaknya, budak-budaknya, para pekerjanya, dan para pelayannya bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan mereka dalam kebahagiaan; ia membuat sahabat-sahabat dan rekan-rekannya bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan mereka dalam kebahagiaan. Ini adalah kasus pertama dari kekayaan yang dipergunakan dengan baik, digunakan dengan berbuah dan digunakan demi penyebab yang selayaknya.

“Lebih jauh lagi, perumah-tangga, dengan kekayaan yang diperoleh demikian siswa mulia mempersiapkan perbekalan terhadap kehilangan yang mungkin timbul karena api dan banjir, raja-raja dan penjahat dan pewaris yang tidak disukai; ia mengamankan dirinya dari mereka. Ini adalah kasus ke dua dari kekayaan yang dipergunakan dengan baik …

“Lebih jauh lagi, perumah-tangga, dengan kekayaan yang diperoleh demikian siswa mulia memberikan lima jenis persembahan: kepada sanak saudara, tamu, leluhur, raja, dan para deva. Ini adalah kasus ke tiga dari kekayaan yang dipergunakan dengan baik …

“Lebih jauh lagi, perumah-tangga, dengan kekayaan yang diperoleh demikian siswa mulia memberikan persembahan yang megah kepada para petapa dan brahmana yang menahan diri dari kesia-siaan dan kelengahan, yang kokoh dalam kesabaran dan kelembutan, yang tekun menjinakkan diri mereka sendiri, tekun menenangkan diri mereka sendiri, dan tekun mencapai Nibbāna – sebuah persembahan yang bersifat surgawi, yang berakibat pada kebahagiaan, mengarah menuju alam surga. Ini adalah kasus ke empat dari kekayaan yang dipergunakan dengan baik, digunakan dengan berbuah dan digunakan demi penyebab yang selayaknya.

“Ini, perumah-tangga, adalah empat perbuatan selayaknya yang dilakukan oleh siswa mulia dengan kekayaannya yang diperoleh melalui usaha bersemangat, yang dikumpulkan oleh kekuatan lengannya, diperoleh melalui keringat di keningnya, kekayaan benar yang diperoleh dengan benar.

“Bagi siapapun yang kekayaannya digunakan untuk hal-hal lain selain dari empat perbuatan selayaknya ini, maka kekayaan itu dikatakan habis tersia-sia, dihambur-hamburkan dan digunakan dengan sembrono. Tetapi bagi siapa pun yang kekayaannya digunakan untuk keempat perbuatan selayaknya ini, maka kekayaan itu dikatakan telah dipergunakan dengan baik, digunakan dengan berbuah dan digunakan demi penyebab yang selayaknya.”

(AN 4:61; II 65-68)

(3) Kebahagiaan Perumah-tangga

Sang Bhagavā berkata kepada perumah-tangga Anāthapiṇḍika: “Ada, perumah-tangga, empat jenis kebahagiaan ini yang dapat dicapai oleh seorang umat awam yang menikmati kenikmatan indria, tergantung waktu dan kejadiannya. Apakah empat ini? Kebahagiaan kepemilikan, kebahagiaan kenikmatan, kebahagiaan bebas dari hutang, dan kebahagiaan ketidak-tercelaan.

“Dan apakah, perumah-tangga, kebahagiaan kepemilikan? Di sini, seorang perumah-tangga memiliki kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, yang dikumpulkan oleh kekuatan lengannya, diperoleh melalui keringat di keningnya, kekayaan benar yang diperoleh dengan benar. Ketika ia berpiki, ‘Aku memiliki kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat … yang diperoleh dengan benar,’ maka ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan kepemilikan.

“Dan apakah, perumah-tangga, kebahagiaan kenikmatan? Di sini, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, yang dikumpulkan oleh kekuatan lengannya, diperoleh melalui keringat di keningnya, kekayaan benar yang diperoleh dengan benar, seorang perumah-tangga menikmati kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Ketika ia berpikir, ‘dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat … yang diperoleh dengan benar,’ maka ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan kenikmatan.

“Dan apakah, perumah-tangga, kebahagiaan bebas dari hutang? Di sini, seorang perumah-tangga tidak berhutang dari siapapun sebanyak apapun, apakah kecil atau besar. Ketika ia berpikir, ‘aku tidak berhutang dari siapapun sebanyak apapun, apakah kecil atau besar,’ maka ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan bebas dari hutang.

“Dan apakah, perumah-tangga, kebahagiaan ketidak-tercelaan? Di sini, perumah-tangga, seorang siswa mulia memiliki perilaku jasmani, ucapan dan pikiran yang tanpa cela. Ketika ia berpikir, ‘aku memiliki perilaku jasmani, ucapan dan pikiran yang tanpa cela,’ maka ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan ketidak-tercelaan.

“Ini, perumah-tangga, adalah empat jenis kebahagiaan ini yang dapat dicapai oleh seorang umat awam yang menikmati kenikmatan indria, tergantung waktu dan kejadiannya.”

(AN 4:62; II 69-70)

5. PEREMPUAN RUMAH

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Taman Timur, di Istana Ibunya Migāra. Kemudian Visākhā, Ibu Migāra, mendekati Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi,  [6] kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Visākhā, jika seorang perempuan memiliki empat kualitas maka ia mengarah pada kemenangan dalam dunia ini dan berhasil dalam dunia ini. Apakah empat ini?

“Di sini, Visākhā, seorang perempuan terampil dalam pekerjaannya; ia mengerahkan bantuannya untuk urusan rumah tangga; ia berperilaku dalam cara yang menyenangkan suaminya; dan ia menjaga pendapatan suaminya.

“Dan bagaimanakah seorang perempuan terampil dalam pekerjaannya? Di sini, Visākhā, ia terampil dan rajin sehubungan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, apakah sehubungan dengan wol atau katun; ia menyelidiki cara-cara yang tepat dan mampu bertindak dan mengatur segala sesuatunya dengan benar. Dengan cara inilah seorang perempuan terampil dalam pekerjaannya.

“Dan bagaimanakah seorang perempuan adalah seorang yang mengerahkan bantuan untuk urusan rumah tangga? Di sini, Visākhā, sehubungan dengan para pembantu rumah tangga suaminya – budak-budak, para pelayan, atau para pekerja – ia mengetahui melalui inspeksi langsung pada apa yang telah mereka lakukan dan tidak mereka lakukan; ia mengetahui ketika mereka sakit dan sehat; dan ia membagikan makanan yang cukup untuk mereka masing-masing. Dengan cara inilah seorang perempuan mengerahkan bantuan untuk urusan rumah tangga.

“Dan bagaimanakah seorang perempuan berperilaku dalam cara yang menyenangkan suaminya? Di sini, Visākhā, seorang perempuan tidak melakukan perbuatan salah yang dapat dianggap tidak menyenangkan oleh suaminya, bahkan dengan taruhan nyawanya. Demikianlah seorang perempuan berperilaku dalam cara yang menyenangkan suaminya.

“Dan bagaimanakah seorang perempuan menjaga pendapatan suaminya? Di sini, Visākhā, apapun yang dibawa pulang oleh suaminya – apakah uang atau beras, perak atau emas – ia berhasil dalam melindungi dan menjaganya, dan ia bukan seorang pemboros, bukan pencuri, bukan seorang yang suka membuang-buang, dan bukan seorang yang suka menghambur-hamburkan kekayaan suaminya. Dengan cara inilah seorang perempuan menjaga pendapatan suaminya.

“Jika, Visākhā, seorang perempuan memiliki empat kualitas maka ia mengarah pada kemenangan dalam dunia ini dan berhasil dalam dunia ini. Tetapi jika ia memiliki empat kualitas lainnya, maka ia mengarah pada kemenangan dalam dunia lain dan berhasil dalam dunia lain. Apakah empat ini?

“Di sini, Visākhā, seorang perempuan mencapai kesempurnaan dalam keyakinan, disiplin moral, kedermawanan, dan kebijaksanaan.

“Dan bagaimanakah seorang perempuan mencapai kesempurnaan dalam keyakinan? Di sini, Visākhā, seorang perempuan memiliki keyakinan; ia menempatkan keyakinannya pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Demikianlah Sang Bhagavā adalah seorang Arahant … [Seperti dalam Teks IV, 3] … guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Sang Bhagavā.’ Dengan cara inilah seorang perempuan mencapai kesempurnaan dalam keyakinan.

“Dan bagaimanakah seorang perempuan mencapai kesempurnaan dalam disiplin moral? Di sini, Visākhā, seorang perempuan menghindari menghancurkan kehidupan, menghindari mencuri, menghindari hubungan seksual yang salah, menghindari kebohongan, dan menghindari anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, landasan kelengahan. Dengan cara inilah seorang perempuan mencapai kesempurnaan dalam disiplin moral.

“Dan bagaimanakah seorang perempuan mencapai kesempurnaan dalam kedermawanan? Di sini, Visākhā, seorang perempuan berdiam di rumah dengan pikiran yang bebas dari noda kekikiran, murah hati, bertangan terbuka, gembira dalam melepaskan, seseorang yang tekun memberikan derma, gembira dalam memberi dan berbagi. Dengan cara inilah seorang perempuan mencapai kesempurnaan dalam kedermawanan.

“Dan bagaimanakah seorang perempuan mencapai kesempurnaan dalam kebijaksanaan? Di sini, Visākhā, seorang perempuan memiliki kebijaksanaan yang melihat ke dalam muncul dan lenyapnya fenomena, yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran total penderitaan. Dengan cara inilah seorang perempuan mencapai kesempurnaan dalam kebijaksanaan.

“Jika seorang perempuan memiliki empat kualitas ini, maka ia mengarah pada kemenangan dalam dunia lain dan berhasil dalam dunia lain.”

(AN 8:49; IV 269-71)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IV)
« Reply #31 on: 02 November 2011, 02:48:37 PM »
6. KOMUNITAS

(1) Enam Akar Perselisihan

6. “Ada, Ānanda, enam akar perselisihan ini. Apakah enam ini? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu marah dan kesal. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Saṅgha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kerugian, bahaya, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu ataupun secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu. Dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu ataupun secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidak-munculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan.

7-11. “Kemudian, seorang bhikkhu bersikap meremehkan dan congkak … iri dan tamak … curang dan menipu … berkeinginan jahat dan berpandangan salah, dan melekati pandangannya itu, mempertahankannya dengan gigih, dan melepaskannya dengan penuh kesulitan. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kerugian, bahaya, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu ataupun secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu. Dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu ataupun secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidak-munculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan. Ini adalah enam akar perselisihan.”

(Dari MN 104: Samagāma Sutta; II 245-47)

(2) Enam Prinsip Kerukunan

21. “Ānanda, terdapat enam prinsip kerukunan ini yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan. Apakah enam ini?

“Di sini seorang bhikkhu memelihara perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan ucapan cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan pikiran cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu menggunakan benda-benda bersama-sama dengan teman-temannya dalam kehidupan suci; tanpa merasa keberatan, ia berbagi dengan mereka apapun jenis perolehan yang benar yang ia peroleh dengan cara yang benar, bahkan termasuk isi mangkuknya. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal moralitas yang tidak rusak, tidak robek, tidak berbintik, tidak tercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak disalah-pahami, dan mendukung konsentrasi. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Ini adalah enam prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.”

(Dari MN 104: Samagāma Sutta; II 250-51)


(3) Pemurnian adalah untuk Seluruh Empat Kasta

1. Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu lima ratus brahmana dari berbagai propinsi sedang menetap di Sāvatthī untuk suatu urusan. Kemudian para brahmana itu berpikir: “Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. Siapakah di sini yang mampu membantahNya atas pernyataan ini?”

3. Pada saat itu seorang murid brahmana bernama Assalāyana sedang menetap di Sāvatthī. Muda, berkepala-gundul, berusia enam belas tahun, ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Kemudian para brahmana berpikir bahwa ia akan mampu berdebat dengan Sang Bhagavā.

4. Maka para brahmana itu mendatangi murid brahmana Assalāyana dan berkata kepadanya: “Guru Assalāyana, Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. Sudilah Guru Assalāyana pergi dan berdebat dengan Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”

Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana menjawab: “Tuan-tuan, Petapa Gotama adalah seorang yang membicarakan Dhamma. Mereka yang membicarakan Dhamma adalah sulit untuk didebat. Aku tidak mampu mendebat Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”

Untuk ke dua kali dan untuk ke tiga kalinya para brahmana mendesaknya untuk pergi. Untuk ke dua kali murid brahmana Assalāyana menolak, tetapi setelah desakan ke tiga ia menyetujui.

5. Kemudian murid brahmana Assalāyana pergi bersama dengan sejumlah besar para brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, para brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi, para kasta lainnya adalah rendah; para brahmana adalah kasta yang paling cerah, para kasta lainnya adalah gelap; hanya para brahmana yang dimurnikan, bukan non-brahmana; hanya para brahmana yang merupakan para putera Brahmā, keturunan Brahmā, lahir dari mulutnya, lahir dari Brahmā, diciptakan oleh Brahmā, pewaris Brahmā.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal itu?”

“Sekarang, Assalāyana, para perempuan brahmana terlihat mengalami periode menstruasi, menjadi hamil, melahirkan, dan menyusui.  [7] Namun para brahmana itu, walaupun terlahir dari rahim, mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... hanya para brahmana yang merupakan para putera Brahmā, keturunan Brahmā, lahir dari mulutnya, lahir dari Brahmā, diciptakan oleh Brahmā, pewaris Brahmā.’”

6. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Pernahkah engkau mendengar bahwa Yona dan Kamboja  [8] dan di negeri asing lainnya terdapat hanya dua kasta, majikan dan budak, dan bahwa para majikan menjadi budak dan budak menjadi majikan?”

“Demikianlah yang kudengar, Tuan.”

“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”

7. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang khattiya membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan ucapan salah, mengucapkan ucapan jahat, bergosip, tamak, memiliki pikiran berniat-buruk, dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah hanya ia yang terlahir kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka – dan bukan seorang brahmana? Misalkan seorang pedagang … seorang pekerja membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah hanya ia yang terlahir kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka – dan bukan seorang brahmana?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja – mereka dari keempat kasta itu yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan terlahir kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.”

“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”

8. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang brahmana menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari ucapan salah, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, dan menghindari gosip, dan tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat buruk, dan menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah hanya ia yang terlahir kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga – dan bukan seorang khattiya, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang khattiya, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja – mereka dari keempat kasta itu yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan terlahir kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga.”

“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”

9. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap wilayah ini, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk, dan bukan seorang khattiya, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang khattiya, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja – mereka dari keempat kasta itu mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap wilayah ini, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.”

“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”

10. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran, dan bukan seorang khattiya, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang khattiya, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja – mereka dari keempat kasta itu mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran.”

“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”

11. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang raja mulia yang sah mengumpulkan di sini seratus orang yang berasal dari kelahiran berbeda dan berkata kepada mereka: ‘Tuan-tuan, silahkan siapapun juga di sini yang terlahir dalam keluarga khattiya atau keluarga brahmana atau keluarga bangsawan mengambil sebatang tongkat kayu api berkualitas baik dan menyalakan api dan menghasilkan panas. Dan juga silahkan siapapun juga di sini yang terlahir dalam keluarga buangan, keluarga pemburu, keluarga pembuat keranjang, keluarga pembuat kereta, atau keluarga pemungut sampah, mengambil kayu dari tempat minum anjing, dari tempat makan babi, dari tempat sampah, atau dari kayu jarak dan menyalakan api dan menghasilkan panas.’

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Ketika api dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok pertama, apakah api itu memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan apakah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api, sementara ketika api dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dari kelompok ke dua, api itu tidak memiliki kobaran, tanpa warna, dan tanpa cahaya, dan tidak mungkin menggunakannya sebagai fungsi api?”

“Tidak, Guru Gotama. Ketika api dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok pertama, api itu memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api. Dan api yang dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok ke dua, api itu juga memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api. Karena semua api memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api.”

“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”

12. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang pemuda khattiya hidup bersama dengan seorang gadis brahmana, dan seorang anak lahir dari mereka. Apakah anak yang terlahir dari pemuda khattiya dan gadis brahmana itu disebut seorang khattiya mengikuti sang ayah atau seorang brahmana mengikuti sang ibu?”

“Ia dapat disebut keduanya, Guru Gotama.”

13. “Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang pemuda brahmana hidup bersama dengan seorang gadis khattiya, dan seorang anak lahir dari mereka. Apakah anak yang terlahir dari pemuda brahmana dan gadis khattiya itu disebut seorang khattiya mengikuti sang ibu atau seorang brahmana mengikuti sang ayah?”

“Ia dapat disebut keduanya, Guru Gotama.”

14. “Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seekor kuda betina dikawinkan dengan seekor keledai jantan, dan seekor anak kuda terlahir sebagai akibatnya. Apakah anak kuda itu disebut seekor kuda mengikuti sang ibu atau seekor keledai mengikuti sang ayah?”

“Itu adalah seekor bagal, Guru Gotama, karena anak kuda itu tidak berasal dari jenis manapun. Aku melihat perbedaan dalam kasus terakhir ini, tetapi aku tidak melihat perbedaan dalam kasus-kasus sebelumnya.”

15. “Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan ada dua orang murid brahmana bersaudara, terlahir dari ibu yang sama, yang satu rajin belajar dan cerdas, dan yang lainnya tidak rajin belajar dan tidak cerdas. Yang manakah yang akan diberi makanan pertama kali oleh para brahmana pada suatu upacara pemakaman, atau pada suatu upacara persembahan nasi-susu, atau pada suatu upacara pengorbanan, atau pada suatu pesta menyambut tamu?”

“Pada kesempatan itu, para brahmana akan memberi makan pertama kali kepada seorang yang rajin belajar dan cerdas, Guru Gotama; karena bagaimana mungkin apa yang diberikan kepada seorang yang tidak rajin belajar dan tidak cerdas dapat menghasilkan buah besar?”

16. “Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan ada dua orang murid brahmana bersaudara, terlahir dari ibu yang sama, yang satu rajin belajar dan cerdas tetapi tidak bermoral dan berkarakter buruk, dan yang lainnya tidak rajin belajar dan tidak cerdas, tetapi bermoral dan berkarakter baik. Yang manakah yang akan diberi makanan pertama kali oleh para brahmana pada suatu upacara pemakaman, atau pada suatu upacara persembahan nasi-susu, atau pada suatu upacara pengorbanan, atau pada suatu pesta menyambut tamu?”

“Pada kesempatan itu, para brahmana akan memberi makan pertama kali kepada seorang yang tidak rajin belajar dan tidak cerdas, tetapi bermoral dan berkarakter baik, Guru Gotama; karena bagaimana mungkin apa yang diberikan kepada seorang yang tidak bermoral dan berkarakter buruk dapat menghasilkan buah besar?”

17. “Pertama-tama, Assalāyana, engkau berpegang pada kelahiran, dan setelah itu engkau berpegang pada pembelajaran kitab-kitab, dan setelah itu engkau akhirnya berpegang pada landasan pemurnian bagi keseluruhan empat kasta, seperti yang Kujelaskan.”

Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana duduk diam dan cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram, dan tidak mampu menjawab

(MN 93: Assalāyana Sutta, diringkas; II 147-54)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IV)
« Reply #32 on: 02 November 2011, 02:49:33 PM »
(4) Tujuh Prinsip Kestabilan Sosial

1.1. Demikianlah yang kudengar Suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di suatu gunung yang disebut Puncak Nasar. Saat itu Raja Ajātasattu Vedehiputta berniat menyerang Vajji.  [9]Ia berkata: “Aku akan menyerang para Vajji yang begitu kuat dan perkasa. Aku akan memotong-motong mereka dan menghancurkan mereka. Aku akan membawa mereka menuju kehancuran!”

1.2. Dan Raja Ajātasattu berkata kepada Perdana Menterinya, Brahmana Vassakāra: “Brahmana, temuilah Sang Bhagavā, bersujudlah padaNya dengan kepalamu di kakiNya, tanyakan apakah Beliau bebas dari penyakit, apakah Beliau berdiam dengan nyaman dan sehat, dan katakan: ‘Bhagavā, Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha hendak menyerang para Vajji dan berkata: “Aku akan menyerang para Vajji …, membawa mereka menuju kehancuran!”’ Dan apapun yang dikatakan Sang Bhagavā kepadamu, laporkan kepadaku, karena Sang Tathāgata tidak pernah berbohong.”

1.3. “Baiklah, Baginda,” jawab Vassakāra dan, setelah mempersiapkan kereta, ia naik ke salah satu kereta dan bergerak dari Rājagaha menuju Puncak Nasar, berkendara sejauh yang dimungkinkan, kemudian melanjutkan dengan berjalan kaki ke tempat Sang Bhagavā berada. Ia saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, kemudian duduk di satu sisi dan menyampaikan pesan Raja.

1.4. Saat itu Yang Mulia Ānanda sedang berdiri di belakang Sang Bhagavā, mengipasiNya. Dan Sang Bhagavā berkata:

(1) “Ānanda, pernahkah engkau mendengar bahwa para Vajji sering mengadakan rapat-rapat rutin?” – “Aku mendengar, Bhagavā, bahwa mereka memang demikian.”

“Ānanda, selama para Vajji sering mengadakan rapat-rapat rutin, mereka akan makmur dan tidak mundur.

(2) “Pernahkah engkau mendengar bahwa para Vajji bertemu dalam damai dan berpisah dalam damai, dan melaksanakan tugas mereka dalam damai?” – “Aku mendengar, Bhagavā, bahwa mereka memang demikian.”

