6. KOMUNITAS(1) Enam Akar Perselisihan6. “Ada, Ānanda, enam akar perselisihan ini. Apakah enam ini? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu marah dan kesal. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Saṅgha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kerugian, bahaya, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu ataupun secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu. Dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu ataupun secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidak-munculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan.
7-11. “Kemudian, seorang bhikkhu bersikap meremehkan dan congkak … iri dan tamak … curang dan menipu … berkeinginan jahat dan berpandangan salah, dan melekati pandangannya itu, mempertahankannya dengan gigih, dan melepaskannya dengan penuh kesulitan. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kerugian, bahaya, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu ataupun secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu. Dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu ataupun secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidak-munculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan. Ini adalah enam akar perselisihan.”
(Dari MN 104: Samagāma Sutta; II 245-47)
(2) Enam Prinsip Kerukunan21. “Ānanda, terdapat enam prinsip kerukunan ini yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan. Apakah enam ini?
“Di sini seorang bhikkhu memelihara perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan ucapan cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan pikiran cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu menggunakan benda-benda bersama-sama dengan teman-temannya dalam kehidupan suci; tanpa merasa keberatan, ia berbagi dengan mereka apapun jenis perolehan yang benar yang ia peroleh dengan cara yang benar, bahkan termasuk isi mangkuknya. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal moralitas yang tidak rusak, tidak robek, tidak berbintik, tidak tercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak disalah-pahami, dan mendukung konsentrasi. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.
“Ini adalah enam prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.”
(Dari MN 104: Samagāma Sutta; II 250-51)
(3) Pemurnian adalah untuk Seluruh Empat Kasta1. Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
2. Pada saat itu lima ratus brahmana dari berbagai propinsi sedang menetap di Sāvatthī untuk suatu urusan. Kemudian para brahmana itu berpikir: “Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. Siapakah di sini yang mampu membantahNya atas pernyataan ini?”
3. Pada saat itu seorang murid brahmana bernama Assalāyana sedang menetap di Sāvatthī. Muda, berkepala-gundul, berusia enam belas tahun, ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Kemudian para brahmana berpikir bahwa ia akan mampu berdebat dengan Sang Bhagavā.
4. Maka para brahmana itu mendatangi murid brahmana Assalāyana dan berkata kepadanya: “Guru Assalāyana, Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. Sudilah Guru Assalāyana pergi dan berdebat dengan Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”
Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana menjawab: “Tuan-tuan, Petapa Gotama adalah seorang yang membicarakan Dhamma. Mereka yang membicarakan Dhamma adalah sulit untuk didebat. Aku tidak mampu mendebat Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”
Untuk ke dua kali dan untuk ke tiga kalinya para brahmana mendesaknya untuk pergi. Untuk ke dua kali murid brahmana Assalāyana menolak, tetapi setelah desakan ke tiga ia menyetujui.
5. Kemudian murid brahmana Assalāyana pergi bersama dengan sejumlah besar para brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, para brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi, para kasta lainnya adalah rendah; para brahmana adalah kasta yang paling cerah, para kasta lainnya adalah gelap; hanya para brahmana yang dimurnikan, bukan non-brahmana; hanya para brahmana yang merupakan para putera Brahmā, keturunan Brahmā, lahir dari mulutnya, lahir dari Brahmā, diciptakan oleh Brahmā, pewaris Brahmā.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal itu?”
“Sekarang, Assalāyana, para perempuan brahmana terlihat mengalami periode menstruasi, menjadi hamil, melahirkan, dan menyusui. [7] Namun para brahmana itu, walaupun terlahir dari rahim, mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... hanya para brahmana yang merupakan para putera Brahmā, keturunan Brahmā, lahir dari mulutnya, lahir dari Brahmā, diciptakan oleh Brahmā, pewaris Brahmā.’”
6. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”
“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Pernahkah engkau mendengar bahwa Yona dan Kamboja [8] dan di negeri asing lainnya terdapat hanya dua kasta, majikan dan budak, dan bahwa para majikan menjadi budak dan budak menjadi majikan?”
“Demikianlah yang kudengar, Tuan.”
“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”
7. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”
“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang khattiya membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan ucapan salah, mengucapkan ucapan jahat, bergosip, tamak, memiliki pikiran berniat-buruk, dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah hanya ia yang terlahir kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka – dan bukan seorang brahmana? Misalkan seorang pedagang … seorang pekerja membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah hanya ia yang terlahir kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka – dan bukan seorang brahmana?”
“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja – mereka dari keempat kasta itu yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan terlahir kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.”
“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”
8. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”
“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang brahmana menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari ucapan salah, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, dan menghindari gosip, dan tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat buruk, dan menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah hanya ia yang terlahir kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga – dan bukan seorang khattiya, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”
“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang khattiya, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja – mereka dari keempat kasta itu yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan terlahir kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga.”