“Ānanda, selama para Vajji bertemu dalam damai dan berpisah dalam damai, dan melaksanakan tugas mereka dalam damai, mereka akan makmur dan tidak mundur.

(3) “Pernahkan engkau mendengar bahwa para Vajji tidak menetapkan apa yang belum pernah ditetapkan, dan tidak meniadakan apa yang telah ditetapkan, melainkan meneruskan apa yang telah ditetapkan oleh tradisi mereka?” – “Aku mendengar, Bhagavā, …” (4) “Pernahkan engkau mendengar bahwa mereka menghormati, menghargai, memuliakan dan menyembah para sesepuh di antara mereka, dan menganggap mereka layak didengarkan? … (5) bahwa mereka tidak dengan paksa menculik istri-istri dan puteri-puteri orang lain dan memaksa mereka untuk menetap bersama mereka?  … (6) bahwa mereka menghormati, menghargai, memuliakan dan menyembah altar-altar Vajji di rumah maupun di tempat-tempat umum, tidak menarik sokongan layak yang telah diberikan sebelumnya? … (7) bahwa perbekalan yang layak dipersiapkan untuk kesejahteraan para Arahant, sehingga para Arahant akan datang dan menetap di sana di masa depan, dan yang sudah menetap di sana, agar berdiam dalam kenyamanan?” -  “Aku mendengar demikian, Bhagavā.”

“Ānanda, selama perbekalan yang layak dipersiapkan, … mereka akan makmur dan tidak mundur.”

1.5. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Brahmana Vassakāra: “Suatu ketika, Brahmana, ketika aku berada di kuil Sārandada di Vesālī, Aku mengajarkan tujuh prinsip ini kepada para Vajji untuk mencegah kemunduran, dan selama mereka mempertahankan tujuh prinsip ini, selama prinsip-prinsip ini masih berlaku, maka para Vajji akan makmur dan tidak mundur.”

Mendengar kata-kata ini, Vassakāra menjawab: “Yang Mulia Gotama, jika para Vajji mempertahankan bahkan hanya satu saja dari prinsip-prinsip ini, mereka akan maju dan tidak mundur – apalagi seluruh tujuh itu. Sudah pasti para Vajji tidak akan bisa ditaklukkan oleh Raja Ajātasattu dengan kekuatan senjata, tetapi hanya dengan propaganda dan mengadu domba mereka. Dan sekarang, Yang Mulia Gotama, aku harus pergi. Aku sibuk dan banyak hal yang harus kukerjakan.”

“Brahmana, lakukanlah apa yang menurutmu baik.” Kemudian Vassakāra, senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan pergi.

1.6. Segera setelah Vassakāra pergi, Sang Bhagavā berkata: “Ānanda, pergilah temui semua bhikkhu yang ada di sekitar Rājagaha, dan panggil mereka semua ke aula pertemuan.” – “Baiklah, Bhagavā,” jawab Ānanda, dan melakukan apa yang diperintahkan. Kemudian ia menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat, berdiri di satu sisi dan berkata: “Bhagavā, para bhikkhu telah berkumpul. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā melakukan apa yang dianggap baik.” Kemudian Sang Bhagavā bangkit dari duduknya, pergi ke aula pertemuan, duduk di tempat yang telah disediakan, dan berkata: “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan tujuh hal yang mendukung kesejahteraan. Dengarkan dan perhatikanlah dengan baik, dan Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” jawab para bhikkhu, dan Sang Bhagavā berkata:

“Selama para bhikkhu sering mengadakan pertemuan-pertemuan rutin, maka mereka akan mendapatkan kemajuan dan bukan kemunduran. Selama mereka bertemu dalam damai, berpisah dalam damai, dan melakukan tugas-tugas mereka dalam damai, maka mereka akan mendapatkan kemajuan dan bukan kemunduran. Selama mereka tidak menetapkan apa yang belum ditetapkan sebelumnya, dan tidak meniadakan apa yang telah ditetapkan, melainkan meneruskan apa yang telah ditetapkan dalam peraturan latihan …; selama mereka menghormati, menghargai, memuliakan dan menyembah para senior yang lebih dulu ditahbiskan, ayah dan pemimpin dari Sangha …; selama mereka tidak menjadi mangsa dari keinginan yang muncul dalam diri mereka dan mengarah menuju kelahiran kembali …; selama mereka dengan tekun menjalani kehidupan dalam kesunyian hutan …; selama mereka menjaga perhatian mereka sehubungan dengan jasmani, sehingga di masa depan orang-orang baik di antara teman-teman mereka akan mendatangi mereka, dan mereka yang telah datang akan merasa nyaman dengan mereka …; selama para bhikkhu mempertahankan tujuh hal ini dan terlihat melakukan hal-hal ini, maka mereka akan mendapatkan kemajuan dan bukan kemunduran.

(dari DN 16: Mahāparinibbāna Sutta; II 72-77)

(5) Raja Pemutar-Roda

3. “Dan, setelah beberapa ratus tahun dan beberapa ribu tahun berlalu, Raja Daḷhanemi berkata kepada seseorang: “Anakku, jika engkau melihat Pusaka-Roda suci itu jatuh dari posisinya, laporkan kepadaku.” - “Baik, Baginda,” jawab orang itu. Dan, setelah beberapa ratus tahun dan beberapa ribu tahun berlalu, orang itu melihat Pusaka-Roda suci itu jatuh dari posisinya. Melihat hal ini, ia melaporkan kepada Raja. Kemudian Raja Daḷhanemi memanggil putera tertuanya, Putera Mahkota, dan berkata: “Puteraku, Pusaka-Roda suci telah jatuh dari posisinya. Dan aku pernah mendengar bahwa jika hal ini terjadi pada seorang Raja Pemutar-Roda, ia tidak hidup lama lagi. Aku telah puas dengan kenikmatan manusiawi, sekarang adalah waktunya untuk mencari kenikmatan surgawi. Engkau, puteraku, ambil-alihlah kendali atas wilayah yang dibatasi dengan lautan ini. Aku akan mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.” Dan, setelah mengangkat putera tertuanya menjadi raja selayaknya, Raja Daḷhanemi mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dan tujuh hari setelah Sang Raja meninggalkan keduniawian, Pusaka-Roda suci lenyap.

4. “Kemudian seseorang mendatangi Raja Khattiya itu dan berkata: ‘Baginda, engkau harus tahu bahwa Pusaka-Roda suci telah lenyap.’ Mendengar kata-kata ini Raja berduka dan bersedih. Ia mendatangi Raja Bijaksana dan memberitahukan berita itu. Dan Sang Raja Bijaksana berkata kepadanya: ‘Anakku, engkau tidak perlu berduka dan merasa sedih karena lenyapnya Pusaka-Roda. Pusaka-Roda bukanlah warisan dari ayahmu. Tetapi sekarang, anakku, engkau harus merubah dirimu menjadi Pemutar-roda mulia. Dan kemudian akan terjadi, jika engkau melakukan tugas-tugas seorang Raja Pemutar-Roda, pada hari Uposatha tanggal lima belas,  [10] ketika engkau mencuci kepalamu dan naik ke teras di puncak istanamu untuk menjalankan hari Uposatha, Pusaka-Roda suci akan muncul bagimu, berjeruji seribu, lengkap dengan lingkar, sumbu dan segala hiasannya.’

5. “‘Tetapi apakah, Baginda, tugas-tugas seorang Raja Pemutar-Roda mulia?’ - ‘Yaitu, anakku: engkau bergantung pada Dhamma, menghormatiNya, menghargaiNya, menyayangiNya, menyembahNya dan memujaNya, menjadikan Dhamma sebagai lencana dan spandukmu, mengakui Dhamma sebagai gurumu, engkau harus membentuk penjagaan, pencegahan dan perlindungan yang benar terhadap rumah tanggamu, pasukanmu, para khattiya dan pengikutmu, para pertapa dan Brahmana, binatang-binatang liar dan burung-burung. Jangan biarkan kejahatan menyerang kerajaanmu, dan bagi mereka yang membutuhkan, berikan barang-barang kebutuhan mereka. Dan petapa dan Brahmana manapun dalam kerajaanmu yang meninggalkan kehidupan indriawi dan menjalani praktik kesabaran dan kelembutan, masing-masing menjinakkan diri mereka, masing-masing menenangkan diri mereka dan masing-masing berusaha untuk mengakhiri nafsu, dari waktu ke waktu engkau harus mengunjungi dan berkonsultasi dengan mereka sehubungan dengan apa yang baik dan apa yang tidak baik, apa yang patut dicela dan apa yang tanpa cela, apa yang harus diikuti dan apa yang tidak boleh diikuti. Perbuatan apa yang dalam jangka panjang akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan, dan apa yang menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan.  [11] Setelah mendengarkan mereka, engkau harus menghindari apa yang tidak bermanfaat dan melakukan apa yang bermanfaat. Itu, anakku, adalah tugas seorang raja pemutar-roda mulia.’

“‘Baik, Baginda,’ jawab raja itu, dan ia melakukan tugas-tugas seorang Raja Pemutar-Roda mulia. Dan ketika ia melakukan hal itu, pada hari Uposatha tanggal lima belas, ketika ia mencuci kepalanya dan naik ke teras di puncak istananya untuk menjalankan hari Uposatha, Pusaka-Roda suci muncul dihadapannya, berjeruji seribu, lengkap dengan lingkar, sumbu dan segala hiasannya. Kemudian Sang Raja berpikir: ‘Aku telah mendengar bahwa ketika seorang Raja Khattiya yang sah melihat roda demikian pada hari Uposatha tanggal lima belas, ia akan menjadi seorang Raja Pemutar-Roda. Semoga aku menjadi raja demikian!’

6. “Kemudian, bangkit dari duduknya, menutupi satu bahunya dengan jubahnya, Raja mengambil kendi emas dengan tangan kirinya, memercikkan air ke roda itu dengan tangan kanannya, dan berkata: ‘Semoga Pusaka-Roda mulia berputar, semoga Pusaka-Roda mulia menaklukkan!’ Roda itu bergerak ke timur, dan Raja mengikuti bersama empat barisan bala tentaranya. Dan raja-raja yang menentangnya di wilayah timur datang menghadapnya dan berkata: ‘Selamat datang, Baginda, Selamat datang! Kami adalah milikmu, Baginda, perintahlah kami, Baginda!’ Dan Sang Raja berkata: ‘Jangan membunuh. Jangan mengambil apa yang tidak diberikan. Jangan melakukan hubungan seksual yang salah. Jangan berbohong. Jangan meminum minuman keras. Nikmatilah milik kalian seperti sebelumnya.’  [12] Dan mereka yang menentangnya di wilayah timur menjadi taklukannya.

7. “Kemudian Roda itu bergerak ke selatan, barat dan utara … (seperti paragraf 6). Kemudian Pusaka-Roda, setelah menaklukkan wilayah-wilayah dari laut ke laut, kembali ke ibukota kerajaan dan berhenti di depan istana raja ketika raja sedang memimpin persidangan, seolah-olah menghias istana kerajaan.”

(dari DN 26: Cakkavatti-Sīhanāda Sutta; III 59-63)

(6) Membawa Ketenangan ke Dalam Negeri

Duduk di satu sisi, Kūṭadanta berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, aku telah mendengar bahwa engkau memahami bagaimana menyelenggarakan dengan baik upacara pengorbanan tiga tingkat dengan enam belas persyaratannya. Sekarang aku tidak memahami seluruhnya, namun aku ingin melakukan upacara pengorbanan besar. Baik sekali jika Guru Gotama sudi menjelaskannya kepadaku.”

“Dengarkanlah, Brahmana, perhatikanlah dengan seksama dan Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” jawab Kūṭadanta, dan Sang Bhagavā melanjutkan:

10. “Brahmana, Pada suatu masa ada seorang raja yang bernama Mahāvijita. Ia kaya, memiliki banyak harta kekayaan, dengan emas dan perak yang berlimpah, harta benda dan barang-barang kebutuhan, dan uang, dengan gudang harta dan lumbung yang penuh. Dan ketika Raja Mahāvijita sedang merenung sendirian, ia berpikir: ‘Aku memiliki sangat banyak kekayaan, aku memiliki tanah yang sangat luas yang kutaklukkan. Seandainya sekarang aku menyelenggarakan upacara pengorbanan besar, apakah itu akan memberikan manfaat dan kebahagiaan untuk waktu yang lama?’ dan ia memanggil brahmana-kerajaan,  [13] dan menceritakan pemikirannya. ‘Aku ingin menyelenggarakan upacara pengorbanan besar. Instruksikan aku, Yang Mulia, bagaimana melakukan hal ini demi manfaat dan kebahagiaan bagiku untuk waktu yang lama.’

11. “Brahmana-kerajaan menjawab: ‘Negeri Baginda diserang oleh para pencuri, negeri ini dirusak, desa-desa dan kota-kota sedang dihancurkan, perbatasan dikuasai oleh perampok. Jika Baginda mengutip pajak atas wilayah itu, maka hal itu adalah suatu kesalahan. Jika Baginda berpikir: “Aku akan melenyapkan gangguan para perampok ini dengan mengeksekusi dan hukuman penjara, atau dengan menyita, mengancam dan mengusir,” gangguan ini tidak akan berakhir. Mereka yang selamat kelak akan mengganggu negeri Baginda. Namun, dengan rencana ini engkau dapat secara total melenyapkan gangguan ini. Kepada mereka yang hidup di dalam kerajaan ini yang bermata pencaharian bertani dan beternak sapi, sudilah Baginda membagikan benih dan makanan ternak; kepada mereka yang berdagang, berikan modal; yang bekerja melayani pemerintahan akan menerima upah yang sesuai. Maka orang-orang itu, karena tekun pada pekerjaan mereka, tidak akan mengganggu kerajaan ini. Penghasilan Baginda akan bertambah, negeri ini menjadi tenang dan tidak diserang oleh para pencuri, dan masyarakat, dengan hati yang gembira, akan bermain dengan anak-anak mereka, dan akan menetap di dalam rumah yang terbuka.’

“Dan dengan mengatakan: ‘Jadilah demikian!’, raja menerima nasihat si Brahmana-kerajaan: ia memberikan benih dan makanan ternak kepada mereka yang bertani dan beternak, memberikan modal kepada yang berdagang … upah yang sesuai … dan masyarakat dengan hati gembira … menetap di dalam rumah yang terbuka. Kemudian orang-orang itu, karena tekun pada pekerjaan mereka, tidak mengganggu kerajaan. Penghasilan raja bertambah, negeri menjadi tenang dan tidak diserang oleh para pencuri, dan masyarakat, dengan hati yang gembira, bermain dengan anak-anak mereka, menetap di dalam rumah yang terbuka.”


(dari DN 5: Kūṭadanta Sutta; I 134-36)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IV)
« Reply #33 on: 02 November 2011, 02:50:18 PM »
Catatan BAB IV


[1] Sebagai patokan bagi Raja Pemutar Roda, Dhamma bukanlah ajaran Sang Buddha melainkan hukum moral keadilan dan kebajikan yang berdasarkan padanya raja yang bajik memerintah negerinya dan memperoleh kekuasaan di seluruh dunia. Dalam Ikonografi India, roda (cakka) adalah simbol kekuasaan baik dalam bidang duniawi maupun spiritual. Penguasa dunia memikul beban kerajaan ketika “pusaka roda” mistis (cakkaratana) muncul padanya (baca Teks IV, 6(5)); pusaka roda bertahan sebagai simbol kekuasaannya. Secara analogi, Sang Buddha memutar roda Dhamma, yang tidak dapat diputar balik oleh siapapun di dunia.

[2] Bandingkan seruan para deva pada bagian penutup dari Teks II, 5.

[3] Perumah-tangga Nakulapitā dan istrinya, Nakulamāta adalah umat awam Sang Buddha yang terkemuka dalam hal keyakinan mereka pada Beliau. Baca Nyanaponika and Hecker, Great Disciples of the Buddha, pp.375-78.

[4] Anāthapiṇḍika adalah penyokong awam laki-laki terkemuka. Baca Nyanaponika and Hecker, Great Disciples of the Buddha, bab 9.

[5] Dāsī: secara literal, seorang budak perempuan, dalam masyarakat Buddhis rekomendasi ini tidak dianggap serius dan ketiga model pertama sebagai istri ideal telah mencakup.

[6] Visākhā adalah penyokong awam perempuan terkemuka. Taman Timur adalah vihara yang dibangun untuk Sang Buddha di bagian timur Sāvatthī.

[7] Argumen ini dimaksudkan untuk membantah klaim para brahmana bahwa mereka terlahir dari mulut Brahmā.

[8] Yona  adalah negeri Bactria jajahan Yunani, di Afghanistan dan Pakistan sekarang. Para penduduk Yunani menetap dan memerintah di sini setelah penaklukkan Alexander Yang Agung. Kamboja adalah suatu wilayah barat laut “Negeri Tengah” India.

[9] Raja Ajātasattu meraih kekuasaan setelah membunuh ayahnya, Raja Bimbisāra yang baik, seorang penyokong Sang Buddha yang telah mencapai tingkat kesucian memasuki-arus, tingkat pertama kebebasan. Kelak Ajātasattu merasa menyesal atas kekejamannya dan, setelah mendengarkan Sang Buddha mengajarkan Sāmaññaphala Sutta (DN 2), ia menjadi pengikut Beliau. Konfederasi Vajji, di utara Magadha, di sisi lain Sungai Gangga, terdiri dari Licchavi dari Vesāli dan Videhi (atau Videha – dari mana ibu Ajātasattu berasal), yang beribu kota Mithilā.

[10] Uposatha adalah hari pelaksanaan religius dalam kalender Lunar. Hari ini jatuh pada hari bulan purnama (hari ke lima belas setiap setengah bulan), bulan baru (hari ke empat belas atau ke lima belas dari setengah bulan), dan dua hari bulan setengah. “Hari Uposatha ke lima belas” yang dimaksudkan di sini kemungkinan adalah Uposatha bulan purnama.

[11] Saya mengoreksi kesalahan dalam terjemahan Walshe di sini. Walshe menerjemahkan seolah-olah para petapa dan brahmana yang bajik harus mendatangi raja untuk memohon tuntunannya dalam hal apa yang bermanfaat dan apa yang tidak bermanfaat. Akan tetapi, teks Pāli, jelas mengatakan bahwa adalah raja yang harus mendatangi para petapa dan brahmana baik itu untuk memohon tuntunan dari mereka.

[12] Yathābhuttañ ca bhuñjatha. Kata Pāli ini secara literal berarti “Makanlah makanan seperti sebelumnya,” tetapi ini sepertinya adalah implikasinya. “Makanlah secukupnya” versi Walshe tidak mungkin benar.

[13] Purohita. Ia adalah seorang brahmana yang bertugas sebagai penasihat, baik dalam hal religius maupun urusan keduniawian.
« Last Edit: 02 November 2011, 03:08:44 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB V)
« Reply #34 on: 14 November 2011, 09:50:22 PM »
BAB V
PENDAHULUAN


Dalam kisah “Pencarian Mulia,” Sang Buddha mengatakan bahwa ketika Beliau memandang dunia segera setelah pencerahannya, Beliau melihat bahwa makhluk-makhluk tampak bagaikan bunga teratai dalam berbagai tahap pengembangan di dalam sebuah kolam (baca p.71). Sementara beberapa makhluk bagaikan teratai di atau dekat permukaan kolam, mampu mencapai pencerahan dengan hanya terpapar oleh ajaranNya yang melampaui keduniawian, sebagian besar manusia yang menemukan Dhamma adalah bagaikan teratai yang tumbuh dalam di bawah permukaan. Teratai-teratai ini memperoleh manfaat dari cahaya matahari dan menggunakan energinya untuk memelihara kehidupan mereka, namun masih memerlukan waktu untuk mencapai permukaan dan mekar. Demikian pula, sebagian besar orang yang mendengar ajaran Buddha dan menegakkan keyakinan masih harus memelihara kualitas-kualitas bermanfaat mereka dengan pancaran energi Dhamma sebelum arus-batin mereka menjadi cukup masak untuk mencapai penembusan langsung. Proses ini biasanya memerlukan waktu banyak kehidupan, dan dengan demikian orang-orang itu harus mengambil pendekatan jangka panjang pada pengembangan spiritual mereka. Sewaktu mempraktikkan jalan menuju kebebasan, mereka harus menghindari alam-alam yang buruk dan memperoleh kelahiran kembali berturut-turut dengan keamanan materi, kebahagiaan, dan kesempatan untuk lebih jauh lagi meningkatkan kemajuan spiritual.

Manfaat-manfaat ini, kondisi-kondisi yang mendukung pengembangan spiritual dalam Dhamma, terjadi dengan perolehan puñña atau “jasa,” sebuah kata yang menyiratkan kapasitas perbuatan bermanfaat untuk menghasilkan akibat-akibat bermanfaat di dalam lingkaran kelahiran kembali. Menurut ajaran Buddha, kosmos ini, dengan banyak alam makhluk-makhluk, diatur pada segala tingkatnya oleh hukum fisika, biologi, psikologi, dan etika yang kekal. Proses yang karenanya makhluk-makhluk berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan lain juga adalah menuruti hukum.  Hal ini diatur oleh hukum yang bekerja dalam dua cara prinsipil: pertama, hukum ini menghubungkan perbuatan-perbuatan kita dengan alam kelahiran kembali yang bersesuaian dengan perbuatan-perbuatan kita; dan ke dua, hukum ini menentukan hubungan antara perbuatan-perbuatan kita dengan kualitas pengalaman kita di alam mana kita akan terlahir kembali.

Faktor yang mengatur dalam proses ini, faktor yang menjadikan keseluruhan proses ini menuruti hukum, adalah sebuah kekuatan yang disebut kamma (Skt: karma). Kata “kamma” secara literal berarti perbuatan, tetapi secara teknis merujuk pada perbuatan kehendak. Seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha: “Adalah kehendak (cetanā) yang Kusebut Kamma; karena setelah memiliki kehendak (cetayitvā), maka seseorang akan bertindak melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.”  [1] Kamma menunjukkan perbuatan-perbuatan yang berasal-mula dari kehendak. Kehendak demikian dapat tetap berupa pikiran, menghasilkan kamma pikiran yang muncul sebagai pemikiran-pemikiran, rencana-rencana, dan keinginan-keinginan; atau terungkap keluar melalui manifestasi perbuatan jasmani dan ucapan.

Tampaknya bahwa perbuatan-perbuatan kita, begitu dilakukan, hilang dan musnah tanpa meninggalkan bekas apapun selain dari akibatnya pada orang lain dan lingkungan kita. Akan tetapi, menurut Sang Buddha, semua perbuatan kehendak secara moral menciptakan potensi untuk menghasilkan akibat (vipāka) atau buah (phala) yang bersesuaian dengan kualitas etis dari perbuatan-perbuatan itu. Kapasitas perbuatan kita untuk menghasilkan akibat yang tepat secara moral adalah apa yang dimaksudkan dengan kamma. Perbuatan-perbuatan kita menghasilkan kamma, suatu potensi untuk menghasilkan buah yang bersesuaian dengan kecenderungan hakikinya. Kemudian, ketika kondisi-kondisi internal dan eksternal sesuai, maka kamma menjadi masak dan menghasilkan buah yang tepat. Ketika masak, kamma itu berbalik kepada kita sebagai baik atau buruk tergantung pada kualitas moral dari perbuatan asalnya. Hal ini dapat terjadi apakah kelak dalam kehidupan yang sama dengan ketika perbuatan itu dilakukan, dalam kehidupan berikutnya, maupun dalam kehidupan yang jauh di masa depan.  [2] Satu hal yang pasti adalah selama kita masih berada dalam Saṃsāra, semua kamma kita yang terkumpul akan bisa masak selama masih belum menghasilkan akibatnya.

Berdasarkan pada kualitas etis, Sang Buddha membedakan kamma ke dalam dua kelompok utama: yang tidak bermanfaat (akusala) dan bermanfaat (kusala). Kamma tidak bermanfaat adalah perbuatan yang secara spiritual menghalangi si pelaku, secara moral tercela, dan berpotensi menghasilkan kelahiran kembali yang tidak baik dan akibat-akibat yang menyakitkan. Kriteria untuk menilai suatu perbuatan sebagai tidak bermanfaat terletak pada motif yang mendasarinya, “akar” dari mana perbuatan itu tumbuh. Ada tiga akar tidak bermanfaat: keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Dari ketiga ini muncul berbagai kekotoran sekunder –seperti kemarahan, permusuhan, iri hati, sifat egois, kesombongan, keangkuhan, kepongahan, dan kemalasan – dan dari akar kekotoran serta kekotoran sekunder muncullah perbuatan-perbuatan kotor.

Di pihak lain, kamma bermanfaat, adalah perbuatan yang secara spiritual bermanfaat dan terpuji secara moral; ini adalah perbuatan yang masak dalam kebahagiaan dan nasib baik. Motif yang mendasari adalah tiga akar bermanfaat: ketidak-serakahan, ketidak-bencian, dan ketidak-bodohan, yang dapat diungkapkan secara lebih positif sebagai kedermawanan, cinta kasih, dan kebijaksanaan. Sementara perbuatan-perbuatan yang muncul dari akar tidak bermanfaat pasti mengarah pada alam kelahiran dan kematian yang berulang-ulang, perbuatan-perbuatan yang muncul dari akar bermanfaat ada dua jenis, duniawi dan melampaui duniawi. Perbuatan-perbuatan bermanfaat duniawi (lokiya) memiliki potensi menghasilkan kelahiran kembali yang baik dan akibat-akibat yang menyenangkan dalam lingkaran kelahiran kembali. Perbuatan-perbuatan bermanfaat yang melampaui duniawi (lokuttara) – yaitu, kamma yang dihasilkan dengan mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan dan bantuan-bantuan lain menuju pencerahan – mengarah menuju pencerahan dan kebebasan dari lingkaran kelahiran kembali. Ini adalah kamma yang menguraikan keseluruhan proses sebab-akibat kamma.

Hubungan antara kamma dan akibatnya ditunjukkan secara umum dalam Teks V, 1(1). Sutta ini merujuk pada perbuatan tidak bermanfaat sebagai “kamma gelap” dan perbuatan bermanfaat duniawi sebagai “kamma terang.” Hal ini juga merujuk pada jenis kamma yang gelap sekaligus terang. Pada kenyataannya, hal ini tidak menunjukkan satu perbuatan tunggal yang secara bersamaan memiliki karakteristik bermanfaat dan tidak bermanfaat; secara teknis hal tersebut adalah tidak mungkin, karena suatu perbuatan pastilah salah satu atau yang lainnya. Kamma kombinasi ini merujuk pada perbuatan seseorang yang terlibat dalam perilaku bermanfaat dan tidak bermanfaat bergantian. Akhirnya, sutta mengatakan tentang jenis kamma ke empat yang bukan gelap juga bukan terang. Ini adalah perbuatan mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Kamma bermanfaat yang melampaui duniawi.

Tidak dapat terlalu ditekankan bahwa bagi Buddhisme awal suatu pemahaman dan penerimaan pada prinsip kamma dan buahnya ini adalah suatu komponen penting dari pandangan benar. Pandangan benar memiliki dua aspek, aspek duniawi, yang berhubungan dengan kehidupan di dunia, dan aspek adi-duniawi atau melampaui-duniawi, yang berhubungan dengan jalan menuju kebebasan.  [3] Pandangan benar yang melampaui duniawi ini termasuk pemahaman akan Empat Kebenaran Mulia, sebab-akibat yang saling bergantungan, dan ketiga corak ketidak-kekalan, penderitaan, dan tanpa-diri. Bagi Buddhisme awal pandangan benar melampaui duniawi ini tidak dapat dipisahkan dari pandangan benar duniawi. Melainkan, mengisyaratkan dan bergantung pada dukungan kuat dari pandangan benar duniawi, yang berarti keyakinan teguh dalam kebenaran hukum kamma dan proses perkembangannya melalui proses kelahiran kembali.

Untuk menerima hukum kamma memerlukan suatu transformasi radikal dalam pemahaman kita atas hubungan kita dengan dunia, doktrin kembar kamma dan kelahiran kembali memungkinkan kita melihat bahwa dunia di mana kita hidup adalah suatu refleksi eksternal dari kosmos pikiran internal. Hal ini bukan berarti bahwa dunia eksternal dapat dikecilkan menjadi proyeksi pikiran dalam cara yang diusulkan oleh jenis idealisme filosofis tertentu. Akan tetapi, secara bersama-sama, kedua doktrin ini memang memperlihatkan bahwa kondisi-kondisi di mana kita hidup sangat berkaitan dengan kecenderungan kamma dari pikiran kita. Alasan mengapa makhluk hidup terlahir kembali di alam tertentu adalah karena dalam kehidupan sebelumnya makhluk itu telah menghasilkan kamma, atau perbuatan kehendak, yang mengarah menuju kelahiran kembali di alam itu. Demikianlah, dalam analisis akhir, semua alam kehidupan terbentuk, dan terpelihara oleh aktivitas mental makhluk-makhluk hidup. Seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha: “Bagi makhluk-makhluk yang terhalangi oleh kebodohan dan dirintangi oleh nafsu, kamma adalah ladangnya, kesadaran adalah benihnya, dan nafsu adalah kelembaban, agar kesadaran terbentuk di alam kehidupan yang baru – apakah hina, menengah, atau mulia” (AN 3:76; I 223).  [4]

Pilihan berikutnya, Teks V, 1(2), menggambarkan perbedaan halus antara jenis-jenis kamma tidak bermanfaat dan bermanfaat. Teks menguraikan sepuluh contoh utama dari masing-masing kelompok. Di sini berturut-turut disebut “perbuatan tidak baik, perbuatan yang tidak sesuai dengan Dhamma” dan “perbuatan baik, perbuatan yang sesuai dengan Dhamma” tetapi hal-hal ini biasanya dikenal sebagai sepuluh jalan kamma tidak bermanfaat dan bermanafat.  [5] Sepuluh ini dibagi lagi melalui tiga “pintu perbuatan” – jasmani, ucapan, dan pikiran. Dalam hal yang tidak bermanfaat, ada tiga jenis perbuatan salah jasmani: membunuh, mencuri, dan melakukan hubungan seksual yang salah; empat jenis perbuatan salah ucapan: berbohong, ucapan fitnah, ucapan kasar, dan obrolan tanpa tujuan (gosip); dan tiga jenis perbuatan salah pikiran: iri hati, niat buruk, dan pandangan salah. Sepuluh perbuatan bermanfaat adalah lawannya: menghindari tiga jenis perbuatan salah jasmani; menghindari empat perbuatan salah ucapan; dan tidak iri-hati, niat baik, dan pandangan benar. Menurut sutta, sepuluh kamma tidak bermanfaat adalah alasan bagi makhluk-makhluk terlahir kembali di alam yang buruk setelah kematian; sepuluh kamma bermanfaat adalah pendukung, bukan hanya bagi kelahiran kembali di alam surga, tetapi juga bagi “hancurnya noda-noda,” pencapaian kebebasan.

Paragraf penutup dari sutta ini memberikan kepada kita suatu pengamatan ringkas terhadap kosmologi Buddhis. Kosmos Buddhis dibagi menjadi tiga alam besar – alam indria (kāmadhātu), alam berbentuk (rūpadhātu), dan alam tanpa bentuk (arūpadhātu) – masing-masing terdiri dari sejumlah bidang-bidang alam.

Alam indria, alam kita, disebut demikian karena makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sini sangat kuat digerakkan oleh keinginan indria. Alam ini dibagi menjadi dua tingkat, alam yang baik dan alam yang buruk. Alam yang buruk atau “alam sengsara” (apāya) berjumlah tiga: neraka, alam siksaan hebat (baca MN 129 dan 130, tidak termasuk dalam buku ini); alam binatang; dan alam hantu (petti-visaya), makhluk-makhluk menderita kelaparan, kehausan, dan penderitaan lainnya  terus-menerus. Ini adalah alam pembalasan bagi sepuluh jalan kamma tidak bermanfaat.  [6]

Alam yang baik di dalam alam indria adalah alam manusia dan enam alam surga indria. Alam surga itu adalah: para deva di alam surga Empat Raja Dewa, yang dipimpin oleh empat deva perkasa (yaitu, Empat Raja Dewa); alam deva Tāvatiṃsa yang dipimpin oleh Sakka, pengikut Sang Buddha yang berkeyakinan namun cenderung lengah (baca Sakkasaṃyutta, SN bab 11); alam deva Yāma; alam para deva Tusita, alam seorang bodhisatta sebelum kelahiran terakhirnya; alam para deva Nimmānarati (“para dewa yang bergembira dalam penciptaan”); dan alam para deva Paranimmitavasavattī (“para dewa yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh dewa lainnya”). Penyebab kamma untuk terlahir kembali di alam indria yang baik ini adalah praktik sepuluh perbuatan bermanfaat.

Di alam berbentuk jenis bentuk materi yang lebih kasar tidak ada. Para penghuninya, dikenal sebagai brahmā, menikmati kebahagiaan, kekuasaan, kecemerlangan, dan vitalitas yang jauh lebih unggul daripada makhluk-makhluk di alam indria. Alam berbentuk terdiri dari enam belas bidang. Ini adalah padanan objektif dari empat jhāna. Pencapaian jhāna pertama mengarah menuju kelahiran kembali di antara para pengikut Brahmā, para menteri Brahmā, dan Mahābrahmā, sesuai dengan apakah dikembangkan hingga tingkat yang rendah, menengah, atau tinggi. Jhāna ke dua, yang dicapai dalam tiga tingkatan yang sama, mengarah menuju kelahiran kembali berturut-turut di antara para deva dengan cahaya terbatas, cahaya tanpa batas, dan cahaya gilang-gemilang. Jhāna ke tiga, yang dicapai dalam tiga tingkatan yang sama, mengarah menuju kelahiran kembali berturut-turut di antara para deva dengan keagungan terbatas, keagungan tanpa batas, dan keagungan gilang-gemilang. Jhāna ke empat biasanya mengarah menuju kelahiran kembali di antara para deva dengan buah besar, tetapi jika dikembangkan dengan perasaan jijik pada persepsi, maka hal ini akan mengarah pada kelahiran kembali di antara “makhluk-makhluk tanpa persepsi,” makhluk-makhluk yang tidak memiliki persepsi. Alam berbentuk juga terdiri dari lima alam yang tersedia secara eksklusif untuk kelahiran kembali para yang-tidak-kembali (baca pp.379-80), disebut alam murni: aviha, atappa, sudassa, suddasī, dan akaniṭṭha. Dalam masing-masing alam berbentuk yang halus, umur kehidupan dikatakan sebagai sangat lama dan meningkat secara signifikan di alam yang lebih tinggi.  [7]

Di alam kehidupan ke tiga, bentuk materi adalah tidak ada dan hanya proses batin yang ada; karena itu disebut alam tanpa bentuk. Alam ini terdiri dari empat bidang alam, yang merupakan padanan obyektif dari empat pencapaian meditatif, dari mana nama itu berasal: landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan kekosongan, dan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Umur kehidupan di alam-alam ini berturut-turut adalah 20,000; 40,000; 60,000; dan 80,000 maha kappa. (Untuk penjelasan lamanya satu kappa, baca Teks I, 4(3).)

Dalam Kosmologi Buddhis, kehidupan di setiap alam, sebagai produk kamma dengan potensi terbatas, adalah tidak kekal. Makhluk-makhluk yang terlahir kembali di suatu alam yang bersesuaian dengan kamma atau perbuatan mereka, mengalami akibat yang baik atau buruk, dan kemudian, ketika kamma yang menghasilkan itu telah menghabiskan kekuatannya, maka mereka meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam lain seperti yang ditentukan oleh kamma yang lain lagi yang menemukan kesempatan untuk masak. Oleh karena itu siksaan neraka serta kegembiraan surga, tidak peduli berapa lamanya, pasti akan berlalu. Sang Buddha menuntun mereka yang indria spiritualnya masih halus agar bercita-cita untuk memperoleh kelahiran kembali di alam manusia atau di alam surga dan mengajarkan kepada mereka perilaku-perilaku yang mengarah menuju pemenuhan cita-cita mereka. Tetapi Beliau mendesak mereka yang memiliki indria yang telah matang untuk berusaha dengan penuh tekad untuk mengakhiri pengembaraan tanpa tujuan dalam saṃsāra dan mencapai Keabadian, Nibbāna, yang melampaui segala alam kehidupan yang terkondisi.

Sementara dua teks pertama dalam bab ini membentuk hubungan umum antara kamma dan kelahiran kembali, Teks V, 1(3) menentukan penyebab kamma yang mendasari manifestasi perbedaan-perbedaan dalam kehidupan manusia. Teks ini menjelaskannya dengan merujuk pada sabda Sang Buddha yang terkenal: “Makhluk-makhluk adalah pemilik kamma mereka sendiri, memiliki kamma sebagai perlindungan mereka. Adalah kamma yang membedakan makhluk-makhluk sebagai hina dan mulia.” Sutta ini menjelaskan sehubungan dengan tujuh pasang kualitas berlawanan yang terjadi di antara orang-orang. Teks ini juga memperkenalkan perbedaan antara dua jenis konsekuensi yang dihasilkan oleh kamma tidak bermanfaat: yang lebih kuat adalah kelahiran kembali di alam yang buruk; yang lainnya adalah buah tidak menyenangkan di alam manusia, misalnya umur yang pendek bagi seseorang yang membunuh makhluk-makhluk hidup dalam kehidupan sebelumnya. Perbedaan serupa juga terdapat pada konsekuensi yang dihasilkan oleh kamma bermanfaat: yang lebih kuat adalah kelahiran kembali di alam surga; yang lain adalah buah menyenangkan di alam manusia.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB V)
« Reply #35 on: 14 November 2011, 09:51:25 PM »
Bagian berikutnya membahas tentang jasa (puñña), kamma bermanfaat yang mampu menghasilkan akibat yang menyenangkan di dalam lingkaran kelahiran kembali. Jasa menghasilkan manfaat-manfaat duniawi, seperti kelahiran kembali yang baik, kekayaan, kecantikan, dan keberhasilan. Jasa juga berfungsi sebagai kondisi pendukung pada manfaat adi-duniawi. Karena itu, seperti terlihat dalam Teks V, 2(1), Sang Buddha mendorong para siswaNya agar mengembangkan jasa, dengan merujuk pada pengembangan jasa yang Beliau lakukan selama banyak kehidupan lampau sebagai contoh.

Nikāya-nikāya secara ringkas menguraikan jenis-jenis jasa dalam tiga “landasan perbuatan baik” (puññakiriyavatthu): memberi, disiplin moral, dan meditasi. Teks V, 2(2) menghubungkan landasan-landasan jasa dengan jenis-jenis kelahiran kembali ke mana jasa itu mengarahkan. Dalam konteks religius di India, praktik perbuatan baik berkisar pada keyakinan pada objek-objek tertentu yang dianggap keramat dan secara spiritual berkuasa, mampu berfungsi sebagai pendukung untuk memperoleh jasa. Bagi para pengikut ajaran Buddha, hal ini adalah Tiga Permata: Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Teks V, 2(3) memuji hal ini sebagai yang tertinggi dalam bidangnya masing-masing. Sang Buddha adalah yang tertinggi di antara manusia, Dhamma adalah yang tertinggi di antara ajaran-ajaran, dan Saṅgha adalah yang tertinggi di antara komunitas-komunitas religius. Teks memberikan dua perbedaan menarik dari permata Dhamma: di antara segala hal yang terkondisi (dhammā saṅkhatā), Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah yang tertinggi; di antara segala hal yang terkondisi atau tidak terkondisi (dhammā sankhatā vā asaṅkhatā va), Nibbāna adalah yang tertinggi. Hanya sekedar memiliki keyakinan pada Tiga Permata, yaitu, kepercayaan dan pengabdian penuh penghormatan terhadap Tiga Permata, adalah landasan jasa; tetapi seperti yang dijelaskan oleh syair dalam sutta, Sang Buddha dan Saṅgha juga berfungsi sebagai penerima persembahan, dan dalam peran ini mereka memungkinkan para donor untuk memperoleh jasa yang mengarah pada pemenuhan keinginan baik mereka. Lebih lanjut akan dijelaskan tentang aspek jasa ini di bawah.

Bagian berikutnya dalam bab ini menjelaskan tiga landasan jasa secara individual, dimulai dengan bagian 3 dengan memberi atau kedermawanan (dāna). Sang Buddha sering memperlakukan perbuatan memberi sebagai kebajikan yang paling dasar dalam kehidupan suci, karena memberi berfungsi untuk memecahkan kerangka berpikir egosentris yang mendasari sikap kita dalam berinteraksi dengan orang lain. Akan tetapi, berlawanan dengan apa yang mungkin diharapkan oleh pembaca Barat, “memberi” pada Buddhisme Awal bukan sekedar derma sukarela kepada si miskin dan malang. Walaupun ini juga termasuk, namun praktik memberi memiliki makna yang lebih spesifik pada konteks yang berakar dalam struktur sosial keagamaan India. Di India pada masa Sang Buddha, mereka yang berusaha mengukur kebenaran-kebenaran kehidupan yang terdalam dan mencapai kebebasan dari lingkaran kelahiran dan kematian umumnya meninggalkan rumah dan keluarga, melepaskan tempat mereka yang aman dalam kelompok sosial India yang saling terikat, dan mengadopsi kehidupan menyusahkan dari seorang pengembara tanpa rumah. Dengan kepala gundul atau rambut kusut, mengenakan jubah kuning atau putih atau bepergian telanjang, mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa tempat tinggal tetap, kecuali selama tiga bulan musim hujan, ketika mereka akan berdiam di gubuk-gubuk sederhana, gua-gua, atau tempat tinggal lainnya. Para pengembara tanpa rumah demikian, dikenal sebagai samaṇa (“petapa”) atau paribbājaka (“pengembara”), tidak melakukan pelayanan komersial apapun melainkan bergantung pada derma dari para perumah-tangga untuk penghidupan mereka. Para pengikut awam menyediakan barang-barang keperluan untuk mereka – jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan – melakukannya dengan keyakinan bahwa pelayanan demikian adalah sumber jasa yang akan membantu mereka maju beberapa langkah lebih jauh ke arah pembebasan akhir.

Ketika Sang Buddha tampil dalam adegan ini, Beliau mengadopsi gaya hidup ini bagi diriNya sendiri. Begitu Beliau memulai pekerjaanNya sebagai seorang guru spiritual, Beliau mendirikan Saṅgha dengan prinsip yang sama: bhikkhu dan bhikkhunī, hanya bergantung pada derma dari orang lain sebagai penyokong materi mereka, dan mereka akan membalas dengan mempersembahkan  kepada para donor persembahan Dhamma yang lebih berharga, ajaran jalan agung yang menuntun menuju kebahagiaan, kedamaian, dan kebebasan akhir. Teks V, 3(5) membuktikan prinsip saling menyokong ini. Dengan menerima persembahan dari umat awam, kaum monastik memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperoleh jasa. Karena volume jasa yang dihasilkan melalui perbuatan memberi dianggap setimpal sesuai kelayakan si penerima, jika si penerima adalah Sang Buddha dan mereka yang mengikuti jejakNya, maka jasa yang dihasilkan menjadi tidak terukur (baca MN 142, tidak termasuk dalam buku ini). Karena alasan ini, sāvakasaṅgha, komunitas spiritual para siswa mulia, disebut “ladang jasa yang tiada taranya di dunia” (anuttaraṃ puññakhettaṃ lokassa).  [8] Persembahan kepada Saṅgha, dikatakan, menghasilkan berkah yang besar; menuntun ke arah kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang untuk waktu yang lama dan dapat menghasilkan kelahiran kembali di alam surga. Tetapi Teks V, 3(6) mengingatkan kita, hal ini benar “hanya bagi orang yang memiliki moral yang murni, bukan bagi orang yang tidak bermoral.”