“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”
9. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”
“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap wilayah ini, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk, dan bukan seorang khattiya, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”
“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang khattiya, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja – mereka dari keempat kasta itu mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap wilayah ini, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.”
“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”
10. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”
“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran, dan bukan seorang khattiya, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”
“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang khattiya, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja – mereka dari keempat kasta itu mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran.”
“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”
11. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”
“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang raja mulia yang sah mengumpulkan di sini seratus orang yang berasal dari kelahiran berbeda dan berkata kepada mereka: ‘Tuan-tuan, silahkan siapapun juga di sini yang terlahir dalam keluarga khattiya atau keluarga brahmana atau keluarga bangsawan mengambil sebatang tongkat kayu api berkualitas baik dan menyalakan api dan menghasilkan panas. Dan juga silahkan siapapun juga di sini yang terlahir dalam keluarga buangan, keluarga pemburu, keluarga pembuat keranjang, keluarga pembuat kereta, atau keluarga pemungut sampah, mengambil kayu dari tempat minum anjing, dari tempat makan babi, dari tempat sampah, atau dari kayu jarak dan menyalakan api dan menghasilkan panas.’
“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Ketika api dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok pertama, apakah api itu memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan apakah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api, sementara ketika api dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dari kelompok ke dua, api itu tidak memiliki kobaran, tanpa warna, dan tanpa cahaya, dan tidak mungkin menggunakannya sebagai fungsi api?”
“Tidak, Guru Gotama. Ketika api dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok pertama, api itu memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api. Dan api yang dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok ke dua, api itu juga memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api. Karena semua api memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api.”
“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”
12. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”
“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang pemuda khattiya hidup bersama dengan seorang gadis brahmana, dan seorang anak lahir dari mereka. Apakah anak yang terlahir dari pemuda khattiya dan gadis brahmana itu disebut seorang khattiya mengikuti sang ayah atau seorang brahmana mengikuti sang ibu?”
“Ia dapat disebut keduanya, Guru Gotama.”
13. “Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang pemuda brahmana hidup bersama dengan seorang gadis khattiya, dan seorang anak lahir dari mereka. Apakah anak yang terlahir dari pemuda brahmana dan gadis khattiya itu disebut seorang khattiya mengikuti sang ibu atau seorang brahmana mengikuti sang ayah?”
“Ia dapat disebut keduanya, Guru Gotama.”
14. “Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seekor kuda betina dikawinkan dengan seekor keledai jantan, dan seekor anak kuda terlahir sebagai akibatnya. Apakah anak kuda itu disebut seekor kuda mengikuti sang ibu atau seekor keledai mengikuti sang ayah?”
“Itu adalah seekor bagal, Guru Gotama, karena anak kuda itu tidak berasal dari jenis manapun. Aku melihat perbedaan dalam kasus terakhir ini, tetapi aku tidak melihat perbedaan dalam kasus-kasus sebelumnya.”
15. “Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan ada dua orang murid brahmana bersaudara, terlahir dari ibu yang sama, yang satu rajin belajar dan cerdas, dan yang lainnya tidak rajin belajar dan tidak cerdas. Yang manakah yang akan diberi makanan pertama kali oleh para brahmana pada suatu upacara pemakaman, atau pada suatu upacara persembahan nasi-susu, atau pada suatu upacara pengorbanan, atau pada suatu pesta menyambut tamu?”
“Pada kesempatan itu, para brahmana akan memberi makan pertama kali kepada seorang yang rajin belajar dan cerdas, Guru Gotama; karena bagaimana mungkin apa yang diberikan kepada seorang yang tidak rajin belajar dan tidak cerdas dapat menghasilkan buah besar?”
16. “Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan ada dua orang murid brahmana bersaudara, terlahir dari ibu yang sama, yang satu rajin belajar dan cerdas tetapi tidak bermoral dan berkarakter buruk, dan yang lainnya tidak rajin belajar dan tidak cerdas, tetapi bermoral dan berkarakter baik. Yang manakah yang akan diberi makanan pertama kali oleh para brahmana pada suatu upacara pemakaman, atau pada suatu upacara persembahan nasi-susu, atau pada suatu upacara pengorbanan, atau pada suatu pesta menyambut tamu?”
“Pada kesempatan itu, para brahmana akan memberi makan pertama kali kepada seorang yang tidak rajin belajar dan tidak cerdas, tetapi bermoral dan berkarakter baik, Guru Gotama; karena bagaimana mungkin apa yang diberikan kepada seorang yang tidak bermoral dan berkarakter buruk dapat menghasilkan buah besar?”
17. “Pertama-tama, Assalāyana, engkau berpegang pada kelahiran, dan setelah itu engkau berpegang pada pembelajaran kitab-kitab, dan setelah itu engkau akhirnya berpegang pada landasan pemurnian bagi keseluruhan empat kasta, seperti yang Kujelaskan.”
Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana duduk diam dan cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram, dan tidak mampu menjawab
(MN 93: Assalāyana Sutta, diringkas; II 147-54)