Hal ini menuntun pada landasan jasa berikutnya, “disiplin moral” (sīla), yang bagi Buddhisme Awal memerlukan pelaksanaan aturan-aturan. Tuntunan moral yang paling dasar yang ditanamkan dalam Nikāya-nikāya adalah lima aturan, aturan latihan menghindari membunuh, menghindari mencuri, menhindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berkata bohong, dan menghindari meminum minuman memabukkan. Hal-hal ini disebut dalam Teks V, 4(1), yang, dengan permainan terminologi yang menarik, patut disebutkan sebagai “persembahan yang murni, tradisional, kuno,” dengan demikian secara implisit memasukkan sīla dalam dāna. Alasan dari pelaksanaan aturan sebagai satu bentuk pemberian adalah karena seseorang yang menjalankan aturan akan “memberikan kepada tidak terhitung banyaknya makhluk kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan penindasan,” dan sebagai konsekuensi kamma “ia sendiri akan menikmati kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan penindasan yang tidak terhingga.”

Ketika Sang Buddha mendorong pelaksanaan lima aturan kepada umat awam sebagai kewajiban sepanjang waktu, Beliau merekomendasikan jenis praktik moral yang lebih keras pada hari Uposatha, hari pelaksanaan aturan yang ditentukan oleh kalender lunar: hari bulan-purnama, hari bulan-baru, dan dua hari bulan setengah. (Dari keempat ini, di negara-negara Buddhis masa kini hanya hari bulan-purnama yang diberikan prioritas.) Pada kesempatan-kesempatan ini, umat-umat awam yang taat akan menjalankan delapan aturan; lima yang biasa, tetapi dengan yang ke tiga berubah menjadi sama sekali menghindari hubungan seksual; ditambah dengan tiga aturan lainnya yang menyerupai aturan latihan bagi samaṇera atau samaṇerī. Delapan aturan, diuraikan dalam Teks V, 4(2), menambah latihan dalam sīla sebagai suatu pelaksanaan moral dengan latihan pengendalian-diri, kesederhanaan, dan kepuasan. Dalam hal ini mereka mempersiapkan siswa untuk latihan pikiran dalam praktik meditasi, landasan jasa ke tiga.

Praktik meditasi bukan hanya inti dari jalan menuju kebebasan tetapi juga sebuah sumber jasa itu sendiri. Praktik meditasi yang bermanfaat, bahkan yang tidak secara langsung mengarah menuju pendangan terang, akan membantu memurnikan kekotoran batin pada tingkat yang lebih kasar dan membuka dimensi kemurnian dan cahaya potensial batin. Teks V, 5(1) menyatakan bahwa jenis meditasi yang paling berbuah untuk menghasilkan jasa duniawi adalah pengembangan cinta-kasih (mettabhāvanā). Akan tetapi, praktik cinta-kasih, hanyalah satu di antara kelompok empat meditasi yang disebut “kediaman brahma” (brahmavihāra) atau “kondisi tanpa batas” (appamaññā): pengembangan cinta-kasih, belas-kasih, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan, yang harus diperluas kepada semua makhluk hidup. Secara singkat, cinta-kasih (mettā) adalah harapan bagi kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk; belas kasih (karuṇa), perasaan empati kepada semua yang mengalami penderitaan; kegembiraan altruistik (muditā), perasaan bahagia pada keberhasilan dan keberuntungan makhluk lain; dan keseimbangan (upekkhā), reaksi seimbang pada kegembiraan dan kesengsaraan, yang melindungi seseorang dari gejolak emosional.

Meditasi-meditasi ini dikatakan sebagai cara-cara untuk kelahiran kembali di alam brahma; baca Teks V, 5(2). Sementara para brahmana menganggap alam brahma adalah pencapaian tertinggi, bagi Sang Buddha alam itu hanyalah salah satu alam kelahiran kembali yang luhur. Akan tetapi, konsentrasi yang muncul dari meditasi ini, juga dapat digunakan sebagai suatu landasan untuk melatih kebijaksanaan pandangan terang, dan pandangan terang memuncak pada kebebasan. Teks V, 5(3), teks terakhir dalam bab ini, menggolongkan jenis-jenis jasa berbeda menurut buahnya: dari memberi (dengan berbagai jenis pemberian yang dikelompokkan menurut status spiritual si penerima) melalui penerimaan perlindungan dan kelima aturan hingga meditasi cinta-kasih. Kemudian, di akhirnya, menyatakan bahwa perbuatan yang paling berbuah di antara semuanya adalah persepsi ketidak-kekalan. Akan tetapi, persepsi ketidak-kekalan, adalah bagian dari kelompok lain. Hal ini menjadi begitu berbuah bukan karena menghasilkan akibat duniawi yang menyenangkan di dalam lingkaran kelahiran kembali, tetapi karena menuntun menuju kebijaksanaan pandangan terang yang memotong rantai belenggu dan membawa pencapaian kebebasan sepenuhnya, Nibbāna.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB V)
« Reply #36 on: 14 November 2011, 09:52:39 PM »
V. JALAN MENUJU KELAHIRAN KEMBALI YANG MENGUNTUNGKAN



1. HUKUM KAMMA

(1) Empat Jenis Kamma

“Ada, O para bhikkhu, empat jenis kamma ini yang dinyatakan olehKu setelah Aku menembusnya untuk diriKu sendiri melalui pengetahuan langsung. Apakah empat ini?

“Ada kamma gelap dengan hasil gelap; ada kamma terang dan hasil terang; ada kamma yang gelap dan terang dengan hasil yang gelap dan terang; ada kamma yang tidak gelap juga tidak terang, dengan hasil yang tidak gelap juga tidak terang, yang mengarah menuju hancurnya kamma.

“Dan apakah, para bhikkhu, kamma gelap dengan hasil gelap? Di sini, para bhikkhu, seseorang menghasilkan suatu bentukan kehendak jasmani, ucapan, atau pikiran yang menyebabkan penderitaan. Setelah melakukan itu, ia terlahir kembali di alam menderita. Ketika ia terlahir kembali di alam menderita, kontak yang menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh dengan kontak yang menyakitkan, ia mengalami suatu perasaan tidak menyenangkan, sangat menyakitkan, contohnya adalah apa yang dialami oleh  makhluk-makhluk di neraka. Ini disebut kamma gelap dengan hasil gelap.

“Dan apakah, para bhikkhu, kamma terang dengan hasil terang? Di sini, para bhikkhu, seseorang menghasilkan suatu bentukan kehendak jasmani, ucapan, atau pikiran yang tidak menyebabkan penderitaan. Setelah melakukan itu, ia terlahir kembali di alam yang tidak-menderita. Ketika ia terlahir kembali di alam yang tidak-menderita, kontak yang tidak-menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh dengan kontak yang tidak-menyakitkan, ia mengalami suatu perasaan tidak menyakitkan, sangat menyenangkan, contohnya adalah apa yang dialami oleh para deva dengan keagungan gilang-gemilang.  [9] Ini disebut kamma terang dengan hasil terang.

“Dan apakah, para bhikkhu, kamma gelap dan terang dengan hasil gelap dan terang? Di sini, para bhikkhu, seseorang menghasilkan suatu bentukan kehendak jasmani, ucapan, atau pikiran yang menyebabkan penderitaan dan bentukan kehendak jasmani, ucapan, atau pikiran yang tidak menyebabkan penderitaan. Setelah melakukan itu, ia terlahir kembali di alam menderita dan tidak menderita. Ketika ia terlahir kembali di alam menderita dan tidak-menderita, kontak yang menyakitkan dan tidak-menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh dengan kontak demikian, ia mengalami suatu perasaan menyakitkan dan tidak-menyakitkan, suatu campuran dan gabungan kenikmatan dan kesakitan, contohnya adalah apa yang dialami oleh  manusia dan beberapa deva dan beberapa makhluk di alam yang lebih rendah. Ini disebut kamma gelap dan terang dengan hasil gelap dan terang.

“Dan apakah, para bhikkhu, kamma yang tidak gelap juga tidak terang, dengan hasil tidak gelap juga tidak terang, yang mengarah menuju hancurnya kamma? Kehendak untuk meninggalkan kamma gelap dengan hasil gelap ini, dan untuk meninggalkan kamma terang dengan hasil terang, dan untuk meninggalkan kamma gelap dan terang dengan hasil gelap dan terang – ini disebut kamma yang tidak gelap juga tidak terang, dengan hasil tidak gelap juga tidak terang, yang mengarah menuju hancurnya kamma.  [10]

“Ini, para bhikkhu, adalah empat jenis kamma yang dinyatakan olehKu setelah Aku menembusnya untuk diriKu sendiri melalui pengetahuan langsung.”

(AN 4:232; II 230-32)

(2) Mengapa Makhluk-makhluk Mengembara Seperti yang Mereka Alami Setelah Kematian

1. Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara secara bertahap di Negeri Kosala bersama sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di desa brahmana Kosala bernama Sālā.

2. Para brahmana perumah-tangga dari Sālā mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengunjungi negeri Kosala bersama sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu dan telah tiba di Sālā. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant … [seperti pada Text III,2] … yang murni dan sempurna sepenuhnya.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

3. Kemudian para brahmana perumah-tangga dari Sālā mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi.

4. Ketika mereka telah duduk, mereka berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, apakah penyebab dan kondisi mengapa beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam yang tidak bahagia, di alam rendah, bahkan dalam neraka? Dan apakah penyebab dan kondisi mengapa beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, di alam surga?”

5. “Para perumah-tangga, adalah dengan alasan perilaku tidak baik, perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma, maka beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam yang tidak bahagia, di alam rendah, bahkan dalam neraka. Adalah dengan alasan perilaku yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma, maka beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, di alam surga.”

6. “Kami tidak memahami makna secara terperinci dari ucapan Guru Gotama, yang telah Beliau ucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci. Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan Dhamma kepada kami sehingga kami dapat memahami makna terperinci dari ucapan Beliau.”

“Maka, para perumah-tangga, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7. “Para perumah-tangga, terdapat tiga jenis perilaku jasmani yang tidak baik, perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma. Terdapat empat jenis perilaku ucapan yang tidak baik, perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma. Terdapat tiga jenis perilaku pikiran yang tidak baik, perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma.

8. “Dan bagaimanakah, para perumah-tangga, tiga jenis perilaku jasmani yang tidak baik, perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma? Di sini seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup; ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup. Ia mengambil apa yang tidak diberikan; ia mengambil harta dan kekayaan orang lain di desa atau hutan dengan cara mencuri. Ia melakukan hubungan seksual yang salah; ia melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu, ayah, ibu dan ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau sanak saudara mereka, yang memiliki suami, yang dilindungi oleh hukum, dan bahkan dengan mereka yang sudah bertunangan. Ini adalah tiga jenis perilaku jasmani yang tidak baik, perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma.

9. “Dan bagaimanakah, para perumah-tangga, empat jenis perilaku ucapan yang tidak baik, perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma? Di sini seseorang mengucapkan kebohongan; ketika dipanggil oleh pengadilan, atau dalam suatu pertemuan, atau di depan sanak saudaranya, atau oleh perkumpulannya, atau di depan anggota keluarga kerajaan, dan ditanya sebagai seorang saksi sebagai berikut: ‘Baiklah, tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat’; dengan penuh kesadaran ia mengatakan kebohongan demi keselamatan dirinya sendiri, atau demi keselamatan orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. Ia mengucapkan kata-kata fitnah; ia mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, atau ia mengulangi kepada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia adalah seorang yang memecah-belah mereka yang rukun, seorang pembuat perpecahan, yang menikmati perselisihan, bergembira dalam perselisihan, bersukacita dalam perselisihan, pengucap kata-kata yang menciptakan perselisihan. Ia berkata kasar; ia mengucapkan kata-kata yang kasar, keras, menyakiti orang lain, menghina orang lain, berbatasan dengan kemarahan, tidak menunjang konsentrasi. Ia adalah seorang penggosip; ia berbicara di waktu yang salah, mengatakan apa yang tidak benar, mengatakan hal yang tidak berguna, mengatakan yang berlawanan dengan Dhamma dan Disiplin; pada waktu yang salah ia mengucapkan kata-kata yang tidak berguna, tidak masuk akal, melampaui batas, dan tidak bermanfaat. Ini adalah empat jenis perilaku ucapan yang tidak baik, perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma.

10. “Dan bagaimanakah, para perumah-tangga, tiga jenis perilaku pikiran yang tidak baik, perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma? Di sini seseorang bersifat iri hati; ia iri pada kekayaan dan kemakmuran orang lain sebagai berikut: ‘oh, semoga apa yang menjadi milik orang lain menjadi milikku!’ Atau ia memiliki pikiran berniat buruk dan niat membenci sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini dibunuh dan dibantai, semoga mereka dipotong, musnah, atau dibasmi!’ Atau ia memiliki pandangan salah, penglihatan menyimpang, sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’  [11] Ini adalah tiga jenis perilaku pikiran yang tidak baik, perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma. Jadi, para perumah-tangga, adalah dengan alasan perilaku yang tidak baik demikian, perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma demikian, maka beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam yang tidak bahagia, di alam rendah, bahkan dalam neraka.

11. “Para perumah-tangga, terdapat tiga jenis perilaku jasmani yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma. Terdapat empat jenis perilaku ucapan yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma. Terdapat tiga jenis perilaku pikiran yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma.

12. “Dan bagaimanakah, para perumah-tangga, tiga jenis perilaku jasmani yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma? Di sini seseorang, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, ia menghindari pembunuhan makhluk hidup, dengan tongkat pemukul dan senjata disingkirkan, berhati-hati, penuh belas kasihan, ia berdiam dengan berbelas kasihan kepada semua makhluk hidup. Dengan meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan; ia tidak mengambil harta dan kekayaan orang lain di desa atau hutan dengan cara mencuri. Dengan meninggalkan perbuatan salah dalam kenikmatan indria, dengan meninggalkan hubungan seksual yang salah, ia menghindari melakukan hubungan seksual yang salah; ia tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu, ayah, ibu dan ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau sanak saudara mereka, yang memiliki suami, yang dilindungi oleh hukum, atau dengan mereka yang sudah bertunangan. Itu adalah tiga jenis perilaku jasmani yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma.

13. “Dan bagaimanakah, para perumah-tangga, empat jenis perilaku ucapan yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma? Di sini seseorang, dengan meninggalkan kebohongan, menghindari ucapan salah; ketika dipanggil oleh pengadilan, atau dalam suatu pertemuan, atau di depan sanak saudaranya, atau oleh perkumpulannya, atau di depan anggota keluarga kerajaan, dan ditanya sebagai seorang saksi sebagai berikut: ‘Baiklah, tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat’; ia tidak, dengan penuh kesadaran mengatakan kebohongan demi keselamatan dirinya sendiri, atau demi keselamatan orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. Dengan meninggalkan kata-kata fitnah, ia menghindari kata-kata fitnah; ia tidak mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, juga ia tidak mengulangi kepada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia adalah seorang yang merukunkan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persahabatan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, bersukacita dalam kerukunan, pengucap kata-kata yang menciptakan kerukunan. Dengan meninggalkan ucapan kasar, ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, dan indah, ketika masuk dalam batin, sopan, disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang. Dengan meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sebenarnya, mengatakan apa yang baik, membicarakan Dhamma dan Disiplin; pada saat yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, yang logis, selayaknya, dan bermanfaat. Ini adalah empat jenis perilaku ucapan yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma.

14. “Dan bagaimanakah, para perumah-tangga, tiga jenis perilaku pikiran yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma? Di sini seseorang tidak bersifat iri hati; ia tidak iri pada kekayaan dan kemakmuran orang lain sebagai berikut: ‘oh, semoga apa yang menjadi milik orang lain menjadi milikku!’ Pikirannya tanpa niat buruk dan ia memiliki kehendak yang bebas dari kebencian sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini bebas dari permusuhan, penderitaan, dan ketakutan! Semoga mereka hidup berbahagia!’ Ia memiliki pandangan benar, penglihatan yang tidak menyimpang, sebagai berikut: ‘Ada yang diberikan, ada yang dipersembahkan, ada yang dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini, ada dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Ini adalah tiga jenis perilaku pikiran yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma. Jadi, para perumah-tangga, adalah dengan alasan perilaku yang baik demikian, perilaku yang sesuai dengan Dhamma demikian maka beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.

15. “Jika, para perumah-tangga, seseorang yang melaksanakan perilaku yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma, berkehendak: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, aku muncul kembali di tengah-tengah para mulia yang kaya!’ itu adalah mungkin, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di tengah-tengah para mulia yang kaya. Mengapakah? Karena ia melaksanakan perilaku yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma.

16-17. “Jika, para perumah-tangga, seseorang yang melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik, berkehendak: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, aku muncul kembali di tengah-tengah para brahmana yang kaya! ... di tengah-tengah para perumah-tangga kaya!’ Itu adalah mungkin, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di tengah-tengah para perumah-tangga kaya. Mengapakah? Karena ia melaksanakan perilaku yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma.

18-42. “Jika, para perumah-tangga, seseorang yang melaksanakan perilaku yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma, berkehendak: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, aku muncul kembali di tengah-tengah para dewa di alam surga Empat Raja Dewa! ... di tengah-tengah para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga ... para dewa Yāma ... para dewa Tusita ... para dewa yang bergembira dalam penciptaan ... para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain ... para dewa pengikut Brahmā ... para dewa bercahaya ’ [12] ... para dewa dengan cahaya terbatas ... para dewa dengan cahaya tanpa batas ... para dewa dengan cahaya gilang-gemilang ... para dewa Agung ... para dewa dengan Keagungan terbatas ... para dewa dengan Keagungan tanpa batas ... para dewa dengan Keagungan gilang-gemilang ... para dewa berbuah besar ... para dewa Aviha ... para dewa Atappa ... para dewa Sudassa ... para dewa Sudassī ... para dewa Akaniṭṭha ... para dewa di alam landasan ruang tanpa batas ... para dewa di alam landasan kesadaran tanpa batas ... para dewa di alam landasan kekosongan ... para dewa di alam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi!’ itu adalah mungkin, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di tengah-tengah para dewa di alam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Mengapakah? Karena ia melaksanakan perilaku yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma.

43. “Jika, para perumah-tangga, seseorang yang melaksanakan perilaku yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma, berkehendak: ‘Oh, bahwa dengan menembus untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, semoga aku dapat di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam pembebasan pikiran dan pembebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda!’ Adalah mungkin bahwa, dengan menembus untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia dapat di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam pembebasan pikiran dan pembebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Mengapakah? Karena ia melaksanakan perilaku yang baik, perilaku yang sesuai dengan Dhamma.”  [13]

44. Ketika hal ini dikatakan, para brahmana perumah-tangga dari Sālā berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Kami berlindung pada Guru Gotama, pada Dhamma dan pada Saṅgha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama menerima kami sebagai pengikut awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

(MN 41: Sāleyyaka Sutta; I 286-90)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB V)
« Reply #37 on: 14 November 2011, 09:53:24 PM »
(3) Kamma dan Buahnya

1. Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian murid brahmana Subha, putera Todeyya, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

3. “Guru Gotama, apakah sebab dan kondisi mengapa manusia terlihat hina dan mulia? Orang-orang terlihat berumur pendek dan berumur panjang, berpenyakit dan sehat, cantik dan buruk rupa, berpengaruh dan tidak berpengaruh, miskin dan kaya, berkelahiran rendah dan berkelahiran tinggi, bodoh dan bijaksana. Apakah sebab dan kondisi, Guru Gotama, mengapa manusia terlihat hina dan mulia?”

4. “Murid, makhluk-makhluk adalah pemilik perbuatan mereka, pewaris perbuatan mereka, mereka berasal-mula dari perbuatan mereka, terhubung dengan perbuatan mereka, memiliki perbuatan mereka sebagai perlindungan mereka. Adalah perbuatan yang membedakan makhluk-makhluk sebagai hina dan mulia.”

“Aku tidak memahami secara terperinci makna dari penyataan Guru Gotama, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci. Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan Dhamma kepadaku agar aku dapat memahami secara terperinci makna dari pernyataan Guru Gotama.”

“Maka, Murid, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Tuan,” Subha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

5. “Di sini, murid, Di sini seorang laki-laki atau perempuan membunuh makhluk-makhluk hidup dan  ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang buruk, di alam rendah, di neraka. Tetapi jika ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak muncul kembali dalam kondisi menderita, bukan di alam tujuan kelahiran yang buruk, tidak di alam rendah, tidak di neraka, melainkan kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berumur pendek.  [14] Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada umur yang pendek, yaitu, seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup dan  ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup.

6. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat pemukul dan senjata disingkirkan, berhati-hati dan penuh belas kasihan, ia berdiam dengan berbelas-kasih pada semua makhluk hidup. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, di alam surga. Tetapi jika ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak muncul kembali di alam bahagia, tidak di alam surga, melainkan kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berumur panjang.  [15] Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada umur yang panjang, yaitu, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, ia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat pemukul dan senjata disingkirkan, berhati-hati dan penuh belas kasihan, ia berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup.

7. “Di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berpenyakit. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada penyakit, yaitu, seseorang yang terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau.

8. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan sehat. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kesehatan, yaitu, seseorang yang tidak terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau.

9. “Di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan memiliki karakter pemarah dan mudah tersinggung; bahkan jika dikritik sedikit, ia menjadi tersinggung, menjadi marah, bermusuhan, dan membenci, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan memiliki rupa yang buruk. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada rupa yang buruk, yaitu, seseorang yang memiliki karakter pemarah … dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam.

10. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak memiliki karakter pemarah dan tidak mudah tersinggung; bahkan jika banyak dikritik, ia tidak menjadi tersinggung, tidak menjadi marah, tidak bermusuhan, dan tidak membenci, dan tidak menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan memiliki rupa yang cantik. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada rupa yang cantik, yaitu, seseorang yang tidak memiliki karakter pemarah … dan tidak menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam.

11. “Di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan bersifat iri, seorang yang iri-hati, sakit hati, dan iri akan perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia tidak akan memiliki pengaruh. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada ketiadaan pengaruh, yaitu, seseorang yang bersifat iri … terhadap perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain.

12. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak bersifat iri, seorang yang tidak iri-hati, tidak sakit hati, dan tidak iri akan perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan memiliki pengaruh. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kepemilikan pengaruh, yaitu, seseorang yang tidak bersifat iri … terhadap perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain.

13. “Di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak memberikan makanan, minuman, pakaian, kereta, kalung bunga, wangi-wangian, salep, tempat tidur, tempat tinggal, dan pelita kepada para petapa atau para brahmana. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan menjadi miskin. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kemiskinan, yaitu, seseorang tidak memberikan makanan … dan pelita kepada para petapa atau para brahmana.

14. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan memberikan makanan … dan pelita kepada para petapa atau para brahmana. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan menjadi kaya. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kekayaan, yaitu, seseorang memberikan makanan … dan pelita kepada para petapa atau para brahmana.

15. “Di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan keras kepala dan sombong; ia tidak memberi hormat kepada seorang yang selayaknya menerima penghormatan, tidak bangkit berdiri untuk seseorang yang karena kehadirannya seharusnya ia bangkit berdiri, tidak memberikan tempat duduk kepada ia yang layak menerima tempat duduk, tidak memberi jalan untuk seseorang yang seharusnya ia beri jalan, dan tidak menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berkelahiran rendah. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kelahiran rendah, yaitu, sifat keras kepala dan sombong … dan tidak menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.

16. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak keras kepala dan tidak sombong; ia memberi hormat kepada seorang yang selayaknya menerima penghormatan, bangkit berdiri untuk seseorang yang karena kehadirannya seharusnya ia bangkit berdiri, memberikan tempat duduk kepada ia yang layak menerima tempat duduk, memberi jalan untuk seseorang yang seharusnya ia beri jalan, dan menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berkelahiran tinggi. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kelahiran tinggi, yaitu, sifat tidak keras kepala dan tidak sombong … dan memghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.

17. “Di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan bertanya: ‘Yang Mulia, apakah yang bermanfaat? Apakah yang tidak bermanfaat? Apakah yang tercela? Apakah yang tidak tercela? Apakah yang harus dilatih? Apakah yang tidak boleh dilatih? Perbuatan apakah yang mengarah pada bahaya dan penderitaanku untuk waktu yang lama? Perbuatan apakah yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama? Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan menjadi bodoh. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kebodohan, yaitu, seseorang tidak mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan demikian.

18. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan bertanya: ‘Yang Mulia, apakah yang bermanfaat? … Perbuatan apakah yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama? Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan menjadi bijaksana. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kebijaksanaan, yaitu, seseorang mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan demikian.

19. “Demikianlah, murid, jalan yang mengarah pada umur yang pendek menyebabkan orang-orang menjadi berumur pendek, jalan yang mengarah pada umur yang panjang menyebabkan orang-orang menjadi berumur panjang; jalan yang mengarah pada penyakit menyebabkan orang-orang menjadi berpenyakit, jalan yang mengarah pada kesehatan menyebabkan orang-orang menjadi sehat; jalan yang mengarah pada rupa yang buruk menyebabkan orang-orang menjadi buruk rupa, jalan yang mengarah pada rupa yang cantik menyebabkan orang-orang menjadi cantik; jalan yang mengarah pada ketiadaan pengaruh menyebabkan orang-orang  menjadi tidak berpengaruh, jalan yang mengarah pada kepemilikan pengaruh menyebabkan orang-orang menjadi berpengaruh; jalan yang mengarah pada kemiskinan menyebabkan orang-orang menjadi miskin, jalan yang mengarah pada kekayaan menyebabkan orang-orang menjadi kaya; jalan yang mengarah pada kelahiran rendah menyebabkan orang-orang menjadi berkelahiran rendah, jalan yang mengarah pada kelahiran tinggi menyebabkan orang-orang menjadi berkelahiran tinggi; jalan yang mengarah pada kebodohan menyebabkan orang-orang menjadi bodoh, jalan yang mengarah pada kebijaksanaan menyebabkan orang-orang menjadi bijaksana.

20. “Makhluk-makhluk adalah pemilik perbuatan mereka, pewaris perbuatan mereka, mereka berasal-mula dari perbuatan mereka, terhubung dengan perbuatan mereka, memiliki perbuatan mereka sebagai perlindungan mereka. Adalah perbuatan yang membedakan makhluk-makhluk sebagai hina dan mulia.”

21. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Subha, putera Todeyya, berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! ... [seperti pada Teks sebelumnya] ... Sudilah Guru Gotama menerimaku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga seumur hidup.”

(MN 135: Cūḷakammavibhaṅga Sutta; III 202-6)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB V)
« Reply #38 on: 14 November 2011, 09:54:05 PM »
2. JASA: KUNCI MENUJU KEBERUNTUNGAN

(1) Perbuatan Baik

“Para bhikkhu, jangan takut pada perbuatan baik. Ini adalah ungkapan yang menunjukkan kebahagiaan, apa yang disukai, diharapkan, disayangi, dan menyenangkan, yaitu, perbuatan baik. Karena Aku mengetahui sepenuhnya, para bhikkhu, bahwa untuk waktu yang lama Aku mengalami akibat yang disukai, diharapkan, disayangi, dan menyenangkan dari banyak melakukan perbuatan baik.

“Setelah selama tujuh tahun melatih pikiran cinta kasih, selama tujuh kappa penyusutan dan pengembangan Aku tidak kembali ke dunia ini. Ketika kappa menyusut Aku mencapai alam cahaya gilang-gemilang, dan ketika kappa mengembang Aku muncul di sebuah istana surgawi kosong, dan di sana Aku adalah Brahmā, Mahā Brahmā, pemenang tak tertaklukkan, maha melihat, maha kuasa. Tiga puluh enam kali Aku menjadi Sakka, penguasa para deva. Dan ratusan kali Aku menjadi Raja Pemutar Roda, bajik, seorang raja kebaikan, penakluk empat penjuru dunia, memelihara kestabilan di bumi, memiliki tujuh pusaka. Apa lagi yang perlu dikatakan sehubungan dengan kerajaan lokal?

“Aku berpikir, para bhikkhu, dengan heran: ‘perbuatan apakah yang Kulakukan sehingga berbuah ini? Perbuatan apakah yang masak sehingga Aku memiliki pencapaian dan kekuasaan yang begitu besar?’ Dan kemudian aku berpikir: ‘Ini adalah buah dari tiga jenis perbuatanKu, masaknya tiga jenis perbuatan sehingga aku sekarang memiliki pencapaian dan kekuasaan besar: perbuatan memberi, penguasaan-diri, dan pengendalian.’”

(It 22: 14-15)

(2) Tiga Landasan Jasa

“Ada, O para bhikkhu, tiga cara melakukan jasa. Apakah tiga ini? Ada cara melakukan jasa dengan memberi, dengan disiplin moral, dan dengan pengembangan meditasi.

“Ada seseorang yang berlatih melakukan jasa dengan memberi hanya pada tingkat yang terbatas; dan, demikian pula pada tingkat terbatas, ia melakukan jasa dengan disiplin moral; tetapi ia tidak melakukan jasa melalui meditasi. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali di antara manusia dengan kondisi yang tidak menyenangkan.

“Seorang lainnya melakukan jasa dengan memberi serta dengan disiplin moral pada tingkat yang tinggi; tetapi ia tidak melakukan jasa melalui meditasi. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali di antara manusia dengan kondisi yang menyenangkan.

“Atau ia akan terlahir kembali di antara para deva di alam Empat raja Deva. Dan di sana, Empat Raja Deva, yang telah melakukan jasa melalui memberi dan melalui disiplin moral pada tingkat yang sangat tinggi, melampaui para deva lainnya di alam itu dalam sepuluh hal: dalam umur kehidupan surgawi, dalam kecantikan, dalam kebahagiaan, kemasyhuran, kekuasaan; dan dalam penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan sentuhan surgawi.

“Atau ia akan terlahir kembali di antara para deva Tāvatiṃsa. Dan di sana, Sakka, penguasa para deva, yang telah melakukan jasa melalui memberi dan melalui disiplin moral pada tingkat yang sangat tinggi, melampaui para deva lainnya di alam itu dalam sepuluh hal: dalam umur kehidupan surgawi, dalam kecantikan, dalam kebahagiaan, kemasyhuran, kekuasaan; dan dalam penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan sentuhan surgawi.

[Pernyataan serupa dinyatakan untuk kelahiran kembali di antara para deva Yāma, para deva Tusita, para deva yang bergembira dalam penciptaan, para deva yang menguasai penciptaan para deva lainnya, dan untuk masing-masing penguasa dari alam-alam deva ini.]

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga cara melakukan jasa.”

(AN 8:36; IV 241-43)

(3) Jenis Keyakinan Terbaik

“Para bhikhu, ada empat jenis keyakinan terbaik ini. Apakah empat ini?

“Di antara makhluk-makhluk manapun juga, baik yang tanpa kaki atau berkaki dua, empat kaki, ataupun banyak kaki, baik yang memiliki bentuk ataupun tanpa bentuk, baik yang memiliki persepsi, tanpa persepsi, ataupun bukan memiliki persepsi juga bukan tanpa persepsi, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna dinyatakan sebagai yang terbaik di antara semuanya. Mereka yang memiliki keyakinan pada Sang Buddha memiliki keyakinan pada yang terbaik, dan bagi mereka yang memiliki keyakinan pada yang terbaik, maka hasilnya juga adalah terbaik.

“Di antara hal-hal apapun juga yang terkondisi, Jalan Mulia Berunsur Delapan dinyatakan sebagai yang terbaik di antaranya. Mereka yang memiliki keyakinan pada Jalan Mulia Berunsur Delapan memiliki keyakinan pada yang terbaik, dan bagi mereka yang  memiliki keyakinan pada yang terbaik, maka hasilnya juga adalah terbaik.

“Di antara hal-hal apapun juga apakah yang terkondisi ataupun tidak terkondisi, kebebasan dari nafsu dinyatakan sebagai yang terbaik di antara semuanya, yaitu, tergilasnya keangkuhan, lenyapnya kehausan, tercabutnya kemelekatan, terhentinya lingkaran, hancurnya nafsu, kebebasan dari nafsu, lenyapnya, Nibbāna. Mereka yang memiliki keyakinan pada Dhamma memiliki keyakinan yang terbaik, dan bagi mereka yang  memiliki keyakinan pada yang terbaik, maka hasilnya juga adalah terbaik.

“Di antara semua komunitas atau kelompok, Saṅgha para siswa Sang Tathāgata dinyatakan sebagai yang terbaik di antara semuanya, yaitu, empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramah-tamahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang jasa yang tiada taranya di dunia. Mereka yang memiliki keyakinan pada Saṅgha memiliki keyakinan yang terbaik, dan bagi mereka yang  memiliki keyakinan pada yang terbaik, maka hasilnya juga adalah terbaik.”

   Bagi mereka yang memiliki keyakinan sebagai yang terbaik,
   Bagi mereka yang memahami Dhamma terbaik,
   Bagi mereka yang memiliki keyakinan pada Buddha,
   Yang tidak tertandingi yang layak menerima persembahan;
   Bagi mereka yang memiliki keyakinan pada Dhamma,
   Dalam kebebasan dari nafsu yang penuh kebahagiaan;
   Bagi mereka yang memiliki keyakinan pada Saṅgha,
   Ladang jasa yang tiada taranya;
   Bagi mereka yang memberikan pemberian terbaik,
   Jenis jasa terbaik meningkat;
   Umur kehidupan, kecantikan, dan kemasyhuran terbaik,
   Reputasi baik, kebahagiaan, dan kekuatan.
   Apakah ia menjadi deva atau manusia,
   Sang bijaksana yang memberikan yang terbaik,
   Berkonsentrasi pada Dhamma terbaik,
   Bergembira ketika ia mencapai yang terbaik.

(AN 4:34; II 34-35)

3. MEMBERI

(1) Jika Orang-orang Mengetahui Akibat dari Memberi

“O para bhikkhu, jika orang-orang mengetahui, seperti Aku mengetahui, akibat dari memberi dan berbagi, maka mereka tidak akan makan sebelum memberi, juga mereka tidak akan membiarkan noda kekikiran menguasai mereka dan berakar dalam batin mereka. Bahkan jika itu adalah makanan terakhir, suapan terakhir mereka, mereka tidak akan memakannya sebelum membaginya, jika ada orang lain untuk berbagi. Tetapi, para bhikkhu, karena orang-orang tidak mengetahui, seperti Aku mengetahui, akibat dari memberi dan berbagi, maka mereka makan tanpa memberikan, dan noda kekikiran menguasai mereka dan berakar dalam batin mereka.”

(It 26; 18-19)

(2) Alasan-alasan Memberi
 
“Ada, O para bhikkhu, delapan alasan memberi. Apakah delapan ini? Orang-orang membeṛi karena kasih sayang; atau dalam suasana marah; atau karena kebodohan; atau karena ketakutan, atau dengan pikiran: ‘Pemberian demikian telah dilakukan oleh ayah dan kakekku dan telah dilakukan oleh mereka sebelumnya; karena itu adalah tidak selayaknya jika aku meninggalkan tradisi keluarga ini’; atau dengan pikiran ‘Dengan memberikan pemberian ini, aku akan terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga, setelah kematian’; atau dengan pikiran, ‘Ketika memberikan pemberian ini, hatiku akan gembira, dan kebahagiaan dan kegembiraan akan muncul dalam diriku’; atau ia memberi karena hal itu memuliakan dan menghias batinnya.”

(AN 8:33; IV 236-37)

(3) Pemberian Makanan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Koliya, di sebuah pemukiman bernama Sajjanela. Suatu pagi Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa jubah atas dan mangkuknya, dan pergi ke kediaman Suppavāsā, seorang nyonya Koliya. Setelah sampai di sana, Beliau duduk di tempat yang telah disediakan untukNya. Sang nyonya Koliya Suppavāsā melayani Sang Bhagavā secara pribadi dengan berbagai jenis makanan lezat. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menarik tangannya dari mangkuk, sang nyonya Koliya Suppavāsā duduk di satu sisi, dan Sang Bhagavā berkata kepadanya sebagai berikut:

“Suppavāsā, seorang siswa perempuan mulia, dengan memberikan makanan, memberikan empat hal kepada mereka yang menerimanya. Apakah empat ini? Ia memberikan usia panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan. Dengan memberikan usia panjang, ia sendiri akan memperoleh usia yang panjang, manusiawi atau surgawi. Dengan memberikan kecantikan, ia sendiri akan memperoleh kecantikan, manusiawi atau surgawi. Dengan memberikan kebahagiaan, ia sendiri akan memperoleh kebahagiaan, manusiawi atau surgawi. Dengan memberikan kekuatan, ia sendiri akan memperoleh kekuatan, manusiawi atau surgawi. Seorang siswa perempuan mulia, dengan memberikan makanan, memberikan empat hal kepada mereka yang menerimanya.

(AN 4:57; II 62-63)

(4) Persembahan Seorang Besar

“Ada, O para bhikkhu, lima persembahan dari seorang besar. Apakah lima ini?

“ia memberikan persembahan karena keyakinan; ia memberikan persembahan dengan penuh hormat; ia memberikan persembahan pada waktu yang tepat; ia memberikan persembahan dengan hati dermawan; ia memberikan persembahan tanpa merendahkan.

“Karena ia memberikan persembahan karena keyakinan, di manapun akibat dari persembahan itu masak ia akan menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan ia akan menjadi tampan, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa.

“Karena ia memberikan persembahan dengan penuh hormat, di manapun akibat dari persembahan itu masak ia akan menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan anak-anak dan istri-istrinya, budak-budaknya, kurir-kurirnya, para pekerjanya akan patuh, mendengarkannya, dan mencurahkan perhatian mereka untuk memahaminya.

“Karena ia memberikan persembahan pada waktu yang tepat, di manapun akibat dari persembahan itu masak ia akan menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan keuntungan-keuntungan akan menghampirinya pada waktu yang tepat, dalam jumlah berlimpah.

“Karena ia memberikan persembahan dengan hati dermawan, di manapun akibat dari persembahan itu masak ia akan menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan batinnya condong pada kenikmatan hal-hal yang baik di antara kelima utas kenikmatan indria.

“Karena ia memberikan persembahan tanpa merendahkan dirinya dan orang lain,  di manapun akibat dari persembahan itu masak ia akan menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan tidak ada kehilangan kekayaannya dari penjuru manapun apakah dari api, banjir, raja, penjahat-penjahat, atau dari pewaris yang tidak disukai.

“Ini, para bhikkhu, adalah lima persembahan seorang besar.”

(AN 5:148; III 172-73)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB V)
« Reply #39 on: 14 November 2011, 09:54:56 PM »
(5) Saling Menyokong

“Para bhikkhu, para brahmana dan para perumah-tangga adalah sangat membantu bagi kalian. Mereka memberikan kepada kalian benda-benda kebutuhan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan ketika sakit. Dan kalian, para bhikkhu, adalah sangat membantu bagi para brahmana dan para perumah-tangga, ketika kalian mengajarkan Dhamma kepada mereka yang indah di awal, di pertengahan, dan di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, dan kalian menyatakan kehidupan spiritual secara lengkap dan murni sepenuhnya. Demikianlah, para bhikkhu, kehidupan spiritual ini dijalani dengan saling menyokong demi tujuan menyeberangi banjir dan mengakhiri penderitaan sepenuhnya.”

(It 107; 111)

(6) Kelahiran Kembali Karena Memberi

“Ada, O para bhikkhu, delapan jenis kelahiran kembali karena memberi. Apakah delapan ini?

“Di sini, para bhikkhu, seseorang memberikan persembahan kepada seorang petapa atau seorang brahmana, mempersembahkan kepadanya makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan; kalung bunga, wewangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Dalam memberikan persembahan, ia mengharapkan imbalan. Sekarang ia melihat para mulia, para brahmana, atau para perumah-tangga yang kaya yang menikmati lima objek kenikmatan indria, dan ia berpikir: ‘Oh, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, semoga aku terlahir kembali di antara mereka!’ dan ia mengarahkan pikirannya pada gagasan tersebut, memegangnya dengan kokoh, dan mengembangkannya. Pikirannya ini bertujuan pada apa yang rendah, dan jika tidak dikembangkan pada apa yang lebih tinggi maka hal ini akan menuntunnya pada kelahiran kembali demikian. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali di antara para mulia, para brahmana, atau para perumah-tangga yang kaya. Akan tetapi, ini, Aku nyatakan hanya untuk ia yang bermoral murni, bukan untuk yang tidak bermoral; karena adalah disebabkan oleh kemurnian ini, para bhikkhu, maka keinginan dari seorang yang bermoral murni berhasil.  [16]

“Kemudian, seseorang memberikan persembahan kepada seorang petapa atau seorang brahmana, mempersembahkan kepadanya makanan … atau penerangan. Dalam memberikan persembahan, ia mengharapkan imbalan. Sekarang ia mendengar tentang usia panjang, kecantikan dan kebahagiaan luar biasa dari para deva di alam Empat Raja Dewa … para deva Tāvatiṃsa … para deva Yāma … para deva Tusita … para deva yang bergembira dalam penciptaan … para deva yang menguasai ciptaan para deva lain, dan ia berharap agar terlahir kembali di tengah-tengah mereka. ia mengarahkan pikirannya pada gagasan tersebut, memegangnya dengan kokoh, dan mengembangkannya. Pikirannya ini bertujuan pada apa yang rendah, dan jika tidak dikembangkan pada apa yang lebih tinggi maka hal ini akan menuntunnya pada kelahiran kembali demikian. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali di antara para deva di alam Empat Raja Dewa … atau di antara para deva yang menguasai ciptaan para deva lain. Akan tetapi, ini, Aku nyatakan hanya untuk ia yang bermoral murni, bukan untuk yang tidak bermoral; karena adalah disebabkan oleh kemurnian ini, para bhikkhu, maka keinginan dari seorang yang bermoral murni berhasil.

“Kemudian, seseorang memberikan persembahan kepada seorang petapa atau seorang brahmana, mempersembahkan kepadanya makanan … atau penerangan. Sekarang ia mendengar tentang usia panjang, kecantikan dan kebahagiaan luar biasa dari para deva pengikut Brahmā, dan ia berharap agar terlahir kembali di tengah-tengah mereka. Ia mengarahkan pikirannya pada gagasan tersebut, memegangnya dengan kokoh, dan mengembangkannya. Pikirannya ini bertujuan pada apa yang rendah, dan jika tidak dikembangkan pada apa yang lebih tinggi maka hal ini akan menuntunnya pada kelahiran kembali demikian. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali di antara para deva pengikut Brahmā. Akan tetapi, ini, Aku nyatakan hanya untuk yang bermoral murni, bukan untuk yang tidak bermoral; hanya untuk seorang yang bebas dari nafsu, bukan untuk seorang yang penuh nafsu.  [17] Karena ia tanpa nafsu, para bhikkhu, maka keinginan dari seorang yang bermoral murni berhasil.

“Ini, para bhikkhu, adalah delapan jenis kelahiran kembali karena memberi.”

(AN 8:35; IV 239-41)

4. DISIPLIN MORAL

(1) Lima Aturan

“Ada, O para bhikkhu, delapan arus jasa, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan, yang bersifat surgawi, masak dalam kebahagiaan, mendorong menuju ke surga, menuntun kepada apapun yang diinginkan, dicintai, dan disenangi, yang menuntun ke arah kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang. Apakah delapan ini?

“Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia berlindung pada Sang Buddha. Ini adalah arus jasa pertama, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan, yang bersifat surgawi, masak dalam kebahagiaan, mendorong menuju ke surga, yang menuntun kepada apapun yang  diinginkan, dicintai, dan disenangi, menuntun ke arah kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang.

“Kemudian, seorang siswa mulia berlindung pada Dhamma. Ini adalah arus jasa ke dua … yang menuntun kepada apapun yang  diinginkan, dicintai, dan disenangi, menuntun ke arah kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang.

“Kemudian, seorang siswa mulia berlindung pada Saṅgha. Ini adalah arus jasa ke tiga … yang menuntun kepada apapun yang  diinginkan, dicintai, dan disenangi, menuntun ke arah kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang.

“Lebih lanjut ada lagi, para bhikkhu, kelima pemberian ini – murni, telah ada sejak lama, tradisional, kuno, tidak ternoda dan tidak pernah ternoda sebelumnya, tidak sedang ternoda dan tidak akan ternoda, tidak direndahkan oleh para petapa dan brahmana bijaksana. Apakah lima pemberian ini?

“Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia menghentikan perbuatan menghancurkan kehidupan dan menghindarinya. Dengan menghindari menghancurkan kehidupan, siswa mulia itu memberikan kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan penindasan kepada tidak terhitung banyaknya makhluk. Dengan memberikan kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan penindasan kepada tidak terhitung banyaknya makhluk, ia sendiri menikmati kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan penindasan. Ini adalah yang pertama dari persembahan-persembahan besar itu dan yang ke empat dari arus jasa.

“Kemudian, para bhikkhu, seorang siswa mulia menghentikan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan dan menghindarinya. Dengan menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, siswa mulia itu memberikan kebebasan dari ketakutan … Ini adalah yang ke dua dari persembahan-persembahan besar itu dan yang ke lima dari arus jasa.

“Kemudian, para bhikkhu, seorang siswa mulia menghentikan perbuatan melakukan hubungan seksual yang salah dan menghindarinya. Dengan menghindari perbuatan melakukan hubungan seksual yang salah, siswa mulia itu memberikan kebebasan dari ketakutan … Ini adalah yang ke tiga dari persembahan-persembahan besar itu dan yang ke enam dari arus jasa.

“Kemudian, para bhikkhu, seorang siswa mulia menghentikan ucapan bohong dan menghindarinya. Dengan menghindari ucapan bohong, siswa mulia itu memberikan kebebasan dari ketakutan … Ini adalah yang ke empat dari persembahan-persembahan besar itu dan yang ke tujuh dari arus jasa.

“Kemudian, para bhikkhu, seorang siswa mulia menghentikan perbuatan meminum anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, landasan kelengahan,  dan menghindarinya. Dengan menghindari perbuatan meminum anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, siswa mulia itu memberikan kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan penindasan kepada tidak terhitung banyaknya makhluk. Dengan memberikan kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan penindasan kepada tidak terhitung banyaknya makhluk, ia sendiri menikmati kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan penindasan . Ini adalah yang ke lima dari persembahan-persembahan besar itu dan yang ke delapan dari arus jasa.

“Ini, para bhikkhu, adalah delapan arus jasa, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan, yang bersifat surgawi, masak dalam kebahagiaan, mendorong menuju ke surga, menuntun kepada apapun yang diinginkan, dicintai, dan disenangi, yang menuntun ke arah kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang.”

(AN 8:39; IV 245-47)

(2) Pelaksanaan Uposatha

“Ketika, O para bhikkhu, pelaksanaan uposatha lengkap dalam delapan faktor, hal ini akan berbuah besar dan bermanfaat, bercahaya dan menyebar. Dan bagaimanakah pelaksanaan Uposatha itu yang lengkap dalam delapan faktor?  [18]

“Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Seumur hidup mereka, para Arahant meninggalkan perbuatan menghancurkan kehidupan, menghindari menghancurkan kehidupan; dengan tongkat pemukul dan senjata ditinggalkan, mereka berhati-hati dan penuh belas-kasih dan berdiam penuh belas-kasih kepada semua makhluk hidup. Hari ini aku juga, selama sepanjang hari dan malam ini, akan melakukan hal serupa. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini, dan pelaksanaan uposatha akan terpenuhi olehku.’ Ini adalah faktor pertama.

“Kemudian, ia merenungkan: ‘Seumur hidup mereka, para Arahant meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; hanya mengharapkan apa yang diberikan, dan berdiam dengan hati jujur tanpa mencuri. Hari ini aku juga, selama sepanjang hari dan malam ini, akan melakukan hal serupa…’ Ini adalah faktor ke dua.

“‘Seumur hidup mereka, para Arahant meninggalkan hubungan seksual dan menjalankan hidup selibat, menahan diri dari praktik kasar hubungan seksual. Hari ini aku juga, selama sepanjang hari dan malam ini, akan melakukan hal serupa…’ Ini adalah faktor ke tiga.

“‘Seumur hidup mereka, para Arahant meninggalkan ucapan salah, menjadi pengikut kebenaran, layak dipercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Hari ini aku juga, selama sepanjang hari dan malam ini, akan melakukan hal serupa…’ Ini adalah faktor ke empat.

“‘Seumur hidup mereka, para Arahant meninggalkan anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, landasan kelengahan, dan menghindarinya. Hari ini aku juga, selama sepanjang hari dan malam ini, akan melakukan hal serupa…’ Ini adalah faktor ke lima.

“‘Seumur hidup mereka, para Arahant hanya makan satu kali dalam sehari dan menghindari makan di malam hari, di luar waktu yang benar.  [19] Hari ini aku juga, selama sepanjang hari dan malam ini, akan melakukan hal serupa…’ Ini adalah faktor ke enam.

“‘Seumur hidup mereka, para Arahant menghindari tarian, nyanyian, musik, dan pertunjukan-pertunjukan tidak selayaknya, dan menghindari menghias diri mereka dengan mengenakan kalung bunga dan menggunakan wewanginan dan salep. Hari ini aku juga, selama sepanjang hari dan malam ini, akan melakukan hal serupa…’ Ini adalah faktor ke tujuh.

“Seumur hidup mereka, para Arahat meninggalkan penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan mewah; mereka menggunakan tempat beristirahat yang rendah, apakah tempat tidur kecil atau alas duduk jerami. Hari ini aku juga, selama sepanjang hari dan malam ini, akan melakukan hal serupa. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini, dan pelaksanaan uposatha akan terpenuhi olehku.’ Ini adalah faktor ke delapan.

“Ketika, para bhikkhu, pelaksanaan uposatha lengkap dalam delapan faktor ini, hal ini akan berbuah besar dan bermanfaat, bercahaya dan menyebar. Dan sejauh apakah hal ini berbuah besar dan bermanfaat, bercahaya dan menyebar?

“Misalkan, para bhikkhu, seseorang mengerahkan kekuasaan pada enam belas negeri besar ini yang memiliki tujuh pusaka berharga berlimpah, yaitu, Aṅga, Magadha, Kāsi, Kosala, Vajji, Malla, Ceti, Vaṃsa, Kuru, Pañcāla, Maccha, Sūrasena, Assaka, Avanti, Gandhāra, dan Kamboja:  [20] hal ini masih tidak sebanding dengan seperenam-belas bagian dari pelaksanaan uposatha yang lengkap dalam delapan faktor ini. Karena alasan apakah? Karena kerajaan manusia adalah miskin jika dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva di alam Emat Raja Dewa satu hari dan satu malam adalah sama dengan lima puluh tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan; dan dua belas bulan demikian menjadi satu tahun. Umur kehidupan para deva di alam Empat Raja Dewa adalah lima ratus tahun surgawi. Adalah mungkin, para bhikkhu, bahwa jika seseorang laki-laki atau perempuan di sini melaksanakan uposatha yang lengkap dalam delapan faktor ini, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, mereka akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva di alam Empat Raja Dewa. Adalah sehubungan dengan hal ini Aku mengatakan bahwa kerajaan manusia adalah miskin jika dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva di alam Tāvatiṃsa satu hari dan satu malam adalah sama dengan seratus tahun manusia … Umur kehidupan para deva Tāvatiṃsa adalah seribu tahun surgawi … Bagi para deva Yāma satu hari dan satu malam adalah sama dengan dua ratus tahun manusia … Umur kehidupan para deva Yāma adalah dua ribu tahun surgawi … Bagi para deva Tusita satu hari dan satu malam adalah sama dengan empat ratus tahun manusia … Umur kehidupan para deva Tusita adalah empat ribu tahun surgawi … Bagi para deva yang bergembira di dalam penciptaan, satu hari dan satu malam adalah sama dengan delapan ratus tahun manusia … Umur kehidupan para deva yang bergembira di dalam penciptaan adalah delapan ribu tahun surgawi … Bagi para deva yang menguasai ciptaan para deva lain, satu hari dan satu malam adalah sama dengan seribu enam ratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan; dan dua belas bulan demikian menjadi satu tahun. Umur kehidupan para deva yang menguasai ciptaan para deva lain adalah enam belas ribu tahun surgawi. Adalah mungkin, para bhikkhu, bahwa jika seseorang laki-laki atau perempuan di sini melaksanakan uposatha yang lengkap dalam delapan faktor ini, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, mereka akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva yang menguasai ciptaan para deva lain. Adalah sehubungan dengan hal ini Aku mengatakan bahwa kerajaan manusia adalah miskin jika dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.”

(AN 8:41; IV 248-51)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB V)
« Reply #40 on: 14 November 2011, 09:55:31 PM »
5. MEDITASI

Pengembangan Cinta-Kasih

“Para bhikkhu, apapun dasar untuk melakukan jasa yang menghasilkan kelahiran kembali di masa depan, semua ini tidak sebanding dengan seperenam-belas bagian dari kebebasan pikiran melalui cinta-kasih. Kebebasan pikiran melalui cinta-kasih melampaui semua itu dan bersinar, terang dan cemerlang.

“Seperti halnya cahaya semua bintang tidak sebanding dengan seperenam-belas bagian dari cahaya bulan, sebaliknya cahaya bulan melampaui semua itu dan bersinar, terang dan cemerlang, demikian pula, apapun dasar untuk melakukan jasa yang menghasilkan kelahiran kembali di masa depan, semua ini tidak sebanding dengan seperenam-belas bagian dari kebebasan pikiran melalui cinta-kasih. Kebebasan pikiran melalui cinta-kasih melampaui semua itu dan bersinar, terang dan cemerlang.

“Seperti halnya di bulan terakhir musim hujan, di musim gugur, ketika langit cerah dan bebas dari awan, matahari, ketika terbit, menghalau kegelapan di angkasa dan bersinar, terang dan cemerlang, demikian pula, apapun dasar untuk melakukan jasa yang menghasilkan kelahiran kembali di masa depan, semua ini tidak sebanding dengan seperenam-belas bagian dari kebebasan pikiran melalui cinta-kasih. Kebebasan pikiran melalui cinta-kasih melampaui semua itu dan bersinar, terang dan cemerlang.

“Dan seperti halnya di malam hari, menjelang fajar, bintang pagi bersinar, terang dan cemerlang, demikian pula, apapun dasar untuk melakukan jasa yang menghasilkan kelahiran kembali di masa depan, semua ini tidak sebanding dengan seperenam-belas bagian dari kebebasan pikiran melalui cinta-kasih. Kebebasan pikiran melalui cinta-kasih melampaui semua itu dan bersinar, terang dan cemerlang.”

(It 27; 19-21)

(2) Empat Alam Brahmā

22. Murid brahmana Subha, putera Todeyya, berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, aku telah mendengar bahwa Petapa Gotama mengetahui jalan menuju alam-Brahma.”

“Bagaimana menurutmu, murid? Apakah desa Naḷakāra dekat dari sini, tidak jauh dari sini?”

“Benar, Tuan, desa Naḷakāra dekat dari sini, tidak jauh dari sini.”

“Bagaimana menurutmu, murid? Misalkan ada seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di desa Naḷakāra, dan segera setelah ia meninggalkan Naḷakāra mereka menanyakan kepadanya tentang jalan menuju desa itu. Apakah orang itu akan lambat atau ragu-ragu dalam menjawabnya?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena orang itu dilahirkan dan dibesarkan di Naḷakāra, dan mengenal dengan baik semua jalan menuju desa itu.”

“Bagaimanapun juga, seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di desa Naḷakāra mungkin saja lambat atau ragu-ragu dalam menjawab ketika ditanya tentang jalan menuju desa itu, tetapi seorang Tathāgata, ketika ditanya tentang alam-Brahma atau jalan menuju alam-Brahma, tidak akan pernah lambat atau ragu-ragu dalam menjawab. Aku memahami Brahmā, murid, dan Aku memahami alam-Brahma, dan Aku memahami jalan menuju alam-Brahma, dan Aku memahami bagaimana seseorang berlatih agar terlahir kembali di alam-Brahma.”

23. “Guru Gotama, aku telah mendengar bahwa Petapa Gotama mengajarkan jalan menuju alam Brahma. Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan kepadaku jalan menuju alam-Brahmā.”

“Maka, murid, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Tuan,” ia menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

24. “Apakah, murid, jalan menuju alam-Brahmā? Di sini seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ketika pembebasan pikiran melalui cinta kasih dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Bagaikan seorang peniup terompet yang kuat dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan, demikian pula, ketika pembebasan pikiran melalui cinta kasih dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana.  [21] Ini adalah jalan menuju alam-Brahmā.

25-27. “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas-kasih ... dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik ... dengan pikiran penuh keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh keseimbangan, berlimpah, luhur,  tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ketika pembebasan pikiran melalui keseimbangan dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Bagaikan seorang peniup terompet yang kuat dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan, demikian pula, ketika pembebasan pikiran  melalui keseimbangan dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Ini juga adalah jalan menuju alam-Brahmā.”


(dari MN 99: Subha Sutta; II 206-8)

(1)  Pandangan Terang Melampaui Semuanya

[Sang Buddha berkata kepada Anāthapiṇḍika:] “Di masa lampau, perumah-tangga, ada seorang brahmana bernama Velāma. Ia memberikan persembahan besar sebagai berikut: delapan puluh empat ribu mangkuk emas penuh dengan perak; delapan puluh empat ribu mangkuk perak penuh dengan emas; delapan puluh empat ribu mangkuk perunggu penuh dengan emas dan perak; delapan puluh empat ribu gajah, sapi susu, pelayan, dan alas duduk, jutaan kain halus, dan makanan, minuman, salep, dan alas tidur dalam jumlah yang sangat banyak.

“Sebanyak persembahan yang diberikan oleh Brahmana Velāma, adalah bahkan lebih berbuah jika seseorang memberi makan satu orang yang memiliki pandangan benar.  [22] Sebanyak persembahan yang diberikan oleh Brahmana Velāma, dan walaupun seseorang mampu memberi makan kepada seratus orang yang memiliki pandangan benar, adalah bahkan lebih berbuah jika seseorang memberi makan satu orang yang-kembali-sekali. Sebanyak persembahan yang diberikan oleh Brahmana Velāma, dan walaupun seseorang mampu memberi makan kepada seratus orang yang-kembali-sekali adalah bahkan lebih berbuah jika seseorang memberi makan satu orang yang-tidak-kembali. Sebanyak persembahan yang diberikan oleh Brahmana Velāma, dan walaupun seseorang mampu memberi makan kepada seratus orang yang-tidak-kembali adalah bahkan lebih berbuah jika seseorang memberi makan satu orang Arahant. Sebanyak persembahan yang diberikan oleh Brahmana Velāma, dan walaupun seseorang mampu memberi makan kepada seratus orang Arahant adalah bahkan lebih berbuah jika seseorang memberi makan satu orang paccekabuddha.  [23] Sebanyak persembahan yang diberikan oleh Brahmana Velāma, dan walaupun seseorang mampu memberi makan kepada seratus orang paccekabudha adalah bahkan lebih berbuah jika seseorang memberi makan satu Buddha yang tercerahkan sempurna ... adalah bahkan lebih berbuah jika seseorang memberi makan Saṅgha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang buddha dan membangun vihara untuk Saṅgha dari empat penjuru … adalah bahkan lebih berbuah jika, dengan pikiran penuh keyakinan, seseorang berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan menjalankan lima aturan: menghindari perbuatan menghancurkan kehidupan, menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari kebohongan, dan menghindari minuman memabukkan. Sebanyak apapun semua ini, adalah bahkan lebih berbuah jika seseorang mengembangkan pikiran cinta-kasih bahkan selama waktu yang diperlukan untuk menarik ambing susu sapi. Dan  sebanyak apapun semua ini, adalah bahkan lebih berbuah jika seseorang mengembangkan persepsi ketidak-kekalan bahkan selama waktu yang diperlukan untuk menjentikkan jari.”

(AN 9:20, diringkas; IV 393-96)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB V)
« Reply #41 on: 14 November 2011, 10:01:06 PM »
Catatan BAB V


[1] Cetanā ‘haṃ bhikkhave kammaṃ vadāmi, cetayitvā kammaṃ karoti kāyena vācāya manasā (AN III 415).

[2] Perbedaannya tampak digambarkan sepintas dalam literatur sutta, tetapi dalam komentar, hal ini lebih ditegaskan menjadi batasan yang jelas antara tiga jenis akibat yang dihasilkan kamma apapun.

[3] Untuk perbedaan antara kedua jenis pandangan benar ini, baca MN 117 (tidak termasuk dalam buku ini). Dalam terminologi teknis dari Komentator Pāli, bahkan pandangan terang ke dalam ketiga karakteristik (ketidak-kekalan, penderitaan, tanpa-diri) dan pengetahuan aspek asal-mula dari sebab-akibat yang saling bergantungan adalah masih duniawi (lokiya) karena objeknya adalah fenomena duniawi. Dalam sistem komentar, hanya pemahaman langsung pada yang tidak terkondisi, Nibbāna, yang dikelompokkan sebagai pandangan benar adi-duniawi. Akan tetapi, saya di sini menggunakan kata “adi-duniawi” dan “melampaui-dunia” (lokuttara) dalam makna yang lebih luas, sebagai merujuk pada pengetahuan dan pandangan (dan secara lebih luas, pada semua praktik) dan mengarah menuju pada pelampauan keduniawian.

[4] Untuk pembahasan yang lebih lengkap atas landasan psikologis dari kosmologi Buddhis Awal, baca Gethin, The Foundations of Buddhism, pp.119-26.

[5] Berturut-turut, dasa akusalā kammapathā dan dasa kusalā kammapathā. Dalam Nikāya-nikāya, yang belakangan muncul pada AN V 57; keduanya terdapat pada DN III 269.

[6] Teks-teks Buddhis yang agak lebih baru daripada kanon yang paling tua menambahkan alam sengsara yang ke empat, alam asura. Dalam kanon tua, para asura digambarkan sebagai para makhluk raksasa yang terlibat peperangan abadi dengan para deva tetapi tidak disebutkan sebagai berasal dari alam terpisah. Karena kondisi kehidupan mereka, seperti yang digambarkan dalam kanon, sulit dikatakan sebagai penderitaan, para komentator mengidentifikasi asura yang merupakan alam sengsara ke empat – bukan asura yang berperang melawan para deva – melainkan kelompok makhluk di alam yang terdiri dari setan-setan yang menderita. Akibatnya, jika asura dianggap berbeda maka gambaran alam yang muncul menjadi kabur: jika mereka adalah makhluk-makhluk yang berperang melawan para deva, maka mereka tidak digambarkan sebagai hidup dalam penderitaan; jika mereka adalah sekelompok makhluk di alam setan, tampaknya tidak ada alasan untuk memperlakukannya sebagai alam yang berbeda.

[7] Saya di sini menggambarkan alam kelahiran kembali bersesuaian dengan jhāna ke empat sesuai dengan kosmologi Buddhisme Theravada skolastik. Aliran Buddhisme Awal lainnya – berdasarkan pada teks yang paralel dengan Nikāya-nikāya – membagi bidang alam jhāna ke empat secara agak berbeda.

[8] Komunitas siswa mulia terdiri dari empat pasang makhluk, mereka yang telah memasuki empat jalan dan mereka yang telah menembus empat buah. Baca p.373.

[9] Subhakiṇhā devā. Ini adalah para deva yang menghuni alam kelahiran kembali tertinggi yang bersesuaian dengan jhāna ke tiga.

[10] AN 4:235 menjelaskan ini sebagai pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan; AN 4:236, sebagai pengembangan tujuh faktor penerangan sempurna.

[11] Ini adalah pandangan nihilis materialis bermoral yang menyangkal adanya kehidupan setelah kematian dan buah kamma. “Tidak ada yang diberikan” berarti tidak ada buah dari pemberian; “tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain” bahwa tidak ada kelahiran kembali ke dunia ini atau dunia setelahnya; “tidak ada ibu, tidak ada ayah” bahwa tidak ada buah perbuatan baik dan perbuatan buruk pada orang tua. Pernyataan tentang para petapa dan brahmana menyangkal keberadaan para Buddha dan Arahant.

[12] Ps mengatakan bahwa “para dewa bercahaya” bukanlah para dewa dari kelompok tersendiri melainkan nama kolektif bagi ketiga kelompok berikutnya; hal yang sama berlaku pada “para dewa dengan Keagungan.”

[13] Harus dipahami bahwa sementara “perilaku yang sesuai dengan Dhamma” digambarkan dalam sutta sebagai kondisi yang diperlukan untuk kelahiran kembali di alam surga dan untuk hancurnya noda-noda, namun ini bukan kondisi yang mencukupi. Kelahiran kembali di alam-alam yang dimulai dengan para deva pengikut Brahmā menuntut pencapaian jhāna, kelahiran kembali di Alam Murni (lima alam yang dimulai dari para dewa Avihā) menuntut pencapaian tingkat kesucian yang-tidak-kembali, kelahiran kembali di alam tanpa-bentuk materi menuntut pencapaian yang bersesuaian dengan tingkat pencapaian tanpa materi, dan hancurnya noda-noda menuntut praktik penuh dari Jalan Mulia Berunsur Delapan hingga jalan Kearahatan.

[14] Ps: Jika kamma pembunuhan secara langsung menentukan modus kelahiran kembali, maka hal itu akan menghasilkan kelahiran kembali di alam sengsara. Tetapi jika kamma baik mengantarkan menuju kelahiran kembali di alam manusia – dan kelahiran kembali sebagai manusia selalu diakibatkan oleh kamma baik – kamma pembunuhan akan bekerja dengan cara yang berlawanan dengan kamma penghasil kelahiran kembali dengan menyebabkan berbagai kemalangan yang bahkan berujung pada kematian prematur. Prinsip yang sama berlaku pada kasus berikutnya yang mana kamma buruk menjadi matang dalam kehidupan sebagai manusia: dalam tiap-tiap kasus kamma buruk melawan kamma baik yang bertanggung jawab atas kelahiran kembali sebagai manusia dengan menimbulkan jenis kemalangan tertentu sesuai kualitas penentunya.

[15] Dalam kasus ini kamma baik menghindari pembunuhan secara langsung bertanggung jawab atas kelahiran kembali di alam surga atau umur panjang di alam manusia. Prinsip yang sama berlaku dalam seluruh paragraf tentang matangnya kamma baik.

[16] Ini berarti bahwa perbuatan memberi tidak cukup untuk memperoleh akibat yang diinginkan. Perbuatan ini harus didukung oleh perilaku bermoral yang murni. Bagi seorang yang memiliki perilaku tidak bermoral secara konsisten, kedermawanan tidak akan mencukupi untuk membawa pada kelahiran kembali yang menyenangkan.

[17] Hal ini dikatakan karena kelahiran kembali di alam brahma – dan di alam-alam berbentuk lainnya – dicapai melalui pencapaian jhāna, yang menuntut penekanan nafsu indria.

[18] Tentang uposatha, baca p.153

[19] “Waktu yang benar” untuk makan, menurut monastik dan aturan uposatha, adalah antara fajar hingga tengah hari. Dari tengah hari dan seterusnya, makanan padat serta cairan makanan tertentu (seperti susu) tidak boleh dikonsumsi. Sari buah-buahan, teh, teh herbal, dan minuman ringan lainnya diperbolehkan.

[20] Ini adalah negeri-negeri di sub-benua India dan wilayah yang berbatasan dengannya.

[21] Ps menjelaskan perbuatan yang membatasi (pamāṇakataṁ kammaṁ) sebagai kamma yang berhubungan dengan alam indria (kāmāvacara). Ini berlawanan dengan perbuatan tanpa batas atau perbuatan tidak terukur, yaitu, jhāna-jhāna dan pencapaian-pencapaian tanpa bentuk. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah brahmavihāra yang dikembangkan hingga tingkatan jhāna yang dimaksudkan. Ketika jhāna atau pencapaian tanpa bentuk dikuasai, maka kamma yang berhubungan dengan alam indria tidak berkesempatan untuk menghasilkan akibatnya. Sebaliknya, kamma yang berhubungan dengan alam berbentuk atau alam tanpa-bentuk mengalahkan kamma alam-indria dan menghasilkan akibatnya. Dengan menghalangi akibat dari kamma alam-indria. Brahmavihāra yang telah dikuasai menuntun menuju kelahiran kembali di alam Brahmā.

[22] “Seseorang yang berpandangan benar” (diṭṭhisampanna puggala) adalah seorang pemasuk-arus. Pemasuk-arus dan mereka yang mencapai pencapaian yang lebih tinggi akan dibahas pada bab X.

[23]  Seorang paccekabuddha adalah seorang yang, seperti juga seorang Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna, mencapai pencerahan tanpa bimbingan seorang guru, tetapi tidak seperti seorang Buddha, ia tidak mampu membimbing makhluk lain menuju pencerahan. Menurut tradisi komentar, para paccekabuddha tidak muncul selama ajaran dari seorang Buddha yang tercerahkan sempurna masih ada di dunia tetapi hanya muncul pada periode di antara munculnya para Buddha.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VI)
« Reply #42 on: 10 December 2011, 09:02:50 PM »
BAB VI
PENDAHULUAN


Dalam menginterpretasikan sutta-sutta, kita harus mempertimbangkan situasi di mana sutta-sutta itu dibabarkan dan orang-orang kepada siapa sutta-sutta itu dibabarkan. Selama perjalanan panjang pengajaranNya, Sang Buddha harus menyesuaikan ajaranNya sesuai kapasitas dan kebutuhan orang-orang yang berbeda-beda. Beliau mengajarkan kepada mereka yang terbiasa berperilaku sembrono untuk meninggalkan cara-cara yang dapat mencelakai diri mereka dan melakukan perbuatan-perbuatan bermanfaat yang menghasilkan buah yang menyenangkan. Beliau mengajarkan kepada mereka yang cenderung menyerah pada takdir bahwa usaha saat ini menentukan kualitas kehidupan kita saat ini serta takdir masa depan kita. Beliau mengajarkan mereka yang meyakini bahwa existensi pribadi lenyap pada saat kematian jasmani bahwa makhluk-makhluk hidup tetap bertahan ketika hancurnya jasmani dan muncul kembali sesuai dengan kamma mereka. Beliau mengajarkan kepada mereka yang belum cukup matang untuk mencapai pencapaian yang lebih tinggi untuk bercita-cita agar terlahir kembali di antara para deva, makhluk-makhluk surgawi, dan menikmati kebahagiaan dan keagungan surga.

Akan tetapi kelahiran kembali di surga yang penuh kebahagiaan, bukanlah tujuan akhir yang karenanya Sang Buddha mengajarkan Dhamma. Itu hanyalah persinggahan sementara yang terbaik. Tujuan tertinggi adalah lenyapnya penderitaan, dan kebahagiaan surga, tidak peduli sebahagia apapun juga, adalah tidak sama dengan lenyapnya penderitaan. Menurut ajaran Buddha, segala kondisi kehidupan di dalam lingkaran kelahiran kembali, bahkan di alam surga, adalah sementara, tidak dapat diandalkan, terikat oleh kesakitan. Demikianlah tujuan tertinggi Dhamma bukan lain adalah kebebasan, yang berarti keterlepasan total dari lingkaran kelahiran dan kematian.

Apa yang terletak di luar lingkaran kelahiran kembali adalah kondisi tanpa kondisi yang disebut Nibbāna. Nibbāna melampaui dunia yang terkondisi, namun dapat dicapai di dalam kehidupan yang terkondisi, dalam kehidupan ini juga, dan dialami sebagai padamnya penderitaan. Sang Buddha mencapai Nibbāna melalui pencerahanNya, dan selama empat puluh lima tahun dari kehidupanNya Beliau berusaha untuk membantu makhluk-makhluk lain untuk mencapainya untuk diri mereka sendiri. Pencapaian Nibbāna terjadi dengan mekarnya kebijaksanaan dan membawa kedamaian sempurna, kebahagiaan yang tanpa noda, dan tenangnya dorongan batin yang memaksa. Nibbāna adalah hancurnya kehausan, kehausan nafsu. Ini juga adalah pulau aman di tengah-tengah gelombang arus usia-tua, penyakit, dan kematian.

Untuk membimbing para siswaNya yang telah matang secara spiritual menuju Nibbāna, Sang Buddha harus mengarahkan mereka melampaui balasan-balasan penuh kebahagiaan yang dapat diperoleh dalam kehidupan berikutnya dengan melakukan perbuatan-perbuatan bermanfaat. Beliau melakukan hal itu melalui sisi yang “melampaui keduniawian” dari ajaranNya, aspek-aspek itu dirancang untuk menuntun para siswa untuk melampaui “tiga alam” dari kehidupan di alam indria, kehidupan di alam berbentuk, dan kehidupan di alam tanpa bentuk. Berulang-ulang dalam sepanjang khotbah-khotbahNya, Sang Buddha memaparkan bahaya-bahaya yang tajam dan tanpa kompromi yang melekat dalam segala kondisi kehidupan. Beliau membunyikan lonceng peringatan yang nyata bahwa semua kondisi kehidupan adalah berbahaya dan penuh dengan kesakitan. Beliau menyatakan, secara terang-terangan, bahwa seseorang yang mengharapkan keamanan selamanya terletak dalam pemurnian dan kebebasan batin. Beliau memberikan jalan yang memotong kebodohan dan nafsu secara keseluruhan dan menghalau kemelekatan bahkan hingga pada kondisi penyerapan meditatif yang paling halus.

Dalam “Khotbah Dhamma bertingkat,” yang biasanya dibabarkan kepada pendatang baru dalam ajaranNya, Sang Buddha secara rutin memulai dengan membahas praktik-praktik seperti memberi, dan disiplin moral. Beliau akan memuji keindahan kebajikan-kebajikan seperti kedermawanan, tidak mencelakai, kejujuran, dan pengendalian diri, menjelaskan bagaimana perbuatan-perbuatan baik demikian akan menuntun menuju kebahagiaan kelahiran kembali di alam surga. Pada titik ini, Beliau akan mengungkapkan “bahaya, kemerosotan, dan kekotoran dalam kenikmatan indria dan berkah dari pelepasan keduniawian,” setelah secara bertahap “mematangkan” batin pendengarNya, Beliau selanjutnya akan membabarkan doktrin yang khas ajaranNya, Empat Kebenaran Mulia: penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan Sang Jalan. Ketika Sang Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Mulia, tujuanNya bukanlah untuk memberikan pelajaran pendahuluan tentang “dasar-dasar Buddhisme,” melainkan untuk membangkitkan “penglihatan Dhamma” dalam diri mereka, pencapaian langsung pertama dari kebenaran transenden yang memantapkan sang siswa pada jalan satu arah menuju kebebasan.

Walaupun kadang-kadang kita membaca dalam Sutta bahwa para siswa mencapai pengalaman pencerahan pertama mereka hanya dengan mendengarkan khotbah Sang Buddha, hal ini tidak berarti bahwa Dhamma adalah mudah dipahami. Para siswa demikian mampu menembus kebenaran dengan begitu mudah karena indria mereka telah matang, mungkin juga karena mereka telah mengumpulkan kondisi pendukung yang cukup dalam kehidupan-kehidupan lampau. Menurut sifatnya, Dhamma yang melampaui keduniawian adalah berlawanan dengan pikiran keduniawian. Sang Buddha menggambarkan Dhamma sebagai “halus, dalam, dan sulit dilihat,” dan salah satu hal yang membuatnya begitu sulit dilihat adalah tesisnya bahwa kebahagiaan tertinggi tidak dapat dicapai dengan menyerah pada keinginan hati tetapi dengan menaklukkannya. Tesis ini sepenuhnya melawan pikiran, sikap, dan perbuatan orang-orang yang tenggelam dalam keduniawian. Selama kita tergila-gila pada daya tarik yang menggiurkan dari kenikmatan indria, selama kita bergembira dalam hal menjadi ini atau menjadi itu, maka kita akan menganggap Dhamma yang luhur sebagai suatu misteri dan teka-teki. Oleh karena itu Sang Buddha menyadari bahwa tantangan utama yang pertama yang harus Beliau hadapi dalam mendirikan DhammaNya yang melampaui keduniawian adalah mematahkan belenggu kenikmatan indria dan keterikatan keduniawian yang berdiam di dalam pikiran. Beliau harus membawa pikiran keluar dari kebiasaan rutinnya dan menggerakkannya ke arah yang sepenuhnya berbeda. Beliau harus mengarahkan para siswaNya agar tidak terjebak oleh godaan kemelekatan indriawi dan keterikatan keduniawian dan menuntun mereka menuju ke kekecewaan, kepadaman nafsu sepenuhnya, dan pencerahan.

Prasyarat tugas ini bergantung seluruhnya pada keterampilan Sang Buddha sebagai guru. Hal ini menuntut agar Beliau mengerahkan segala kemampuanNya untuk menyesuaikan secara tepat dengan kecenderungan batin dari orang-orang yang mendatangiNya untuk memohon instruksi. Hal ini menuntut agar Beliau berbicara secara jujur dan berterus terang, bahkan ketika keterus-terangan itu mengakibatkan kekesalan. Hal ini menuntut agar Beliau memasuki arena perdebatan. Hal ini menuntut agar Beliau menggunakan kiasan, metafora, dan perumpamaan jika ilustrasi yang jelas dapat memberikan daya tarik yang lebih kuat pada argumenNya. Hal ini menuntut agar Beliau mempertahankan prinsip-prinsipNya dengan kuat ketika berhadapan dengan para petapa yang bersikap bermusuhan atau para bhikkhu yang berpandangan keliru di dalam kelompokNya sendiri (baca bagian pembukaan dari MN 22 dan MN 38, tidak termasuk dalam buku ini). Bahwa Sang Buddha berhasil begitu baik dalam memenuhi tugas sulit ini termasuk di antara pencapaianNya yang sungguh mengagumkan dan menakjubkan. Ini adalah satu hal yang mana tercantum dalam Teks VI, 1 sebagai kesaksian yang mengesankan.

Tugas Sang Buddha pada tahap ini dalam mengungkapkan doktrinNya adalah untuk menanamkan kepada kita suatu pelajaran baru yang radikal dalam seni melihat. Untuk mengikuti Sang Buddha pada arah mana Beliau ingin menuntun kita, kita harus belajar melihat ke bawah permukaan pada gemerlap kesenangan, posisi, dan kekuasaan yang biasanya memesona kita, dan pada saat yang sama, juga belajar melihat menembus distorsi persepsi, pikiran, dan pandangan yang menipu yang biasanya melingkupi penglihatan kita. Umumnya, kita menunjukkan segala sesuatu kepada diri kita melalui prisma tebal prasangka yang subjektif. Prasangka ini dibentuk oleh nafsu dan kemelekatan kita, yang pada gilirannya justru menguat. Kita melihat segala sesuatu yang kita ingin lihat; kita menyembunyikan segala sesuatu yang mengancam atau mengganggu kita, yang mengguncang kepuasan kita, yang mempertanyakan asumsi kenyamanan kita tentang diri kita dan kehidupan kita. Untuk menghentikan proses ini melibatkan komitmen pada kebenaran yang seringkali gagal, namun dalam jangka panjang terbukti menggembirakan dan membebaskan.

Pendidikan yang ditanamkan oleh Sang Buddha kepada kita membawa suatu pendalaman perspektif kita pada dunia. Untuk membantu kita mentransformasikan pemahaman kita dan memperdalam perspektif kita pada dunia, Beliau menawarkan kepada kita tiga sudut pandang yang darinya kita dapat menilai kualitas yang dengannya kita mengatur kehidupan kita. Ketiga sudut pandang ini juga mewakili tiga “momen” atau langkah dalam mengungkapkan proses pandangan terang yang dimulai dari sikap umum kita dan secara strategis bergerak ke arah pengetahuan yang lebih tinggi, pencerahan, dan kebebasan. Ketiga momen ini adalah: kepuasan (assāda), bahaya (ādinava), dan jalan membebaskan diri (nissaraṇa). Dalam Teks VI, 2(1)-(3), skema ini diterapkan secara lebih spesifik pada empat elemen materi (SN 14:31-33), kelima kelompok unsur kehidupan (SN 22:26-28), dan keenam landasan indria internal dan eksternal (SN 35:13-18). Sang Buddha menggaris-bawahi pentingnya skema ini dengan pernyataan tegas bahwa hingga Beliau mampu sepenuhnya mengevaluasi dunia ini (atau, dalam teks-teks yang disebutkan di atas, elemen-elemen, kelompok-kelompok unsur kehidupan, dan landasan-landasan indria) dengan cara ini, Beliau tidak mengaku bahwa Beliau telah mencapai pencerahan sempurna yang tidak terlampaui.

Dalam bergerak maju secara sistematis melalui skema ini, seseorang memulai dengan mengenali fakta yang pasti bahwa fenomena duniawi demikian seperti objek-objek indria, bentuk-bentuk, dan perasaan-perasaan memberikan kepada kita suatu tingkatan kepuasan. Kepuasan ini terdapat dalam kesenangan dan kegembiraan (sukha-somanassa) yang kita alami ketika kita berhasil memenuhi keinginan kita. Begitu kita mengenali fakta ini, maka kita kemudian dapat menyelidiki lebih dalam dengan mempertanyakan apakah kesenangan dan kegembiraan demikian adalah memuaskan sepenuhnya. Jika kita menjawab pertanyaan ini dengan jujur, dalam kerangka pemikiran yang netral, maka kita akan menyadari bahwa kesenangan dan kegembiraan demikian adalah jauh dari memuaskan. Sebaliknya, kesenangan dan kegembiraan itu menjadi beban dengan kekurangan dan cacat yang berkisar dari yang remeh hingga bencana besar, cacat yang terus-menerus kita sembunyikan dari diri kita sehingga kita dapat melanjutkan pencarian kepuasan itu tanpa halangan. Ini adalah bahaya, momen atau langkah pengamatan ke dua. Bahaya paling besar yang bersembunyi di balik topeng tanpa cela kenikmatan duniawi kita adalah sifat dasarnya yang tidak kekal (anicca), terikat pada penderitaan dan ketidak-puasan (dukkha), dan tunduk pada perubahan dan kerusakan yang tidak dapat dihindarkan (vipariṇāmadhamma).

Momen ke tiga, momen membebaskan diri, menyusul dari yang ke dua. “Membebaskan diri” di sini bukanlah melarikan diri, kata yang menyiratkan suatu usaha gelisah untuk tidak menghadapi persoalan seseorang dengan berpura-pura bahwa persoalan itu tidak ada dan tersesat dalam kebingungan. Pembebasan sejati adalah sangat berbeda: perbuatan yang paling waras, paling rasional, paling bijaksana yang dapat kita ambil ketika kita dengan tepat mengenali bahaya sesungguhnya. Ini adalah pencarian kita pada jalan keluar dari bangunan yang terbakar, kunjungan kita kepada dokter ketika kita diserang oleh demam yang tak kunjung sembuh, keputusan kita untuk berhenti merokok ketika kita memahami bagaimana hal itu membahayakan kesehatan kita. Begitu kita melihat bahwa objek-objek kemelekatan kita memiliki cacat, diserang oleh bahaya tersembunyi, maka kemudian kita menyadari bahwa jalan membebaskan diri terletak pada pelepasan kemelekatan kita pada objek-objek itu. Ini adalah “pelenyapan keinginan dan nafsu, meninggalkan keinginan dan nafsu” (chandarāga-vinaya, chandarāga-pahāna) yang dirujuk dalam teks.

Tidak mengherankan, para komentator Pāli, menghubungkan ketiga momen ini dengan Empat Kebenaran Mulia. “Kepuasan” menyiratkan kebenaran mulia ke dua, karena kesenangan dan kegembiraan membangkitkan nafsu, asal-mula penderitaan. “Bahaya” adalah kebenaran penderitaan itu sendiri. Dan “jalan membebaskan diri” adalah kebenaran lenyapnya penderitaan, yang juga menyiratkan Jalan Mulia Berunsur Delapan, kebenaran ke empat, jalan menuju lenyapnya penderitaan.

Dalam Teks VI, 3 Sang Buddha menggunakan tiga skema ini untuk menilai secara terperinci ketiga objek kemelekatan utama: kenikmatan indria, bentuk jasmani, dan perasaan. Bagian utama sutta ini menjelaskan tentang penyelidikan terhadap bahaya dalam kenikmatan indria. Hal ini dimulai dengan pengamatan dekat pada penderitaan yang dialami oleh seorang “anggota keluarga” – pekerjaan seorang perumah-tangga muda, padanan India Kuno dari karir profesional. Seperti yang diungkapkan oleh khotbah ini, cakupan penyelidikan meluas dari satu orang menjadi kolektif, melingkupi konsekuensi sosial dan politik yang lebih luas dalam pencarian ini. Hal ini mencapai puncaknya pada gambaran menghentak dari peperangan dan penghancuran umat manusia yang mengikuti kegemparan dorongan massal akan kepuasan indria. “Bentuk” adalah badan jasmani. Sang Buddha memulai perawatanNya akan bentuk dengan menyarankan kepada para bhikkhu untuk merenungkan seorang perempuan muda yang cantik. Kemudian Beliau menelusuri tahapan-tahapan progresif atas kerusakan fisiknya, melalui penuaan, penyakit, kematian, dan akhirnya kehancuran mayatnya hingga menjadi serbuk tulang-belulang. Untuk menunjukkan bahaya dalam “perasaan,” Sang Buddha memilih perasaan-perasaan dari seorang bhikkhu yang bermeditasi dalam jhāna-jhāna, penyerapan meditatif, pengalaman kesenangan dan kedamaian duniawi yang paling halus. Beliau menunjukkan bahwa bahkan perasaan-perasaan luhur ini pun adalah tidak kekal, tidak memuaskan, dan tunduk pada perubahan.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VI)
« Reply #43 on: 10 December 2011, 09:03:25 PM »
Walaupun teks-teks berikutnya tidak secara eksplisit menerapkan ketiga skema ini, namun keberadaannya yang mendasari terlihat jelas. Penekanan jatuh pada aspek bahaya. Dua teks yang disajikan dalam bagian 4 sekali lagi menekankan pada bahaya dalam kenikmatan indria, tetapi dengan cara yang berbeda dari teks pada bagian sebelumnya. Dalam Teks VI, 4(1), Sang Buddha muncul dalam dialog dengan seorang perumah-tangga angkuh yang menganggap bahwa ia telah “memotong segala urusan keduniawian.” Untuk menaklukkan kepuasan-dirinya, Sang Buddha menggunakan serangkaian perumpamaan untuk memperlihatkan tipuan-tipuan kenikmatan indria untuk menunjukkan kepadanya apa makna dari  “memotong urusan-urusan” dalam sistem latihan Beliau. Penggunaan perumpamaan juga mendominasi Teks VI, 4(2), yang mengadu Sang Buddha melawan seorang hedonis bernama Māgandiya. Sang Buddha di sini berpendapat bahwa kenikmatan indria tampak menyenangkan hanya melalui persepsi yang menyimpang, tetapi ketika dilihat dengan benar adalah bagaikan api di dalam lubang arang membara – “menyakitkan ketika di sentuh, panas, dan membakar.” Paragraf ini memasukkan beberapa perumpamaan yang sangat telak dalam Nikāya-nikāya, dan tidak diragukan bahwa Sang Buddha tidak menggunakannya dengan ringan.

Penggunaan perumpamaan juga menonjol dalam Teks VI, 5, yang temanya adalah kesementaraan kehidupan manusia. Literatur Buddhis sering kali menasihati kita untuk merenungkan kematian yang pasti terjadi dan waktu kedatangannya yang tidak pasti. Rekomendasi ini tidak dibuat untuk mengkondisikan suatu sikap seolah-olah memiliki penyakit kronis melainkan untuk membantu kita menghancurkan ketergila-gilaan kita pada kehidupan dan untuk mengembangkan keterlepasan. Untuk alasan ini, perenungan kematian telah menjadi salah satu objek meditasi Buddhis yang paling penting. Di tempat lain Sang Buddha mengatakan bahwa perenungan kematian “jika dikembangkan dan dilatih, akan memperoleh tempat berpijak dalam Keabadian dan memuncak dalam Keabadian.” (AN 7:46; IV 47-48). Di sini kesementaraan hidup digaris-bawahi dengan menghitung hari, musim, dan bahkan makan dalam satu kehidupan.

Teks VI, 6 adalah kutipan dari Raṭṭhapāla Sutta, yang menceritakan kehidupan siswa Sang Buddha yang mendapat gelar “yang terkemuka di antara mereka yang meninggalkan keduniawian karena keyakinan.” Raṭṭhapāla adalah seorang pemuda dari sebuah keluarga yang makmur yang begitu tergerak ketika mendengar Sang Buddha berceramah sehingga ia seketika memutuskan untuk memeluk kehidupan tanpa rumah sebagai seorang bhikkhu. Sang Buddha menyuruhnya untuk meminta izin dari orang tuanya, tetapi orang tuanya, karena terikat begitu kuat dengan putera tunggal mereka, berkeras menolak untuk memberikan izin. Selanjutnya Raṭṭhapāla berbaring di atas tanah dan menolak makan dan minum, bertekad untuk mati di sana atau menerima pelepasan keduniawian. Akhirnya orang tuanya mengalah dan mengizinkannya untuk menjadi seorang bhikkhu dengan syarat bahwa ia kelak harus kembali mengunjungi mereka. Bertahun-tahun kemudian, ketika ia mengunjungi orang tuanya, mereka berusaha membujuknya untuk kembali pada kehidupan rumah tangga, tetapi karena ia telah mencapai Kearahataan, maka ia tidak mungkin lagi lepas jubah. Setelah meninggalkan rumahnya, ia pergi ke taman rekreasi kerajaan, di mana ia membabarkan khotbah kepada Raja Koravya tentang “empat ringkasan Dhamma.” Khotbah ini menyampaikan pandangan terangnya yang mendalam hingga mencapai kedalaman dan universalitas penderitaan, yang dijelaskan dalam kata-kata yang sederhana namun jelas mengapa ia, seperti halnya tidak terhitung banyaknya laki-laki dan perempuan lainnya yang memiliki kemampuan dalam masa utama kehidupan, memilih untuk meninggalkan kenyamanan rumah tangga demi ketidak-pastian keadaan tanpa rumah.

Nafsu pada kenikmatan indria adalah satu perangkap yang mempertahankan makhluk-makhluk tetap terikat pada lingkaran kelahiran kembali. Perangkap besar lainnya adalah kemelekatan pada pandangan-pandangan. Demikianlah, untuk memuluskan jalan menuju Nibbāna, Sang Buddha tidak hanya telah menghalau ketergila-gilaan pada kenikmatan indria tetapi juga menunjukkan bahaya dalam pandangan-pandangan. Ini adalah tema dari bagian 7.

Pandangan salah yang paling berbahaya adalah pandangan yang menyangkal atau mengikis landasan-landasan etis. Teks VI, 7(1) menjelaskan sejumlah bahaya yang ditimbulkan oleh jenis pandangan salah ini; yang paling menonjol adalah kelahiran kembali di alam rendah. Pandangan-pandangan juga mengarah pada interpretasi sepihak dan menyimpang pada realitas yang kita lekati sebagai akurat dan lengkap. Orang-orang yang secara teguh melekat pada pandangan-pandangan mereka sendiri terhadap suatu situasi tertentu sering kali berselisih dengan mereka yang memandang situasi yang sama di bawah cahaya yang berbeda. Demikianlah pandangan menimbulkan konflik dan perselisihan. Mungkin tidak ada teks di dunia literatur yang menggambarkan bahaya dalam kemelekatan dogmatis ini lebih ringkas daripada perumpamaan yang terkenal tentang orang-orang buta dan gajah, termasuk di buku ini sebagai Teks VI, 7(2).

Teks VI, 7(3) menggambarkan kontras antara pasangan pandangan-pandangan yang menyimpang yang dikenal sebagai eternalisme (sassatavāda) dan nihilisme (ucchedavāda), juga disebut, berturut-turut, sebagai pandangan penjelmaan (bhavadiṭṭhi) dan pandangan tanpa-penjelmaan (vibhavadiṭṭhi). Eternalisme menegaskan suatu komponen abadi dalam individu, suatu diri yang tidak dapat hancur, dan suatu landasan abadi bagi dunia, seperti Tuhan pencipta yang maha kuasa. Nihilisme menyangkal bahwa ada apapun yang bertahan setelah kematian, menganggap bahwa suatu individu akan berakhir dengan kematian tubuh fisik. Menurut Sang Buddha, eternalisme mengarah pada kesenangan dalam kehidupan dan mengikat makhluk-makhluk pada lingkaran kehidupan. Nihilisme sering kali disertai dengan suatu kejijikan pada kehidupan bahwa, yang bertolak-belakang, mengikat penganutnya pada kehidupan yang sama dengan yang mereka tidak sukai. Seperti yang akan kita lihat di bawah, ajaran Buddha tentang sebab-akibat yang saling bergantungan menghindari kedua kutub yang sia-sia ini (baca IX, pp.356-57).

Teks VI, 8 menggaris bawahi problem tertentu yang diajukan oleh pandangan-pandangan eternalis. Pandangan-pandangan demikian dapat menginspirasi para meditator untuk mencapai kondisi-kondisi kebahagiaan meditatif mendalam, yang mereka interpretasikan sebagai penyatuan dengan suatu realitas surgawi atau pencapaian suatu diri yang abadi. Akan tetapi, dari perspektif ajaran Buddha, pencapaian demikian hanya menciptakan potensi kamma kelahiran kembali di alam itu di mana pengalaman meditatif menjadi kondisi kesadaran yang fundamental. Dengan kata lain, pencapaian kondisi-kondisi ini di alam manusia menghasilkan kelahiran kembali di alam berbentuk atau alam tanpa bentuk yang bersesuaian. Sementara banyak agama merujuk pada alam surga sebagai jawaban akhir atas kesulitan manusia, ajaran Buddha menganggap bahwa dunia ini tidak memberikan jalan keluar dari ketidak-kekalan dan penderitaan saṃsāra.

Teks yang dicantumkan di sini menunjukkan bahwa para meditator tertentu mencapai empat “alam brahma” dan terlahir kembali di alam brahma yang bersesuaian, di mana mereka dapat menetap bahkan selama lima ratus maha kappa. Akan tetapi, pada akhirnya, mereka pasti tak terhindarkan akan meninggal dunia dan kemudian jatuh ke alam kelahiran kembali yang tidak menguntungkan. Teks-teks serupa yang tidak termasuk di sini (AN 3:114, 4:124) mengatakan hal yang sama mengenai alam-alam kelahiran kembali yang bersesuaian dengan jhāna-jhāna dan pencapaian tanpa bentuk.

Kedua sutta yang merupakan bagian terakhir dari bab ini sekali lagi membahas tentang ketidak-memuaskan dan ketidak-amanan kehidupan terkondisi, memperkuat pesannya dengan perumpamaan yang dramatis. Dalam Teks VI, 9(1), Sang Buddha menyatakan bahwa jumlah air mata yang telah kita teteskan selama mengembara di dalam lingkaran kelahiran kembali adalah lebih banyak daripada air di empat samudera raya. Dalam Teks VI, 9(2), beliau menjelaskan kepada kelompok tiga puluh bhikkhu bahwa jumlah darah yang telah mereka teteskan ketika mereka dibantai dan dieksekusi di dalam lingkaran kelahiran kembali adalah lebih banyak daripada air di empat samudera raya. Menurut para penyusun Sutta, pengaruh khotbah ini pada ketiga puluh bhikkhu itu begitu kuat sehingga mereka semuanya mencapai kebebasan di sana dan pada saat itu juga.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VI)
« Reply #44 on: 10 December 2011, 09:04:45 PM »
VI. MEMPERDALAM PERSPEKTIF PADA DUNIA

1. EMPAT HAL MENGAGUMKAN

“Para bhikkhu, pada manifestasi Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, empat hal mengagumkan dan menakjubkan muncul. Apakah empat ini?

“Sebagian besar orang bergembira dalam kemelekatan, bersenang-senang dalam kemelekatan, bersukacita dalam kemelekatan. Tetapi ketika Dhamma ketidak-melekatan diajarkan oleh Sang Tathāgata, orang-orang ingin mendengarkannya, memperhatikannya dan berusaha memahaminya. Ini adalah hal yang mengagumkan dan menakjubkan yang pertama pada manifestasi Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna.

“Sebagian besar orang bergembira dalam keangkuhan, bersenang-senang dalam keangkuhan, bersukacita dalam keangkuhan. Tetapi ketika Dhamma penghapusan keangkuhan diajarkan oleh Sang Tathāgata, orang-orang ingin mendengarkannya, memperhatikannya dan berusaha memahaminya. Ini adalah hal yang mengagumkan dan menakjubkan yang ke dua pada manifestasi Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna.

“Sebagian besar orang bergembira dalam kegelisahan, bersenang-senang dalam kegelisahan, bersukacita dalam kegelisahan. Tetapi ketika Dhamma kedamaian diajarkan oleh Sang Tathāgata, orang-orang ingin mendengarkannya, memperhatikannya dan berusaha memahaminya. Ini adalah hal yang mengagumkan dan menakjubkan yang ke tiga pada manifestasi Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna.

“Sebagian besar orang bergembira dalam kebodohan, bersenang-senang dalam kebodohan, bersukacita dalam kebodohan. Tetapi ketika Dhamma penghapusan kebodohan diajarkan oleh Sang Tathāgata, orang-orang ingin mendengarkannya, memperhatikannya dan berusaha memahaminya. Ini adalah hal yang mengagumkan dan menakjubkan yang ke empat pada manifestasi Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna.

“Pada manifestasi Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, empat hal mengagumkan dan menakjubkan ini muncul.”

(AN 4:128; II 131-32)

2. KEPUASAN, BAHAYA, DAN JALAN MEMBEBASKAN DIRI

(1) Sebelum PencerahanKu

“Sebelum pencerahanku, O para bhikkhu, sewaktu Aku masih seorang bodhisatta, aku berpikir: ‘Apakah kepuasan dalam dunia, apakah bahaya dalam dunia, apakah jalan membebaskan diri dari dunia?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Kesenangan dan kegembiraan apapun dalam dunia, ini adalah kepuasan dalam dunia; bahwa dunia adalah tidak kekal, terikat pada penderitaan, dan tunduk pada perubahan, ini adalah bahaya dalam dunia; pelenyapan dan ditinggalkannya keinginan dan nafsu pada dunia, ini adalah jalan membebaskan diri dari dunia.’

“Selama, para bhikkhu, Aku belum mengetahui secara langsung, sebagaimana adanya, kepuasan dalam dunia sebagai kepuasan, bahayanya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri dari dunia sebagai jalan membebaskan diri, selama itu Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā-nya, dalam populasi ini dengan para petapa dan brahmana-nya, para deva dan manusia-nya.

“Tetapi ketika Aku telah secara langsung mengetahui hal ini, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna di dunia ini dengan … para deva dan manusia-nya. Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘kebebasan batinKu tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiranKu yang terakhir; tidak ada lagi penjelmaan baru.’”

(AN 3:101 §§1-2; I 258-59)

(2) Aku Melakukan Pencarian

“O Para bhikkhu, Aku melakukan pencarian kepuasan dalam dunia. Kepuasan apapun yang ada dalam dunia, hal tersebut telah Aku temukan. Aku dengan jelas melihat dengan kebijaksanaan sejauh apa jangkauan kepuasan dalam dunia itu.

“Aku melakukan pencarian bahaya dalam dunia. Bahaya apapun yang ada dalam dunia, hal tersebut telah Aku temukan. Aku dengan jelas melihat dengan kebijaksanaan sejauh apa jangkauan bahaya dalam dunia itu.

“Aku melakukan pencarian suatu jalan membebaskan diri dari dunia. Jalan apapun yang membebaskan diri dari dunia, hal tersebut telah Aku temukan. Aku dengan jelas melihat dengan kebijaksanaan sejauh apa jangkauan jalan membebaskan diri dari dunia itu.”

(AN 3:101; §3; I 259)

(3) Jika Tidak Ada Kepuasan/i]

“Jika, para bhikkhu, tidak ada kepuasan dalam dunia, maka makhluk-makhluk tidak akan menjadi terpikat oleh dunia. Tetapi karena ada kepuasan dalam dunia, maka makhluk-makhluk menjadi terpikat olehnya.

“Jika tidak ada bahaya di dalam dunia, maka makhluk-makhluk tidak akan menjadi kecewa dengan dunia. Tetapi karena ada bahaya dalam dunia, maka makhluk-makhluk menjadi kecewa dengannya.

“Jika tidak ada jalan membebaskan diri dari dunia, maka makhluk-makhluk tidak akan dapat membebaskan diri dari dunia. Tetapi karena ada suatu jalan membebaskan diri dari dunia, maka makhluk-makhluk dapat membebaskan diri dari dunia.”

(AN 3:102; I 260)

3. DENGAN BENAR MENILAI OBJEK-OBJEK KEMELEKATAN

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada pagi harinya, sejumlah bhikkhu merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar mereka, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Kemudian mereka berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan. Bagaimana jika kami pergi ke taman para pengembara sekte lain.” Maka mereka pergi ke taman para pengembara sekte lain dan saling bertukar sapa dengan para pengembara. Setelah ramah-tamah itu berakhir, mereka duduk di satu sisi. Para pengembara itu berkata kepada mereka:

3. “Teman-teman, Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh akan kenikmatan  indria, dan kami juga demikian; Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh akan bentuk materi, dan kami juga demikian; Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh akan perasaan, dan kami juga demikian. Kalau begitu, apakah perbedaannya di sini antara ajaran Petapa Gotama akan Dhamma dan ajaran kami, antara instruksi-instruksi Beliau dan instruksi-instruksi kami?”  [1]

4. Kemudian para bhikkhu itu dengan tidak menyetujui juga tidak membantah kata-kata para pengembara itu. Tanpa melakukan kedua hal itu mereka bangkit dari duduk dan pergi, dengan berpikir: “kami akan memahami makna dari kata-kata ini di hadapan Sang Bhagavā.”

5. Ketika mereka telah pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan apa yang telah terjadi. [Sang Bhagavā berkata:]
 
6. “Para bhikkhu, para pengembara sekte lain yang berkata demikian harus ditanya sebagai berikut: ‘Tetapi, teman-teman, apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria? Apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk? Apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan?’ Dengan ditanya demikian, para pengembara sekte lain tidak akan mampu menjelaskan hal itu, dan lebih jauh lagi, mereka akan mengalami kesulitan. Mengapakah? Karena hal ini bukanlah wilayah mereka. Para bhikkhu, Aku tidak melihat satupun di dunia ini dengan para dewa, Māra, dan Brahmā-nya, dalam populasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia-nya, yang mampu memuaskan pikiran dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, kecuali Sang Tathāgata atau para siswaNya yang telah mempelajarinya dari Beliau.

(KENIKMATAN INDRIA)

7. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan kenikmatan indria? Para bhikkhu, terdapat lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria. kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini adalah kepuasan sehubungan dengan kenikmatan indria.

8. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria? Di sini, para bhikkhu, sehubungan dengan keterampilan yang dengannya seorang anggota keluarga mencari nafkah – apakah memeriksa, mencatat, menghitung, bertani, berdagang, beternak, memanah, melayani kerajaan, atau keterampilan apapun juga – ia harus mengalami dingin dan panas; ia terluka oleh kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia terancam kematian oleh lapar dan haus. Ini adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat dalam kehidupan ini, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, sumber, dan landasannya, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

9. “Jika tidak ada harta yang didapat oleh anggota keluarga sewaktu ia bekerja dan berjuang dan berusaha demikian, maka ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan, mengeluhkan: ‘Pekerjaanku sia-sia, usahaku tidak membuahkan hasil!’ Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat dalam kehidupan ini, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, sumber, dan landasannya, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.


10. “Jika ada harta yang didapat oleh anggota keluarga sewaktu ia bekerja dan berjuang dan berusaha demikian, ia mengalami kesakitan dan kesedihan dalam menjaganya: ‘Bagaimana agar raja atau pencuri tidak merampas hartaku, juga agar api tidak membakarnya, juga agar air tidak menghanyutkannya, juga agar pewaris yang tidak disukai tidak merampasnya?’ Dan ketika ia menjaga dan melindunginya, raja atau pencuri merampasnya, atau api membakarnya, atau air menghanyutkannya, atau pewaris yang tidak disukai merampasnya. Dan ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan, mengeluhkan: ‘Apa yang kumiliki sudah tidak ada lagi!’ Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat dalam kehidupan ini, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, sumber, dan landasannya, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

11. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai sebab … raja-raja berselisih dengan raja-raja, para mulia berselisih dengan para mulia, para brahmana berselisih dengan para brahmana, para perumah-tangga berselisih dengan para perumah-tangga, ibu berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ibu, ayah berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ayah, saudara laki-laki berselisih dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki berselisih dengan saudara perempuan, saudara perempuan berselisih dengan saudara laki-laki, teman berselisih dengan teman. Dan di sini dalam perselisihan, percekcokan, pertengkaran, mereka saling menyerang satu sama lain dengan tinju, bongkahan tanah, tongkat kayu pemukul, atau pisau, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat dalam kehidupan ini, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, sumber, dan landasannya, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

12. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai sebab ... orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, dan dalam peperangan dalam barisan berlapis ganda mereka menyerang dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat dalam kehidupan ini, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, sumber, dan landasannya, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

13. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai sebab ... orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, mereka menyerang benteng, dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan  dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak dan tersiram cairan mendidih dan digilas benda berat, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat dalam kehidupan ini, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, sumber, dan landasannya, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

14. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai sebab ... orang-orang mendobrak masuk ke rumah-rumah, merampas harta, melakukan perampokan, menyergap di jalan-jalan, menggoda istri orang lain, dan ketika mereka tertangkap, raja menjatuhkan berbagai hukuman pada mereka ... yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat dalam kehidupan ini, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, sumber, dan landasannya, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

15. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria, orang-orang melakukan perilaku salah dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran. Setelah melakukan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, mereka muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di dalam neraka. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang,  [2] dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

16 (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria? Yaitu lenyapnya keinginan dan nafsu, melepaskan keinginan dan nafsu akan kenikmatan indria. Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria.

17. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, dapat oleh mereka sendiri memahami sepenuhnya kenikmatan indria atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, dapat oleh mereka sendiri memahami sepenuhnya kenikmatan indria atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria – itu adalah mungkin.